Share

Bab 5: Keputusan Berat

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2025-02-04 10:10:56

Keesokan harinya, Amara mencoba mengalihkan pikirannya dengan tenggelam kembali ke dalam rutinitas harian yang sederhana. Pagi hingga siang ia menghabiskan waktu di minimarket, dan malam dihabiskannya di klub.

Semua terasa begitu rutin, tanpa ruang bagi hal-hal yang menurutnya tidak penting. Namun, betapapun kerasnya dia mencoba, pikirannya selalu tergelincir kembali ke satu hal yang sama.

Atau lebih tepatnya, satu orang—Laksha.

Saat sedang sibuk bekerja, sesekali Amara teringat ekspresi Laksha ketika ia mengajukan tawarannya. Tidak ada cemoohan, tidak ada nada merendahkan. Seolah bagi Laksha, tawaran itu tidak lebih dari sekedar transaksi bisnis biasa.

Seolah-olah menjadikan seseorang sebagai istri hanyalah soal kontrak dan tanda tangan di atas kertas. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Amara sadar bahwa ia serius mempertimbangkan tawaran tersebut.

Amara menggigit bibirnya. Ia ingin mengabaikan semua ini, ingin berpegang pada harga dirinya. Namun, realitas kehidupannya yang keras terus menampar dirinya.

Tabungannya yang hampir habis, sewa apartemen yang belum dibayar, dan mimpi untuk melanjutkan pendidikan yang terasa seperti bintang di langit yang terlalu tinggi untuk diraih.

Menikah demi uang? Itu bukan dirinya. Dia bukan orang yang rela menjual dirinya hanya demi kenyamanan sementara. Amara menutup matanya sejenak, lalu menampar pipinya sendiri, berharap bisa mengusir suara-suara di kepalanya. Dia tidak akan menelepon pria itu. Tidak akan.

Namun, sepertinya semesta memiliki rencana lain.

Tiga hari kemudian, saat Amara sedang beristirahat di belakang klub, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Jantungnya berdegup aneh, tetapi dia tetap mengangkatnya. “Halo?”

“Kamu sudah memikirkan tawaran saya?” Suara di seberang sana adalah Laksha—dalam, tenang, dan penuh percaya diri.

“Lo beneran sefrontal ini, ya?” Amara menghela napas, menekan dahinya dengan jemari yang dingin.

Laksha tertawa kecil. “Aku orang yang efisien. Kalau ada urusan yang belum selesai, aku pastikan cepat beres.”

“Lo nyari istri atau karyawan?” sindir Amara.

“Dalam kasus ini, mungkin dua-duanya,” jawab Laksha, suaranya mengandung semacam kehangatan yang tidak terduga.

Amara mengerang frustasi. “Dengar, Laksha. Aku tidak tertarik. Aku bukan orang yang bisa lo beli dengan uang.”

“Tapi kamu tetap menyimpan kartu namaku,” balas Laksha cepat.

Amara terdiam. Dia membenci bagaimana Laksha dapat membaca situasinya dengan mudah.

“Aku tahu kamu butuh uang, Amara,” lanjut Laksha, suaranya lebih pelan. “Dan Aku tidak menawarkan ini untuk merendahkan kamu. Ini hanya kesepakatan. Kamu bisa mendapatkan hidup yang lebih baik, dan saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan.”

Amara menatap ke jalanan kosong di depannya, mencari jawaban di antara bayangan lampu jalan. Dia ingin menolaknya dengan tegas. Namun, bagian dari dirinya—bagian yang sudah lelah berjuang sendirian—mulai bertanya… Bagaimana jika… hanya bagaimana jika dia menerima tawaran itu?

Bukankah itu lebih baik daripada terus terjebak dalam lingkaran kehidupan yang tidak memberinya jalan keluar? Tapi, harga dirinya, apakah dia siap mengorbankannya demi sesuatu yang hanya sementara?

Laksha tidak mendengar jawaban apapun darinya, hanya keheningan yang panjang. Kemudian suara pria itu terdengar lagi, lebih tenang, namun tetap tegas. “Ambil waktu kamu untuk memikirkan, Amara. Tapi jangan terlalu lama.” Dan sambungan telepon pun terputus.

Amara menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa dirinya berada di persimpangan jalan.

Minggu berlalu dengan lambat. Setiap pagi, Amara terbangun dengan kepala yang penuh suara—suara pikirannya sendiri yang terus berdebat tentang tawaran yang seharusnya sudah lama dia lupakan. Setiap kali dia mencoba tenggelam dalam pekerjaannya, suara itu kembali menghantui dia.

Saat dia berdiri di belakang kasir minimarket, menekan tombol-tombol register dengan gerakan yang hampir otomatis, dia mendengar suaranya sendiri bertanya: Berapa banyak shift lagi yang harus dia jalani sebelum dia bisa keluar dari siklus ini?

Saat dia menuangkan minuman di klub malam, menghindari tatapan pelanggan yang mabuk, dia bertanya dalam hati: Kalau dia terima tawaran itu, apa hidupnya akan lebih baik?

Saat dia berjalan pulang, melewati gang-gang sempit yang bau gotnya menguar di udara malam, dia teringat sesuatu yang Laksha katakan malam itu: "Kamu bisa dapat hidup yang lebih baik, Amara."

Amara membenci kenyataan bahwa dia mulai menganggap serius kata-kata itu. Tapi lebih dari itu, dia membenci kenyataan bahwa dia mulai goyah.

Malam itu, apartemen kecilnya terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara kendaraan yang bising dari luar jendela. Hanya suara jam dinding tua yang berdetak pelan di atas meja kecil dekat kasurnya. Amara duduk di lantai, bersandar pada kasurnya yang tipis. Jari-jarinya menggenggam erat kartu nama hitam itu.

Satu minggu. Sudah satu minggu sejak Laksha menawarinya kesepakatan itu, dan dia masih belum bisa membuat keputusan. Dia ingin menolaknya. Sungguh. Tapi nyatanya, dia tidak langsung membuang kartu nama itu, kan?

Nyatanya, dia masih menyimpannya, seperti seseorang yang menyimpan tiket ke kehidupan yang berbeda.

Jemarinya bergetar saat dia menekan nomor di ponselnya. Setiap digit terasa berat, seolah angka-angka itu memiliki nyawa sendiri. Saat panggilan tersambung, dadanya terasa sesak. Bodoh. Dia bahkan belum tahu apa yang ingin dia katakan.

Nada sambung kedua. Ketiga. Lalu suara itu muncul, dalam dan tenang, dengan nada malas yang seolah tahu bahwa Amara akan meneleponnya lebih cepat atau lambat.

"Kamu akhirnya menelepon."

Amara menggigit bibirnya, berusaha menekan perasaan yang bergejolak di dadanya. "Gue butuh ketemu."

Hening. Lalu suara Laksha terdengar lagi, kali ini sedikit lebih serius. "Baik. Sebutkan tempat dan waktu."

Amara menarik napas dalam-dalam. Dia baru saja melangkah ke dalam sesuatu yang dia tidak yakin bisa dia kendalikan.

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 6: Keraguan

    Mereka bertemu di sebuah kafe yang hangat dan penuh dengan cahaya yang meresap lembut melalui jendela besar di tengah hiruk-pikuk SCBD.Amara memilih tempat ini dengan sengaja—tempat yang netral dan nyaman, bukan restoran yang terlalu mewah atau bar yang gema dengan kebisingan, karena dia ingin tempat yang bisa membuatnya tetap tenang dan fokus pada pembicaraan penting yang akan terjadi.Laksha sudah ada di sana, menunggu dengan penuh kesabaran. Dia duduk di sudut kafe, terlihat elegan dengan jas hitamnya yang sempurna, sebuah kontras yang mencolok dengan kesederhanaan tempat ini.Ketika Amara melangkah masuk, mata Laksha langsung menangkap sosoknya, tatapan mereka bertemu tanpa hambatan. Tak ada kejutan atau keingintahuan yang tergambar di wajahnya—hanya sebuah kepastian yang tenang, seolah-olah dia sudah tahu pasti bahwa Amara akan datang.Dengan langkah yang mantap namun lembut, Amara mendekati meja dan menarik kursi dengan gerakan yang halus. “Jika aku menerima tawaranmu,” katanya

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 7: Perjanjian Hitam di Atas Putih

