Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.
Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.
Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.
Dia serius.
Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."
Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda."
"Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"
Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sama lain."
Kata 'kesepakatan' itu seakan membunyikan alarm dalam benak Amara, meningkatkan rasa curiganya.
Ia menatap Laksha dengan tatapan skeptis. "Baiklah, jelaskan maksudmu."
Laksha melirik jam tangannya sebentar, memastikan mereka memiliki cukup waktu untuk menjelaskan ini semua. Kemudian, dengan tatapan yang lebih serius, ia kembali menatap Amara.
"Aku membutuhkan seorang istri, hanya di atas kertas saja," ujarnya dengan santai. "Dan kamu… kamu adalah kandidat yang sempurna."
Amara melemparkan tawa sinis. "Oh? Dan mengapa aku?"
"Karena kamu tidak tertarik padaku," jawab Laksha.
Amara terdiam sejenak. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.
Laksha tersenyum tipis, menangkap kebingungan di wajah Amara. "Aku dikelilingi oleh wanita yang selalu punya agenda tersembunyi. Mereka ingin sesuatu dariku—uang, status, atau hubungan yang sebenarnya tidak aku inginkan."
Ia menghela napas sebelum melanjutkan. "Tapi kamu? Kamu bahkan tidak ingin berbicara denganku, apalagi menikah."
Amara mengerutkan kening. "Jadi kamu melamarku... karena aku tidak tertarik?"
"Precisely," jawab Laksha, suaranya rendah dan tenang. "Jika kita tidak memiliki perasaan satu sama lain, segalanya menjadi lebih mudah."
Amara tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Kau pikir pernikahan itu semacam transaksi bisnis? Kau kira aku akan setuju begitu saja?"
Laksha memasukkan tangan kembali ke dalam saku jaketnya. "Aku tidak menawarkan ini tanpa imbalan."
Amara menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu?"
"Aku akan membayarmu," ucap Laksha, suaranya penuh keyakinan. "Sejumlah yang cukup untuk membuat hidupmu lebih mudah."
Sejenak, Amara tidak menjawab.
Laksha menyadari perubahan sikapnya. Dia tahu bahwa ia telah menyentuh titik yang tepat.
"Aku tahu kamu bekerja di dua tempat untuk membayar sewa. Aku tahu kamu berjuang sendirian," kata Laksha, suaranya semakin dalam. "Aku bisa memberikan sesuatu yang belum pernah kamu miliki sebelumnya. Stabilitas."
Kata-kata itu menghantam Amara lebih keras daripada yang ia kira. Dia ingin marah, ingin mengatakan bahwa dia tidak butuh bantuan dari seorang pria kaya yang tidak pernah merasakan realita kehidupan seperti dirinya. Tapi tawaran itu...
Pernikahan kontrak, hanya untuk sementara. Dan dia akan mendapatkan uang yang cukup untuk mengubah hidupnya.
Namun, suara kecil dalam dirinya berbisik bahwa ini adalah ide paling gila yang pernah ia dengar.
Amara menghela napas, memandang pria di depannya dengan ketidakpercayaan penuh. "Kau gila," ujarnya.
Laksha mengangkat bahu, tidak membantah.
"Aku akan memberimu waktu untuk berpikir," ujarnya akhirnya. "Tapi jika kamu tertarik..."
Dia merogoh sesuatu dari saku jasnya dan menaruhnya di tangan Amara—sebuah kartu nama hitam dengan tulisan perak.
"Hubungi aku."
Amara memandangi kartu tersebut, lalu kembali menatap Laksha.
"Aku tidak akan menelepon," ucapnya.
Laksha tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti."
Kemudian dia berbalik, masuk ke dalam mobilnya, dan pergi, meninggalkan Amara berdiri di bawah lampu jalan yang temaram, dengan kepala yang tiba-tiba terasa penuh oleh sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan.
Malam semakin larut dan udara Jakarta yang biasanya hangat, malam itu terasa menusuk tulang. Angin malam yang tipis membawa aroma jalanan yang baru saja dibasahi oleh hujan sore tadi, memberikan kesan segar namun dingin.
Lampu jalan yang berpendar samar memberikan sedikit kehangatan pada trotoar yang mulai sepi, tempat Amara masih berdiri, merenungi kejadian yang baru saja berlalu.
Kartu nama hitam itu masih tergenggam di tangannya, ujung-ujungnya mulai kusut karena digenggam terlalu kuat.
"Laksha Wijanarko," namanya terpahat dengan tinta perak di atas permukaan yang halus dan dingin—mewah, elegan, dan memancarkan sedikit kesombongan, sangat mencerminkan pribadi pemiliknya.
Tawaran yang tiba-tiba itu masih bergema di kepalanya, berulang-ulang. "Aku butuh istri, sementara, hanya di atas kertas. Dan kamu… kamu adalah kandidat yang sempurna."
Amara mengerutkan kening, rahangnya mengeras. Seharusnya ia langsung membuang kartu itu ke selokan begitu tangan Laksha terulur memberikannya.
Namun, ia masih berdiri di sana, mempertimbangkan kemungkinan dari omong kosong yang ditawarkan Laksha. Dengan gerakan kasar, ia menyelipkan kartu nama itu ke dalam saku jaketnya dan mulai melangkah ke halte bus.
Langkahnya cepat dan tegas, seakan ingin segera meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan pertemuan itu.
Namun, bayang-bayang Laksha masih menghantui pikirannya. Tatapan matanya yang tajam, suaranya yang penuh percaya diri, seolah seluruh dunia akan tunduk pada kemauannya.
Dan yang paling menyebalkan dari semua itu? Ia benar. Amara menghela napas panjang ketika bus hampir kosong tiba, dan ia naik ke dalamnya. Ia memilih duduk di dekat jendela, kepalanya bersandar pada kaca dingin, matanya menatap keluar.
Jakarta masih terjaga, meskipun waktu telah menunjukkan larut malam. Lampu kendaraan masih berlalu lalang di jalan, orang-orang masih sibuk dengan urusan mereka. Seharusnya ia juga begitu, seharusnya ia sudah melupakan pertemuan itu dan fokus pada kehidupan pribadinya.
Tetapi tawaran Laksha...
Jari-jarinya yang berada di saku jaket meremas kartu nama itu lagi. Uang yang ditawarkan cukup untuk mengubah banyak hal. Dengan uang tersebut, ia bisa membayar sewa apartemen selama bertahun-tahun, melanjutkan pendidikan yang sudah lama ia kubur.
Pernikahan kontrak, hanya sebuah kata yang terdengar seperti lelucon atau plot drama televisi, bukan bagian dari kehidupannya yang keras dan nyata.
Amara menutup mata, berusaha keras untuk menepis semua pikiran yang berkaitan dengan tawaran Laksha. Bodoh. Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi tidak dengan harga diri dan kebebasannya.
Malam itu, bus yang hampir kosong terus melaju, membawanya menjauh dari pusat kota, tetapi tidak cukup jauh untuk menghilangkan bayang-bayang yang telah menancap dalam benaknya.
Keesokan harinya, Amara mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam kembali ke dalam rutinitas harian yang sederhana. Pagi hingga siang ia menghabiskan waktu di minimarket, dan malam dihabiskannya di klub.Semua terasa begitu rutin, tanpa ruang bagi hal-hal yang menurutnya tidak penting. Namun, betapapun kerasnya dia mencoba, pikirannya selalu tergelincir kembali ke satu hal yang sama.Atau lebih tepatnya, satu orang—Laksha.Saat sedang sibuk bekerja, sesekali Amara teringat ekspresi Laksha ketika ia mengajukan tawarannya. Tidak ada cemoohan, tidak ada nada merendahkan. Seolah bagi Laksha, tawaran itu tidak lebih dari sekedar transaksi bisnis biasa.Seolah-olah menjadikan seseorang sebagai istri hanyalah soal kontrak dan tanda tangan di atas kertas. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Amara sadar bahwa ia serius mempertimbangkan tawaran tersebut.Amara menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikan semua ini, ingin berpegang pada harga dirinya. Namun, realitas kehidupannya yang keras terus
Mereka bertemu di sebuah kafe yang hangat dan penuh dengan cahaya yang meresap lembut melalui jendela besar di tengah hiruk-pikuk SCBD.Amara memilih tempat ini dengan sengaja—tempat yang netral dan nyaman, bukan restoran yang terlalu mewah atau bar yang gema dengan kebisingan, karena dia ingin tempat yang bisa membuatnya tetap tenang dan fokus pada pembicaraan penting yang akan terjadi.Laksha sudah ada di sana, menunggu dengan penuh kesabaran. Dia duduk di sudut kafe, terlihat elegan dengan jas hitamnya yang sempurna, sebuah kontras yang mencolok dengan kesederhanaan tempat ini.Ketika Amara melangkah masuk, mata Laksha langsung menangkap sosoknya, tatapan mereka bertemu tanpa hambatan. Tak ada kejutan atau keingintahuan yang tergambar di wajahnya—hanya sebuah kepastian yang tenang, seolah-olah dia sudah tahu pasti bahwa Amara akan datang.Dengan langkah yang mantap namun lembut, Amara mendekati meja dan menarik kursi dengan gerakan yang halus. “Jika aku menerima tawaranmu,” katanya
Ruangan itu tak hanya luas, tetapi juga dingin yang menusuk tulang. Dinding kaca yang membentang di belakang meja panjang itu seolah menjadi jendela raksasa yang menghadap ke jantung Jakarta dari puncak gedung perkantoran Wijanarko Group.Gedung-gedung menjulang tinggi memecah keemasan langit senja, sementara di bawah sana, mobil-mobil meliuk-liuk di jalanan, menciptakan aliran cahaya yang tak pernah padam, bagaikan sungai yang terus mengalir tanpa henti.Amara duduk dengan postur tegak, menempati salah satu kursi kulit hitam yang terlihat lebih mahal dari total tabungan yang pernah ia miliki. Tangannya yang mungil terlipat rapi di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan denyut kegelisahan yang tak kunjung reda.Di depannya, selembar kontrak terbentang rapi di atas meja kaca, tulisannya hitam di atas putih. Banyak kata tercetak di sana, namun yang terlihat oleh Amara hanyalah refleksi samar masa depannya yang sebentar lagi akan berubah drastis.Di sisi meja yang berlawanan, Laksha duduk
Amara berjalan keluar dari gedung Wijanarko Group dengan langkah yang terasa semakin berat. Malam di Jakarta menyambutnya dengan hembusan udara yang lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu penuh hingga membuat tubuhnya ikut terasa kosong.Udara malam membawa aroma aspal yang masih hangat setelah terpapar sinar matahari sepanjang hari, bercampur dengan wangi hujan yang baru saja reda. Cahaya lampu jalan menyilaukan matanya, membentuk bayangan panjang di trotoar, sementara suara kendaraan masih bergema dari kejauhan.Amara berdiri sejenak di pinggir jalan, matanya menatap lurus ke depan. Tangannya yang masih dingin meraba saku jaketnya, meremas sudut kartu nama yang Laksha berikan saat pertemuan pertama mereka.Dulu, dia menganggap semua ini sebagai lelucon yang sulit dipercaya. Namun sekarang, dia telah menandatangani sebuah perjanjian yang akan mengikat hidupnya untuk setahun ke depan.Ponselnya bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesa
Mobil hitam yang mengkilap itu meluncur halus di jalan tol yang sepi, membelah kesunyian embun pagi yang masih memeluk Jakarta. Langit yang perlahan-lahan mulai terang, seakan malu-malu menuangkan warna jingga yang menari-nari di kaca jendela.Di dalamnya, Amara terdiam. Jari-jarinya saling mengunci erat di atas pangkuannya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya memandang jauh keluar jendela, namun pikirannya seolah hilang entah kemana.Yang terdengar hanyalah suara deru mesin yang menemaninya, serta detak jantungnya yang terasa ingin melompat keluar.Di sampingnya, Laksha mengemudi dengan tenang. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan apartemen Amara yang mungil itu tadi pagi. Dan jujur saja, Amara tak keberatan dengan keheningan itu.Ia masih berusaha mencerna kenyataan yang mengejutkan—bahwa dalam sekejap, hidupnya telah berubah drastis.Kini, ia berada dalam perjalanan menuju sebuah rumah yang asing baginya. Menuj
Di tengah-tengah kamar yang terbentang luas, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih yang bersih berdiri anggun.Karpet tebal memeluk lantai, membentang hampir di seluruh penjuru ruangan, sementara jendela lebar yang terbuka menawarkan pemandangan menenangkan ke taman belakang yang hijau.Di salah satu sudut, terdapat meja kerja yang rapi dan sofa kecil yang mengundang, serta lemari pakaian besar yang tampaknya lebih luas dari kamar mandi di apartemen lama Amara.Dindingnya dicat dengan warna biru lembut, dihiasi dengan dekorasi yang sederhana namun elegan, menciptakan suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan kemewahan yang terasa berlebihan di ruangan lain di rumah besar ini.Seperti ada usaha khusus yang dilakukan untuk membuat ruangan ini terasa lebih nyaman dan menyambut bagi Amara.Amara memandang Laksha, rasa penasaran terpancar dari matanya. "Kamar ini..." katanya, sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Laksha menyela, "Khus
Dapur rumah itu terasa lapang dan menyenangkan, dengan langit-langit yang menjulang tinggi serta dinding-dinding marmer yang berwarna abu-abu lembut, menawarkan kesan yang sekaligus megah dan mengundang.Rak-rak kayu menghiasi hampir setiap sisi ruangan, dipenuhi dengan koleksi gelas dan piring yang tampak tidak hanya berharga namun juga penuh cerita.Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang kokoh mendominasi, atasnya terdapat vas kaca yang elegan dengan susunan bunga lili putih yang tersusun begitu rapi dan menawan.Amara berdiri dengan anggun di depan kompor, tangannya yang mahir dengan cepat membalik telur dadar di atas wajan yang panas. Aroma telur yang menggugah selera bercampur sempurna dengan wangi roti panggang yang baru saja matang, menyebarkan keharuman yang mengisi setiap sudut ruangan.Sambil berpikir, Amara merenung kenapa ia masih berinisiatif menyiapkan sarapan setiap pagi. Mungkin ini karena dari kecil ia sudah terbiasa mengurus dirinya
Suara dentingan sendok dan garpu bertemu dengan porselen menjadi satu-satunya melodi yang mengisi ruang makan besar itu. Lilin-lilin di tengah meja panjang memberikan cahaya keemasan yang lembut, memantulkan bayangan di atas gelas kristal berisi anggur merah. Aroma daging panggang dan saus krim memenuhi udara, tetapi bagi Amara, makanan di piringnya tampak seperti benda asing yang tak menggugah selera.Ia duduk di sebelah Laksha, merasa seperti tamu tak diundang di tengah keluarga ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko tetap tenang, seperti ratu yang duduk di singgasananya, anggun dan tak tersentuh. Di ujung meja, Aditya Wijanarko menatapnya tanpa ekspresi, matanya mengamati setiap gerak-geriknya dengan tajam. Dan di sisi lain, seorang wanita dengan gaun berwarna biru g
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja
Hujan gerimis mulai turun, menciptakan pola samar di kaca depan mobil saat Laksha membawa Amara keluar dari hiruk-pikuk jalanan Jakarta. Sorot lampu kendaraan lain menari di permukaan jalan yang basah, memantulkan cahaya ke dalam kabin yang hening.Di antara mereka, hanya ada suara napas dan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya—entah karena udara yang terlalu sesak atau perasaan yang sulit diurai.Amara menatap keluar, matanya mengikuti butiran hujan yang mengalir perlahan di jendela. Tangannya menggenggam erat koper kecil di pangkuannya, seolah itu adalah jangkar terakhir yang bisa menahannya tetap teguh.Namun, ia tahu, sejak Laksha datang mengejarnya, pertahanannya mulai goyah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang menghancurkan tembok yang susah payah ia bangun.Sementara itu, Laksha tetap mengemudi dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Rahangnya mengeras, garis wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. Matanya lurus men
Angin malam menyapu jalanan Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan jendela-jendela yang masih menyala, sementara deretan lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di aspal yang basah oleh sisa gerimis.Di dalam taksi yang melaju di antara arus kendaraan, Amara duduk diam, pandangannya menerobos jendela, menatap tanpa benar-benar melihat. Kelap-kelip lampu kendaraan lain membentuk semburat warna yang samar, bercampur dengan bayangan pikirannya sendiri.Dadanya terasa sesak.Tangannya yang dingin menggenggam erat tepi koper kecil di pangkuannya, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa. Berulang kali ia mencoba mengatur napas, berusaha menenangkan dirinya dengan keyakinan bahwa ini adalah keputusan yang benar.Namun, semakin ia berusaha meyakinkan diri, semakin sakit perasaannya."Jangan bicara seolah kau tahu apa yang akan aku sesali!"Suara Laksha masih menggema di kepalany