Hanifah tak mengira kesetiaannya selama ini pada suami dan ibu mertua berbuah pengkhianatan. Ia bahkan menutupi rahasia besar suaminya dan rela menjadi tameng yang disalahkan karena dianggap tak bisa memberikan keturunan. Merasa sudah dilukai terlalu dalam, Hanifah akhirnya memutuskan untuk melawan. Dia bahkan secara halus membuka aib yang selama ini disembunyikannya untuk melindungi harga diri suaminya tersebut. Rahasia apa yang telah disembunyikan Hanifah bertahun-tahun? Apa yang terjadi pada suaminya kelak andai rahasia itu terbongkar?
Lihat lebih banyak“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap
Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku menatap sebentar ke arah kaca jendela depan dekat pintu utama, lalu kembali menyesap teh hangatku dengan pelan. Tampak Ibu mertua tersenyum merekah berjalan dengan tergesa menuju pintu. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Hari ini dia bahkan memintaku memasak banyak makanan dengan menu istimewa pilihannya. Semua yang kumasak bukan makanan kesukaan Mas Akbar, apalagi favoritku. Bukan pula kesukaan Ibu mertua dan adik ipar. Katanya bakal ada yang datang berkunjung dan aku tahu itu siapa. "Hanifah, ayo sambut tamu kita, itu pasti mereka." Ibu mengajakku serta agar ikut dengannya ke depan teras, tapi langkahku berat. Aku tetap bertahan duduk di kursi tamu, menikmati teh tawar yang terasa sepahit kopi. Ada rasa yang menyesakkan dada, tapi kucoba menekannya dengan berpura-pura baik. Hanya menoleh sebentar saat namaku disebutnya, namun enggan mengikuti langkahnya. Tidak seperti biasanya, patuh dengar tiap titahnya. Kali ini aku memilih menungg
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen