Home / Rumah Tangga / Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova / Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

Share

Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova
Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova
Author: Rizki Adinda

Bab 1: Jakarta Tak Pernah Ramah

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-03 11:16:20

TIN!

Bunyi klakson bertalu-talu bercampur dengan suara hujan yang menghantam atap halte bus.

Jakarta di sore hari adalah ladang peperangan bagi siapa pun yang tidak cukup beruntung untuk memiliki kendaraan pribadi atau sopir pribadi.

Di trotoar yang becek, Amara Larasati melangkah cepat, menghindari genangan air yang terbentuk di lubang-lubang aspal yang tak terurus. Jaket tipis yang dikenakannya sudah nyaris basah oleh gerimis, dan sepatu ketsnya yang sudah agak usang pun tak bisa lagi menahan air yang mulai meresap ke kaus kakinya.

Amara sontak mempercepat langkah, melewati deretan warung kaki lima yang menjajakan gorengan, sate, dan mi instan.

Perutnya berontak, mengingatkan bahwa dia belum makan sejak siang tadi, tapi dia hanya merogoh kantong celananya dan merasakan sisa uang kertas yang tak seberapa.

Bukan saatnya membeli makan, pikirnya.

Amara pun menyibak rambut hitam panjangnya yang mulai lengket di tengkuk karena keringat, lalu mengangkat ponsel untuk mengecek waktu.

Sudah hampir pukul delapan malam. Satu jam lagi, dia harus sampai di pekerjaannya yang kedua.

Amara baru saja keluar dari sift sore di minimarket dekat kantor-kantor perkantoran Sudirman. Bekerja sebagai kasir di sana tidak mudah—senyum yang harus tetap dipasang meskipun tubuh sudah lelah, pelanggan yang terkadang kurang sabar, dan supervisor yang gemar mengomel soal stok barang.

Tapi dia tak punya pilihan. Gajinya dari minimarket itu adalah salah satu dari dua sumber penghasilan yang membuatnya bisa bertahan hidup di kota ini.

Setelah menyusuri jalan sempit menuju halte, dia berhenti di depan sebuah warung kopi kecil di sudut Blok M. Gerobak kopi sederhana itu tampak usang, dengan beberapa termos besar berjejer rapi di atas meja kayu.

Seorang pria tua, dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih dan kaos lusuh, berdiri di belakangnya, menuangkan kopi hitam ke dalam gelas plastik.

"Hitam tanpa gula," kata Amara, menyerahkan beberapa lembar uang ribuan yang sudah terlipat-lipat di sakunya.

Pria itu mengangguk tanpa bicara, lalu menyerahkan gelas kopi yang masih mengepul. Amara menerimanya dengan kedua tangan, merasakan kehangatan yang menyusup ke jari-jarinya yang dingin.

Dia meniup permukaan cairan hitam itu sebelum menyesapnya perlahan. Pahitnya menyebar di lidahnya, tapi dia menyukainya—pahit, seperti hidup yang dijalaninya.

Pikirannya melayang sejenak. Lima tahun sudah dia hidup sendiri, berjuang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain hanya untuk memastikan dirinya tidak kelaparan atau diusir dari apartemen kecil yang disewanya.

Drrt!

Tiba-tiba saja, ponsel Amara bergetar di saku celana. Dengan satu tangan masih menggenggam kopi, dia menarik ponselnya dan membaca pesan yang masuk.

"Sewa bulan ini belum masuk. Jangan telat lagi, Mar."

Pesan dari pemilik kontrakan.

"Hah...." Amara mengembuskan napas panjang, tangannya tanpa sadar meremas gelas plastik yang dipegangnya. Dia tahu ini akan terjadi. Uang sewa yang terus naik setiap tahun, sementara gajinya tetap, membuatnya harus bekerja lebih keras hanya untuk bisa tetap memiliki atap di atas kepalanya.

Dia menutup pesan itu tanpa membalas, lalu membuang gelas plastik kosongnya ke tempat sampah di samping warung kopi. Tidak ada gunanya mengeluh. Dia sudah lelah mengeluh.

Apartemen kecilnya berada di lantai lima sebuah bangunan tua di daerah Tebet. Bangunan itu tak memiliki lift, dan tangga sempitnya sudah seperti jalur latihan bagi kakinya setiap hari.

Cat dindingnya mulai mengelupas, dan bau lembap bercampur dengan aroma makanan dari kamar-kamar lain yang penghuninya mungkin juga sedang berjuang dengan cara mereka sendiri.

Ketika akhirnya tiba di depan pintu apartemennya, Amara merogoh tasnya untuk mencari kunci. Begitu pintu terbuka, dia disambut dengan ruangan sempit yang hanya diterangi cahaya redup dari bohlam gantung.

Ruangan itu sesak. Satu kasur tanpa ranjang terhampar di sudut, dengan selimut tipis yang tampak belum dirapikan. Di sebelahnya, rak kecil berisi beberapa buku yang sudah mulai usang, salah satunya adalah buku ekonomi yang selalu dia baca berulang-ulang meskipun sebagian halamannya sudah mulai lepas.

Amara melempar tasnya ke sudut ruangan, lalu berjalan ke dapur kecil di pojok, hanya untuk memastikan bahwa lemari makanannya masih sepi seperti terakhir kali dia mengeceknya. Hanya ada satu bungkus mi instan dan sebotol air mineral setengah penuh.

Dia menghela napas, lalu meraih satu-satunya kursi di ruangan itu dan duduk. Kakinya terasa lelah, tapi kepalanya lebih lelah lagi. Ada terlalu banyak hal yang harus dipikirkan, terlalu banyak tanggung jawab yang harus dipikul.

Tangannya terangkat ke wajah, mengusap matanya yang mulai terasa berat. Tapi malam ini belum selesai. Dia masih harus bekerja di kafe sampai lewat tengah malam.

Dengan sisa tenaga yang ada, dia bangkit dan membuka lemarinya yang kecil. Mengambil kemeja hitam lusuh yang menjadi seragam pekerjaannya di kafe, lalu mulai berganti pakaian.

Saat menatap dirinya di cermin kecil yang menggantung di pintu lemari, dia melihat bayangan seseorang yang jauh dari apa yang dulu dia impikan.

Dulu, dia ingin kuliah. Ingin memakai jas almamater dan berjalan di koridor kampus dengan buku-buku tebal di pelukannya. Tapi hidup tak pernah memberikan kesempatan itu.

Amara berusaha mengeyahkan pikirannya.

Begitu hujan berhenti, Amara segera melangkah keluar dari apartemennya.

Meski udara masih terasa dingin menyentuh kulit, dan jalanan mulai ditinggalkan keramaian,  dia berjalan menuju klub yang bergema dengan dentuman bass yang menggetarkan dinding.

Ritme liar dan tak kenal ampun, neon-neon berpendar memantulkan warna biru, ungu, dan merah ke wajah-wajah yang tenggelam dalam obrolan, tawa riang, dan segelas alkohol.

Suara kaca yang bersulang dan deru percakapan samar menjadi musik latar yang khas dan akrab.

Di balik bar, Amara Larasati bergerak lincah.

Sebagai bartender, tangannya cekatan meraih botol-botol berbagai bentuk, mencampurkan isinya ke dalam shaker, dan mengguncangnya dengan kecepatan yang seolah sudah menjadi bagian dari dirinya.

Tuk!

Seorang pria, dengan rasa tidak sabar yang hampir menjengkelkan, mengetuk meja kaca. "Mana minumannya?"

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 2: Pertemuan di Tengah Hiruk Pikuk

    "Sabar," ucap Amara tanpa mengangkat kepala. "Minuman lo nggak akan kemana-mana kok."Pria itu terkekeh, tapi Amara telah beralih ke pesanan berikutnya.Baginya, malam itu hanya rutinitas biasa. Wajah-wajah yang datang dan pergi, percakapan-percakapan yang fana dan tak perlu diingat.Semuanya serupa.Namun, mata Amara tertarik pada sosok pria yang baru saja memasuki klub.Auranya dominan, seolah ia membelah keramaian dan mengubah atmosfer sekitarnya. Langkahnya percaya diri, nyaris arogan, seolah ruangan ini adalah miliknya.Setelan mahalnya memeluk tubuh tegap dengan sempurna, kancing atas dibiarkan terbuka, sedikit menampilkan kulit lehernya yang terkena cahaya.Laksha Wijanarko.Nama itu bukan nama asing di telinga Amara, seringkali terdengar dari obrolan para pengunjung. Pewaris tunggal Wijanarko Group, konglomerat muda dengan reputasi secerah rekening banknya—seorang playboy yang dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dan pesta-pesta eksklusif.Malam itu, dia hanya berdiri beberap

    Last Updated : 2025-02-03
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 3: Tawaran Gila

    Laksha tersenyum, sebuah senyum yang lebih mengundang tanya daripada memberi jawaban. “Nggak tahu,” ujarnya seraya mengangkat gelasnya, memainkan whiskey di dalamnya sebelum meneguknya sampai habis. “Aku cuma penasaran.”“Penasaran apa?” Amara mempertahankan nada datarnya, meskipun di dalam hatinya, keingintahuan mulai bertunas.Laksha meletakkan gelasnya di meja, sedikit mencondongkan tubuh mendekati Amara. “Gimana rasanya jadi seseorang yang nggak bisa aku baca.”Amara terkekeh sinis. “Gue bukan teka-teki, Laksha.”“Tapi kamu bikin aku pengen nyari jawabannya,” lanjut Laksha, suaranya rendah, penuh dengan ketulusan yang tidak terduga.Mata mereka bertemu lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang tidak terucapkan, sebuah permainan tarik-ulur yang tidak hanya sederhana tapi juga kompleks.Amara tidak mengatakan apa-apa, menahan kata-kata yang berkecamuk di dalam dirinya. Di dalam hatinya, ia tahu—pria ini adalah masalah. Masalah besar. Dan dia belum tahu apakah dia puny

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 4: Batas Harga Diri

    Udara malam di Jakarta memang lebih sejuk, namun bukan semilir angin yang menjadi penyebabnya. Kedinginan yang Amara rasakan justru bersumber dari keabsurdan yang baru saja ia dengarkan dari Laksha.Mereka berdiri berhadapan, dengan Amara yang masih mencoba mencari tanda-tanda canda di wajah Laksha. Ia berharap bahwa apa yang baru saja didengarnya adalah salah satu lelucon Laksha, hanya sekedar permainan kata untuk mengusik suasana.Namun, tidak ada tawa renyah atau senyuman geli yang biasa menghiasi wajah Laksha kali ini.Dia serius.Dengan tawa kering, Amara berkata, "Lucu sekali."Laksha hanya mengangkat alisnya, teguh. "Gue serius, bukan bercanda.""Tentu saja kau bercanda," Amara mendesah, hampir tidak percaya. "Baru beberapa jam kita berkenalan, di klub tempat aku bekerja, dan sekarang kau tiba-tiba melamar aku?"Laksha mengangkat bahu, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal yang paling wajar di dunia. "Untuk membuat kesepakatan, kita tidak perlu tahu terlalu banyak satu sam

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 5: Keputusan Berat

    Keesokan harinya, Amara mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam kembali ke dalam rutinitas harian yang sederhana. Pagi hingga siang ia menghabiskan waktu di minimarket, dan malam dihabiskannya di klub.Semua terasa begitu rutin, tanpa ruang bagi hal-hal yang menurutnya tidak penting. Namun, betapapun kerasnya dia mencoba, pikirannya selalu tergelincir kembali ke satu hal yang sama.Atau lebih tepatnya, satu orang—Laksha.Saat sedang sibuk bekerja, sesekali Amara teringat ekspresi Laksha ketika ia mengajukan tawarannya. Tidak ada cemoohan, tidak ada nada merendahkan. Seolah bagi Laksha, tawaran itu tidak lebih dari sekedar transaksi bisnis biasa.Seolah-olah menjadikan seseorang sebagai istri hanyalah soal kontrak dan tanda tangan di atas kertas. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Amara sadar bahwa ia serius mempertimbangkan tawaran tersebut.Amara menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikan semua ini, ingin berpegang pada harga dirinya. Namun, realitas kehidupannya yang keras terus

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 6: Keraguan

    Mereka bertemu di sebuah kafe yang hangat dan penuh dengan cahaya yang meresap lembut melalui jendela besar di tengah hiruk-pikuk SCBD.Amara memilih tempat ini dengan sengaja—tempat yang netral dan nyaman, bukan restoran yang terlalu mewah atau bar yang gema dengan kebisingan, karena dia ingin tempat yang bisa membuatnya tetap tenang dan fokus pada pembicaraan penting yang akan terjadi.Laksha sudah ada di sana, menunggu dengan penuh kesabaran. Dia duduk di sudut kafe, terlihat elegan dengan jas hitamnya yang sempurna, sebuah kontras yang mencolok dengan kesederhanaan tempat ini.Ketika Amara melangkah masuk, mata Laksha langsung menangkap sosoknya, tatapan mereka bertemu tanpa hambatan. Tak ada kejutan atau keingintahuan yang tergambar di wajahnya—hanya sebuah kepastian yang tenang, seolah-olah dia sudah tahu pasti bahwa Amara akan datang.Dengan langkah yang mantap namun lembut, Amara mendekati meja dan menarik kursi dengan gerakan yang halus. “Jika aku menerima tawaranmu,” katanya

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 7: Perjanjian Hitam di Atas Putih

    Ruangan itu tak hanya luas, tetapi juga dingin yang menusuk tulang. Dinding kaca yang membentang di belakang meja panjang itu seolah menjadi jendela raksasa yang menghadap ke jantung Jakarta dari puncak gedung perkantoran Wijanarko Group.Gedung-gedung menjulang tinggi memecah keemasan langit senja, sementara di bawah sana, mobil-mobil meliuk-liuk di jalanan, menciptakan aliran cahaya yang tak pernah padam, bagaikan sungai yang terus mengalir tanpa henti.Amara duduk dengan postur tegak, menempati salah satu kursi kulit hitam yang terlihat lebih mahal dari total tabungan yang pernah ia miliki. Tangannya yang mungil terlipat rapi di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan denyut kegelisahan yang tak kunjung reda.Di depannya, selembar kontrak terbentang rapi di atas meja kaca, tulisannya hitam di atas putih. Banyak kata tercetak di sana, namun yang terlihat oleh Amara hanyalah refleksi samar masa depannya yang sebentar lagi akan berubah drastis.Di sisi meja yang berlawanan, Laksha duduk

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 8: Keluarga Wijanarko

    Amara berjalan keluar dari gedung Wijanarko Group dengan langkah yang terasa semakin berat. Malam di Jakarta menyambutnya dengan hembusan udara yang lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu penuh hingga membuat tubuhnya ikut terasa kosong.Udara malam membawa aroma aspal yang masih hangat setelah terpapar sinar matahari sepanjang hari, bercampur dengan wangi hujan yang baru saja reda. Cahaya lampu jalan menyilaukan matanya, membentuk bayangan panjang di trotoar, sementara suara kendaraan masih bergema dari kejauhan.Amara berdiri sejenak di pinggir jalan, matanya menatap lurus ke depan. Tangannya yang masih dingin meraba saku jaketnya, meremas sudut kartu nama yang Laksha berikan saat pertemuan pertama mereka.Dulu, dia menganggap semua ini sebagai lelucon yang sulit dipercaya. Namun sekarang, dia telah menandatangani sebuah perjanjian yang akan mengikat hidupnya untuk setahun ke depan.Ponselnya bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesa

    Last Updated : 2025-02-06
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 9: Dunia Baru

    Mobil hitam yang mengkilap itu meluncur halus di jalan tol yang sepi, membelah kesunyian embun pagi yang masih memeluk Jakarta. Langit yang perlahan-lahan mulai terang, seakan malu-malu menuangkan warna jingga yang menari-nari di kaca jendela.Di dalamnya, Amara terdiam. Jari-jarinya saling mengunci erat di atas pangkuannya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya memandang jauh keluar jendela, namun pikirannya seolah hilang entah kemana.Yang terdengar hanyalah suara deru mesin yang menemaninya, serta detak jantungnya yang terasa ingin melompat keluar.Di sampingnya, Laksha mengemudi dengan tenang. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan apartemen Amara yang mungil itu tadi pagi. Dan jujur saja, Amara tak keberatan dengan keheningan itu.Ia masih berusaha mencerna kenyataan yang mengejutkan—bahwa dalam sekejap, hidupnya telah berubah drastis.Kini, ia berada dalam perjalanan menuju sebuah rumah yang asing baginya. Menuj

    Last Updated : 2025-02-07

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 26: Hati yang Terluka

    Angin malam berembus lembut melalui celah jendela besar di kamar Amara, membawa serta aroma tanah basah yang khas setelah hujan.Dari kejauhan, langit Jakarta yang kelam diterangi gemerlap lampu-lampu pencakar langit, menciptakan pendar cahaya yang seakan berkilauan di balik tirai tipis yang bergerak pelan.Namun, di dalam kamar itu, suasana justru terasa berat—seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dua sosok yang kini duduk berseberangan di atas sofa. Laksha melangkah masuk tanpa benar-benar menyadari keberadaan Amara. Jaket yang dikenakannya ia lemparkan sembarangan ke kursi di dekat meja kerja, gerakannya sedikit kasar dan tergesa.Bahunya yang tegang, napasnya yang masih sedikit memburu—semua itu memberi isyarat jelas bahwa pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan ayahnya. Amara menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat dalam benaknya. Ia tahu betul bahwa Laksha

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 25: Pembuktian Tanpa Ayah

    "Aku tidak peduli kau menikah dengan siapa," suara Aditya terdengar rendah, nyaris seperti geraman yang tertahan. "Tapi aku ingin melihat komitmen. Aku ingin melihat kau benar-benar bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan sekadar membuat kesepakatan yang kosong."Laksha tertawa pendek, getir. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa seseorang yang lelah, yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu."Tanggung jawab?" ulangnya, seakan mencicipi kata itu dengan sarkasme yang tajam. "Kau bicara tentang tanggung jawab, tapi sepanjang hidupku, aku hanya berusaha memenuhi standar yang bahkan kau sendiri tidak pernah jelaskan dengan jelas."Tatapan Aditya tetap tajam, tidak berubah sedikit pun. "Kedewasaan tidak bisa diajarkan, Laksha," katanya, nada suaranya tetap tegas. "Itu harus dipelajari sendiri. Dan sampai hari ini, aku masih melihat bocah yang keras kepala, yang lebih peduli pada egonya daripada pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 24: Ketegangan Hubungan

    Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya neon yang berpendar, mencerminkan gemerlap kota yang tak pernah tidur.Namun, di dalam rumah keluarga Wijanarko, suasana terasa kontras—dingin, tegang, dan penuh tekanan yang menggantung di udara seperti hujan yang tertahan di langit sebelum akhirnya turun dengan deras.Amara melangkah pelan di koridor lantai dua, nyaris tanpa suara di atas marmer dingin yang memantulkan cahaya lampu gantung.Sebenarnya, ia hanya ingin turun ke dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara laki-laki dari balik pintu ruang kerja yang sedikit terbuka.Awalnya, ia berniat untuk berlalu begitu saja. Ini bukan urusannya. Ia tak ingin terlibat dalam permasalahan pribadi Laksha dan keluarganya. Namun, nada suara yang terdengar dari dalam ruangan begitu keras, dipenuhi emosi yang mentah, membuatnya ragu."Aku sudah muak, Ayah!"Langkahnya terhenti. Itu suara La

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 23: Garis yang Kabur

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang merayap pelan melalui kaca jendela apartemen. Embun tipis masih menggantung di permukaannya, membiaskan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang berpendar seperti bintang jatuh.Cahaya redup dari luar menciptakan pantulan samar di meja makan, memperkuat keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Di dapur, aroma bawang goreng dan kuah kaldu yang hangat perlahan mengambil alih ruangan, menggantikan sisa wangi kopi yang sebelumnya mendominasi. Di tengah meja, dua mangkuk mi instan mengepulkan asap tipis—sederhana, kontras dengan interior mewah yang mengelilinginya. Amara menatap mangkuknya tanpa banyak gerakan, sumpit di tangannya melayang di atas mi yang tampak sedikit terlalu kental. Ekspresinya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.Sementara di seberangnya, Laksha tampak lebih santai, menyendok mi buatannya dengan percaya diri—seakan ia baru sa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 22: Melindungi Rahasia

    Langit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 21: Badai Pertama

    Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 20: Langkah demi Langkah

    Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 19: Kekosongan di Antara Mereka

    Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 18: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.Ia pernah berp

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status