"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?"
Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya. Apa yang salah dengan dirinya? "Aku sudah berusaha, Winda." "Kamu enggak bisa lihat usaha teman kamu? Lihat Hadi, Kuncoro dan Bimo. Mereka punya pekerjaan yang bisa dibanggakan." Winda terlihat murka, menunjuk-nunjuk wajah Abi dengan telunjuknya hingga hampir menggores pipinya. "Kamu membandingkan aku dengan orang lain? Kamu memang tahu bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan pekerjaan?" balas Abi. "Kamu memang pernah tanya sama mereka bagaimana cara mereka berjuang?" Keduanya saling adu pendapat. Winda yang tak mau kalah dengan Abi meninggikan kepalanya hingga mendongak menampilkan wajah marah nan kasar seperti hendak menerkam. Sedangkan Abmbi, menantang balik istrinya dengan decihan dari bibirnya. "Mau kamu apa?" tantang Abi. "Cerai!! Aku mau kita cerai!!" tegas Winda. Beberapa tahun yang lalu, rumah kecil itu jadi saksi hancurnya kisah rumah tangga Abi dan Winda. Kisah yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang yang tulus harus kandas dengan ego yang menempel di salah satu sisi hati mereka. Abmbi yang saat itu baru saja merintis usahanya mendapat tekanan luar biasa dari istri dan juga keluarganya. Usahanya kacau, hutang menumpuk dan beberapa aset dijual. Ditambah dengan beban biaya yang harus ia tanggung setiap harinya dan itu sukses membuat keduanya hancur dan memilih perpisahan sebagai jalan keluarnya. "Kamu melamun lagi, Mas?" tanya Carla yang baru saja keluar dari kamar mandi. Abi mengangguk. "Memikirkan siapa? Almarhumah?" tanyanya lagi. "Apa yang salah denganku? Kenapa ibu—" Carla menautkan jari telunjuknya tepat di bibir Abi. Tak ingin suaminya melanjutkan pembicaraan yang di luar batas. "Kita ikuti saja kemauan ibu. Toh tak ada ruginya," ujar Carla. Hari ini ia ingin sekali menyesap wangi teh chamomile yang ringan. Beranjak menuju ruang makan, Carla menyeduh dua cangkir untuk dirinya dan juga Abbi suaminya. Masih dengan pikiran yang sama, pagi ini Carla lebih banyak merenungi apa yang ibu mertuanya katakan. Perihal anak dan juga masa lalu serta primbon Jawa yang masih dijaga ketat leluhur Abbi. "Kamu setuju kan, dengan keinginan ibu?" tiba-tiba suara yang tak ingin Carla dengar menggema di ruangan makan yang cukup besar ini. Carla tak menjawab. Ia masih sibuk mengaduk tehnya. "Kamu punya telinga kan?" sindiran halus telak menusuk relung hatinya. "Punya, bu." "Jawab, dong." sang ibu terlihat tak sabar menunggu jawaban Carla. Carla mengangguk pelan. Kepalanya sengaja ia naikkan sedikit agar tak perlu memandang wajah ibu mertuanya yang menatap tajam padanya. Bagaikan elang, mata itu membuat Carla takut dan ingin sekali mundur. "Nah, begitu. Nanti biar ibu saja yang bilang ke Abi." Dada Carla terasa sesak. Sangat sesak. Bagaikan dihimpit banyaknya batu karang atau tembok besar. Ingin rasanya menangis tapi sulit sekali rasanya air mata itu turun. Mata Carla memejam sesaat lalu terbuka dan tersenyum kembali. "Semoga ini hanya sementara," gumamnya. Hari ini jadwal Carla mengantar Adam ke sekolah. Tepat pukul enam pagi ia sudah bersiap dengan sedannya menuju ke sekolah anak tirinya itu. Carla berteriak pelan dari luar rumah memanggil Adam yang sedang sibuk mengikat tali sepatu. "Ayo sayang, cepat. Nanti terlambat," teriak Carla. Adam berlari dari dalam rumah sambil tersenyum manis. "Adam sudah tampan ya, ma." "Sudah sayang. Yuk, kita jalan." Carla berjalan memutar membuka pintu mobil sebelah kiri. Lalu masuk dan memakai sabuk pengaman. Dari dalam kendaraan bisa terlihat Abi yang baru saja ke luar dan masih saja berdebat dengan ibu kandungnya. Carla tak mau ambil pusing. Ia lebih baik mengantar Adam agar tidak kesiangan. "Papa berantem sama eyang," celetuk Adam. Carla menoleh sekilas. "Oh, ya? Kenapa bisa berantem?" tanya Carla berpura tak tahu. "Kata eyang, papa harus nikah lagi." tiba-tiba saja raut wajah Carla menegang mendengar kata menikah. Sejauh itukah ibu mertuanya memperlakukan dirinya? "Memangnya nikah itu apa sih?" tanya Adam polos. Anak seusia Adam memang belum paham. Ia belum siap menerima kata-kata yang menurutnya tidak awam untuk diucapkan. "Menurut Adam apa?" Carla bertanya balik. "Main. Papa disuruh main kan, sama eyang?" "Ehm, nanti kalau Adam sudah besar Adam akan mengerti. Sekarang, Adam belajar yang rajin." Carla memarkir sedan mewahnya sejenak di pelataran sekolah Adam. Ia turun dan menggandeng tangan mungil bocah kecil itu lalu mengantarnya hingga ke dalam kelas. Adam duduk paling depan. Beruntung anak itu mau. Biasanya ia hanya ingin tempat duduk yang berjauhan dengan gurunya. "Mama mau pulang?" tanya Adam. Carla mengangguk. "Hati-hati di jalan. Nanti yang jemput Adam siapa?" "Mungkin mama atau pak Asep. Kamu jangan pulang sendiri kalau belum dijemput ya," pesan Carla. Adam mengangguk. Kepala Carla sedikit menunduk saat Adam akan mencium keningnya. Anak kecil itu sangat romantis. Entah dari siapa ia belajar. Sikapnya yang manis membuat Carla berpikir ulang, apakah benar Adam anak kandung Abi? "Mama pergi dulu. Bye, Adam." Carla melambaikan tangannya pada bocah kecil itu. Adam membalasnya sebentar lalu pergi menuju teman-temannya di dalam kelas. Carla sempat tersenyum sekilas sampai akhirnya menghilang dari pintu kelas Adam. 'Hanya Adam semangat hidupku.' Di kantor, Abi yang belum melihat Carla sedetikpun menjadi kurang bersemangat mengawali hari. Ada saja yang membuat ia kesal. Perdebatan tadi pagi menyisakan banyak kesakitan dalam hatinya. Cintanya kembali diuji untuk kedua kalinya. Abi tak sabar ingin bertemu dengan Carla. Sebelum jam makan siang, ia nekat pergi ke kantor istrinya dan mengajaknya makan siang bersama. Namun, apa yang ia lihat saat ini sungguh di luar perkiraannya. Istrinya tengah berduaan dengan seseorang di dalam ruangan bersekat. "Selamat siang," sapa Abi yang masuk ke dalam ruangan Carla setelah mengetuk pintunya. Carla tersenyum menyambutnya. "Selamat siang," sahut Carla. "Hari ini kita makan siang bersama kan?" tanya Abi sambil melirik pria di samping Carla. Pria itu tak bergeming. Ia hanya menyunggingkan senyum manisnya pada Carla. "Ah, iya. Hari ini makan siang bersama. Pak Ardian, apakah ingin—" "No, aku hanya ajak kamu. Ada yang ingin aku bicarakan," putusnya. Merasa ada hal yang sangat penting, Ardian pun pamit undur diri. Ia berdiri dan memberi salam hormat pada keduanya lalu keluar ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Niatnya mendekati Carla, hilang sudah. "Kita bicara di rumah saja." "Sekarang juga. Karena ibu minta kepastiannya sekarang." "Aku setuju."Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
Sudah menjadi kebiasaan bagi Riandari dan para sahabat dekatnya untuk melakukan pertemuan setiap bulannya. Bertempat di sebuah restoran mewah di pusat kota Jakarta, Riandari dan ke sembilan sahabatnya berkumpul memperebutkan sebuah gulungan kertas yang dengan sengaja disiapkan oleh ketua perkumpulan. Setelah satu nama keluar, mereka berkumpul di tengah untuk merayakan kegembiraan si pemenang. Riandari sebagai anggota yang paling banyak bicara sejak datang tak pernah berhenti membuka mulutnya. Julukannya adalah si biang gosip. Apa sih berita yang tak luput dari mulut besarnya? "Jeng Rian, kemarin Abi habis lamaran ya? Calonnya Abi yang baru cantik enggak?" suara keras dari Ira, salah satu anggota perkumpulan membuat seisi ruangan menoleh padanya. Mertua Carla itu tersenyum sendiri sambil menutup bibirnya malu-malu lalu mengangguk pelan. "Wah, kapan rencana resminya? Saya diundang, kan?" "Semuanya diundang. Rencananya dua bulan lagi." Riandari tersenyum lebar setelahnya. "Jeng Ira,
Ivana dan Ira terlibat obrolan seru. Carla sebagai pendengar, cukup serius mengamati kedua orang itu dari dekat. Sesekali ia menimpali obrolan yang mulai terasa berat. Mereka membahas bisnis dan inovasinya. Maklum saja, keduanya adalah pengusaha makanan yang banyak terlibat dengan kalangan anak muda yang sedang viral sekarang. Itulah sebabnya, tak jarang keduanya terus menerus berinovasi agar anak muda tidak bosan dengan makanan buatan mereka. Carla yang juga seorang pengusaha minuman kaleng dan makanan kering tentunya sangat terbantu dengan ide menarik dari mereka berdua. "Seru deh kalau sudah coba makanan kekinian yang lagi viral. Tapi sih, menurut saya lebih baik buat inovasi yang lebih menarik. Shinta, kamu kan biasanya ada ide. Siapa tahu kita bertiga bisa saling tukeran ide atau join bareng," seru Ira yang dibalas senyuman oleh anaknya yang sedang membereskan meja di dekat ranjang Carla. "Sudah ada ide. Kalau mau, kita bisa diskusi bareng. Ibu Car
Sudah dua hari Abi menginap di rumah sakit menemani Carla, selama itu pula Riandari terus mengomel tak jelas di rumahnya. Sementara Abi di luar, Riandari tinggal di rumah anak bungsunya itu untuk menjaga Adam. Itu katanya. Sebenarnya, tanpa adanya sang nenek tak ada masalah dengan Adam. Ia terbiasa sendiri dan terkadang tak pernah ada di rumah. Anak kecil itu selalu menghabiskan waktunya bersama anak teman Abi yang rumahnya berjarak sepuluh meter. Seperti hari sebelumnya, di hari ketiga Abi tak berada di rumah, Riandari kembali mengomel. Kini, yang jadi sasarannya adalah Rayya tetangga Abi yang juga temannya saat masih kuliah. "Abi tuh dulu kalau sama pacarnya, sering kayak gini enggak?" Rayya yang tengah duduk di teras sambil membaca majalah mengerutkan dahinya. "Maksud ibu?" tanya Rayya heran. "Ya, sering nungguin di rumah sakit atau berduaan gitu sampai lupa waktu." Riandari kegerahan. Sejak tadi tangannya mengipasi leher dengan kipas elekt
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri