Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.
Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.
Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga.
Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.
Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
TIN! Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus. Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan. Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu. S
"Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.Semuanya serupa.Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.Laksha Wijanarko.Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.Malam itu, dia hanya berdiri beberap
Ruang keluarga kediaman Wijanarko bermandikan cahaya keemasan dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Pancaran hangatnya membias di permukaan meja kaca, memantulkan siluet samar dari cangkir-cangkir teh yang tersusun rapi.Aroma melati yang baru diseduh melayang di udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam dan sulit dijabarkan—tegangan halus yang merayap di antara orang-orang yang duduk di dalamnya. Indira Wijanarko duduk di salah satu sofa kulit berwarna krem, punggungnya lurus sempurna, tangan bersedekap di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, nyaris tak terbaca, seperti lukisan yang disusun dengan palet warna-warna lembut.Tapi di matanya, ada sesuatu yang berbeda—ketegasan yang selama ini jarang muncul, sesuatu yang bahkan membuat ruangan terasa lebih sempit. Di seberangnya, Laksha duduk dengan satu kaki disilangkan, gerakannya terlihat santai, tapi ketegangan menjalar dari garis-garis rahangnya
Pagi itu, udara masih terasa sejuk, menyisakan embun tipis di dedaunan yang berkilau diterpa cahaya matahari yang mulai naik.Di sebuah ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang mulai sibuk, Laksha duduk di kursi kerja dengan punggung tegak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja. Di seberangnya, Amara berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya menampakkan ekspresi berpikir.Mereka harus mulai mengambil langkah.Pertama, media.Kabar tentang pernikahan mereka sudah menyebar seperti api yang tersulut angin. Tak semua berita menyajikan kisah romantis dua insan yang memilih bersama.Sebagian justru mengupasnya dengan nada sinis—menyebut Amara sebagai ‘wanita tanpa latar belakang’ yang ‘menjebak’ pewaris keluarga Wijanarko. Ada pula spekulasi yang menganggap ini tak lebih dari pernikahan bisnis, sebuah sandiwara demi kepentingan korporasi.Laksha tak tinggal diam. Dengan r
Udara pagi masih terasa sejuk ketika Amara membuka matanya. Cahaya matahari mengintip dari celah gorden, menyinari ruangan dengan semburat keemasan yang lembut, menari di atas seprai kusut dan menyapu permukaan kayu di lantai kamar.Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap masuk, berpadu dengan wangi maskulin yang sudah begitu lekat di inderanya—aroma yang selama ini selalu memberinya rasa nyaman tanpa ia sadari. Ia menoleh ke samping. Laksha masih tertidur, napasnya teratur, dengan satu lengan terentang ke arah tempatnya berbaring, seolah mencari keberadaannya bahkan dalam lelap.Wajah pria itu tampak lebih damai dibanding biasanya, tanpa ekspresi arogan atau sorot mata dingin yang sering ia tunjukkan di hadapan dunia. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, membuatnya terlihat jauh lebih muda—lebih manusiawi. Amara tersenyum kecil sebelum pelan-pelan turun dari tempat tidur, membiarkan telapak kakinya menyentuh permukaan kayu yan
Malam sudah larut ketika suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer restoran eksklusif di jantung Jakarta. Setiap langkah yang diayunkan memancarkan ketegasan, penuh percaya diri, seolah dunia masih berputar sesuai kehendaknya.Lidya Pramesti bukan tipe wanita yang mudah menyerah—dan malam ini, ia datang bukan sekadar untuk berbasa-basi.Restoran itu diterangi cahaya temaram dari lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi, memancarkan kilauan keemasan yang lembut. Aroma wine mahal dan hidangan mewah bercampur dalam udara, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir dari sudut ruangan.Meja-meja berlapis kain putih tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip, menambah kesan intim di antara bisikan para tamu yang tengah menikmati malam mereka.Namun, kehadiran Lidya tak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya, tertarik oleh aura dingin yang dibawanya.
Udara pagi di Jakarta terasa lebih segar dari biasanya, meskipun suara klakson mobil, deru mesin, dan gemuruh kota masih mendominasi. Dari balkon apartemen mereka di lantai dua puluh, Amara bersandar pada pagar besi yang dingin, membiarkan angin pagi membelai wajahnya yang masih sedikit mengantuk.Matanya mengembara ke hamparan gedung-gedung tinggi yang menjulang di bawah langit biru pucat, beberapa di antaranya masih berkedip-kedip dengan lampu-lampu yang belum dipadamkan.Jauh di bawah sana, jalanan mulai sibuk—mobil-mobil berdesakan di persimpangan, pejalan kaki melangkah tergesa, dan pedagang kaki lima mulai menggelar lapaknya di trotoar.Namun, semua itu hanya latar. Di kepalanya, pikiran Amara masih dipenuhi kejadian semalam—pertengkaran Laksha dengan ayahnya, suara tegas pria itu saat berhadapan dengan figur yang selama ini begitu dominan dalam hidupnya.Dan kemudian, Indira. Perempuan itu berdiri di pihak mereka, sesuatu yang tidak per
Udara di ruang kerja Aditya Wijanarko terasa lebih berat dari biasanya, seolah-olah mengandung beban yang tak kasatmata. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya keemasan, memantul lembut di permukaan meja kayu mahoni yang kokoh di tengah ruangan.Aroma kayu tua bercampur samar dengan wangi kertas lama dari rak-rak buku yang memenuhi dinding. Deretan jilid tebal dengan punggung berlapis emas berdiri tegak, seakan menjadi saksi bisu ketegangan yang merayap di antara dua pria yang saling berhadapan. Laksha berdiri tegak di hadapan ayahnya, jarinya mencengkeram gagang cangkir kopi yang belum sempat ia teguk. Cairan hitam di dalamnya masih mengepulkan uap tipis, kontras dengan hawa dingin yang perlahan menjalar dari kata-kata yang belum terucap.Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam, tetapi ada kilatan lain di sana—sesuatu yang tak mudah diartikan. Kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya kesadaran bahwa perdebatan ini tak akan berakhir tanp
Senja menumpahkan cahaya keemasan ke seluruh sudut apartemen, membentuk bayangan lembut yang menari di dinding. Langit di luar bergradasi dari jingga pekat ke ungu tua, seolah alam sendiri sedang melukiskan peralihan hari dengan warna-warna paling indahnya.Angin sore menyelinap masuk melalui celah balkon, menggoyangkan gorden tipis yang melambai perlahan, menciptakan tarian sunyi yang nyaris melankolis.Di dalam ruangan, aroma kopi hitam yang masih mengepul bercampur dengan wangi maskulin khas Laksha—kombinasi yang selama ini terasa asing bagi Amara, tetapi kini menghadirkan kenyamanan yang tak ia duga. Amara berdiri di dekat meja makan, jari-jarinya menggambar lingkaran tak beraturan di tepian gelas. Matanya tak sepenuhnya terfokus, seakan pikirannya melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tak ingin ia akui sepenuhnya.Di hadapannya, Laksha duduk dengan sikap santai, satu lengannya terlipat di atas meja
Hujan gerimis mulai turun, menciptakan pola samar di kaca depan mobil saat Laksha membawa Amara keluar dari hiruk-pikuk jalanan Jakarta. Sorot lampu kendaraan lain menari di permukaan jalan yang basah, memantulkan cahaya ke dalam kabin yang hening.Di antara mereka, hanya ada suara napas dan detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya—entah karena udara yang terlalu sesak atau perasaan yang sulit diurai.Amara menatap keluar, matanya mengikuti butiran hujan yang mengalir perlahan di jendela. Tangannya menggenggam erat koper kecil di pangkuannya, seolah itu adalah jangkar terakhir yang bisa menahannya tetap teguh.Namun, ia tahu, sejak Laksha datang mengejarnya, pertahanannya mulai goyah. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang menghancurkan tembok yang susah payah ia bangun.Sementara itu, Laksha tetap mengemudi dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Rahangnya mengeras, garis wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. Matanya lurus men
Angin malam menyapu jalanan Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan jendela-jendela yang masih menyala, sementara deretan lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di aspal yang basah oleh sisa gerimis.Di dalam taksi yang melaju di antara arus kendaraan, Amara duduk diam, pandangannya menerobos jendela, menatap tanpa benar-benar melihat. Kelap-kelip lampu kendaraan lain membentuk semburat warna yang samar, bercampur dengan bayangan pikirannya sendiri.Dadanya terasa sesak.Tangannya yang dingin menggenggam erat tepi koper kecil di pangkuannya, seolah benda itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa. Berulang kali ia mencoba mengatur napas, berusaha menenangkan dirinya dengan keyakinan bahwa ini adalah keputusan yang benar.Namun, semakin ia berusaha meyakinkan diri, semakin sakit perasaannya."Jangan bicara seolah kau tahu apa yang akan aku sesali!"Suara Laksha masih menggema di kepalany