Carla Arista, wanita mandiri yang menikah dengan duda anak satu bernama Abisena, ia merelakan suaminya menikah lagi atas keinginan ibu mertuanya. Carla tak bisa memberinya anak, ia menderita penyakit yang membuatnya sulit untuk hamil. "Mas, mari kita bercerai." "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu!" Abisena tak punya pilihan lain, jika ia tak mau menikah lagi maka ia juga akan kehilangan Carla. Apakah akhirnya pernikahan Carla dan Abisena akan berakhir bahagia atau semakin terluka karena orang ketiga?
View MorePagi menjelang. Adam terbangun lebih dulu dari tidurnya yang cukup nyenyak semalam. Saat membuka mata, tatapan matanya jatuh pada tubuh ayahnya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Adam menghela napas berat. Wajah yang masih kusut karena kurang tidur diusapnya. Setelah sadar sepenuhnya, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tadi malam, pak Us datang membawakan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuknya. Ia pikir itu Risya, ternyata bukan. Bicara soal Risya, istri ayahnya itu tidak ikut dan tidak datang ke rumah sakit untuk menemani suaminya. Entah dia takut, malu, syok atau memang sudah tak peduli lagi dengan suaminya. Adam tak peduli. "Papa sudah bangun?" sapa Adam yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Abi mengangguk lemah. "Mau ke kamar mandi? Adam bantu yuk." Abi melirik ke arah tas dan tempat makan yang berada di atas meja. Lalu bertanya pada anaknya, "Risya semalam datang?" "Bukan. Itu dari pak Us." Abi mendengus kasar. Ia pikir,
Adam berlari mengejar brankar yang membawa tubuh ayahnya masuk ke dalam ruangan IGD sebuah rumah sakit. Ia berdiri di sebelah tirai yang tertutup dengan tangan gemetar. Dua orang suster datang membantu sang dokter yang berkali-kali memeriksa denyut nadi ayahnya. Sayup-sayup Adam mendengar mereka mengatakan bahwa denyut nadi ayahnya menghilang. Tak kuat melihatnya, Adam ke luar dari ruangan itu. Ia duduk di kursi Tungga sambil menundukkan kepala mengusap wajahnya dengan tangan. Lalu terdengar langkah seseorang yang datang mendekatinya dan berhenti tepat di hadapannya. "Adam, bagimana keadaan Abi?" tanya Bimo yang datang dengan raut wajah pucat. Adam tadi sempat memberitahu sahabat ayahnya itu. "Om..." Adam berdiri lalu memeluk Bimo. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan sahabat ayahnya itu. "Adam takut, om. Adam takut papa pergi, om." "Apa yang terjadi sebenarnya, Adam? Bagaimana bisa, Abi tiba-tiba pingsan dengan hidung berdarah?" Adam hanya menggelengkan kepalanya. "Aku enggak tah
Setelah puas bermain hingga sore, Fariska tertidur di dalam pangkuan Adam karena kelelahan. Jihan terkekeh melihat kedekatan Adam dan adik tirinya yang makin hari makin lengket seperti ayahnya sendiri. "Lucu ya, Fariska malah deketnya sama kamu," celetuk Jihan sambil mengusap lembut rambut lembut Fariska. "Padahal baru deket beberapa bulan lalu loh. Aku sama dia tuh beda delapan tahunan lebih. Dari kecil enggak pernah nyapa, megang juga. Eh, begitu aku balik langsung minta gendong." Adam terkekeh jika membayangkan hal itu lagi. Entah sejak kapan mereka berdua terlalu dekat hingga tak canggung lagi seperti sekarang. "Kamu tuh orangnya lembut kalau sama anak kecil. Makanya dia seneng dekat kamu." "Iya kayaknya. Padahal aku galak loh." Jihan kini terkekeh mendengar pengakuan Adam yang tak sesuai dengan ucapannya. Adam yang ia tahu adalah pria yang humoris dan tak pernah meninggikan suaranya. "Mana ada? Kamu kan kalau ngomong lembut banget. Bikin cewek-cewek nempel. Ups." Jihan menu
Abi berjalan gelisah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dua matanya selalu tertuju pada jam dinding yang setiap menitnya terus berjalan. Sudah pukul dua belas malam, tidak biasanya Risya belum pulang hingga semalam ini. Tiga jam lalu dirinya sempat menghubungi nomor ponsel Risya, namun panggilannya tak terjawab. Lalu dirinya menghubungi Anna dan katanya, memang Risya sempat ke rumahnya sore hari tapi pukul tujuh dirinya pulang ke rumah. "Pergi ke mana dia?" gumam Abi yang masih gelisah. Karena sudah malam, ia memutuskan untuk beristirahat dan akan melanjutkan pencarian besok. Ia akan meminta bantuan Anna dan karyawan Risya yang biasanya tahu ke mana istrinya itu pergi. Di tempat berbeda, Risya tertidur setelah dipaksa meminum obat penenang oleh Sandy. Wanita itu tidur di kamar yang sama dengan mantan kekasihnya itu. Bahkan ia tak sadar jika dirinya tidur dipelukannya. "Sudah lama ya, Ris. Delapan tahun lebih loh. Kenapa kamu enggak tungguin aku dulu sih? Malah nikah sama laki
Dokter Dimas selesai melakukan terapi pada Fariska. Anak kedua Abi itu sudah mulai ada perkembangan setelah kunjungannya minggu lalu. Ternyata, semua ini karena tekanan psikis dari ibunya yang membuat mental Fariska terganggu. Selama delapan tahun Fariska bersama Risya, anak itu seringkali mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan. Selama itu pula Fariska memendamnya tanpa berani bicara pada siapapun. Abisena sang ayah hanya datang sesekali mendengarkan anaknya bicara, tapi selalu dibalas dengan senyuman tanpa ada teguran pada istrinya. Abisena menganggap, kebiasaan Fariska wajar di usianya yang masih kecil tapi sebenarnya itu adalah awal terganggunya psikis sang anak. "Bagaimana dokter Dimas? Ada perkembangan dengan Fariska?" tanya Abisena yang tak sabar ingin tahu keadaan anaknya. Fariska sudah bisa menyusun alphabet dan juga angka dengan benar. Bahkan bisa menyebutkan nama hewan dan tumbuhan. Anak itu sudah mulai berani bercerita apa saja yang dilihatnya. Jauh lebih baik dari kea
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama aku tak ada di rumah?" tanya Abi dengan suara dinginnya. Risya menunduk takut. Tangannya saling mengerat satu sama lain. "Aku, tak tahu apa yang harus kulakukan selain menceraikanmu. Ini sudah kedua kalinya kamu mengecewakan aku, Risya." "Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku melakukan ini karena terpaksa. Aku, terjerat hutang dan aku tak memiliki uang untuk membayarnya. Aku—" "Hutang? Bukannya kamu sudah punya pekerjaan sendiri? Uang yang aku berikan setiap bulan, kamu gunakan untuk apa?" Risya semakin menunduk ketakutan. Ia bingung akan berkata apa, mengatakan yang sejujurnya sama saja membuat lubang untuk dirinya. "Pa, kita langsung ke dokter aja. Sudah sore," ujar Adam menginterupsi. Abisena hanya mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya sebentar. "Tante, kalau masih mau sama papa, tante harus berubah. Kalau seperti ini terus, bisa jadi papa akan menceraikan tante secepatnya." Risya memicingkan matanya, ia mulai membenci la
Bulan berlalu, Risya tak pernah lagi menganggu Fariska seperti yang diminta oleh Abi. Ia semakin sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan suaminya. Semua yang ada di kepalanya hanya uang dan popularitas. Abi pun tak pernah lagi bertegur sapa dengan istrinya, hanya sesekali jika sedang berkumpul di ruang makan. Itupun tanpa Adam dan Fariska. Kedua anaknya sudah enggan bertemu dengan Risya kecuali terpaksa. Siang itu, Adam pulang cepat dari kampus karena ingin membawa adiknya terapi ke dokter. Mereka akan berangkat sore hari sembari menunggu Abi pulang dari kantor. Risya yang tak mengira kalau anak tirinya akan pulang cepat, tergesa-gesa masuk ke ruang kerja suaminya lalu menutup pintunya. Risya kembali mengambil perhiasan milik Carla. "Halo, pa. Adam sudah di rumah. Ada yang darurat, pa?" tanya Adam yang baru saja sampai di rumah. Ia menaiki anak tangga pertama sambil memegang ponsel di telinganya. "Map yang dari dokter? Dibawa sekarang?" Adam terdiam mendengar instruksi dari
"Dari mana? Kok sampai malam baru pulang?" Risya berkacak pinggang di depan pintu masuk dengan lirikan tajamnya ke arah Abi dan Adam. Raut wajah kedua pria itu sangat datar, malas untuk menjawab pertanyaan dari Risya. Abi menyingkirkan tangan Risya yang menghalangi pintu masuk dan menyuruh Adam untuk menidurkan Fariska di kamarnya. Risya sempat menahannya namun tak berhasil karena tangannya dicekal oleh Abi. "Mulai sekarang, jangan pernah ikut campur dengan urusanku. Kamu juga tidak diperbolehkan memegang Fariska kalau sifat kamu tidak berubah," ancam Abi. Risya melotot tak terima, ini keputusan sepihak yang sangat menyakitkan. "Mas, kenapa kamu begitu arogan sekarang? Fariska itu anakku, jadi hanya aku yang berhak sama dia!" "Saya juga ayahnya. Saya yang putuskan akan bersama siapa Fariska setiap harinya. Kamu, silakan urus pekerjaan kamu tanpa harus mikirin Fariska." Risya mengejar Abi yang berjalan cepat meninggalkannya di lantai bawah. Tak lama kemudian terdengar suara pintu
Risya membanting puluhan amplop yang telah disusun rapi oleh asistennya. Dari semua isi amplop itu, yang paling banyak adalah tagihan hutang dari bank dan juga pemutusan kontrak dari suatu brand karena keterlambatan pengiriman video sesuai dengan waktu yang disepakati. "Kenapa bisa sampai telat sih? Kita kan sudah edit semua video yang katanya tidak sesuai? Apa permasalahannya?" marah Risya pada asistennya yang masih berdiri di tempatnya berdiri. "Enggak tahu, mbak. Kita belum dapat alasannya. Tapi disitu tertera kalau video tidak memenuhi standar perilisan sesuai konten mereka," ujar sang asisten yang kini menunduk ketakutan. "Coba kamu hubungi sekali lagi ke mereka. Minta alasannya dan juga kompensasi pemutusan sepihak oleh mereka. Ini tidak adil. Karena kita sering kasih mereka engagement yang enggak main-main," tegas Risya. Asistennya hanya mengangguk lalu pamit undur diri dari ruangan Risya di bagian belakang rumah utama. Risya sejak tadi
Prank!! Suara piring terjatuh berasal dari belakang membuat dua orang yang sedang duduk di ruang tamu terlonjak kaget. Suara itu terdengar jelas seperti ingin menginterupsi perbincangan hangat antara kedua anak dan ibu itu. "Tuh, dengar. Istrimu sedang mengamuk. Apa pantas, seorang menantu berbuat seperti itu?" Riandari, mertua dari Carla mencibir sang menantu di depan suaminya sendiri. Abi sang suami hanya bisa menjawab dengan senyuman kecut tanda ia bingung harus membela yang mana. Carla sedang tidak enak badan hari ini. Kebetulan, Abi juga sedang mengambil cuti kerja. Di saat Carla sedang ingin bermanja dengan tempat tidurnya tiba-tiba saja sang mertua datang dan memintanya untuk memasakkan makanan kesukaan. Kabar tak beruntungnya, asisten rumah tangga yang biasanya datang kini berhalangan. "Carla lagi sakit, Bu. Mungkin masih—" "Ah, itu hanya alasan dia saja. Menantu kurang ajar ya begitu." Riandari memotong penjelasan anaknya. Abi mendesah pasrah tak berani membantah perkata...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments