Share

Bab 6: Keraguan

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-04 10:11:02

Mereka bertemu di sebuah kafe yang hangat dan penuh dengan cahaya yang meresap lembut melalui jendela besar di tengah hiruk-pikuk SCBD.

Amara memilih tempat ini dengan sengaja—tempat yang netral dan nyaman, bukan restoran yang terlalu mewah atau bar yang gema dengan kebisingan, karena dia ingin tempat yang bisa membuatnya tetap tenang dan fokus pada pembicaraan penting yang akan terjadi.

Laksha sudah ada di sana, menunggu dengan penuh kesabaran. Dia duduk di sudut kafe, terlihat elegan dengan jas hitamnya yang sempurna, sebuah kontras yang mencolok dengan kesederhanaan tempat ini.

Ketika Amara melangkah masuk, mata Laksha langsung menangkap sosoknya, tatapan mereka bertemu tanpa hambatan. Tak ada kejutan atau keingintahuan yang tergambar di wajahnya—hanya sebuah kepastian yang tenang, seolah-olah dia sudah tahu pasti bahwa Amara akan datang.

Dengan langkah yang mantap namun lembut, Amara mendekati meja dan menarik kursi dengan gerakan yang halus. “Jika aku menerima tawaranmu,” katanya dengan suara yang rendah dan hati-hati, mencoba untuk mengendalikan kegugupannya, “apa saja syaratnya?”

Laksha bersandar dengan tenang, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Amara, membingkainya dengan tatapan yang kompleks dan sulit didefinisikan.

“Kita akan menikah selama satu tahun,” katanya dengan nada yang serius tetapi tenang, seolah sedang menjelaskan detail dari sebuah kontrak bisnis yang penting. “Setelah itu, kita berpisah. Tanpa drama, tanpa klaim atau tuntutan apapun.”

Amara meremas tangannya di bawah meja, merasakan detak jantungnya yang mulai memburu. “Ada syarat lain?” tanyanya, suaranya masih terjaga lembut.

“Kamu harus tinggal di rumahku,” Laksha menjawab dengan tenang, seolah-olah itu adalah permintaan yang paling logis dalam kesepakatan seperti ini.

Amara nyaris tertawa karena absurditasnya, tapi yang keluar hanyalah senyum yang dipaksakan. “Kamu serius?”

Ia hanya mengangkat bahu dengan elegan. “Pernikahan yang sah umumnya memerlukan pasangan untuk tinggal bersama.”

Setelah jeda yang menggantung di udara dengan kecanggungan, Amara bertanya lagi, suaranya sedikit lebih tegas. “Dan?”

“Kita perlu sering terlihat bersama di acara keluarga atau acara publik. Berfoto bersama, dan melakukan hal-hal lain yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang bahagia,” Laksha melanjutkan, dengan senyum yang mendalam tetapi sarkastik.

Mata Amara menelisik lebih dalam. “Jadi, kita hanya perlu pura-pura bahagia?”

Senyum Laksha berkembang sedikit, menambahkan nuansa kehangatan yang ironis. “Anggap saja begitu,” ujarnya.

Sejenak, ruangan itu dipenuhi dengan hening yang mendalam, seolah keduanya sedang menimbang beratnya situasi tersebut.

Amara mengambil napas dalam dan berat sebelum mengungkapkan syaratnya sendiri, “Aku punya syarat juga,” katanya, suaranya mengandung keberanian yang baru.

Laksha mengangkat alisnya, memberi isyarat untuknya melanjutkan.

“Kamu tidak boleh menyentuhku,” kata Amara dengan tegas.

Ekspresi Laksha berubah untuk pertama kalinya, senyumnya memudar, digantikan oleh sesuatu yang lebih serius dan tidak terduga.

“Tentu,” jawabnya akhirnya, nada suaranya berat dan tanpa emosi. “Pernikahan ini hanya kesepakatan bisnis. Aku tidak akan menuntut lebih dari yang kamu nyaman berikan.”

Amara merasakan detak jantungnya yang kencang, rasa tidak nyaman yang aneh menyelimuti perasaannya. Respons Laksha tidak hanya menguatkan tekadnya tetapi juga menambahkan rasa respek terhadap kejujuran pria itu, meski dia tahu, tidak ada lagi jalan kembali setelah ini.

Dia mengangkat cangkir kopinya, menyesapnya dengan perlahan, memberi dirinya waktu untuk berpikir. Keputusan ini mungkin sebesar saat dia memutuskan untuk meninggalkan sistem pengasuhan dan menghadapi dunia dengan tangannya sendiri.

Dan sekarang, dia dihadapkan pada keputusan yang lebih besar lagi.

Menaruh kembali gelasnya, Amara menatap Laksha dengan mata yang kini penuh kepastian. “Oke,” katanya dengan lembut namun pasti. “Aku setuju.”

Laksha memandanginya beberapa saat, kemudian mengulurkan tangannya. “Selamat datang di pernikahan bisnis kita, Amara.”

Amara memandang tangan yang diulurkan itu, dan dengan sedikit ragu, dia menyambutnya. Tidak ada jalan kembali setelah ini. Namun, mengapa ia justru berdebar?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 7: Perjanjian Hitam di Atas Putih

    Ruangan itu tak hanya luas, tetapi juga dingin yang menusuk tulang. Dinding kaca yang membentang di belakang meja panjang itu seolah menjadi jendela raksasa yang menghadap ke jantung Jakarta dari puncak gedung perkantoran Wijanarko Group.Gedung-gedung menjulang tinggi memecah keemasan langit senja, sementara di bawah sana, mobil-mobil meliuk-liuk di jalanan, menciptakan aliran cahaya yang tak pernah padam, bagaikan sungai yang terus mengalir tanpa henti.Amara duduk dengan postur tegak, menempati salah satu kursi kulit hitam yang terlihat lebih mahal dari total tabungan yang pernah ia miliki. Tangannya yang mungil terlipat rapi di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan denyut kegelisahan yang tak kunjung reda.Di depannya, selembar kontrak terbentang rapi di atas meja kaca, tulisannya hitam di atas putih. Banyak kata tercetak di sana, namun yang terlihat oleh Amara hanyalah refleksi samar masa depannya yang sebentar lagi akan berubah drastis.Di sisi meja yang berlawanan, Laksha duduk

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 8: Keluarga Wijanarko

    Amara berjalan keluar dari gedung Wijanarko Group dengan langkah yang terasa semakin berat. Malam di Jakarta menyambutnya dengan hembusan udara yang lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu penuh hingga membuat tubuhnya ikut terasa kosong.Udara malam membawa aroma aspal yang masih hangat setelah terpapar sinar matahari sepanjang hari, bercampur dengan wangi hujan yang baru saja reda. Cahaya lampu jalan menyilaukan matanya, membentuk bayangan panjang di trotoar, sementara suara kendaraan masih bergema dari kejauhan.Amara berdiri sejenak di pinggir jalan, matanya menatap lurus ke depan. Tangannya yang masih dingin meraba saku jaketnya, meremas sudut kartu nama yang Laksha berikan saat pertemuan pertama mereka.Dulu, dia menganggap semua ini sebagai lelucon yang sulit dipercaya. Namun sekarang, dia telah menandatangani sebuah perjanjian yang akan mengikat hidupnya untuk setahun ke depan.Ponselnya bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesa

    Last Updated : 2025-02-06
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 9: Dunia Baru

    Mobil hitam yang mengkilap itu meluncur halus di jalan tol yang sepi, membelah kesunyian embun pagi yang masih memeluk Jakarta. Langit yang perlahan-lahan mulai terang, seakan malu-malu menuangkan warna jingga yang menari-nari di kaca jendela.Di dalamnya, Amara terdiam. Jari-jarinya saling mengunci erat di atas pangkuannya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya memandang jauh keluar jendela, namun pikirannya seolah hilang entah kemana.Yang terdengar hanyalah suara deru mesin yang menemaninya, serta detak jantungnya yang terasa ingin melompat keluar.Di sampingnya, Laksha mengemudi dengan tenang. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan apartemen Amara yang mungil itu tadi pagi. Dan jujur saja, Amara tak keberatan dengan keheningan itu.Ia masih berusaha mencerna kenyataan yang mengejutkan—bahwa dalam sekejap, hidupnya telah berubah drastis.Kini, ia berada dalam perjalanan menuju sebuah rumah yang asing baginya. Menuj

    Last Updated : 2025-02-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 10: Laksha yang Membingungkan

    Di tengah-tengah kamar yang terbentang luas, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih yang bersih berdiri anggun.Karpet tebal memeluk lantai, membentang hampir di seluruh penjuru ruangan, sementara jendela lebar yang terbuka menawarkan pemandangan menenangkan ke taman belakang yang hijau.Di salah satu sudut, terdapat meja kerja yang rapi dan sofa kecil yang mengundang, serta lemari pakaian besar yang tampaknya lebih luas dari kamar mandi di apartemen lama Amara.Dindingnya dicat dengan warna biru lembut, dihiasi dengan dekorasi yang sederhana namun elegan, menciptakan suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan kemewahan yang terasa berlebihan di ruangan lain di rumah besar ini.Seperti ada usaha khusus yang dilakukan untuk membuat ruangan ini terasa lebih nyaman dan menyambut bagi Amara.Amara memandang Laksha, rasa penasaran terpancar dari matanya. "Kamar ini..." katanya, sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Laksha menyela, "Khus

    Last Updated : 2025-02-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 11: Siapa Sebenarnya Laksha Wijanarko?