    Ruangan itu tak hanya luas, tetapi juga dingin yang menusuk tulang. Dinding kaca yang membentang di belakang meja panjang itu seolah menjadi jendela raksasa yang menghadap ke jantung Jakarta dari puncak gedung perkantoran Wijanarko Group.Gedung-gedung menjulang tinggi memecah keemasan langit senja, sementara di bawah sana, mobil-mobil meliuk-liuk di jalanan, menciptakan aliran cahaya yang tak pernah padam, bagaikan sungai yang terus mengalir tanpa henti.Amara duduk dengan postur tegak, menempati salah satu kursi kulit hitam yang terlihat lebih mahal dari total tabungan yang pernah ia miliki. Tangannya yang mungil terlipat rapi di atas pangkuan, mencoba menyembunyikan denyut kegelisahan yang tak kunjung reda.Di depannya, selembar kontrak terbentang rapi di atas meja kaca, tulisannya hitam di atas putih. Banyak kata tercetak di sana, namun yang terlihat oleh Amara hanyalah refleksi samar masa depannya yang sebentar lagi akan berubah drastis.Di sisi meja yang berlawanan, Laksha duduk

    Last Updated : 2025-02-04
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 8: Keluarga Wijanarko

    Amara berjalan keluar dari gedung Wijanarko Group dengan langkah yang terasa semakin berat. Malam di Jakarta menyambutnya dengan hembusan udara yang lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu penuh hingga membuat tubuhnya ikut terasa kosong.Udara malam membawa aroma aspal yang masih hangat setelah terpapar sinar matahari sepanjang hari, bercampur dengan wangi hujan yang baru saja reda. Cahaya lampu jalan menyilaukan matanya, membentuk bayangan panjang di trotoar, sementara suara kendaraan masih bergema dari kejauhan.Amara berdiri sejenak di pinggir jalan, matanya menatap lurus ke depan. Tangannya yang masih dingin meraba saku jaketnya, meremas sudut kartu nama yang Laksha berikan saat pertemuan pertama mereka.Dulu, dia menganggap semua ini sebagai lelucon yang sulit dipercaya. Namun sekarang, dia telah menandatangani sebuah perjanjian yang akan mengikat hidupnya untuk setahun ke depan.Ponselnya bergetar di dalam saku, membuyarkan lamunannya. Sebuah pesa

    Last Updated : 2025-02-06
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 9: Dunia Baru

    Mobil hitam yang mengkilap itu meluncur halus di jalan tol yang sepi, membelah kesunyian embun pagi yang masih memeluk Jakarta. Langit yang perlahan-lahan mulai terang, seakan malu-malu menuangkan warna jingga yang menari-nari di kaca jendela.Di dalamnya, Amara terdiam. Jari-jarinya saling mengunci erat di atas pangkuannya, mencoba meredakan rasa tidak nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya. Matanya memandang jauh keluar jendela, namun pikirannya seolah hilang entah kemana.Yang terdengar hanyalah suara deru mesin yang menemaninya, serta detak jantungnya yang terasa ingin melompat keluar.Di sampingnya, Laksha mengemudi dengan tenang. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya sejak mereka meninggalkan apartemen Amara yang mungil itu tadi pagi. Dan jujur saja, Amara tak keberatan dengan keheningan itu.Ia masih berusaha mencerna kenyataan yang mengejutkan—bahwa dalam sekejap, hidupnya telah berubah drastis.Kini, ia berada dalam perjalanan menuju sebuah rumah yang asing baginya. Menuj

    Last Updated : 2025-02-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 10: Laksha yang Membingungkan

    Di tengah-tengah kamar yang terbentang luas, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih yang bersih berdiri anggun.Karpet tebal memeluk lantai, membentang hampir di seluruh penjuru ruangan, sementara jendela lebar yang terbuka menawarkan pemandangan menenangkan ke taman belakang yang hijau.Di salah satu sudut, terdapat meja kerja yang rapi dan sofa kecil yang mengundang, serta lemari pakaian besar yang tampaknya lebih luas dari kamar mandi di apartemen lama Amara.Dindingnya dicat dengan warna biru lembut, dihiasi dengan dekorasi yang sederhana namun elegan, menciptakan suasana yang berbeda jika dibandingkan dengan kemewahan yang terasa berlebihan di ruangan lain di rumah besar ini.Seperti ada usaha khusus yang dilakukan untuk membuat ruangan ini terasa lebih nyaman dan menyambut bagi Amara.Amara memandang Laksha, rasa penasaran terpancar dari matanya. "Kamar ini..." katanya, sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Laksha menyela, "Khus

    Last Updated : 2025-02-07
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 11: Siapa Sebenarnya Laksha Wijanarko?

    Dapur rumah itu terasa lapang dan menyenangkan, dengan langit-langit yang menjulang tinggi serta dinding-dinding marmer yang berwarna abu-abu lembut, menawarkan kesan yang sekaligus megah dan mengundang.Rak-rak kayu menghiasi hampir setiap sisi ruangan, dipenuhi dengan koleksi gelas dan piring yang tampak tidak hanya berharga namun juga penuh cerita.Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang kokoh mendominasi, atasnya terdapat vas kaca yang elegan dengan susunan bunga lili putih yang tersusun begitu rapi dan menawan.Amara berdiri dengan anggun di depan kompor, tangannya yang mahir dengan cepat membalik telur dadar di atas wajan yang panas. Aroma telur yang menggugah selera bercampur sempurna dengan wangi roti panggang yang baru saja matang, menyebarkan keharuman yang mengisi setiap sudut ruangan.Sambil berpikir, Amara merenung kenapa ia masih berinisiatif menyiapkan sarapan setiap pagi. Mungkin ini karena dari kecil ia sudah terbiasa mengurus dirinya

    Last Updated : 2025-02-14
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 12: Makan Malam Canggung

    Suara dentingan sendok dan garpu bertemu dengan porselen menjadi satu-satunya melodi yang mengisi ruang makan besar itu. Lilin-lilin di tengah meja panjang memberikan cahaya keemasan yang lembut, memantulkan bayangan di atas gelas kristal berisi anggur merah. Aroma daging panggang dan saus krim memenuhi udara, tetapi bagi Amara, makanan di piringnya tampak seperti benda asing yang tak menggugah selera.Ia duduk di sebelah Laksha, merasa seperti tamu tak diundang di tengah keluarga ini. Di hadapannya, Indira Wijanarko tetap tenang, seperti ratu yang duduk di singgasananya, anggun dan tak tersentuh. Di ujung meja, Aditya Wijanarko menatapnya tanpa ekspresi, matanya mengamati setiap gerak-geriknya dengan tajam. Dan di sisi lain, seorang wanita dengan gaun berwarna biru g

    Last Updated : 2025-02-14
  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 13: Senyum Misterius Laksha

    Angin malam mengusap lembut kulit Amara, membelai helaian rambutnya yang tergerai ketika ia berdiri di balkon kamar. Dari tempatnya, pemandangan kota Jakarta terbentang luas, gemerlap lampu-lampu gedung bertaburan seperti bintang-bintang yang jatuh. Tapi keindahan itu tak mampu mengusir gelisah yang merayap di dadanya.Amara menyesap teh hangatnya pelan. Cairan itu seharusnya membawa ketenangan, tetapi rasa pahit samar yang tertinggal justru terasa seperti sesuatu yang lain—sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.Di dalam kamar, Laksha duduk di depan meja kerja, membelakangi pintu balkon yang terbuka. Punggungnya tegap, tetapi bahunya terlihat lebih tegang dari biasanya. Lampu meja menerangi setengah wajahnya, menciptakan bayangan yang tajam di garis rahangnya.Sej

    Last Updated : 2025-02-15

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 26: Hati yang Terluka

    Angin malam berembus lembut melalui celah jendela besar di kamar Amara, membawa serta aroma tanah basah yang khas setelah hujan.Dari kejauhan, langit Jakarta yang kelam diterangi gemerlap lampu-lampu pencakar langit, menciptakan pendar cahaya yang seakan berkilauan di balik tirai tipis yang bergerak pelan.Namun, di dalam kamar itu, suasana justru terasa berat—seolah ada dinding tak kasatmata yang memisahkan dua sosok yang kini duduk berseberangan di atas sofa. Laksha melangkah masuk tanpa benar-benar menyadari keberadaan Amara. Jaket yang dikenakannya ia lemparkan sembarangan ke kursi di dekat meja kerja, gerakannya sedikit kasar dan tergesa.Bahunya yang tegang, napasnya yang masih sedikit memburu—semua itu memberi isyarat jelas bahwa pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan ayahnya. Amara menarik napas dalam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat dalam benaknya. Ia tahu betul bahwa Laksha

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 25: Pembuktian Tanpa Ayah

    "Aku tidak peduli kau menikah dengan siapa," suara Aditya terdengar rendah, nyaris seperti geraman yang tertahan. "Tapi aku ingin melihat komitmen. Aku ingin melihat kau benar-benar bertanggung jawab atas keputusanmu. Bukan sekadar membuat kesepakatan yang kosong."Laksha tertawa pendek, getir. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa seseorang yang lelah, yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu."Tanggung jawab?" ulangnya, seakan mencicipi kata itu dengan sarkasme yang tajam. "Kau bicara tentang tanggung jawab, tapi sepanjang hidupku, aku hanya berusaha memenuhi standar yang bahkan kau sendiri tidak pernah jelaskan dengan jelas."Tatapan Aditya tetap tajam, tidak berubah sedikit pun. "Kedewasaan tidak bisa diajarkan, Laksha," katanya, nada suaranya tetap tegas. "Itu harus dipelajari sendiri. Dan sampai hari ini, aku masih melihat bocah yang keras kepala, yang lebih peduli pada egonya daripada pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri."

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 24: Ketegangan Hubungan

    Langit Jakarta malam itu dipenuhi cahaya neon yang berpendar, mencerminkan gemerlap kota yang tak pernah tidur.Namun, di dalam rumah keluarga Wijanarko, suasana terasa kontras—dingin, tegang, dan penuh tekanan yang menggantung di udara seperti hujan yang tertahan di langit sebelum akhirnya turun dengan deras.Amara melangkah pelan di koridor lantai dua, nyaris tanpa suara di atas marmer dingin yang memantulkan cahaya lampu gantung.Sebenarnya, ia hanya ingin turun ke dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti ketika samar-samar terdengar suara laki-laki dari balik pintu ruang kerja yang sedikit terbuka.Awalnya, ia berniat untuk berlalu begitu saja. Ini bukan urusannya. Ia tak ingin terlibat dalam permasalahan pribadi Laksha dan keluarganya. Namun, nada suara yang terdengar dari dalam ruangan begitu keras, dipenuhi emosi yang mentah, membuatnya ragu."Aku sudah muak, Ayah!"Langkahnya terhenti. Itu suara La

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 23: Garis yang Kabur

    Hujan telah reda, meninggalkan jejak dingin yang merayap pelan melalui kaca jendela apartemen. Embun tipis masih menggantung di permukaannya, membiaskan gemerlap lampu-lampu kota Jakarta yang berpendar seperti bintang jatuh.Cahaya redup dari luar menciptakan pantulan samar di meja makan, memperkuat keheningan yang menggantung di dalam ruangan. Di dapur, aroma bawang goreng dan kuah kaldu yang hangat perlahan mengambil alih ruangan, menggantikan sisa wangi kopi yang sebelumnya mendominasi. Di tengah meja, dua mangkuk mi instan mengepulkan asap tipis—sederhana, kontras dengan interior mewah yang mengelilinginya. Amara menatap mangkuknya tanpa banyak gerakan, sumpit di tangannya melayang di atas mi yang tampak sedikit terlalu kental. Ekspresinya sulit ditebak, seolah ada sesuatu yang tengah berkecamuk dalam pikirannya.Sementara di seberangnya, Laksha tampak lebih santai, menyendok mi buatannya dengan percaya diri—seakan ia baru sa

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 22: Melindungi Rahasia

    Langit Jakarta masih diselimuti awan kelabu ketika Amara melangkah keluar dari kamar tidur. Udara pagi membawa sisa-sisa hujan semalam, meninggalkan jejak embun tipis di kaca jendela apartemen.Cahaya matahari yang malu-malu mencoba menembus lapisan awan, menciptakan bias lembut di dalam ruangan. Aroma kopi hitam menyelinap ke dalam penciumannya, bercampur dengan wangi samar buku-buku lama yang tersusun rapi di rak sudut ruangan.Di meja makan, Laksha sudah duduk. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, memperlihatkan lengan yang tegang, seolah ketegangan itu bukan hanya berasal dari pikirannya, tetapi juga merambat hingga ke tubuhnya.Rahangnya mengeras, ibu jarinya bergerak perlahan di atas layar ponsel. Ia begitu terfokus, seakan-akan dunia di sekelilingnya hanya menjadi latar belakang semata.Amara tak perlu menebak apa yang sedang ia baca. Berita itu masih di mana-mana, terpampang di layar-layar ponsel, mengalir dalam bisik-bisik media, menyusup ke da

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 21: Badai Pertama

    Langit Jakarta sore itu kelabu, seakan menyimpan beban yang tak terucap. Awan-awan menggantung rendah, berat dengan janji hujan yang tertunda sejak siang. Dari balik jendela kaca ruang kerja Laksha, Amara menatap jalanan yang tetap sibuk meski gerimis mulai turun.Lampu-lampu kendaraan berpendar di tengah rintik, menciptakan kilau temaram yang tak sepenuhnya bisa mengusir kesuraman di dadanya.Di atas meja, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi masuk.Pernikahan CEO Laksha Wijanarko dan Kasir Minimarket? Pernikahan Cinta atau Transaksi Bisnis?Dahi Amara berkerut. Dengan jantung berdebar tak menentu, ia membuka tautan artikel itu. Deretan kata-kata sensasional langsung menghantamnya."Seorang wanita biasa tiba-tiba menikah dengan pewaris kerajaan bisnis Wijanarko Group. Sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pernikahan ini hanyalah kesepakatan bisnis yang menguntungkan salah satu pihak. Benarkah? Ataukah ini hanya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 20: Langkah demi Langkah

    Langit Jakarta memamerkan senja yang dramatis, semburat jingga dan merah membakar awan yang menggantung di ufuk barat. Di bawahnya, kota masih berdenyut, tak pernah benar-benar diam, seakan enggan menyerahkan dirinya pada malam.Namun, di sebuah ruangan di lantai atas salah satu gedung pencakar langit yang megah, ada sejenak keheningan yang terasa seperti dunia lain—sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang terus bergulir di luar sana. Di dalam ruangan itu, Amara Larasati duduk dengan fokus yang nyaris tak tergoyahkan.Matanya terpaku pada layar laptop, mengikuti barisan angka dan grafik yang berkelindan seperti teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh ketajaman pikirannya. Jemarinya kadang bergerak cepat di atas keyboard, mencatat sesuatu, lalu kembali diam sejenak, merenung, sebelum kembali mengetik.Di atas meja yang tertata rapi, berkas-berkas tersusun dengan disiplin, berdampingan dengan secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat, aromanya

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 19: Kekosongan di Antara Mereka

    Amara Larasati tenggelam dalam kursi empuk yang menghadap jendela besar ruangan itu. Sinar sore menembus kaca, membelai wajahnya dengan lembut, menciptakan kontras antara cahaya keemasan dan bayangan yang melukis kesunyian pribadinya.Di luar sana, gedung-gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh, memamerkan ambisi yang tak pernah padam. Kota itu sibuk, tak kenal lelah. Tapi di dalam ruangan ini, yang dipenuhi aroma teh vanilla yang baru diseduh, hanya ada keheningan—hening yang terasa hampir melankolis. Di seberang meja, Laksha Wijanarko mengaduk kopi hitamnya. Bunyi sendok yang beradu dengan dinding cangkir porselen sesekali memecah kesunyian di antara mereka. Rambut hitamnya tampak berantakan—jejak dari malam yang mungkin tak berjalan tenang atau pikiran yang terus melayang tanpa arah. “Kenapa kamu terima tawaran pernikahan ini, Amara?” suara Laksha akhirnya memecah diam. Nada suaranya rendah, ada beban yang disembunyi

  • Terpaksa Jadi Istri CEO Casanova   Bab 18: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Amara menelan ludah, getir. Entah kenapa, melihat foto itu membuat dadanya terasa sesak, seolah-olah ada benjolan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena ia terlalu mengenal rasa kosong yang terpancar dari gambar tersebut, refleksi dari mata yang tampak hampa.Kenangan masa kecilnya pun tiba-tiba menyeruak, mengalir bagai sungai yang tak bisa dibendung.Dia teringat malam-malam panjang di panti asuhan, saat ia berbaring di ranjang sempit, menatap langit-langit yang usang sambil bertanya-tanya, apakah ada orang di luar sana yang merindukannya.Hari-hari yang harus dilaluinya dengan belajar menjadi kuat lebih cepat dari seharusnya, karena tak ada seorang pun yang akan menolong jika ia terjatuh. Dan saat itu juga, ia pertama kali menyadari bahwa dunia ini tidak selalu adil bagi orang-orang seperti dirinya.Amara menggigit bibirnya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela besar di depannya, sebuah jendela ke dalam jiwa yang lain.Ia pernah berp

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status