Amara berjalan keluar dari gedung Wijanarko Group dengan langkah yang terasa semakin berat. Malam di Jakarta menyambutnya dengan hembusan udara yang lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu penuh hingga membuat tubuhnya ikut terasa kosong.Udara malam membawa aroma aspal yang masih hangat setelah terpapar sinar matahari sepanjang hari, bercampur dengan wangi hujan yang baru saja reda. Cahaya lampu jalan menyilaukan matanya, membentuk bayangan panjang di trotoar, sementara suara kendaraan masih bergema dari kejauhan.Amara berdiri sejenak di pinggir jalan, matanya menatap lurus ke depan. Tangannya yang masih dingin meraba saku jaketnya, meremas sudut kartu nama yang Laksha berikan saat pertemuan pertama mereka.Dulu, dia menganggap semua ini sebagai lelucon yang sulit dipercaya. Namun sekarang, dia telah menandatangani sebuah perjanjian yang akan mengikat hidupnya untuk setahun ke depan.Ponselnya bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesa
Mobil hitam yang mengkilap itu meluncur halus di jalan tol yang sepi, membelah kesunyian embun pagi yang masih memeluk Jakarta. Langit yang perlahan-lahan mulai terang, seakan malu-malu menuangkan warna jingga yang menari-nari di kaca jendela.Di dalamnya, Amara terdiam. Jari-jarinya saling mengunci erat di atas pangkuannya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya memandang jauh keluar jendela, namun pikirannya seolah hilang entah kemana.Yang terdengar hanyalah suara deru mesin yang menemaninya, serta detak jantungnya yang terasa ingin melompat keluar.Di sampingnya, Laksha mengemudi dengan tenang. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan apartemen Amara yang mungil itu tadi pagi. Dan jujur saja, Amara tak keberatan dengan keheningan itu.Ia masih berusaha mencerna kenyataan yang mengejutkan—bahwa dalam sekejap, hidupnya telah berubah drastis.Kini, ia berada dalam perjalanan menuju sebuah rumah yang asing baginya. Menuj
Di tengah-tengah kamar yang terbentang luas, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih yang bersih berdiri anggun.Karpet tebal memeluk lantai, membentang hampir di seluruh penjuru ruangan, sementara jendela lebar yang terbuka menawarkan pemandangan menenangkan ke taman belakang yang hijau.Di salah satu sudut, terdapat meja kerja yang rapi dan sofa kecil yang mengundang, serta lemari pakaian besar yang tampaknya lebih luas dari kamar mandi di apartemen lama Amara.Dindingnya dicat dengan warna biru lembut, dihiasi dengan dekorasi yang sederhana namun elegan, menciptakan suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan kemewahan yang terasa berlebihan di ruangan lain di rumah besar ini.Seperti ada usaha khusus yang dilakukan untuk membuat ruangan ini terasa lebih nyaman dan menyambut bagi Amara.Amara memandang Laksha, rasa penasaran terpancar dari matanya. "Kamar ini..." katanya, sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Laksha menyela, "Khus
Dapur rumah itu terasa lapang dan menyenangkan, dengan langit-langit yang menjulang tinggi serta dinding-dinding marmer yang berwarna abu-abu lembut, menawarkan kesan yang sekaligus megah dan mengundang.Rak-rak kayu menghiasi hampir setiap sisi ruangan, dipenuhi dengan koleksi gelas dan piring yang tampak tidak hanya berharga namun juga penuh cerita.Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang kokoh mendominasi, atasnya terdapat vas kaca yang elegan dengan susunan bunga lili putih yang tersusun begitu rapi dan menawan.Amara berdiri dengan anggun di depan kompor, tangannya yang mahir dengan cepat membalik telur dadar di atas wajan yang panas. Aroma telur yang menggugah selera bercampur sempurna dengan wangi roti panggang yang baru saja matang, menyebarkan keharuman yang mengisi setiap sudut ruangan.Sambil berpikir, Amara merenung kenapa ia masih berinisiatif menyiapkan sarapan setiap pagi. Mungkin ini karena dari kecil ia sudah terbiasa mengurus dirinya
Suara dentingan sendok dan garpu bertemu dengan porselen menjadi satu-satunya melodi yang mengisi ruang makan besar itu. Lilin-lilin di tengah meja panjang memberikan cahaya keemasan yang lembut, memantulkan bayangan di atas gelas kristal berisi anggur merah. Aroma daging panggang dan saus krim memenuhi udara, tetapi bagi Amara, makanan di piringnya tampak seperti benda asing yang tak menggugah selera.Ia duduk di sebelah Laksha, merasa seperti tamu tak diundang di tengah keluarga ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko tetap tenang, seperti ratu yang duduk di singgasananya, anggun dan tak tersentuh. Di ujung meja, Aditya Wijanarko menatapnya tanpa ekspresi, matanya mengamati setiap gerak-geriknya dengan tajam. Dan di sisi lain, seorang wanita dengan gaun berwarna biru g
Angin malam mengusap lembut kulit Amara, membelai helaian rambutnya yang tergerai ketika ia berdiri di balkon kamar. Dari tempatnya, pemandangan kota Jakarta terbentang luas, gemerlap lampu-lampu gedung bertaburan seperti bintang-bintang yang jatuh. Tapi keindahan itu tak mampu mengusir gelisah yang merayap di dadanya.Amara menyesap teh hangatnya pelan. Cairan itu seharusnya membawa ketenangan, tetapi rasa pahit samar yang tertinggal justru terasa seperti sesuatu yang lain—sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Di dalam kamar, Laksha duduk di depan meja kerja, membelakangi pintu balkon yang terbuka. Punggungnya tegap, tetapi bahunya terlihat lebih tegang dari biasanya. Lampu meja menerangi setengah wajahnya, menciptakan bayangan yang tajam di garis rahangnya.Sej
Gemerlap lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom hotel bintang lima, menciptakan pantulan keemasan di lantai marmer yang begitu mengilap hingga Amara bisa melihat bayangannya sendiri. Aroma wine mahal bercampur dengan wangi parfum eksklusif memenuhi udara, sementara dentingan gelas sampanye terdengar berbaur dengan suara percakapan yang mengalir halus di antara para tamu.Amara berdiri di sudut ruangan, jemarinya menggenggam batang gelas dengan erat, seolah itu satu-satunya yang bisa membuatnya tetap tenang. Gaun malam berwarna merah marun membalut tubuhnya, jatuh sempurna mengikuti lekuknya, tetapi tetap terasa asing di kulitnya. Rambutnya ditata elegan, bibirnya diberi sentuhan merah klasik—bukan dirinya yang biasa.Ia menarik napas dalam, berusaha membia
Musik jazz mengalun lembut di seluruh ballroom, menyatu dengan dentingan gelas kristal dan tawa halus para tamu. Lampu gantung besar berpendar keemasan, menerangi setiap sudut ruangan dengan cahaya hangat yang mewah. Aroma anggur merah, parfum mahal, dan hidangan bercampur di udara, menciptakan atmosfer yang terasa terlalu megah bagi Amara.Ia berdiri di dekat meja prasmanan, jari-jarinya melingkari gelas sampanye yang sejak tadi hanya ia putar-putar tanpa benar-benar diminum. Gaun hitamnya yang elegan membalut tubuhnya sempurna, tetapi tetap terasa seperti pakaian pinjaman. Sepatu hak tinggi yang ia kenakan memaksanya untuk tetap tegak, seolah memberi peringatan bahwa ia bukan bagian dari dunia ini.Laksha sedang berada di seberang ruangan, dikelilingi oleh beberapa p
Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar-samar bercampur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tetesan air masih jatuh perlahan dari dedaunan di luar jendela, menciptakan irama samar yang menyatu dengan desah napas tertahan di dalam kamar itu.Langit Jakarta malam itu kelabu pekat, seakan menyerap segala emosi yang menggenang di ruangan sempit tempat dua hati saling terombang-ambing dalam ketidakpastian. Amara berdiri di tengah kamar mereka, kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Di hadapannya, koper kecil terbuka setengah, pakaian yang tergulung rapi berbaring di dalamnya seperti saksi bisu dari keputusannya.Tangannya gemetar saat meraih sehelai sweater, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap bergerak. Jika ia berhenti, ia tahu dadanya akan semakin sesak. Dari belakangnya, langkah kaki terdengar mendekat—berat dan tergesa. “Amara, berhenti.” Suara itu dalam, le
Pagi di Jakarta selalu sibuk, penuh dengan suara klakson yang bersahutan dan langkah-langkah tergesa di trotoar. Tapi bagi Amara, semuanya terasa lebih lambat hari ini.Ia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Senopati, membiarkan jemarinya melingkari gelas kopi yang kini mulai kehilangan kehangatannya. Aroma espresso yang pekat bercampur dengan wangi croissant hangat yang baru saja keluar dari oven dapur terbuka, tapi tak satu pun menggugah seleranya.Suara sendok beradu dengan cangkir, derit kursi yang bergeser, dan bisikan percakapan dari meja-meja lain menyusup ke telinganya, tapi tetap saja dunia di sekelilingnya terasa jauh, seolah hanya ada ia dan laki-laki yang duduk di depannya.Reza.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat halus di pergelangan tangannya. Ia selalu tampak seperti ini—rapi, effortless, seseorang yang tidak butuh usaha berlebih untuk terlihat menarik.Tapi hari ini,
Hujan telah reda, menyisakan jejak basah yang berkilauan di sepanjang jalanan Jakarta. Genangan kecil memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilau keemasan di antara aspal yang menghitam.Aroma tanah basah masih menggantung di udara, berpadu dengan angin malam yang berembus pelan, membawa serta sisa dingin yang menggigit kulit. Dari balkon apartemennya di lantai delapan, Amara berdiri dengan tangan melingkari secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Uap tipis yang tadi membubung kini hampir lenyap, menyisakan permukaan air yang tenang, seolah mencerminkan hatinya yang tak menentu.Pandangannya mengembara ke gedung-gedung tinggi di sekelilingnya—monumen bisu yang menjulang dalam kesunyian. Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tetapi malam ini terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih lengang. Di dalam, suara pintu yang berderit memecah keheningan. Amara tidak berbalik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang dat
Langit malam di atas Jakarta tampak muram, pekat seperti tinta yang dituangkan ke atas kanvas langit. Awan-awan berat menggantung, menyimpan sesuatu yang tak terkatakan, sesuatu yang nyaris bisa dirasakan oleh siapa pun yang menatapnya terlalu lama.Angin membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sisa asap knalpot dan aspal yang mulai mendingin, sebuah kombinasi khas setelah hujan pertama menyentuh bumi.Di bawah sinar lampu jalan yang redup, genangan-genangan kecil mencerminkan cahaya seperti pecahan memori yang berserakan—tak utuh, tapi juga tak benar-benar hilang. Di bawah kanopi hotel, Amara berdiri dengan tubuh sedikit menegang, jari-jarinya mencengkeram clutch bag kecil dalam genggaman, seolah itu satu-satunya pegangan yang bisa ia percaya malam ini.Udara lembap membuat beberapa helai rambutnya menempel di leher, menggoda kulitnya dengan rasa dingin yang menusuk, namun bukan itu yang membuatnya menggigil. Sosok yang
Ballroom hotel bintang lima itu bersinar dalam pancaran cahaya keemasan, memantulkan kilaunya di atas lantai marmer yang mengilap. Lampu kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan nuansa mewah yang terasa nyaris tak tersentuh.Di sudut ruangan, alunan jazz klasik mengalir lembut, membaur dengan denting halus gelas sampanye yang beradu dalam toast, serta percakapan yang sarat dengan basa-basi sosial.Aroma anggur merah dan wangi parfum mahal melayang di udara, menciptakan simfoni tak kasatmata yang mendefinisikan suasana malam itu.Amara berdiri di dekat meja panjang yang dipenuhi hidangan mewah—tiramisù dalam gelas kristal, tartlet kaviar, potongan steak yang tampak meleleh begitu saja di bawah pencahayaan redup. Namun, tak satu pun dari itu menggugah seleranya.Tangannya menggenggam erat gelas mocktail berwarna jingga—pegangannya terlalu kokoh untuk sesuatu yang seharusnya hanya menjadi minuman santai. Apakah itu s
Udara dini hari merayap masuk melalui celah jendela, membawa serta aroma tanah basah yang tersisa setelah hujan malam. Jalanan Jakarta masih berkilau oleh genangan tipis yang memantulkan cahaya lampu-lampu jalan, menciptakan siluet bayangan yang bergerak pelan di permukaan aspal.Kota ini belum benar-benar terjaga, tapi juga tak sepenuhnya terlelap—seperti mereka berdua. Di dalam kamar yang remang, keheningan menggantung di udara, hanya dipecah oleh tarikan napas yang beriringan dalam ritme yang hampir senada.Amara duduk bersila di lantai, tubuhnya condong sedikit ke depan, sementara Laksha bersandar di sofa dengan mata terpejam, satu tangannya bertumpu di dahi seolah ada sesuatu yang berat bersarang di kepalanya. Mereka tidak saling menatap, tetapi kehadiran satu sama lain terasa begitu nyata. Lebih nyata dari yang seharusnya. Amara menggigit bibir, mencoba mengabaikan denyutan aneh yang menguar dari dadanya—peras
Malam merayap perlahan di balik tirai jendela, membungkus Jakarta dalam selimut cahaya neon yang redup.Dari lantai atas apartemen Laksha, gedung-gedung tinggi menjulang seperti bayangan bisu, sementara jalanan di bawah masih berdenyut dengan kehidupan—lampu kendaraan berkelip seperti bintang-bintang tersesat, dan suara klakson serta deru mesin melebur menjadi gumaman samar, jauh, hampir tak tersentuh oleh dunia yang lebih tinggi ini.Di dalam ruangan, udara dingin dari AC berpadu dengan aroma kayu cendana yang menguar lembut dari diffuser, menyusup ke dalam setiap sudut dengan keheningan yang nyaris ritualistik.Lampu temaram memeluk ruangan dalam cahaya keemasan, menciptakan kontras dengan sosok yang berdiri di dekat jendela—tegak, nyaris membatu, seperti patung yang diukir dari bayangan.Laksha.Jari-jarinya menggenggam gelas kristal berisi cairan amber, tetapi isinya nyaris tak berkurang. Matanya terpaku pada lanskap kota, namun sor
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun suhu AC tetap di angka yang sama. Dingin itu bukan sekadar hawa, tetapi sesuatu yang merayap perlahan ke dalam tulang—mengisi ruang dengan ketegangan yang tak terucap.Laksha duduk tegap di kursi berhadapan dengan ayahnya, punggung lurus seperti bilah pedang, tetapi jari-jarinya yang mengepal di atas paha mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa disembunyikan.Napasnya dalam dan terkendali, namun matanya—mata seorang pria yang sudah terbiasa bermain dalam lingkaran ketidakpastian—terus menatap lurus ke arah Aditya, siap menghadapi apa pun yang akan dikatakan pria itu.Di balik meja kayu mahoni yang besar dan mengilap, Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tenang. Wajahnya sulit dibaca, sorot matanya tajam seperti seorang hakim yang tengah menimbang vonis.Ia menopang dagunya dengan tangan yang penuh urat, mengamati Laksha dengan teliti, seolah mencari ce
Langit Jakarta telah sepenuhnya diselimuti gelap saat Amara akhirnya sampai di rumah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya karena perasaan yang menyesakkan dadanya sejak tadi.Ia melangkah melewati pintu utama dengan gerakan lambat, seolah ingin menunda sesuatu yang tak terhindarkan. Sepatunya ia lepas tanpa suara, ujung jemarinya sedikit ragu sebelum menyentuh lantai dingin. Di dalam, lampu chandelier bersinar redup, memantulkan cahaya ke dinding marmer yang dingin dan tak bernyawa. Ruangan itu luas, nyaris sunyi, hanya sesekali suara jarum jam yang berdetak dari arah meja konsol.Rumah ini selalu terasa terlalu besar untuknya, seakan ruang-ruang kosong di dalamnya menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Di sofa panjang dekat rak buku, Laksha duduk diam, tubuhnya sedikit membungkuk dengan satu tangan menyangga dahinya. Gelas scotch di tangan satunya t