    Dapur rumah itu terasa lapang dan menyenangkan, dengan langit-langit yang menjulang tinggi serta dinding-dinding marmer yang berwarna abu-abu lembut, menawarkan kesan yang sekaligus megah dan mengundang.Rak-rak kayu menghiasi hampir setiap sisi ruangan, dipenuhi dengan koleksi gelas dan piring yang tampak tidak hanya berharga namun juga penuh cerita.Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang kokoh mendominasi, atasnya terdapat vas kaca yang elegan dengan susunan bunga lili putih yang tersusun begitu rapi dan menawan.Amara berdiri dengan anggun di depan kompor, tangannya yang mahir dengan cepat membalik telur dadar di atas wajan yang panas. Aroma telur yang menggugah selera bercampur sempurna dengan wangi roti panggang yang baru saja matang, menyebarkan keharuman yang mengisi setiap sudut ruangan.Sambil berpikir, Amara merenung kenapa ia masih berinisiatif menyiapkan sarapan setiap pagi. Mungkin ini karena dari kecil ia sudah terbiasa mengurus dirinya

    Last Updated : 2025-02-14
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 12: Makan Malam Canggung

    Suara dentingan sendok dan garpu bertemu dengan porselen menjadi satu-satunya melodi yang mengisi ruang makan besar itu. Lilin-lilin di tengah meja panjang memberikan cahaya keemasan yang lembut, memantulkan bayangan di atas gelas kristal berisi anggur merah. Aroma daging panggang dan saus krim memenuhi udara, tetapi bagi Amara, makanan di piringnya tampak seperti benda asing yang tak menggugah selera.Ia duduk di sebelah Laksha, merasa seperti tamu tak diundang di tengah keluarga ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko tetap tenang, seperti ratu yang duduk di singgasananya, anggun dan tak tersentuh. Di ujung meja, Aditya Wijanarko menatapnya tanpa ekspresi, matanya mengamati setiap gerak-geriknya dengan tajam. Dan di sisi lain, seorang wanita dengan gaun berwarna biru g

    Last Updated : 2025-02-14
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 13: Senyum Misterius Laksha

    Angin malam mengusap lembut kulit Amara, membelai helaian rambutnya yang tergerai ketika ia berdiri di balkon kamar. Dari tempatnya, pemandangan kota Jakarta terbentang luas, gemerlap lampu-lampu gedung bertaburan seperti bintang-bintang yang jatuh. Tapi keindahan itu tak mampu mengusir gelisah yang merayap di dadanya.Amara menyesap teh hangatnya pelan. Cairan itu seharusnya membawa ketenangan, tetapi rasa pahit samar yang tertinggal justru terasa seperti sesuatu yang lain—sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Di dalam kamar, Laksha duduk di depan meja kerja, membelakangi pintu balkon yang terbuka. Punggungnya tegap, tetapi bahunya terlihat lebih tegang dari biasanya. Lampu meja menerangi setengah wajahnya, menciptakan bayangan yang tajam di garis rahangnya.Sej

    Last Updated : 2025-02-15
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 14: Kehidupan yang Bertabrakan

    Gemerlap lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom hotel bintang lima, menciptakan pantulan keemasan di lantai marmer yang begitu mengilap hingga Amara bisa melihat bayangannya sendiri. Aroma wine mahal bercampur dengan wangi parfum eksklusif memenuhi udara, sementara dentingan gelas sampanye terdengar berbaur dengan suara percakapan yang mengalir halus di antara para tamu.Amara berdiri di sudut ruangan, jemarinya menggenggam batang gelas dengan erat, seolah itu satu-satunya yang bisa membuatnya tetap tenang. Gaun malam berwarna merah marun membalut tubuhnya, jatuh sempurna mengikuti lekuknya, tetapi tetap terasa asing di kulitnya. Rambutnya ditata elegan, bibirnya diberi sentuhan merah klasik—bukan dirinya yang biasa.Ia menarik napas dalam, berusaha membia

    Last Updated : 2025-02-15

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 159: Sepotong Kisah dalam Kotak Beludru

    Langit sore meredup perlahan, menghamparkan semburat keemasan yang membias di kaca jendela apartemen kecil mereka. Cahaya terakhir matahari berpendar lembut di permukaan lantai kayu, sementara angin tipis menyusup dari celah balkon, mengibarkan tirai putih yang setengah terbuka.Aroma teh melati yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar hujan yang tertinggal di udara, menciptakan kehangatan tersendiri di dalam ruangan yang sunyi.Amara baru saja keluar dari kamar mandi ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di meja makan. Sebuah kotak kecil berbungkus kain beludru biru tergeletak di antara kelopak mawar putih yang berserakan, seolah baru saja ditata dengan penuh ketelitian.Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melangkah mendekat, ujung jemarinya menyentuh permukaan meja yang terasa dingin di bawah cahaya temaram."Lak?" panggilnya, suaranya sedikit serak.Dari arah dapur, Laksha muncul dengan langkah santai. Satu tangan terselip di s

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 158: Ketika Pulang Bukan Sekadar Kembali

    Langit sore di Jakarta perlahan berpendar keemasan, membiaskan sinar hangat di antara gedung-gedung yang menjulang. Cahaya senja menimpa permukaan gerbang besi di hadapan Amara, memperlihatkan catnya yang mulai terkelupas dan karat yang merayap di beberapa sudut.Di baliknya, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat putih dengan halaman luas yang dipenuhi suara tawa anak-anak.Panti Asuhan Cahaya Harapan.Amara menghela napas pelan, membiarkan matanya menelusuri halaman yang hidup oleh gerak dan tawa. Seorang bocah lelaki berlari kecil, mengejar temannya yang terkikik sambil menoleh ke belakang.Di bawah pohon rindang, seorang anak perempuan duduk di atas ayunan, mengayun perlahan sambil memandang langit dengan mata berbinar. Di teras, beberapa anak sibuk dengan krayon warna-warni di tangan mereka, menciptakan dunia dalam garis dan warna di atas kertas.Pemandangan ini seharusnya membawa kehangatan, namun di dada Amara, ada sesuatu yang lebih dalam

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 157: Bukan Kontrak, Tapi Cinta Nyata

    Cahaya pagi menyusup lembut melalui celah-celah tirai jendela apartemen mereka, membias ke permukaan lantai kayu dengan semburat keemasan. Udara di dalam ruangan masih menyisakan kesejukan malam, bercampur samar dengan aroma kopi yang baru saja diseduh.Namun, di tengah ketenangan pagi itu, apartemen mereka bagaikan medan pertempuran kecil—tumpukan kain putih terlipat rapi di atas sofa, undangan yang berserakan di meja, dan kertas-kertas penuh coretan yang menandakan proses panjang persiapan pernikahan.Di antara semua kekacauan itu, Amara berdiri di depan cermin, jari-jarinya menyusuri lembut tekstur kain renda berwarna gading yang ia genggam. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, menyorot sepasang mata yang menyimpan berbagai perasaan.Perlahan, ia menarik napas, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa tak percaya dan kenyataan yang kini ada di hadapannya."Dulu aku nggak pernah kebayang bakal berdiri di sini, nyiapin pernikahan sama kamu.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 156: Menikah Lagi Tanpa Kebohongan

    Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 155: Pengakuan yang Terlambat, Kehampaan yang Tertinggal

    Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 154: Ayah, Aku Bukan Bayanganmu

    Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 153: Pelarian dari Kemewahan

    Mentari pagi merayap masuk melalui celah tirai tipis di apartemen mungil itu, menorehkan guratan-guratan cahaya keemasan di lantai kayu yang dingin. Udara masih segar, sisa embun semalam menyelimuti kaca jendela dalam lapisan tipis yang perlahan memudar.Di sudut dapur, aroma kopi hitam yang baru diseduh bercampur dengan wangi roti panggang—yang sayangnya, sedikit terlalu lama bersentuhan dengan panas. Amara berdiri di depan kompor dengan tangan bersedekap, alisnya bertaut melihat dua potong roti yang kini berwarna cokelat tua, nyaris melewati batas sempurna. Ia menghela napas, sebelum menoleh sekilas ke arah pria yang bersandar santai di meja dapur. "Seharusnya aku nggak percaya kamu buat masak sarapan," gumamnya malas. Laksha, hanya mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, tak tampak terganggu oleh nada protes itu. Ia meniup permukaan kopinya, menyeruput perlahan, lalu menatap hasil masakannya sendiri dengan ekspresi p

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 152: Jarak yang Tak Terucap

    Langit sore Jakarta berpendar lembut, mewarnai kaca-kaca gedung tinggi dengan semburat jingga yang temaram.Sinar matahari yang mulai meredup memantul di trotoar basah sisa hujan siang tadi, meninggalkan aroma tanah yang samar bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari sebuah kafe kecil di sudut kota.Angin sore berembus masuk lewat pintu yang sesekali terbuka, membawa serta aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Di salah satu sudut kafe, Amara duduk diam. Jemarinya melingkari cangkir kopi yang sudah mulai kehilangan hangatnya, tapi ia tidak berniat menyesapnya. Matanya tertuju ke permukaan cairan hitam itu, bukan karena tertarik, melainkan karena pikirannya terlalu berisik untuk memikirkan hal lain.Seolah-olah, jika ia menatap cukup lama, ia bisa menemukan jawaban di sana—atau setidaknya, sedikit ketenangan. Di hadapannya, Reza duduk dengan postur santai. Satu tangannya memegang cangkir, sementara yang lain bertump

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status