Sejak kecil, Amara Larasati terbiasa berjuang sendiri, sampai Laksha Wijanarko datang dan menawarkan sebuah pernikahan kontrak. Pria kaya raya dengan reputasi sebagai playboy itu ingin Amara membantunya dalam sebuah kepentingan bisnis. Lantas, apa yang akan dilakukan Amara? Terlebih, apa yang dimulai sebagai kesepakatan bisnis perlahan berubah karena keduanya mulai menyertakan perasaan....
Lihat lebih banyakHujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat
Langit malam di atas Jakarta tampak muram, pekat seperti tinta yang dituangkan ke atas kanvas langit. Awan-awan berat menggantung, menyimpan sesuatu yang tak terkatakan, sesuatu yang nyaris bisa dirasakan oleh siapa pun yang menatapnya terlalu lama.Angin membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sisa asap knalpot dan aspal yang mulai mendingin, sebuah kombinasi khas setelah hujan pertama menyentuh bumi.Di bawah sinar lampu jalan yang redup, genangan-genangan kecil mencerminkan cahaya seperti pecahan memori yang berserakan—tak utuh, tapi juga tak benar-benar hilang. Di bawah kanopi hotel, Amara berdiri dengan tubuh sedikit menegang, jari-jarinya mencengkeram clutch bag kecil dalam genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa ia percaya malam ini.Udara lembap membuat beberapa helai rambutnya menempel di leher, menggoda kulitnya dengan rasa dingin yang menusuk, namun bukan itu yang membuatnya menggigil. Sosok yang
Ballroom hotel bintang lima itu bersinar dalam pancaran cahaya keemasan, memantulkan kilaunya di atas lantai marmer yang mengilap. Lampu kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan nuansa mewah yang terasa nyaris tak tersentuh.Di sudut ruangan, alunan jazz klasik mengalir lembut, membaur dengan denting halus gelas sampanye yang beradu dalam toast, serta percakapan yang sarat dengan basa-basi sosial.Aroma anggur merah dan wangi parfum mahal melayang di udara, menciptakan simfoni tak kasatmata yang mendefinisikan suasana malam itu.Amara berdiri di dekat meja panjang yang dipenuhi hidangan mewah—tiramisù dalam gelas kristal, tartlet kaviar, potongan steak yang tampak meleleh begitu saja di bawah pencahayaan redup. Namun, tak satu pun dari itu menggugah seleranya.Tangannya menggenggam erat gelas mocktail berwarna jingga—pegangannya terlalu kokoh untuk sesuatu yang seharusnya hanya menjadi minuman santai. Apakah itu s
Udara dini hari merayap masuk melalui celah jendela, membawa serta aroma tanah basah yang tersisa setelah hujan malam. Jalanan Jakarta masih berkilau oleh genangan tipis yang memantulkan cahaya lampu-lampu jalan, menciptakan siluet bayangan yang bergerak pelan di permukaan aspal.Kota ini belum benar-benar terjaga, tapi juga tak sepenuhnya terlelap—seperti mereka berdua. Di dalam kamar yang remang, keheningan menggantung di udara, hanya dipecah oleh tarikan napas yang beriringan dalam ritme yang hampir senada.Amara duduk bersila di lantai, tubuhnya condong sedikit ke depan, sementara Laksha bersandar di sofa dengan mata terpejam, satu tangannya bertumpu di dahi seolah ada sesuatu yang berat bersarang di kepalanya. Mereka tidak saling menatap, tetapi kehadiran satu sama lain terasa begitu nyata. Lebih nyata dari yang seharusnya. Amara menggigit bibir, mencoba mengabaikan denyutan aneh yang menguar dari dadanya—peras
Malam merayap perlahan di balik tirai jendela, membungkus Jakarta dalam selimut cahaya neon yang redup.Dari lantai atas apartemen Laksha, gedung-gedung tinggi menjulang seperti bayangan bisu, sementara jalanan di bawah masih berdenyut dengan kehidupan—lampu kendaraan berkelip seperti bintang-bintang tersesat, dan suara klakson serta deru mesin melebur menjadi gumaman samar, jauh, hampir tak tersentuh oleh dunia yang lebih tinggi ini.Di dalam ruangan, udara dingin dari AC berpadu dengan aroma kayu cendana yang menguar lembut dari diffuser, menyusup ke dalam setiap sudut dengan keheningan yang nyaris ritualistik.Lampu temaram memeluk ruangan dalam cahaya keemasan, menciptakan kontras dengan sosok yang berdiri di dekat jendela—tegak, nyaris membatu, seperti patung yang diukir dari bayangan.Laksha.Jari-jarinya menggenggam gelas kristal berisi cairan amber, tetapi isinya nyaris tak berkurang. Matanya terpaku pada lanskap kota, namun sor
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun suhu AC tetap di angka yang sama. Dingin itu bukan sekadar hawa, tetapi sesuatu yang merayap perlahan ke dalam tulang—mengisi ruang dengan ketegangan yang tak terucap.Laksha duduk tegap di kursi berhadapan dengan ayahnya, punggung lurus seperti bilah pedang, tetapi jari-jarinya yang mengepal di atas paha mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan.Napasnya dalam dan terkendali, namun matanya—mata seorang pria yang sudah terbiasa bermain dalam lingkaran ketidakpastian—terus menatap lurus ke arah Aditya, siap menghadapi apa pun yang akan dikatakan pria itu.Di balik meja kayu mahoni yang besar dan mengilap, Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tenang. Wajahnya sulit dibaca, sorot matanya tajam seperti seorang hakim yang tengah menimbang vonis.Ia menopang dagunya dengan tangan yang penuh urat, mengamati Laksha dengan teliti, seolah mencari ce
Langit Jakarta telah sepenuhnya diselimuti gelap saat Amara akhirnya sampai di rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena perasaan yang menyesakkan dadanya sejak tadi.Ia melangkah melewati pintu utama dengan gerakan lambat, seolah ingin menunda sesuatu yang tak terhindarkan. Sepatunya ia lepas tanpa suara, ujung jemarinya sedikit ragu sebelum menyentuh lantai dingin. Di dalam, lampu chandelier bersinar redup, memantulkan cahaya ke dinding marmer yang dingin dan tak bernyawa. Ruangan itu luas, nyaris sunyi, hanya sesekali suara jarum jam yang berdetak dari arah meja konsol.Rumah ini selalu terasa terlalu besar untuknya, seakan ruang-ruang kosong di dalamnya menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Di sofa panjang dekat rak buku, Laksha duduk diam, tubuhnya sedikit membungkuk dengan satu tangan menyangga dahinya. Gelas scotch di tangan satunya t
Langit Jakarta perlahan berubah, dari semburat jingga yang hangat menuju ungu keabuan yang sendu. Cahaya-cahaya kota mulai bermunculan satu per satu, lampu jalan memantulkan bias temaram di trotoar basah sisa hujan yang turun sore tadi.Udara masih mengandung jejak hujan—dingin, sedikit lembab, bercampur dengan aroma aspal yang basah. Namun, di antara itu semua, ada wangi kopi yang menguar dari celah pintu kafe, menyelinap masuk ke dalam ingatan seperti potongan-potongan kenangan yang enggan dilupakan.Di sudut kafe yang menghadap ke jendela besar, Amara duduk dengan jemari melingkari cangkir cappuccino yang kini hanya menyisakan kehangatan samar.Sendok kecil di tangannya bergerak perlahan, mengaduk cairan kecokelatan itu bukan karena butuh, melainkan karena pikirannya terlalu riuh untuk sekadar membiarkan tangan diam begitu saja.Pandangannya kosong, terarah pada pusaran kopi yang berputar dalam lingkaran kecil—seolah ada jawaban tersembunyi
Angin sore membelai lembut wajah Amara, membawa aroma kopi yang menguar dari mesin espresso di dalam kafe. Sisa cahaya senja masih menggantung di cakrawala Jakarta, memulas langit dengan semburat jingga yang perlahan meredup.Di sekelilingnya, obrolan pelanggan bercampur dengan denting gelas dan alunan musik jazz lembut dari speaker kafe.Namun, bagi Amara, semua itu terasa jauh. Samar.Pikirannya berputar, terlalu penuh oleh sesuatu yang enggan ia akui.Di depannya, Reza duduk diam, tangannya melingkari cangkir kopi yang sejak tadi belum disentuhnya. Mata pria itu menelisik wajahnya, dalam dan tajam, seolah ingin menguliti setiap rahasia yang coba Amara simpan.“Jadi…” Suara Reza akhirnya memecah keheningan di antara mereka. “Apa kau bahagia, Amara?”Jantung Amara mencelos.Pertanyaan sederhana itu menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya.Jari-jarinya mengaduk-aduk buih cappuccino di cangk
TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen