Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku menatap sebentar ke arah kaca jendela depan dekat pintu utama, lalu kembali menyesap teh hangatku dengan pelan.
Tampak Ibu mertua tersenyum merekah berjalan dengan tergesa menuju pintu. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan. Hari ini dia bahkan memintaku memasak banyak makanan dengan menu istimewa pilihannya. Semua yang kumasak bukan makanan kesukaan Mas Akbar, apalagi favoritku. Bukan pula kesukaan Ibu mertua dan adik ipar. Katanya bakal ada yang datang berkunjung dan aku tahu itu siapa."Hanifah, ayo sambut tamu kita, itu pasti mereka." Ibu mengajakku serta agar ikut dengannya ke depan teras, tapi langkahku berat. Aku tetap bertahan duduk di kursi tamu, menikmati teh tawar yang terasa sepahit kopi. Ada rasa yang menyesakkan dada, tapi kucoba menekannya dengan berpura-pura baik. Hanya menoleh sebentar saat namaku disebutnya, namun enggan mengikuti langkahnya. Tidak seperti biasanya, patuh dengar tiap titahnya. Kali ini aku memilih menunggu saja. Tak ingin melukai hati yang tiap malam kuobati dengan bermunajat padaNya di sepertiga malam, berharap dikuatkan."Nita! Syukur, Nak. Datang dengan selamat. Tidak ada yang sakit kan? Mual? Pusing?" Terdengar nada kekhawatiran dari bibir wanita paruh baya tersebut dan aku tersenyum getir mendengarnya dari dalam ruang tamu. Dulu nada itu sering kudengar untukku diucapkannya, tapi lambat laun berhenti terucap karena menelan sebuah kekecewaan."Iya, Bu. Nita baik-baik saja. Dede dalam sini juga baik."Nyes! Sakit, tapi aku tersenyum kecut. Terdengar lucu dan menyakitkan dalam waktu bersamaan."Syukur, Nak. Kalian berdua harus baik-baik saja dan sehat, Ibu sudah tak sabar ingin menimang–""Ekhem. Sayang. Mas pulang."Mas Akbar menyapaku yang sedang berdiri di ambang pintu. Terkesan disengaja untuk menghentikan ucapan ibunya. Aku memaksakan tersenyum, sengaja menghampiri mereka, ingin tahu. Lalu mendekat memangkas jarak padanya. Meraih tangannya untuk dicium takzim seperti biasanya. Tak ada yang berubah dari kebiasaan yang kulakukan terhadapnya. Kecuali dia, melupakan sesuatu. Sebuah kecupan kala datang dan pamit pergi dariku, tak dilakukannya lagi.Tanganku mengarah ke kening dan Mas Akbar yang paham tampak salah tingkah jadinya. Namun didekatkannya juga bibirnya tersebut ke arah keningku karena aku masih menunjuk ke arah sana. Memaksa minta dicium, rutinitas kami tiap bertemu."Ekhem." Terdengar dehaman Ibu mertua. Aku tahu itu teguran, tapi kuabaikan seolah tak mendengar. Dapat kulihat juga wajah tak suka dari wanita yang berdiri di samping Mas Akbar."Hanifah." Ibu menyeruku.Dengan terpaksa aku menoleh."Ini kenalkan. Namanya Nita Anggraini. Sepupu jauh Akbar. Dia nanti bakal tinggal di sini." Ibu memperkenalkan tamu yang disambutnya dengan antusias. Senyum di bibirnya kembali merekah."Kenalkan Kak, saya Nita." Wanita muda sekitar 25 tahun ke atas itu menyapaku hangat.Aku mengangguk tapi tak menyambut uluran tangannya. "Hanifah," ujarku menyebutkan nama dengan tetap bergelayut manja ke lengan Mas Akbar. Suamiku itu tampak tak nyaman. Terasa tangannya ingin mengurai peganganku. Namun tak bisa karena aku memegangnya kuat."Oh, ini tamunya, Bu. Kamu beruntung sudah ditunggu tak sabar oleh ibu mertuaku loh. Pasti seseorang yang istimewa di hatinya," imbuhku penuh pujian seraya melepaskan tangan dari Mas Akbar. Jengah juga pura-pura manja padanya.Wanita yang kusanjung itu tersenyum lebar. Kesenangan."Ya, semua keponakan Ibu selalu istimewa, Han. Tidak terkecuali Nita. Dia wanita yang baik dan penurut. Semua orang pasti bakal menyukainya dan begitupun Ibu harap denganmu."Aku tersenyum tapi tidak mengiakan, karena tidak mungkin menyukai duri yang menusuk kesucian pernikahanku."Ayo kita masuk. Akbar capek, Bu. Tiga jam lebih duduk menyetir mobil."Suamiku baru datang dari tugas dinas kantor. Itu katanya padaku, padahal ….Dia bilang dinas di kota yang didiami Nita. Sebuah kebetulan yang kuyakini disengaja. Makanya datang bersama karena wanita itu katanya akan tinggal sementara di rumah kami dengan alasan mencari kerja. Padahal tanpa sepengetahuan mereka, aku sudah tahu apa latar belakang wanita itu harus tinggal di sini."Nanti Hanifah pijitin, Mas. Yuk masuk dulu. Hani juga sudah masak banyak."Hani adalah nama panggilanku.Aku masih bersikap baik seperti biasanya. Memaksa Mas Akbar berjalan bersamaku. Kembali kupegang erat lengannya, sengaja membuat panas seseorang yang tertinggal bersama Ibu mertua di belakang sana."Hanifah, tunggu!" Aku dan Mas Akbar kompak berhenti."Tolong bawakan koper Nita. Kasihan dia kok malah dicuekin."Mataku memicing menilik Nita dari atas ke bawah. Wanita itu terlihat sehat, dan Ibu berlebihan mengkhawatirkannya. Lagi pula kenapa menyuruhku? Kenapa tidak Mas Akbar yang dimintai tolong?"Mas, tolong bawakan, ya? Tangan Hani pegal habis memasak banyak makanan dan bersih-bersih, tak kuat kalau sekarang harus membawa kopernya Nita," pintaku melas pada Mas Akbar. Kali ini aku membantah perintah ibu mertua.Dapat kulihat raut keterkejutan di wajah Bu Romlah. Ia ingin bersuara, tapi disela Mas Akbar lebih dulu."Akbar saja, Bu. Kasihan Hanifah." Tanpa menunggu mereka, aku berjalan masuk ke dalam rumah lebih dulu setelah mendengar ucapan suamiku tersebut.Di dalam, Ibu meminta wanita itu istirahat di kamar tepat di sebelah kamar kami. Kamar bekas Dina, adik iparku. Sedang Dina sendiri terpaksa tidur di kamar tamu, di sebelahnya. Entah dimana keberadaannya sekarang. Lebih suka berlama-lama berada di luar daripada di rumah, tidak seperti dulu. Anak itu bersikap aneh beberapa bulan belakangan. Aku memaksa Mas Akbar masuk kamar dengan alasan ingin memijitnya."Mas kangen." Mas Akbar memelukku dari belakang. Aku menyunggingkan senyum palsu seraya melepaskan tangannya perlahan. Aku benci dekapan yang sekarang bukan aku saja pemiliknya."Mas mandi dulu. Bau asem," tukasku menghindar."Biasanya juga nggak masalah mencium bau apa pun. Apalagi bau badan Mas, kok sekarang .…" Mas Akbar mencebik terlihat tak suka seraya melepas baju."Entah, Mas. Akhir-akhir ini suka sensitif. Mencium bau apa pun bikin mual.""M–mual? Apa jangan-jangan kamu …." Mas Akbar tersentak kaget dan menatapku lekat menyelidik. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Dia kembali berpakaian."Apa?" Aku terkekeh. "Nggak mungkin Mas. Aku kan m–mandul." wajahku seketika sendu saat mengatakannya. Paham ke arah mana pertanyaan itu."Nggak, Hani. Semua tidak ada yang tidak mungkin. Bisa jadi, ehm, tunggu di sini. Aku keluar sebentar!""Mas, kamu mau kemana?!"Namun Mas Akbar keburu pergi dengan tergesa. Arahnya keluar rumah."Mas, mau kemana?" Nita tiba-tiba muncul mempertanyakan dan aku mengedikkan bahu isyarat tak tahu. Mas Akbar sudah tak sempat dijangkaunya. Deru mesinnya sudah dihidupkan. Mas Akbar sudah pergi.Aku tersenyum semringah pada Nita seraya menutup pintu dengan rapat. Tak lupa menguncinya dari dalam. Kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Membuka bagian laci tengahnya dengan anak kunci yang kusimpan dengan hati-hati. Kuambil sebuah map cokelat berisi lembaran-lembaran hasil pemeriksaan kesehatan kesuburan Mas Akbar. Terbaca kata oligoteratozoospermia. Kalimat medis yang dulu terasa asing di telingaku. Lalu ada juga kata infertilitas. Hasil yang meruntuhkan jiwa laki-laki tersebut andai lembaran kertas ini terbaca olehnya. Sebuah pengorbanan besar yang kulakukan demi menyembunyikan semua ini dari mereka tapi sayangnya malah pengkhianatan yang kudapatkan.Teringat wajah bahagia ibu mertua saat memandang perut Nita barusan membuatku ingin bertanya padanya."Anak siapa yang kau nantikan, Bu.""Hanifah!""Hanifah!"Terdengar suara Ibu mertua memanggilku diiringi ketukan pintu. Suara gedorannya terdengar mendesak tak sabaran minta segera dibukakan. Aku dengan langkah malas menuju ke arahnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah pintu kamar kubuka. Tampak Ibu tak sendiri. Di sampingnya ada Nita. Wajahnya terlihat murung. Wanita itu menunduk saat kutatap lekat. "Akbar kemana? Kamu minta dia ngapain?" jawab Ibu malah bertanya dengan nada kesal terlihat dari raut wajahnya. Keningku mengkerut. "Mas Akbar?" ulangku sembari menatap wanita yang berdiri di samping Ibu. "Iya, Akbar. Katanya pergi. Kemana? Kamu nyuruh dia beli apa? Baru juga datang sudah diminta pergi lagi, Han. Terlalu kamu!" Ibu menggerutu. "Oh, itu. Hani juga nggak tahu Bu. Hani nggak minta apa-apa sama Mas Akbar. Dia buru-buru pergi. Tidak bilang mau kemana. Memangnya kenapa?" tanyaku sok polos tak ingin disalahkan. Nada bicaraku masih kubuat sehalus mungkin. Tidak terbawa emosi sepertinyq. Apalagi menghadapi
"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh. "Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri. Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku. "Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus. "Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan. Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya. "Aku sudah selesai, su
"Sayang.""Sayang, bangun.""Hanifah."Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat. "Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya. "Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi." Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya. "Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur. Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini. "Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang i
Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan? Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mat
"Yang, Mas mau bicara." Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi. "Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan. "Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan
"Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala
"Oh, Mas Akbar belum cerita ya?" "Cerita apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" Wajah Ibu menyiratkan keheranan. Ia memandangku lekat penuh tanya, mungkin penasaran dengan apa yang kumaksud barusan. "Begini, Bu. Kami mempunyai perjanjian pranikah kalau siapa pun diantara kami yang selingkuh, maka dia harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan. "Lalu, apa hubungannya dengan …." Ibu menggantung ucapannya dan aku mengangguk mengisyaratkan kalau apa yang sedang dipikirkannya adalah benar. "Mas Akbar harus keluar dari rumah ini karena dia yang berkhianat lebih dulu," lanjutku memperjelas. "T–tidak! Itu tidak bisa dijadikan tolak ukur. Anakku juga tidak selingkuh. Dia menikah atas restuku. Dia juga berhak menikah lagi karena kamu sebagai istri tidak bisa memberikannya anak." Ibu protes keras tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. "Mas Akbar tidak bilang dia menikah lagi. Dia juga tidak izin sama Hani, Bu. Tiba-tiba saja sekarang ini
Setelah lama mengurung diri di dalam kamar, aku memutuskan keluar. Aku ingin tahu keadaan di luar kamar, apa yang terjadi. Sejak di dalam kamar, tak ada panggilan lagi dari Ibu mertua. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukannya di luar sana. Saat keluar, kadaan di ruang tengah sepi. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak terlihat ada Ibu maupun Nita. Apa mereka juga ikut mengurung diri di kamar? Untuk apa? Setahuku jam segini, Ibu sudah duduk di depan tivi. Menonton siaran drama kesukaannya. Belum beranjak dari ruang tengah terdengar suara orang bicara dari arah dapur. Aku berjalan ke arah sana memastikan, seraya menajamkan indra pendengaran. "Masaknya gini."Suara Ibu mertua yang berbicara. Ternyata ia sedang masak bersama Nita di dapur. Lebih tepatnya Ibu yang tampak sibuk memasak, sedang Nita berdiri di sampingnya sedang memperhatikan. Aku memperhatikan mereka dari ambang pintu dapur. Posisi mereka membelakangiku, jadi tentu saja tidak tahu akan keberadaanku yang memperhat
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap