Beranda / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 159: Sepotong Kisah dalam Kotak Beludru

Share

Bab 159: Sepotong Kisah dalam Kotak Beludru

Penulis: Rizki Adinda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-29 18:10:42

Langit sore meredup perlahan, menghamparkan semburat keemasan yang membias di kaca jendela apartemen kecil mereka. Cahaya terakhir matahari berpendar lembut di permukaan lantai kayu, sementara angin tipis menyusup dari celah balkon, mengibarkan tirai putih yang setengah terbuka.

Aroma teh melati yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar hujan yang tertinggal di udara, menciptakan kehangatan tersendiri di dalam ruangan yang sunyi.

Amara baru saja keluar dari kamar mandi ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di meja makan. Sebuah kotak kecil berbungkus kain beludru biru tergeletak di antara kelopak mawar putih yang berserakan, seolah baru saja ditata dengan penuh ketelitian.

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melangkah mendekat, ujung jemarinya menyentuh permukaan meja yang terasa dingin di bawah cahaya temaram.

"Lak?" panggilnya, suaranya sedikit serak.

Dari arah dapur, Laksha muncul dengan langkah santai. Satu tangan terselip di s

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-29
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 161: Malam Terakhir, Janji Pertama

    Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-30
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 162: Saat Napas Terhenti di Altar

    Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-30
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

    TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 2: Pertemuan di Tengah Hiruk Pikuk

    "Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.Semuanya serupa.Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.Laksha Wijanarko.Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.Malam itu, dia hanya berdiri beberap

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 3: Tawaran Gila

    Laksha tersenyum, sebuah senyum yang lebih mengundang tanya daripada memberi jawaban. “Nggak tahu,” ujarnya seraya mengangkat gelasnya, memainkan whiskey di dalamnya sebelum meneguknya sampai habis. “Aku cuma penasaran.”“Penasaran apa?” Amara mempertahankan nada datarnya, meskipun di dalam hatinya, keingintahuan mulai bertunas.Laksha meletakkan gelasnya di meja, sedikit mencondongkan tubuh mendekati Amara. “Gimana rasanya jadi seseorang yang nggak bisa aku baca.”Amara terkekeh sinis. “Gue bukan teka-teki, Laksha.”“Tapi kamu bikin aku pengen nyari jawabannya,” lanjut Laksha, suaranya rendah, penuh dengan ketulusan yang tidak terduga.Mata mereka bertemu lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang tidak terucapkan, sebuah permainan tarik-ulur yang tidak hanya sederhana tapi juga kompleks.Amara tidak mengatakan apa-apa, menahan kata-kata yang berkecamuk di dalam dirinya. Di dalam hatinya, ia tahu—pria ini adalah masalah. Masalah besar. Dan dia belum tahu apakah dia puny

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 4: Batas Harga Diri

    Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.Dia serius.Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda.""Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sam

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 5: Keputusan Berat

    Keesokan harinya, Amara mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam kembali ke dalam rutinitas harian yang sederhana. Pagi hingga siang ia menghabiskan waktu di minimarket, dan malam dihabiskannya di klub.Semua terasa begitu rutin, tanpa ruang bagi hal-hal yang menurutnya tidak penting. Namun, betapapun kerasnya dia mencoba, pikirannya selalu tergelincir kembali ke satu hal yang sama.Atau lebih tepatnya, satu orang—Laksha.Saat sedang sibuk bekerja, sesekali Amara teringat ekspresi Laksha ketika ia mengajukan tawarannya. Tidak ada cemoohan, tidak ada nada merendahkan. Seolah bagi Laksha, tawaran itu tidak lebih dari sekedar transaksi bisnis biasa.Seolah-olah menjadikan seseorang sebagai istri hanyalah soal kontrak dan tanda tangan di atas kertas. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Amara sadar bahwa ia serius mempertimbangkan tawaran tersebut.Amara menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikan semua ini, ingin berpegang pada harga dirinya. Namun, realitas kehidupannya yang keras terus

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04

Bab terbaru

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 162: Saat Napas Terhenti di Altar

    Pagi di Jakarta menyapa dengan kehangatan yang berbeda. Matahari menebarkan sinarnya yang keemasan, menyusup di antara dedaunan hijau yang bergerak pelan tertiup angin.Di taman kecil yang telah disulap menjadi tempat pernikahan, tirai putih di altar sederhana berkibar lembut, seperti menari mengikuti alunan angin sepoi.Wangi mawar dan melati menyatu dengan udara, membentuk aroma yang menenangkan, bercampur dengan tawa ringan para tamu yang mulai memenuhi tempat itu.Di dalam ruang rias yang bersebelahan dengan taman, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan napas yang sedikit tertahan.Gaun putih yang membalut tubuhnya begitu sederhana—tanpa renda yang berlebihan, tanpa ekor panjang yang dramatis, namun justru itulah yang membuatnya terasa tepat. Bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang bagaimana gaun itu mencerminkan dirinya.Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia kendalikan. Jantungnya berdegup kencang, nyaris tak

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 161: Malam Terakhir, Janji Pertama

    Apartemen kecil mereka diselimuti kehangatan cahaya lampu temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dindingnya. Aroma tanah basah terselip di antara hembusan angin yang masuk dari balkon, membawa sisa-sisa hujan yang baru reda.Tirai bergoyang pelan, sesekali menyingkap pemandangan langit malam yang masih bertabur titik-titik air.Di dalam, keheningan terasa nyaman. Hanya ada mereka berdua—tanpa gangguan, tanpa kebisingan dunia luar. Di atas meja, dua cangkir teh mengepul perlahan, uapnya berbaur dengan udara hangat di dalam ruangan.Dari speaker kecil di sudut ruangan, alunan musik mengisi celah-celah keheningan, seperti bisikan lembut yang melengkapi suasana.Amara duduk di sofa, menarik selimut tipis hingga menutupi kakinya. Pandangannya jatuh ke jendela yang mulai berkabut, sementara jemarinya yang ramping sibuk menggurat lingkaran-lingkaran kecil di permukaan cangkir yang ia genggam.“Aku masih nggak percaya kita sampai

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 160: Pernikahan Kedua, Tanpa Kebohongan

    Mentari pagi merayap masuk lewat celah tirai apartemen, membias lembut di antara siluet furnitur, memberi rona keemasan pada ruang yang masih sunyi.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar kertas, menguar dari tumpukan undangan di atas meja makan—fragmen-fragmen kecil yang menandai lembaran baru dalam hidup mereka.Amara duduk di salah satu kursi, punggungnya sedikit membungkuk saat jemarinya mengelus permukaan undangan berwarna putih gading. Tinta emas di tepinya menangkap sinar matahari, berkilauan halus, seakan menyimpan makna yang lebih dari sekadar formalitas.Laksha & Amara – Babak BaruSebuah kalimat sederhana, tapi membawa begitu banyak cerita.Dari awal yang tidak biasa—kontrak yang mengikat mereka dalam kebersamaan yang nyaris tidak berperasaan.Dari pertengkaran yang tiada habisnya, hingga tawa yang kini lebih ringan, lebih tulus.Dari kebohongan yang sempat menyesakkan, hingga kebera

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 159: Sepotong Kisah dalam Kotak Beludru

    Langit sore meredup perlahan, menghamparkan semburat keemasan yang membias di kaca jendela apartemen kecil mereka. Cahaya terakhir matahari berpendar lembut di permukaan lantai kayu, sementara angin tipis menyusup dari celah balkon, mengibarkan tirai putih yang setengah terbuka.Aroma teh melati yang baru diseduh bercampur dengan wangi samar hujan yang tertinggal di udara, menciptakan kehangatan tersendiri di dalam ruangan yang sunyi.Amara baru saja keluar dari kamar mandi ketika matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa di meja makan. Sebuah kotak kecil berbungkus kain beludru biru tergeletak di antara kelopak mawar putih yang berserakan, seolah baru saja ditata dengan penuh ketelitian.Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melangkah mendekat, ujung jemarinya menyentuh permukaan meja yang terasa dingin di bawah cahaya temaram."Lak?" panggilnya, suaranya sedikit serak.Dari arah dapur, Laksha muncul dengan langkah santai. Satu tangan terselip di s

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 158: Ketika Pulang Bukan Sekadar Kembali

    Langit sore di Jakarta perlahan berpendar keemasan, membiaskan sinar hangat di antara gedung-gedung yang menjulang. Cahaya senja menimpa permukaan gerbang besi di hadapan Amara, memperlihatkan catnya yang mulai terkelupas dan karat yang merayap di beberapa sudut.Di baliknya, berdiri sebuah bangunan sederhana bercat putih dengan halaman luas yang dipenuhi suara tawa anak-anak.Panti Asuhan Cahaya Harapan.Amara menghela napas pelan, membiarkan matanya menelusuri halaman yang hidup oleh gerak dan tawa. Seorang bocah lelaki berlari kecil, mengejar temannya yang terkikik sambil menoleh ke belakang.Di bawah pohon rindang, seorang anak perempuan duduk di atas ayunan, mengayun perlahan sambil memandang langit dengan mata berbinar. Di teras, beberapa anak sibuk dengan krayon warna-warni di tangan mereka, menciptakan dunia dalam garis dan warna di atas kertas.Pemandangan ini seharusnya membawa kehangatan, namun di dada Amara, ada sesuatu yang lebih dalam

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 157: Bukan Kontrak, Tapi Cinta Nyata

    Cahaya pagi menyusup lembut melalui celah-celah tirai jendela apartemen mereka, membias ke permukaan lantai kayu dengan semburat keemasan. Udara di dalam ruangan masih menyisakan kesejukan malam, bercampur samar dengan aroma kopi yang baru saja diseduh.Namun, di tengah ketenangan pagi itu, apartemen mereka bagaikan medan pertempuran kecil—tumpukan kain putih terlipat rapi di atas sofa, undangan yang berserakan di meja, dan kertas-kertas penuh coretan yang menandakan proses panjang persiapan pernikahan.Di antara semua kekacauan itu, Amara berdiri di depan cermin, jari-jarinya menyusuri lembut tekstur kain renda berwarna gading yang ia genggam. Cahaya pagi menyentuh wajahnya, menyorot sepasang mata yang menyimpan berbagai perasaan.Perlahan, ia menarik napas, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara rasa tak percaya dan kenyataan yang kini ada di hadapannya."Dulu aku nggak pernah kebayang bakal berdiri di sini, nyiapin pernikahan sama kamu.

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 156: Menikah Lagi Tanpa Kebohongan

    Matahari sore menelusup lembut melalui jendela besar apartemen kecil mereka, menyiramkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh ruangan. Tirai putih yang setengah terbuka bergoyang pelan ditiup angin, menari dalam irama yang nyaris tak terdengar.Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang telah lama menyerap kehangatan rumah. Suasana senja begitu syahdu, seakan menjadi saksi bisu dari momen yang akan mengubah segalanya. Amara duduk bersila di sofa, layar laptopnya dipenuhi dengan gambar-gambar dekorasi pernikahan.Jari-jarinya yang ramping sesekali menyentuh touchpad, menggulir berbagai inspirasi—pesta sederhana di taman yang penuh bunga liar, pernikahan intim di pinggir pantai dengan debur ombak sebagai musik pengiring.Matanya yang berbinar menelusuri setiap detail, dan sesekali, senyum kecil muncul tanpa ia sadari. Dari dapur kecil di ujung ruangan, Laksha mengawasinya sambil menuangkan kopi ke

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 155: Pengakuan yang Terlambat, Kehampaan yang Tertinggal

    Udara malam membelai lembut kulit Laksha saat ia berdiri di balkon apartemen. Angin membawa aroma aspal basah yang samar bercampur dengan wangi teh hangat dalam genggamannya.Dari lantai sepuluh, Jakarta terbentang luas di hadapannya—hamparan cahaya berkilauan seolah bintang-bintang telah jatuh ke bumi, berkedip-kedip dalam keheningan yang kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana.Tangannya yang bebas terselip di saku celana, sementara pandangannya menerawang ke kejauhan, tapi pikirannya masih tertahan di satu momen yang terus bergema dalam benaknya.Tatapan ayahnya.Nada suaranya.Dan—lebih dari segalanya—kata-kata yang akhirnya keluar setelah bertahun-tahun ia tunggu."Kamu berhasil."Dua kata sederhana yang seharusnya membawa kelegaan, tapi justru mengguncang sesuatu di dalam dirinya. Pertahanan yang selama ini ia bangun perlahan runtuh, seperti dinding tua yang akhirnya retak setelah menahan te

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 154: Ayah, Aku Bukan Bayanganmu

    Suara percakapan membaur dengan denting halus gelas sampanye yang saling bersentuhan, memenuhi ballroom hotel bintang lima dengan atmosfer yang nyaris elektrik.Cahaya dari lampu gantung kristal raksasa berpendar di langit-langit berornamen mewah, jatuh ke lantai marmer yang mengilap, menciptakan refleksi yang hampir magis.Para tamu—pengusaha dengan jas mahal, jurnalis dengan kamera siaga, serta tokoh-tokoh penting yang namanya sering menghiasi halaman bisnis—bergerak di antara meja-meja cocktail, berbincang dalam nada santai namun sarat kepentingan. Di tengah keramaian itu, Laksha berdiri tegak, tubuhnya dibingkai sempurna oleh setelan hitam yang dipilih dengan saksama. Dari kejauhan, ia tampak sepenuhnya menguasai situasi—tatapannya tenang, posturnya tegap, seolah tak ada satu pun hal di ruangan ini yang bisa menggoyahkannya.Namun jika diperhatikan lebih dekat, ada ketegangan samar di rahangnya, jejak kegelisahan yang nyaris t

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status