"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?"
Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya. Apa yang salah dengan dirinya? "Aku sudah berusaha, Winda." "Kamu enggak bisa lihat usaha teman kamu? Lihat Hadi, Kuncoro dan Bimo. Mereka punya pekerjaan yang bisa dibanggakan." Winda terlihat murka, menunjuk-nunjuk wajah Abi dengan telunjuknya hingga hampir menggores pipinya. "Kamu membandingkan aku dengan orang lain? Kamu memang tahu bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan pekerjaan?" balas Abi. "Kamu memang pernah tanya sama mereka bagaimana cara mereka berjuang?" Keduanya saling adu pendapat. Winda yang tak mau kalah dengan Abi meninggikan kepalanya hingga mendongak menampilkan wajah marah nan kasar seperti hendak menerkam. Sedangkan Abmbi, menantang balik istrinya dengan decihan dari bibirnya. "Mau kamu apa?" tantang Abi. "Cerai!! Aku mau kita cerai!!" tegas Winda. Beberapa tahun yang lalu, rumah kecil itu jadi saksi hancurnya kisah rumah tangga Abi dan Winda. Kisah yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang yang tulus harus kandas dengan ego yang menempel di salah satu sisi hati mereka. Abmbi yang saat itu baru saja merintis usahanya mendapat tekanan luar biasa dari istri dan juga keluarganya. Usahanya kacau, hutang menumpuk dan beberapa aset dijual. Ditambah dengan beban biaya yang harus ia tanggung setiap harinya dan itu sukses membuat keduanya hancur dan memilih perpisahan sebagai jalan keluarnya. "Kamu melamun lagi, Mas?" tanya Carla yang baru saja keluar dari kamar mandi. Abi mengangguk. "Memikirkan siapa? Almarhumah?" tanyanya lagi. "Apa yang salah denganku? Kenapa ibu—" Carla menautkan jari telunjuknya tepat di bibir Abi. Tak ingin suaminya melanjutkan pembicaraan yang di luar batas. "Kita ikuti saja kemauan ibu. Toh tak ada ruginya," ujar Carla. Hari ini ia ingin sekali menyesap wangi teh chamomile yang ringan. Beranjak menuju ruang makan, Carla menyeduh dua cangkir untuk dirinya dan juga Abbi suaminya. Masih dengan pikiran yang sama, pagi ini Carla lebih banyak merenungi apa yang ibu mertuanya katakan. Perihal anak dan juga masa lalu serta primbon Jawa yang masih dijaga ketat leluhur Abbi. "Kamu setuju kan, dengan keinginan ibu?" tiba-tiba suara yang tak ingin Carla dengar menggema di ruangan makan yang cukup besar ini. Carla tak menjawab. Ia masih sibuk mengaduk tehnya. "Kamu punya telinga kan?" sindiran halus telak menusuk relung hatinya. "Punya, bu." "Jawab, dong." sang ibu terlihat tak sabar menunggu jawaban Carla. Carla mengangguk pelan. Kepalanya sengaja ia naikkan sedikit agar tak perlu memandang wajah ibu mertuanya yang menatap tajam padanya. Bagaikan elang, mata itu membuat Carla takut dan ingin sekali mundur. "Nah, begitu. Nanti biar ibu saja yang bilang ke Abi." Dada Carla terasa sesak. Sangat sesak. Bagaikan dihimpit banyaknya batu karang atau tembok besar. Ingin rasanya menangis tapi sulit sekali rasanya air mata itu turun. Mata Carla memejam sesaat lalu terbuka dan tersenyum kembali. "Semoga ini hanya sementara," gumamnya. Hari ini jadwal Carla mengantar Adam ke sekolah. Tepat pukul enam pagi ia sudah bersiap dengan sedannya menuju ke sekolah anak tirinya itu. Carla berteriak pelan dari luar rumah memanggil Adam yang sedang sibuk mengikat tali sepatu. "Ayo sayang, cepat. Nanti terlambat," teriak Carla. Adam berlari dari dalam rumah sambil tersenyum manis. "Adam sudah tampan ya, ma." "Sudah sayang. Yuk, kita jalan." Carla berjalan memutar membuka pintu mobil sebelah kiri. Lalu masuk dan memakai sabuk pengaman. Dari dalam kendaraan bisa terlihat Abi yang baru saja ke luar dan masih saja berdebat dengan ibu kandungnya. Carla tak mau ambil pusing. Ia lebih baik mengantar Adam agar tidak kesiangan. "Papa berantem sama eyang," celetuk Adam. Carla menoleh sekilas. "Oh, ya? Kenapa bisa berantem?" tanya Carla berpura tak tahu. "Kata eyang, papa harus nikah lagi." tiba-tiba saja raut wajah Carla menegang mendengar kata menikah. Sejauh itukah ibu mertuanya memperlakukan dirinya? "Memangnya nikah itu apa sih?" tanya Adam polos. Anak seusia Adam memang belum paham. Ia belum siap menerima kata-kata yang menurutnya tidak awam untuk diucapkan. "Menurut Adam apa?" Carla bertanya balik. "Main. Papa disuruh main kan, sama eyang?" "Ehm, nanti kalau Adam sudah besar Adam akan mengerti. Sekarang, Adam belajar yang rajin." Carla memarkir sedan mewahnya sejenak di pelataran sekolah Adam. Ia turun dan menggandeng tangan mungil bocah kecil itu lalu mengantarnya hingga ke dalam kelas. Adam duduk paling depan. Beruntung anak itu mau. Biasanya ia hanya ingin tempat duduk yang berjauhan dengan gurunya. "Mama mau pulang?" tanya Adam. Carla mengangguk. "Hati-hati di jalan. Nanti yang jemput Adam siapa?" "Mungkin mama atau pak Asep. Kamu jangan pulang sendiri kalau belum dijemput ya," pesan Carla. Adam mengangguk. Kepala Carla sedikit menunduk saat Adam akan mencium keningnya. Anak kecil itu sangat romantis. Entah dari siapa ia belajar. Sikapnya yang manis membuat Carla berpikir ulang, apakah benar Adam anak kandung Abi? "Mama pergi dulu. Bye, Adam." Carla melambaikan tangannya pada bocah kecil itu. Adam membalasnya sebentar lalu pergi menuju teman-temannya di dalam kelas. Carla sempat tersenyum sekilas sampai akhirnya menghilang dari pintu kelas Adam. 'Hanya Adam semangat hidupku.' Di kantor, Abi yang belum melihat Carla sedetikpun menjadi kurang bersemangat mengawali hari. Ada saja yang membuat ia kesal. Perdebatan tadi pagi menyisakan banyak kesakitan dalam hatinya. Cintanya kembali diuji untuk kedua kalinya. Abi tak sabar ingin bertemu dengan Carla. Sebelum jam makan siang, ia nekat pergi ke kantor istrinya dan mengajaknya makan siang bersama. Namun, apa yang ia lihat saat ini sungguh di luar perkiraannya. Istrinya tengah berduaan dengan seseorang di dalam ruangan bersekat. "Selamat siang," sapa Abi yang masuk ke dalam ruangan Carla setelah mengetuk pintunya. Carla tersenyum menyambutnya. "Selamat siang," sahut Carla. "Hari ini kita makan siang bersama kan?" tanya Abi sambil melirik pria di samping Carla. Pria itu tak bergeming. Ia hanya menyunggingkan senyum manisnya pada Carla. "Ah, iya. Hari ini makan siang bersama. Pak Ardian, apakah ingin—" "No, aku hanya ajak kamu. Ada yang ingin aku bicarakan," putusnya. Merasa ada hal yang sangat penting, Ardian pun pamit undur diri. Ia berdiri dan memberi salam hormat pada keduanya lalu keluar ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Niatnya mendekati Carla, hilang sudah. "Kita bicara di rumah saja." "Sekarang juga. Karena ibu minta kepastiannya sekarang." "Aku setuju."Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
Sudah menjadi kebiasaan bagi Riandari dan para sahabat dekatnya untuk melakukan pertemuan setiap bulannya. Bertempat di sebuah restoran mewah di pusat kota Jakarta, Riandari dan ke sembilan sahabatnya berkumpul memperebutkan sebuah gulungan kertas yang dengan sengaja disiapkan oleh ketua perkumpulan. Setelah satu nama keluar, mereka berkumpul di tengah untuk merayakan kegembiraan si pemenang. Riandari sebagai anggota yang paling banyak bicara sejak datang tak pernah berhenti membuka mulutnya. Julukannya adalah si biang gosip. Apa sih berita yang tak luput dari mulut besarnya? "Jeng Rian, kemarin Abi habis lamaran ya? Calonnya Abi yang baru cantik enggak?" suara keras dari Ira, salah satu anggota perkumpulan membuat seisi ruangan menoleh padanya. Mertua Carla itu tersenyum sendiri sambil menutup bibirnya malu-malu lalu mengangguk pelan. "Wah, kapan rencana resminya? Saya diundang, kan?" "Semuanya diundang. Rencananya dua bulan lagi." Riandari tersenyum lebar setelahnya. "Jeng Ira,
Ivana dan Ira terlibat obrolan seru. Carla sebagai pendengar, cukup serius mengamati kedua orang itu dari dekat. Sesekali ia menimpali obrolan yang mulai terasa berat. Mereka membahas bisnis dan inovasinya. Maklum saja, keduanya adalah pengusaha makanan yang banyak terlibat dengan kalangan anak muda yang sedang viral sekarang. Itulah sebabnya, tak jarang keduanya terus menerus berinovasi agar anak muda tidak bosan dengan makanan buatan mereka. Carla yang juga seorang pengusaha minuman kaleng dan makanan kering tentunya sangat terbantu dengan ide menarik dari mereka berdua. "Seru deh kalau sudah coba makanan kekinian yang lagi viral. Tapi sih, menurut saya lebih baik buat inovasi yang lebih menarik. Shinta, kamu kan biasanya ada ide. Siapa tahu kita bertiga bisa saling tukeran ide atau join bareng," seru Ira yang dibalas senyuman oleh anaknya yang sedang membereskan meja di dekat ranjang Carla. "Sudah ada ide. Kalau mau, kita bisa diskusi bareng. Ibu Car
Sudah dua hari Abi menginap di rumah sakit menemani Carla, selama itu pula Riandari terus mengomel tak jelas di rumahnya. Sementara Abi di luar, Riandari tinggal di rumah anak bungsunya itu untuk menjaga Adam. Itu katanya. Sebenarnya, tanpa adanya sang nenek tak ada masalah dengan Adam. Ia terbiasa sendiri dan terkadang tak pernah ada di rumah. Anak kecil itu selalu menghabiskan waktunya bersama anak teman Abi yang rumahnya berjarak sepuluh meter. Seperti hari sebelumnya, di hari ketiga Abi tak berada di rumah, Riandari kembali mengomel. Kini, yang jadi sasarannya adalah Rayya tetangga Abi yang juga temannya saat masih kuliah. "Abi tuh dulu kalau sama pacarnya, sering kayak gini enggak?" Rayya yang tengah duduk di teras sambil membaca majalah mengerutkan dahinya. "Maksud ibu?" tanya Rayya heran. "Ya, sering nungguin di rumah sakit atau berduaan gitu sampai lupa waktu." Riandari kegerahan. Sejak tadi tangannya mengipasi leher dengan kipas elekt
"Aduh." Terlihat seorang wanita tengah kesusahan memijat pergelangan kakinya yang baru saja tak sengaja menginjak sebuah kain. Ia terduduk sambil menundukkan wajahnya yang mengerang kesakitan. Kain yang terjulur itu adalah kain milik Carla yang tengah dipasangkan di tubuhnya oleh staf butik tante Leni. Staf itu tak melihat jika ada seseorang tengah melintas di belakangnya. "Bu, maaf. Tadi enggak sengaja. Saya tidak melihat—" "Kalau kerja itu pakai mata! Mentang-mentang kamu lagi sibuk sama pelanggan satunya, jangan lupakan juga ada pelanggan yang lain," bentak wanita itu. Carla yang merasa familiar dengan suara itu seketika menoleh dengan cepat ke arahnya. Matanya terbelalak, ternyata benar orang yang ada di pikirannya itu tengah berada di tempat yang sama dengannya. Ia menghela napas kasarnya. Baru saja ia terbebas dari masalah di acara pertunangan Kesya kemarin, kini harus dipertemukan lagi dengan wanita itu. Entah apa rencana tuhan yang sebenarnya dengan mereka berdua. Takdi
Kabar kehamilan Risya mampir di telinga Carla. Ini semua karena ulah bibik yang sering bergosip dengan asisten yang lain saat sedang santai. Curi dengar itu membuat hati Carla tercubit. Dua kali dirinya mendengar kabar bahagia kehamilan orang di dekatnya tapi dirinya sendiri masih belum juga memiliki satupun. Carla berjalan bolak-balik di belakang rumah hanya untuk memastikan apa yang didengarnya tidaklah salah. Ia bahkan rela duduk sambil mengunyah makanan agar gosip yang terdengar itu semakin seru. 'Ternyata, dia memang sudah hamil lagi?' Lalu, Carla mengusap perutnya. Datar, tanpa isi kecuali lemak. Carla menghela napas kasarnya. Ia beranjak dari duduknya menuju dapur. Tenggorokannya haus sejak tadi. Jus melon adalah pilihan bagus untuknya. "Mama!" teriak Adam dan Tasya yang berlarian masuk ke dalam rumah. "Adam minggu depan libur." "Tasya juga." Keduanya menunjukkan sebuah surat himbauan dari sekolah. Carla membacanya dengan seksama lalu mengangguk paham. "Satu bulan libur
"Kesya, sini nak." Kesya berlari kecil ke arah ibunya yang memanggil dari kejauhan. Al sudah tak tahu kemana, sepertinya sedang berbincang dengan teman-temannya yang datang ke acaranya. Kesya tentunya tak tahu siapa yang berada di samping ibunya, karena posisi mereka yang dekat dengan lorong tempat lalu lalang orang. Dengan senyum manisnya Kesya memeluk ibunya dari samping. Ia belum sadar dengan siapa ibunya tengah berbincang. Hingga suara ibunya menyadarkan dirinya dan akhirnya membuat batinnya sedikit terguncang. 'Abi?' "Ini loh saudara jauh kamu yang sering main ke rumah lama kita di Semarang. Kamu pasti sudah lupa. Namanya Risya dan ini suaminya." Kesya meringis tak tahu harus menjawab apa. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan keduanya. "Kamu ngobrol dulu. Ibu mau cek barang-barang hantaran tadi." "Dunia sempit ya? Aku enggak tahu kalau ternyata Risya itu sepupuku," sinis Kesya tak suka. Merasa diremehkan membuat Risya menaikkan wajahnya seolah sedang menant
Setelah pemeriksaan ke dokter kandungan, Abi dan Risya memutuskan untuk merayakan perayaan kehamilan kedua dengan makan bersama di kafe milik Vian. Abi memilih kafe itu karena ada memori tersendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Risya tampak bahagia. Pasalnya, ia membawa keluarga besarnya untuk ikut merayakan pesta itu. Abi pun tak keberatan sama sekali. "Makan yang banyak, Ma. Kita makan enak malam ini," ujar Risya pada ibunya yang juga datang. Abi tersenyum datar melihat suasana akrab itu. Sekedar mencari angin, Abi memilih keluar dari dalam ruangan untuk duduk di dekat anak tangga belakang. Ia ingin merilekskan otaknya sejenak menatap kolam ikan yang sepi. Pikirannya berkelana ke beberapa waktu silam saat ia melihat Adam berada di sana. Dia sedang apa sekarang ? Pesan yang dikirim tiga hari lalu masih saja diabaikan. "Adam mau dibawakan apa? Udang asam manis atau cumi pedas?" Abi menoleh ke belakang, asal su
"Mau kemana kamu?" Abi turun dari tangga langsung mendapati Risya yang sedang mengendap-endap ingin pergi ke suatu tempat. Pakaiannya rapi dan ini masih pagi. Seharusnya wanita itu mengurusi anaknya atau setidaknya memasak untuk suaminya. "Mau kemana?" tanya Abi lagi. "Mau ke butik tantenya Indah. Aku mau ambil pesanan minggu lalu untuk lamaran dan pernikahan anaknya om aku yang tinggal di luar kota. Dia minggu ini anaknya lamaran dan aku belum pernah ketemu lagi dari SMP. Pas kita nikah dia juga enggak bisa datang karena sakit. Boleh ya?" ujar Risya panjang lebar menceritakan rencananya hari ini. "Katanya mau periksa kandungan? Aku udah telpon dokternya." Abi menyilangkan dadanya di depan Risya. Istrinya itu menelan ludah kasar. Abi jika dalam model seperti ini sulit untuk ditolak pesonanya. "Kamu enggak lagi coba berbohong sama aku kan?" "Demi tuhan, aku enggak bohong. Janjian ke dokternya jam berapa?" tanya Risya. "Sore jam tiga." Risya tersenyum senang. Berarti pagi ini dia
Lelah menghampiri Abi yang baru saja menyelesaikan pekerjaan hari ini. Setelah libur selama dua hari akhir pekan kemarin, sulit baginya untuk sekedar bersantai sejenak. Hal yang membuatnya lelah hari ini adalah audit keuangan perusahaan yang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Al yang memanggil tim audit. Ini semua demi pengetatan anggaran yang tak perlu dan mencari pelaku pelanggaran yang menyebabkan kebocoran keuangan perusahaan. Al mencurigai banyak pihak telah berbuat curang. Al mencurigai Abi, lebih tepatnya. "Aku tahu kau sangat curiga denganku. Iya, kan?" tanya Abi setelah diperbolehkan masuk ke dalam ruangan minimalis milik Al. Ia menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum sinis setelahnya. "Ow, kau merasa ya? Padahal aku hanya ingin audit biasa saja. Ah, bukankah kamu pernah membuat kebijakan bagi karyawan untuk memakai uang perusahaan dengan cara pinjaman seperti student loan misalnya. Pengabdian dengan separuh gaji jika mema
Keesokan harinya, Risya bermaksud meminta pertanggung jawaban Nanda yang telah menipunya hingga berujung malu di depan banyak orang. Bahkan ia sudah bersiap untuk memberikan tamparan pada temannya itu. Segera ia pergi ke studio musik milik Nanda untuk menemuinya. Di dalam studio itu, ia melihat Nanda dan Gane sedang tertawa lepas mendengar cerita salah seorang staf studio musik itu. Risya berdiri di dekat pintu masuk yang terbuka di satu sisinya. Dari situ ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan mereka bertiga. "Mertua si bodoh itu viral? Sudah kuduga. Wanita itu memang picik dan senang membuat keributan," ujar Nanda yang diangguki oleh Gane. "Iya. Pantas saja mantan menantunya tidak kuat. Kalau jadi Carla, aku sudah kasih itu racun ke makanannya si mertua jahanam itu," tambah Gane yang dibalas kekehan kasar dari Nanda. "Orang seperti itu harus kita kerjain sekali-kali. Aku pernah kasih semangat untuk Carla menjelang sidang perceraiannya. Dia terlihat sedih tapi ber
Carla tak habis pikir. Dirinya sudah menjauh dari kehidupan Abi tapi tetap saja masih bertemu dengan mereka di sela kesibukannya. Tak ada lagi nama Abi, tak ada lagi komunikasi apapun dengan pria itu. Tapi takdir selalu mempertemukan mereka berdua. Sepertinya, memang itu semua sudah digariskan dari tuhan. "Untuk tuan Abi, tolong beritahukan pada keluarga anda untuk tidak menganggu kehidupan saya lagi. Dunia tak berputar hanya sekitar mereka saja. Kalau mereka butuh pengakuan lebih, berbuatlah sesuatu yang bisa membanggakan. Jangan bertingkah seperti tadi." Carla menggandeng tangan Vian keluar dari gedung acara. Ia tak ingin mendengar segala omong kosong yang keluar dari mulut mantan suaminya itu. Rasa kesal dan benci menguar dari dalam dirinya. Padahal, rasa itu telah dikuburnya dalam-dalam. "Aku, minta maaf Carla." Abi berteriak memanggil Carla yang hampir mencapai pintu keluar. "Atas nama keluargaku, aku minta maaf. Aku akan peringatkan mereka untuk t
Sepanjang acara amal, Risya terus saja berwajah masam. Seluruh rencananya hilang sejak semalam. Tadinya, dia akan membuat video saat dirinya berada di panggung memamerkan jumlah donasi yang diberikan. Berhubung jumlah donasinya hanya sedikit, ia malu untuk membuatnya viral. Ibu mertuanya juga bingung dengan kejadian tadi. Bukankah menantunya bilang kalau dirinya menyumbang banyak untuk donasi dalam acara amal ini? Mungkin saja ada kecurangan dari pihak panitianya. Ditengah-tengah acara, Riandari memberanikan diri untuk menanyakan dimana panitia acaranya. Kebetulan, salah satu temannya mengenal ketua panitia acaranya. Dengan langkah penuh semangat, Riandari beranjak menuju panggung belakang. Biarlah tak mengapa acaranya masih berlangsung. Ia harus mendapatkan jawaban atas masalah yang terjadi. "Mbak ini panitia acaranya ya?" Riandari tiba di belakang panggung bertemu dengan salah satu panitia. Wanita yang disapa Riandari menganggukkan kepalanya. "Saya mau protes tentang donasi yang