Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.
Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.
Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.
Dia serius.
Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."
Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda."
"Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"
Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sama lain."
Kata 'kesepakatan' itu seakan membunyikan alarm dalam benak Amara, meningkatkan rasa curiganya.
Ia menatap Laksha dengan tatapan skeptis. "Baiklah, jelaskan maksudmu."
Laksha melirik jam tangannya sebentar, memastikan mereka memiliki cukup waktu untuk menjelaskan ini semua. Kemudian, dengan tatapan yang lebih serius, ia kembali menatap Amara.
"Aku membutuhkan seorang istri, hanya di atas kertas saja," ujarnya dengan santai. "Dan kamu… kamu adalah kandidat yang sempurna."
Amara melemparkan tawa sinis. "Oh? Dan mengapa aku?"
"Karena kamu tidak tertarik padaku," jawab Laksha.
Amara terdiam sejenak. Itu bukan jawaban yang ia harapkan.
Laksha tersenyum tipis, menangkap kebingungan di wajah Amara. "Aku dikelilingi oleh wanita yang selalu punya agenda tersembunyi. Mereka ingin sesuatu dariku—uang, status, atau hubungan yang sebenarnya tidak aku inginkan."
Ia menghela napas sebelum melanjutkan. "Tapi kamu? Kamu bahkan tidak ingin berbicara denganku, apalagi menikah."
Amara mengerutkan kening. "Jadi kamu melamarku... karena aku tidak tertarik?"
"Precisely," jawab Laksha, suaranya rendah dan tenang. "Jika kita tidak memiliki perasaan satu sama lain, segalanya menjadi lebih mudah."
Amara tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Kau pikir pernikahan itu semacam transaksi bisnis? Kau kira aku akan setuju begitu saja?"
Laksha memasukkan tangan kembali ke dalam saku jaketnya. "Aku tidak menawarkan ini tanpa imbalan."
Amara menatapnya dengan tajam. "Apa maksudmu?"
"Aku akan membayarmu," ucap Laksha, suaranya penuh keyakinan. "Sejumlah yang cukup untuk membuat hidupmu lebih mudah."
Sejenak, Amara tidak menjawab.
Laksha menyadari perubahan sikapnya. Dia tahu bahwa ia telah menyentuh titik yang tepat.
"Aku tahu kamu bekerja di dua tempat untuk membayar sewa. Aku tahu kamu berjuang sendirian," kata Laksha, suaranya semakin dalam. "Aku bisa memberikan sesuatu yang belum pernah kamu miliki sebelumnya. Stabilitas."
Kata-kata itu menghantam Amara lebih keras daripada yang ia kira. Dia ingin marah, ingin mengatakan bahwa dia tidak butuh bantuan dari seorang pria kaya yang tidak pernah merasakan realita kehidupan seperti dirinya. Tapi tawaran itu...
Pernikahan kontrak, hanya untuk sementara. Dan dia akan mendapatkan uang yang cukup untuk mengubah hidupnya.
Namun, suara kecil dalam dirinya berbisik bahwa ini adalah ide paling gila yang pernah ia dengar.
Amara menghela napas, memandang pria di depannya dengan ketidakpercayaan penuh. "Kau gila," ujarnya.
Laksha mengangkat bahu, tidak membantah.
"Aku akan memberimu waktu untuk berpikir," ujarnya akhirnya. "Tapi jika kamu tertarik..."
Dia merogoh sesuatu dari saku jasnya dan menaruhnya di tangan Amara—sebuah kartu nama hitam dengan tulisan perak.
"Hubungi aku."
Amara memandangi kartu tersebut, lalu kembali menatap Laksha.
"Aku tidak akan menelepon," ucapnya.
Laksha tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti."
Kemudian dia berbalik, masuk ke dalam mobilnya, dan pergi, meninggalkan Amara berdiri di bawah lampu jalan yang temaram, dengan kepala yang tiba-tiba terasa penuh oleh sesuatu yang seharusnya tidak dia pikirkan.
Malam semakin larut dan udara Jakarta yang biasanya hangat, malam itu terasa menusuk tulang. Angin malam yang tipis membawa aroma jalanan yang baru saja dibasahi oleh hujan sore tadi, memberikan kesan segar namun dingin.
Lampu jalan yang berpendar samar memberikan sedikit kehangatan pada trotoar yang mulai sepi, tempat Amara masih berdiri, merenungi kejadian yang baru saja berlalu.
Kartu nama hitam itu masih tergenggam di tangannya, ujung-ujungnya mulai kusut karena digenggam terlalu kuat.
"Laksha Wijanarko," namanya terpahat dengan tinta perak di atas permukaan yang halus dan dingin—mewah, elegan, dan memancarkan sedikit kesombongan, sangat mencerminkan pribadi pemiliknya.
Tawaran yang tiba-tiba itu masih bergema di kepalanya, berulang-ulang. "Aku butuh istri, sementara, hanya di atas kertas. Dan kamu… kamu adalah kandidat yang sempurna."
Amara mengerutkan kening, rahangnya mengeras. Seharusnya ia langsung membuang kartu itu ke selokan begitu tangan Laksha terulur memberikannya.
Namun, ia masih berdiri di sana, mempertimbangkan kemungkinan dari omong kosong yang ditawarkan Laksha. Dengan gerakan kasar, ia menyelipkan kartu nama itu ke dalam saku jaketnya dan mulai melangkah ke halte bus.
Langkahnya cepat dan tegas, seakan ingin segera meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan pertemuan itu.
Namun, bayang-bayang Laksha masih menghantui pikirannya. Tatapan matanya yang tajam, suaranya yang penuh percaya diri, seolah seluruh dunia akan tunduk pada kemauannya.
Dan yang paling menyebalkan dari semua itu? Ia benar. Amara menghela napas panjang ketika bus hampir kosong tiba, dan ia naik ke dalamnya. Ia memilih duduk di dekat jendela, kepalanya bersandar pada kaca dingin, matanya menatap keluar.
Jakarta masih terjaga, meskipun waktu telah menunjukkan larut malam. Lampu kendaraan masih berlalu lalang di jalan, orang-orang masih sibuk dengan urusan mereka. Seharusnya ia juga begitu, seharusnya ia sudah melupakan pertemuan itu dan fokus pada kehidupan pribadinya.
Tetapi tawaran Laksha...
Jari-jarinya yang berada di saku jaket meremas kartu nama itu lagi. Uang yang ditawarkan cukup untuk mengubah banyak hal. Dengan uang tersebut, ia bisa membayar sewa apartemen selama bertahun-tahun, melanjutkan pendidikan yang sudah lama ia kubur.
Pernikahan kontrak, hanya sebuah kata yang terdengar seperti lelucon atau plot drama televisi, bukan bagian dari kehidupannya yang keras dan nyata.
Amara menutup mata, berusaha keras untuk menepis semua pikiran yang berkaitan dengan tawaran Laksha. Bodoh. Uang memang bisa membeli banyak hal, tapi tidak dengan harga diri dan kebebasannya.
Malam itu, bus yang hampir kosong terus melaju, membawanya menjauh dari pusat kota, tetapi tidak cukup jauh untuk menghilangkan bayang-bayang yang telah menancap dalam benaknya.
Keesokan harinya, Amara mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam kembali ke dalam rutinitas harian yang sederhana. Pagi hingga siang ia menghabiskan waktu di minimarket, dan malam dihabiskannya di klub.Semua terasa begitu rutin, tanpa ruang bagi hal-hal yang menurutnya tidak penting. Namun, betapapun kerasnya dia mencoba, pikirannya selalu tergelincir kembali ke satu hal yang sama.Atau lebih tepatnya, satu orang—Laksha.Saat sedang sibuk bekerja, sesekali Amara teringat ekspresi Laksha ketika ia mengajukan tawarannya. Tidak ada cemoohan, tidak ada nada merendahkan. Seolah bagi Laksha, tawaran itu tidak lebih dari sekedar transaksi bisnis biasa.Seolah-olah menjadikan seseorang sebagai istri hanyalah soal kontrak dan tanda tangan di atas kertas. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Amara sadar bahwa ia serius mempertimbangkan tawaran tersebut.Amara menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikan semua ini, ingin berpegang pada harga dirinya. Namun, realitas kehidupannya yang keras terus
Mereka bertemu di sebuah kafe yang hangat dan penuh dengan cahaya yang meresap lembut melalui jendela besar di tengah hiruk-pikuk SCBD.Amara memilih tempat ini dengan sengaja—tempat yang netral dan nyaman, bukan restoran yang terlalu mewah atau bar yang gema dengan kebisingan, karena dia ingin tempat yang bisa membuatnya tetap tenang dan fokus pada pembicaraan penting yang akan terjadi.Laksha sudah ada di sana, menunggu dengan penuh kesabaran. Dia duduk di sudut kafe, terlihat elegan dengan jas hitamnya yang sempurna, sebuah kontras yang mencolok dengan kesederhanaan tempat ini.Ketika Amara melangkah masuk, mata Laksha langsung menangkap sosoknya, tatapan mereka bertemu tanpa hambatan. Tak ada kejutan atau keingintahuan yang tergambar di wajahnya—hanya sebuah kepastian yang tenang, seolah-olah dia sudah tahu pasti bahwa Amara akan datang.Dengan langkah yang mantap namun lembut, Amara mendekati meja dan menarik kursi dengan gerakan yang halus. “Jika aku menerima tawaranmu,” katanya
Ruangan itu tak hanya luas, tetapi juga dingin yang menusuk tulang. Dinding kaca yang membentang di belakang meja panjang itu seolah menjadi jendela raksasa yang menghadap ke jantung Jakarta dari puncak gedung perkantoran Wijanarko Group.Gedung-gedung menjulang tinggi memecah keemasan langit senja, sementara di bawah sana, mobil-mobil meliuk-liuk di jalanan, menciptakan aliran cahaya yang tak pernah padam, bagaikan sungai yang terus mengalir tanpa henti.Amara duduk dengan postur tegak, menempati salah satu kursi kulit hitam yang terlihat lebih mahal dari total tabungan yang pernah ia miliki. Tangannya yang mungil terlipat rapi di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan denyut kegelisahan yang tak kunjung reda.Di depannya, selembar kontrak terbentang rapi di atas meja kaca, tulisannya hitam di atas putih. Banyak kata tercetak di sana, namun yang terlihat oleh Amara hanyalah refleksi samar masa depannya yang sebentar lagi akan berubah drastis.Di sisi meja yang berlawanan, Laksha duduk
Amara berjalan keluar dari gedung Wijanarko Group dengan langkah yang terasa semakin berat. Malam di Jakarta menyambutnya dengan hembusan udara yang lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu penuh hingga membuat tubuhnya ikut terasa kosong.Udara malam membawa aroma aspal yang masih hangat setelah terpapar sinar matahari sepanjang hari, bercampur dengan wangi hujan yang baru saja reda. Cahaya lampu jalan menyilaukan matanya, membentuk bayangan panjang di trotoar, sementara suara kendaraan masih bergema dari kejauhan.Amara berdiri sejenak di pinggir jalan, matanya menatap lurus ke depan. Tangannya yang masih dingin meraba saku jaketnya, meremas sudut kartu nama yang Laksha berikan saat pertemuan pertama mereka.Dulu, dia menganggap semua ini sebagai lelucon yang sulit dipercaya. Namun sekarang, dia telah menandatangani sebuah perjanjian yang akan mengikat hidupnya untuk setahun ke depan.Ponselnya bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesa
Mobil hitam yang mengkilap itu meluncur halus di jalan tol yang sepi, membelah kesunyian embun pagi yang masih memeluk Jakarta. Langit yang perlahan-lahan mulai terang, seakan malu-malu menuangkan warna jingga yang menari-nari di kaca jendela.Di dalamnya, Amara terdiam. Jari-jarinya saling mengunci erat di atas pangkuannya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya memandang jauh keluar jendela, namun pikirannya seolah hilang entah kemana.Yang terdengar hanyalah suara deru mesin yang menemaninya, serta detak jantungnya yang terasa ingin melompat keluar.Di sampingnya, Laksha mengemudi dengan tenang. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan apartemen Amara yang mungil itu tadi pagi. Dan jujur saja, Amara tak keberatan dengan keheningan itu.Ia masih berusaha mencerna kenyataan yang mengejutkan—bahwa dalam sekejap, hidupnya telah berubah drastis.Kini, ia berada dalam perjalanan menuju sebuah rumah yang asing baginya. Menuj
Di tengah-tengah kamar yang terbentang luas, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih yang bersih berdiri anggun.Karpet tebal memeluk lantai, membentang hampir di seluruh penjuru ruangan, sementara jendela lebar yang terbuka menawarkan pemandangan menenangkan ke taman belakang yang hijau.Di salah satu sudut, terdapat meja kerja yang rapi dan sofa kecil yang mengundang, serta lemari pakaian besar yang tampaknya lebih luas dari kamar mandi di apartemen lama Amara.Dindingnya dicat dengan warna biru lembut, dihiasi dengan dekorasi yang sederhana namun elegan, menciptakan suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan kemewahan yang terasa berlebihan di ruangan lain di rumah besar ini.Seperti ada usaha khusus yang dilakukan untuk membuat ruangan ini terasa lebih nyaman dan menyambut bagi Amara.Amara memandang Laksha, rasa penasaran terpancar dari matanya. "Kamar ini..." katanya, sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Laksha menyela, "Khus
Dapur rumah itu terasa lapang dan menyenangkan, dengan langit-langit yang menjulang tinggi serta dinding-dinding marmer yang berwarna abu-abu lembut, menawarkan kesan yang sekaligus megah dan mengundang.Rak-rak kayu menghiasi hampir setiap sisi ruangan, dipenuhi dengan koleksi gelas dan piring yang tampak tidak hanya berharga namun juga penuh cerita.Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang kokoh mendominasi, atasnya terdapat vas kaca yang elegan dengan susunan bunga lili putih yang tersusun begitu rapi dan menawan.Amara berdiri dengan anggun di depan kompor, tangannya yang mahir dengan cepat membalik telur dadar di atas wajan yang panas. Aroma telur yang menggugah selera bercampur sempurna dengan wangi roti panggang yang baru saja matang, menyebarkan keharuman yang mengisi setiap sudut ruangan.Sambil berpikir, Amara merenung kenapa ia masih berinisiatif menyiapkan sarapan setiap pagi. Mungkin ini karena dari kecil ia sudah terbiasa mengurus dirinya
Suara dentingan sendok dan garpu bertemu dengan porselen menjadi satu-satunya melodi yang mengisi ruang makan besar itu. Lilin-lilin di tengah meja panjang memberikan cahaya keemasan yang lembut, memantulkan bayangan di atas gelas kristal berisi anggur merah. Aroma daging panggang dan saus krim memenuhi udara, tetapi bagi Amara, makanan di piringnya tampak seperti benda asing yang tak menggugah selera.Ia duduk di sebelah Laksha, merasa seperti tamu tak diundang di tengah keluarga ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko tetap tenang, seperti ratu yang duduk di singgasananya, anggun dan tak tersentuh. Di ujung meja, Aditya Wijanarko menatapnya tanpa ekspresi, matanya mengamati setiap gerak-geriknya dengan tajam. Dan di sisi lain, seorang wanita dengan gaun berwarna biru g
Angin malam berembus lembut melalui celah jendela besar di kamar Amara, membawa serta aroma tanah basah yang khas setelah hujan.Dari kejauhan, langit Jakarta yang kelam diterangi gemerlap lampu-lampu pencakar langit, menciptakan pendar cahaya yang seakan berkilauan di balik tirai tipis yang bergerak pelan.Namun, di dalam kamar itu, suasana justru terasa berat—seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dua sosok yang kini duduk berseberangan di atas sofa. Laksha melangkah masuk tanpa benar-benar menyadari keberadaan Amara. Jaket yang dikenakannya ia lemparkan sembarangan ke kursi di dekat meja kerja, gerakannya sedikit kasar dan tergesa.Bahunya yang tegang, napasnya yang masih sedikit memburu—semua itu memberi isyarat jelas bahwa pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan ayahnya. Amara menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat dalam benaknya. Ia tahu betul bahwa Laksha
"Aku tidak peduli kau menikah dengan siapa," suara Aditya terdengar rendah, nyaris seperti geraman yang tertahan. "Tapi aku ingin melihat komitmen. Aku ingin melihat kau benar-benar bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan sekadar membuat kesepakatan yang kosong."Laksha tertawa pendek, getir. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa seseorang yang lelah, yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu."Tanggung jawab?" ulangnya, seakan mencicipi kata itu dengan sarkasme yang tajam. "Kau bicara tentang tanggung jawab, tapi sepanjang hidupku, aku hanya berusaha memenuhi standar yang bahkan kau sendiri tidak pernah jelaskan dengan jelas."Tatapan Aditya tetap tajam, tidak berubah sedikit pun. "Kedewasaan tidak bisa diajarkan, Laksha," katanya, nada suaranya tetap tegas. "Itu harus dipelajari sendiri. Dan sampai hari ini, aku masih melihat bocah yang keras kepala, yang lebih peduli pada egonya daripada pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."
Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya neon yang berpendar, mencerminkan gemerlap kota yang tak pernah tidur.Namun, di dalam rumah keluarga Wijanarko, suasana terasa kontras—dingin, tegang, dan penuh tekanan yang menggantung di udara seperti hujan yang tertahan di langit sebelum akhirnya turun dengan deras.Amara melangkah pelan di koridor lantai dua, nyaris tanpa suara di atas marmer dingin yang memantulkan cahaya lampu gantung.Sebenarnya, ia hanya ingin turun ke dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara laki-laki dari balik pintu ruang kerja yang sedikit terbuka.Awalnya, ia berniat untuk berlalu begitu saja. Ini bukan urusannya. Ia tak ingin terlibat dalam permasalahan pribadi Laksha dan keluarganya. Namun, nada suara yang terdengar dari dalam ruangan begitu keras, dipenuhi emosi yang mentah, membuatnya ragu."Aku sudah muak, Ayah!"Langkahnya terhenti. Itu suara La
Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang merayap pelan melalui kaca jendela apartemen. Embun tipis masih menggantung di permukaannya, membiaskan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang berpendar seperti bintang jatuh.Cahaya redup dari luar menciptakan pantulan samar di meja makan, memperkuat keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Di dapur, aroma bawang goreng dan kuah kaldu yang hangat perlahan mengambil alih ruangan, menggantikan sisa wangi kopi yang sebelumnya mendominasi. Di tengah meja, dua mangkuk mi instan mengepulkan asap tipis—sederhana, kontras dengan interior mewah yang mengelilinginya. Amara menatap mangkuknya tanpa banyak gerakan, sumpit di tangannya melayang di atas mi yang tampak sedikit terlalu kental. Ekspresinya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.Sementara di seberangnya, Laksha tampak lebih santai, menyendok mi buatannya dengan percaya diri—seakan ia baru sa
Langit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da
Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya
Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya
Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi
Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.Ia pernah berp