"Hanifah!"
"Hanifah!"Terdengar suara Ibu mertua memanggilku diiringi ketukan pintu. Suara gedorannya terdengar mendesak tak sabaran minta segera dibukakan.Aku dengan langkah malas menuju ke arahnya."Iya, Bu. Ada apa?" tanyaku setelah pintu kamar kubuka.Tampak Ibu tak sendiri. Di sampingnya ada Nita. Wajahnya terlihat murung. Wanita itu menunduk saat kutatap lekat."Akbar kemana? Kamu minta dia ngapain?" jawab Ibu malah bertanya dengan nada kesal terlihat dari raut wajahnya.Keningku mengkerut. "Mas Akbar?" ulangku sembari menatap wanita yang berdiri di samping Ibu."Iya, Akbar. Katanya pergi. Kemana? Kamu nyuruh dia beli apa? Baru juga datang sudah diminta pergi lagi, Han. Terlalu kamu!" Ibu menggerutu."Oh, itu. Hani juga nggak tahu Bu. Hani nggak minta apa-apa sama Mas Akbar. Dia buru-buru pergi. Tidak bilang mau kemana. Memangnya kenapa?" tanyaku sok polos tak ingin disalahkan. Nada bicaraku masih kubuat sehalus mungkin. Tidak terbawa emosi sepertinyq. Apalagi menghadapi orang tua yang dulu kuanggap seperti ibuku sendiri."Kok bisa tidak tahu suamimu pergi kemana? Harusnya kamu tanya, Han!" Kali ini suaranya lebih meninggi dan terdengar sewot. Biasanya Ibu tak pernah seketus ini bicara padaku.Kulirik sekilas wanita di samping ibu mertua. "Ya, nggak sempat. Mas Akbar tiba-tiba pergi begitu saja, Bu. Memangnya ada apa? Ada yang bisa Hani bantu? Hm, Nita kenapa Bu? Kok wajahnya sembab begitu?" tanyaku heran mengalihkan pandangan ke wanita tersebut. Nampak sekali Nita seperti orang yang habis menangis."Oh, ini. Nggak papa. Anu, … ee … kejedot pintu. Iya tadi kejedot pintu dahinya." Ibu beralasan. "Jadi benar kamu nggak tahu Akbar kemana?"Ibu mengulangi pertanyaannya seolah ingin memastikan kalau aku tidak berbohong.Kepalaku mengangguk mengiakan."Teleponnya aktif, tapi nggak diangkat, Bu."Nita menyela dengan nada merajuk. Ia fokus menatap ponsel di tangannya."Memang ada apa, Bu? Kok sepertinya penting sekali sampai menghubungi Mas Akbar. Ada masalah penting?"Aku mencoba menyelidik. Entah kenapa mereka menginginkan Mas Akbar. Apa memanggil untuk makan siang? Ini kan sudah waktunya makan siang. Awalnya sudah kutawarkan, tapi Mas Akbar menolak dengan alasan capek."Oh, itu. Nggak papa kok. Ada yang hm …, Ya, sudahlah, Nit. Nanti Akbar juga balik. Ehm, Han. Anu, Ibu bisa minta tolong?" Sekarang nada bicaranya lembut. Beda dari sebelumnya. Secepat itu Ibu berubah kalau ada maunya. Entah apa yang diinginkannya dariku."Ya, ada apa, Bu?""Di kulkas, Ibu lihat tidak ada simpanan buah, ehm, anu, Ibu lagi mau makan buah. Kalau bisa mangga muda. Kamu bisa belikan?"Hah? Mendengar perkataan Ibu barusan membuatku terkejut dan ingin juga rasanya tertawa.Ibu ingin mangga muda? Buat Ibu atau dia? Refleks mataku melirik ke Nita. Benakku mencibirnya tapi tak terlontarkan keluar."Mangga muda? Ibu mau makan mangga muda? Nggak salah, Bu?" timpalku menyelidik. Pura-pura tak tahu."Iya, kenapa? Boleh kan? Ibu sudah lama tak makan yang asem, jadi ingin saja. Tolong belikan ya? Mau minta tolong Akbar, orangnya sudah keburu pergi."Aku menggeleng. "Hanifah nggak bisa, Bu. Nanti dimarahi Mas Akbar. Ibu kan bermasalah sama asam lambung, tidak bisa makan yang terlalu asam. Kalau Mangga matang dan manis, Hani mau belikan, itu pun boleh makan sedikit, tidak boleh banyak, tapi kalau mangga yang masih muda, maaf, Bu. Hani tak berani," tolakku dengan halus.Ibu terkejut, mungkin baru ingat kalau dia tidak diperbolehkan makan yang terlalu asam, dan hampir lima tahun membersamainya, Ibu sudah tak makan mangga muda. Aku biasanya stok buah apel, pepaya, atau buah naga di kulkas yang sudah matang. Bukan mangga muda."Oh, I–iya. Ibu lupa. Hm, ya sudah nggak jadi."Aku tersenyum mendengarnya. Apalagi melihat kekecewaan di wajah Nita. Dugaanku tepat pasti permintaan wanita tersebut. Kedua wanita berbeda usia itu berlalu pergi dari depan kamarku tanpa bicara sepatah kata pun lagi. Pintu kamar kututup kembali.Aneh, baru juga datang sudah menyusahkan! Setelah hampir setengah jam pergi, Mas Akbar akhirnya pulang. Aku tahu dari suara deru mesin mobilnya yang terdengar khas dari luar rumah. Penasaran dengan apa yang dibawanya pulang, benarkah seperti dugaanku? Selang dua puluh menit berlalu, aku keluar kamar untuk menemuinya. Aku sudah berusaha menunggunya di dalam kamar, tapi dia tak kunjung masuk ke dalam kamar kami. Sepi, aku tak menemukannya di ruang tengah, apalagi di ruang tamu. Namun terdengar suara orang berbincang dari arah ruang makan. Aku berjalan ke sana untuk memastikannya. Suara gelak tawa riuh terdengar bersahutan di ruang makan. Ekspresi gembira menghiasi tiap wajah di ruangan ini, termasuk suamiku. Aku tersenyum getir melihatnya. Mereka makan siang tanpa mengajakku serta. Padahal semua makanan aku yang masak."Hanifah." Mas Akbar menghentikan senyum bahagianya kala bersirobok tatap denganku yang berdiri di ambang pintu.Dua wajah lainnya dengan ekspresi sama, kompak diam seketika saat aku berjalan mendekati mereka."Sudah bangun? Sini Sayang makan bareng kita," ajaknya tanpa rasa bersalah."Sudah bangun? Maksudnya, Mas?" Kulontarkan pertanyaan itu karena aku memang tidak paham. Dia bertanya seolah aku baru bangun tidur."Kata–" Tatapan Mas Akbar ke Ibu."Hm, Ibu sudah ketuk pintu kamar kamu tapi nggak ada sahutan. Ibu kira kamu tidur," ujar Ibu menjelaskan menyela ucapan anaknya."Ketuk pintu? Kapan? Hani tidak tidur, Bu dan tidak dengar ada suara ketukan pintu. Kalau ada–""Itu–""Sudah, Sayang. Jangan diperpanjang. Mungkin Ibu mengetuknya terlalu pelan jadi kamu nggak dengar. Ayo duduk di sini, kita makan bareng." Mas Akbar maju mendekat dan menuntunku duduk di kursi bersebelahan dengan kursinya. Aku diam tapi dengan tatapan tajam ke arah Ibu. Wanita tua itu seperti heran melihatku berani menatapnya lama begitu. Namun ia tidak marah, dia diam saja dan fokus kembali ke piringnya. Sesekali ia tersenyum ke arah Nita. Memperhatikan wanita muda itu dan mengabaikanku yang merupakan menantunya juga."Mas, kamu tadi kemana? Kok lama? Beli apa?" tanyaku membuka obrolan setelah sekian menit tak ada yang bicara. Padahal sebelum kedatanganku, mereka asyik bercanda ria dan tertawa bersama."Oh, itu. Mas ke rumah teman sebentar. Masalah kerjaan. Nggak bisa ditunda lagi makanya buru-buru pergi."Jawaban yang aneh. Mas Akbar menjawab sambil menggaruk kepalanya. Aku tahu kebiasaannya saat berbohong, yang sekarang sering dilakukannya. Ingin sekali mendebat, tapi rasanya malas. Lalu tatapanku teralihkan pada sebuah piring di dekat Nita berisi sesuatu yang mengejutkan bagiku. "Loh, itu mangga muda ya? Siapa yang beli?" celetukku disengaja."Itu Mas yang beli," jawab Mas Akbar."Buat siapa? Bukan buat Ibu kan? Apa Ibu yang minta Mas Akbar buat–"Aku menggantung ucapanku seraya menatap ke Ibu. Wanita tua itu tampak salah tingkah."Itu spontan saja, Han, Mas nggak sengaja lewat toko buah jadi kepikiran mau beli buah, jadi Mas beli saja. Siapa tahu ada yang mau." Mas Akbar menjelaskan."Tapi kenapa mangga muda?"Tak ada yang menyahut. kutatap Mas Akbar minta penjelasannya."Mas lupa nanya sama penjualnya mana yang matang dan masih muda. Ini bukan buat Ibu, nanti biar Mas yang makan," cetusnya dengan senyum dipaksa. Ibu dan Nita diam tanpa suara."Oh, gitu. Jangan Mas. Hani nggak pernah lihat Mas makan mangga muda. Sini buahnya, biar Hani yang makan. Akhir-akhir ini suka makanan yang asem." Kuraih piring tersebut tanpa permisi dan meletakkannya di depanku. Tak 'ku pedulikan tatapan terperangah mereka melihat aksiku tersebut. Apalagi melihat wajah cemberut Nita. Rasanya senang tak terkira.Kali ini aku tak mau kalah!"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh. "Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri. Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku. "Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus. "Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan. Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya. "Aku sudah selesai, su
"Sayang.""Sayang, bangun.""Hanifah."Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat. "Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya. "Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi." Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya. "Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur. Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini. "Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang i
Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan? Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mat
"Yang, Mas mau bicara." Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi. "Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan. "Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan
"Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala
"Oh, Mas Akbar belum cerita ya?" "Cerita apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" Wajah Ibu menyiratkan keheranan. Ia memandangku lekat penuh tanya, mungkin penasaran dengan apa yang kumaksud barusan. "Begini, Bu. Kami mempunyai perjanjian pranikah kalau siapa pun diantara kami yang selingkuh, maka dia harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan. "Lalu, apa hubungannya dengan …." Ibu menggantung ucapannya dan aku mengangguk mengisyaratkan kalau apa yang sedang dipikirkannya adalah benar. "Mas Akbar harus keluar dari rumah ini karena dia yang berkhianat lebih dulu," lanjutku memperjelas. "T–tidak! Itu tidak bisa dijadikan tolak ukur. Anakku juga tidak selingkuh. Dia menikah atas restuku. Dia juga berhak menikah lagi karena kamu sebagai istri tidak bisa memberikannya anak." Ibu protes keras tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. "Mas Akbar tidak bilang dia menikah lagi. Dia juga tidak izin sama Hani, Bu. Tiba-tiba saja sekarang ini
Setelah lama mengurung diri di dalam kamar, aku memutuskan keluar. Aku ingin tahu keadaan di luar kamar, apa yang terjadi. Sejak di dalam kamar, tak ada panggilan lagi dari Ibu mertua. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukannya di luar sana. Saat keluar, kadaan di ruang tengah sepi. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak terlihat ada Ibu maupun Nita. Apa mereka juga ikut mengurung diri di kamar? Untuk apa? Setahuku jam segini, Ibu sudah duduk di depan tivi. Menonton siaran drama kesukaannya. Belum beranjak dari ruang tengah terdengar suara orang bicara dari arah dapur. Aku berjalan ke arah sana memastikan, seraya menajamkan indra pendengaran. "Masaknya gini."Suara Ibu mertua yang berbicara. Ternyata ia sedang masak bersama Nita di dapur. Lebih tepatnya Ibu yang tampak sibuk memasak, sedang Nita berdiri di sampingnya sedang memperhatikan. Aku memperhatikan mereka dari ambang pintu dapur. Posisi mereka membelakangiku, jadi tentu saja tidak tahu akan keberadaanku yang memperhat
"Nita, ayo makan yang banyak, Nak. Demi bayi dalam kandunganmu. Masakan Ibu enak kan?"Mendengar ucapan ibu mertua, aku refleks menoleh ke arahnya. Lalu memperhatikan Nita yang duduk di sebelahnya yang tampak kurang semangat untuk makan. Dia terlihat cuma mengaduk-aduk makanan tersebut. "Enak sih Bu. Tapi nggak tahu kenapa, lagi nggak selera aja. Mungkin bawaan bayi, Bu, kayaknya lagi malas makan." Saat mengatakannya, wanita yang duduk di depanku ini melirik padaku. Entah apa maksudnya. Oh. Aku hanya ber-oh ria dalam hati. Bisa jadi ucapannya benar. Katanya orang hamil ada dua type saat makan, makan lahap atau malas makan, bahkan ada yang sakit gara-gara malas makan karena keseringan dimuntahkan tiap kali makan. Aku cuma mendengar, belum pernah merasakan. Jadi, tidak juga peduli dengan apa yang terjadi pada Nita. Sudah ada Ibu mertua yang memperhatikan. Jadi, aku kembali fokus makan dengan menuku sendiri yang berbeda dari Ibu dan Nita. Bukan maksudnya ingin beda sendiri, hanya saja
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap