Sejak kecil, Amara Larasati terbiasa berjuang sendiri, sampai Laksha Wijanarko datang dan menawarkan sebuah pernikahan kontrak. Pria kaya raya dengan reputasi sebagai playboy itu ingin Amara membantunya dalam sebuah kepentingan bisnis. Lantas, apa yang akan dilakukan Amara? Terlebih, apa yang dimulai sebagai kesepakatan bisnis perlahan berubah karena keduanya mulai menyertakan perasaan....
View MoreLangit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da
Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya
Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya
Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi
Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.Ia pernah berp
Mereka berdua berjalan beriringan di trotoar sempit sebuah gang kecil di Jakarta, melewati deretan warung makan sederhana yang berjejer dengan apik. Aroma sate yang terbakar di atas arang menari-nari di udara, bercampur dengan harum kaldu bakso yang mengepul hangat dari gerobak di ujung gang.Laksha, yang biasanya dikelilingi oleh para rekan bisnis berjas rapi dan mobil-mobil mewah, kini berdiri di depan sebuah warung tenda kecil. Meja plastik berwarna merah dan bangku panjang yang sedikit goyah tampak begitu asing baginya.Amara memandangnya dengan tangan bersedekap, alisnya terangkat penuh tanya, "Masih yakin bisa bertahan di tempat seperti ini?"Laksha menghela napas, lalu dengan gerakan yang ragu, menarik kursi dan duduk. "Aku sudah duduk di sini, bukan? Itu berarti aku tidak kabur."Amara tersenyum simpul, lalu ikut duduk di seberang Laksha. Dia melambaikan tangan ke arah seorang ibu pemilik warung, yang segera mendekat dengan senyum ramah terkembang
Cahaya pagi yang hangat dan lembut menembus celah jendela besar di kamar, menari lembut di antara debu yang berkilauan bagai bintang-bintang kecil yang bertaburan di udara.Aroma kopi hitam yang baru saja diseduh berpadu dengan aroma lavender yang halus dari diffuser di sudut ruangan, menciptakan suasana yang menenangkan dan mengundang.Di luar sana, Jakarta sudah mulai ramai; suara klakson kendaraan bergema meski hanya sebagai latar belakang yang samar, mengingatkan pada kehidupan kota yang tak pernah berhenti.Amara, dengan gaya santainya, duduk mengangkang di kursi bar dapur. Ia mengenakan kaus kebesaran dan celana pendek yang nyaman, menciptakan rasa nyaman yang sempurna untuk menikmati pagi.Kakinya yang satu bertumpu pada palang kursi, sementara kedua tangannya yang lain dengan lembut memeluk cangkir kopi yang hangat, merasakan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuhnya.Di hadapannya, Laksha berdiri tegap di dekat mesin kopi, dengan geraka
Musik jazz mengalun lembut di seluruh ballroom, menyatu dengan dentingan gelas kristal dan tawa halus para tamu. Lampu gantung besar berpendar keemasan, menerangi setiap sudut ruangan dengan cahaya hangat yang mewah. Aroma anggur merah, parfum mahal, dan hidangan bercampur di udara, menciptakan atmosfer yang terasa terlalu megah bagi Amara.Ia berdiri di dekat meja prasmanan, jari-jarinya melingkari gelas sampanye yang sejak tadi hanya ia putar-putar tanpa benar-benar diminum. Gaun hitamnya yang elegan membalut tubuhnya sempurna, tetapi tetap terasa seperti pakaian pinjaman. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan memaksanya untuk tetap tegak, seolah memberi peringatan bahwa ia bukan bagian dari dunia ini.Laksha sedang berada di seberang ruangan, dikelilingi oleh beberapa p
Gemerlap lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom hotel bintang lima, menciptakan pantulan keemasan di lantai marmer yang begitu mengilap hingga Amara bisa melihat bayangannya sendiri. Aroma wine mahal bercampur dengan wangi parfum eksklusif memenuhi udara, sementara dentingan gelas sampanye terdengar berbaur dengan suara percakapan yang mengalir halus di antara para tamu.Amara berdiri di sudut ruangan, jemarinya menggenggam batang gelas dengan erat, seolah itu satu-satunya yang bisa membuatnya tetap tenang. Gaun malam berwarna merah marun membalut tubuhnya, jatuh sempurna mengikuti lekuknya, tetapi tetap terasa asing di kulitnya. Rambutnya ditata elegan, bibirnya diberi sentuhan merah klasik—bukan dirinya yang biasa.Ia menarik napas dalam, berusaha membia
TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments