"Sayang."
"Sayang, bangun.""Hanifah."Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat."Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya."Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi."Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya."Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur.Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini."Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang itu tujuanku pura-pura tak bangun awal seperti biasanya. Aku ingin mengubah kebiasaanku di rumah ini. Aku tak ingin lagi bersusah payah sibuk membahagiakan orang lain kalau mereka saja tak peduli denganku."Maaf, Mas. Sejak kemarin badanku nggak enak gitu. Mungkin itu penyebabku bangun kesiangan gini." Dengan suara parau dan mendayu, aku berujar membuat alasan."Kamu sakit, Han?" Mas Akbar segera meraba dahiku untuk memastikannya."Tapi nggak panas Han. Normal saja seperti suhuku," ujarnya mendiagnosa sendiri seraya meraba dahinya juga membandingkan.Ya, benar, Mas. Aku baik-baik saja, kok. Bukan fisik yang sakit, tapi hati dan itu susah sembuhnya. Apalagi dengan tetap tinggal di rumah ini. "Entah, Mas. Rasanya di dalam. Bukan di luar." Mencoba mencari alasan."Apa jangan-jangan kamu hamil, ya Han? Biasanya suka gitu. Badan Ibu hamil nggak enak badan, dan suka mual tiap pagi hari."Aku mengedikkan bahu, isyarat tidak tahu. "Eh, kok Mas hapal sih? Kayak ngalamin saja." Aku terkekeh kecil padahal sedang menyindirnya."Eee, itu … kan seperti itu ibu hamil. Iya kan? Mas sering lihat di tivi. Iya, Mas ada nonton drama apa gitu kalau wanita hamil gejalanya seperti itu." Mas Akbar memperjelas tidak ingin aku salah paham.Aku menggeleng. "Iya sih, seperti itu dan sayangnya sampai sekarang aku belum merasakannya. Entah kapan." Sengaja aku bicara begini untuk membuat Mas Akbar bersimpati padaku."Yang, jangan ngomong gitu. Allah belum ngasih saja kok. Mungkin belum saatnya. Baru juga lima tahun kita bersama. Ada kok yang lebih lama dari kita menunggu dan akhirnya mereka dikasih." Mas Akbar bertutur bijak menenangkanku."Iya, dan syukurnya mereka saling setia. Saking sayangnya sama pasangannya masing-masing hingga tak ada keinginan buat nikah lagi. Aku pun berharap seperti itu di hubungan kita seterusnya Mas, saling setia tanpa kehadiran orang ketiga." Kutatap wajahnya dengan teduh berharap ucapanku sampai ke hatinya.Wajah Mas Akbar seketika berubah. Ia terlihat tegang. Bahkan pegangan tangannya di bahuku sempat bergetar seperti orang gugup dan refleks menariknya dari sana.Sedahsyat itu rupanya efek ucapanku barusan."Kenapa Mas?" tanyaku sok polos pura-pura tak tahu dengan apa yang terjadi padanya."A–apa? Nggak papa." Mas Akbar memalingkan wajahnya seolah enggan kutatap lekat."Ehm, Han. Coba dulu tes–"Ucapan Mas Akbar terjeda. Terdengar ada yang mengetuk pintu kamar kami dan serempak kami menoleh ke asal suara."Hani.""Akbar.""Akbar, buka pintunya. Ini sudah pagi, loh. Istrimu belum bangun juga?" Itu suara Ibu disertai gedoran pintu. Terdengar berteriak dari luar kamar.Aku dan Mas Akbar saling tatap sekilas lalu Mas Akbar beranjak lebih dulu berjalan menuju pintu."Mana istrimu? Kok jam segini belum juga keluar kamar?" Ibu merangsek masuk ke dalam dan menatapku tajam saat kami saling bersirobok pandang. Aku tak seperti dulu lagi yang menundukkan pandangan saat ditatapnya seperti itu. Kali ini kubalas tatapannya seolah menantang.Maaf jika aku terlihat lancang, Bu. Ini semua karenamu juga."Hani lagi tidak enak badan, Bu. Makanya telat bangun." Mas Akbar menjelaskan untuk membelaku."Sakit? Tumben Han? Sakit apa? Biasanya mau sakit bagaimanapun kamu tetap turun ke dapur." Ibu masih menatapku tajam, dan suaranya terdengar ketus tak enak didengar kedua kupingku. Namun sedari awal aku sudah mempersiapkan mental untuk ini.Ia mendekat sampai meraba keningku memastikan kebenarannya."Orang kalau tidak enak badan, wajar saja mager ke luar, Bu. Ini juga Hani baru bangun karena Akbar bangunkan. Pasti badannya nggak enak sekali sampai tidak sadar kesiangan bangun." Mas Akbar masih membelaku."Jadi nggak bisa nih ke dapur buat masak?"Ibu terlihat tak puas dengan kondisiku hingga memastikan hal tersebut. Aku tahu inginnya Ibu mertua aku tetap ke dapur memasakkan masakan untuk mereka, tapi maaf, Bu. Semenjak Nita datang biarkan menantu barumu itu yang melanjutkan tugasku di rumah ini. Aku ingin tahu seberapa hebat kemampuannya di dapur. Mampukah disandingkan denganku atau justru dia lebih buruk dariku. Namun melihat sikapnya sejak awal datang, aku yakin tidak diatasku."Badan Hani lemas, Bu. Kepala juga pusing. Bolehkah tiduran dulu barang sebentar. Mungkin saja sakitnya mereda." Aku minta nego akan kondisiku.Ibu menatapku dalam, lalu mengembuskan napas berat. "Terserah, tapi nanti segera ke dapur ya, bantu Ibu masak." Lembut ia bicara tidak seketus sebelumnya.Aku mengangguk dengan mengulas senyum tipis. Menunjukkan rasa senangku atas perkataannya. Syukurlah beliau masih punya empati hingga memberi izin untukku beristirahat. Ibu lalu memutar badannya untuk berbalik ke arah pintu keluar. Belum sampai langkahnya ke sana, teriakan seseorang membuat kami melongok bersamaan dan dengan langkah cepat Mas Akbar dan Ibu berlari keluar kamar untuk menghampiri asal suara tersebut. Aku mengekor langkah mereka di belakang dengan pelan menunjukkan keadaan kondisiku yang pura-pura lemas."Nita ada apa?" Ibu yang lebih dulu menghampiri Nita yang berteriak dari sini dan mengagetkan kami. Entah apa yang terjadi. Aku mengamati dari belakang."Tadi ada kecoa melintas di samping kompor, Bu. Terus refleks pancinya saya tarik dan airnya tumpah." Nita menjelaskan. Satu tangannya sibuk membersihkan bajunya yang basah, mungkin bekas ketumpahan air di panci tersebut. Matanya berkaca-kaca saat bicara."Ya Allah, Nak, kena air panas? Kamu nggak papa?" Tampak sekali kekhawatiran di wajah Ibu mertua. Beliau sangat perhatian pada Nita."Nggak papa, Bu. Airnya hangat kok, belum mendidih. Nita cuma kaget saja.""Syukurlah. Ibu kaget loh dengarnya. Untung juga airnya baru anget, coba kalau sudah mendidih, bisa melepuh dan bisa membahayakan keadaan an–""Bu, sudah. Biar Nita saya bawa ke kamar."Mas Akbar menyela, padahal Ibu barusan hampir saja ingin berucap sesuatu. Aku berharap ia keceplosan tentang kondisi Nita. Entah kenapa pikiranku menuju ke sana andai tak disela Mas Akbar barusan."Tunggu, Mas." Aku mendekati mereka. "Biar sama aku saja. Kami sesama wanita, lebih leluasa. Lagipula Mas mau bawa dia ke kamar siapa? Kita?"Mas Akbar gelagapan. Ia bahkan menjawab dengan terbata membantah ucapanku barusan."Bercanda Mas. Tegang banget wajahnya." Aku terkekeh sendiri memperhatikan wajah penuh rahasia mereka."Ayo, Nit!""Bukan waktunya bercanda Han." Ibu menimpali tak suka. Aku hanya mengulas senyum tipis. Lalu menarik tangan Nita agar ikut denganku. "Tunggu, Han. Nita biar sama Ibu saja. Ibu lihat kamu sudah baik-baik saja. Bisa kan lanjutkan masak di dapur?"Langkahku terhenti mendengar permintaannya tersebut.Astaga, harusnya aku tak mengikuti mereka sampai dapur, ujung-ujungnya malah apes, tetap diminta masak."Maaf, Bu. Sepertinya belum bisa. Mungkin sarapan pagi ini beli saja di luar." Tak kehabisan ide, aku menolak. kubuat nada bicaraku selemah mungkin.Wajah Ibu berubah seketika. Ia menatapku tajam. Sepertinya tidak terima dengan jawabanku barusan."Akbar, bawa Nita ke kamarnya. Ibu mau masak!" Ibu tak jadi menuntun menantu barunya itu berjalan ke kamar, tapi beliau terus berjalan ke arah meja kompor."Beli di luar? Pemborosan!"Meski samar masih kudengar ocehan kekesalannya tersebut karena melewatiku saat menuju meja kompor. Namun aku pura-pura tak dengar. Aku memilih berlalu pergi meninggalkannya kembali ke kamar.Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan? Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mat
"Yang, Mas mau bicara." Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi. "Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan. "Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan
"Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala
"Oh, Mas Akbar belum cerita ya?" "Cerita apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" Wajah Ibu menyiratkan keheranan. Ia memandangku lekat penuh tanya, mungkin penasaran dengan apa yang kumaksud barusan. "Begini, Bu. Kami mempunyai perjanjian pranikah kalau siapa pun diantara kami yang selingkuh, maka dia harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan. "Lalu, apa hubungannya dengan …." Ibu menggantung ucapannya dan aku mengangguk mengisyaratkan kalau apa yang sedang dipikirkannya adalah benar. "Mas Akbar harus keluar dari rumah ini karena dia yang berkhianat lebih dulu," lanjutku memperjelas. "T–tidak! Itu tidak bisa dijadikan tolak ukur. Anakku juga tidak selingkuh. Dia menikah atas restuku. Dia juga berhak menikah lagi karena kamu sebagai istri tidak bisa memberikannya anak." Ibu protes keras tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. "Mas Akbar tidak bilang dia menikah lagi. Dia juga tidak izin sama Hani, Bu. Tiba-tiba saja sekarang ini
Setelah lama mengurung diri di dalam kamar, aku memutuskan keluar. Aku ingin tahu keadaan di luar kamar, apa yang terjadi. Sejak di dalam kamar, tak ada panggilan lagi dari Ibu mertua. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukannya di luar sana. Saat keluar, kadaan di ruang tengah sepi. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak terlihat ada Ibu maupun Nita. Apa mereka juga ikut mengurung diri di kamar? Untuk apa? Setahuku jam segini, Ibu sudah duduk di depan tivi. Menonton siaran drama kesukaannya. Belum beranjak dari ruang tengah terdengar suara orang bicara dari arah dapur. Aku berjalan ke arah sana memastikan, seraya menajamkan indra pendengaran. "Masaknya gini."Suara Ibu mertua yang berbicara. Ternyata ia sedang masak bersama Nita di dapur. Lebih tepatnya Ibu yang tampak sibuk memasak, sedang Nita berdiri di sampingnya sedang memperhatikan. Aku memperhatikan mereka dari ambang pintu dapur. Posisi mereka membelakangiku, jadi tentu saja tidak tahu akan keberadaanku yang memperhat
"Nita, ayo makan yang banyak, Nak. Demi bayi dalam kandunganmu. Masakan Ibu enak kan?"Mendengar ucapan ibu mertua, aku refleks menoleh ke arahnya. Lalu memperhatikan Nita yang duduk di sebelahnya yang tampak kurang semangat untuk makan. Dia terlihat cuma mengaduk-aduk makanan tersebut. "Enak sih Bu. Tapi nggak tahu kenapa, lagi nggak selera aja. Mungkin bawaan bayi, Bu, kayaknya lagi malas makan." Saat mengatakannya, wanita yang duduk di depanku ini melirik padaku. Entah apa maksudnya. Oh. Aku hanya ber-oh ria dalam hati. Bisa jadi ucapannya benar. Katanya orang hamil ada dua type saat makan, makan lahap atau malas makan, bahkan ada yang sakit gara-gara malas makan karena keseringan dimuntahkan tiap kali makan. Aku cuma mendengar, belum pernah merasakan. Jadi, tidak juga peduli dengan apa yang terjadi pada Nita. Sudah ada Ibu mertua yang memperhatikan. Jadi, aku kembali fokus makan dengan menuku sendiri yang berbeda dari Ibu dan Nita. Bukan maksudnya ingin beda sendiri, hanya saja
"Maksudnya, apa?" Aku bertanya memastikan. Kutatap lekat gadis berumur 21 tahun ini. "Lupakan. Pertanyaannya cukup sekali dan tidak bisa diulang, apalagi dijelaskan. Pahami sendiri. Makanya sekolah tinggi biar nggak dibodohi." "Eh, kok?" Dina menatap heran dengan apa yang kulakukan padanya. Kuhentikan aktivitas makannya dengan menahan sendok yang ingin di arahkan ke mulutnya. Sikap Dina sudah keterlaluan. "Jelaskan dulu apa maksudmu barusan, Din! Jangan membuat teka-teki lagi. Jangan juga mengejek hidupku yang memang tak bisa melanjutkan sekolah setingkat universitas sepertimu. Aku tak seberuntung kamu, tapi jangan hina aku. Aku ini kakak iparmu, sedikit saja hormatilah. Tak perlu membungkukkan badan, cukup berkata baik padaku maka aku juga akan baik padamu." Dengan tajam kubalas perkataan Dina. Sudah sekian lama bersabar, akhirnya pecah juga. Emosi yang tertahan itu terpaksa harus dikeluarkan padanya. "Seharusnya dari awal bersikap seperti ini. Jadi Kakak tidak akan ditindas, apa
"Ayo makan. Ada mie ayam. Mau?" Aku terkejut mendengar tawaran Dina padaku. Tiba-tiba saja dia muncul dan ada di hadapanku. Membuka bungkusan kresek yang dikatakannya barusan adalah mie ayam. "Kamu saja," tolakku tak bersemangat. Seketika Dina mendelik ke arahku. Lalu menggelengkan kepala seolah gelengan itu untukku. Aku diam saja malas menanggapi. "Katanya sudah kuat, tapi kok melihat gituan sudah down lagi." Celetukan Dina memantikku untuk menatapnya. Yang barusan itu apa? Tentang siapa yang dimaksudnya? Aku bertanya dalam hati sambil menatap gadis berumur 21 tahun tersebut minta penjelasan. "Ayo makan. Hidup ini keras Kak. Capek berjuang sendiri, mending sekarang pikirin diri sendiri, karena kita itu berharga." Lagi-lagi Dina berteka-teki padaku. Entah kenapa aku berpikir kalau dia sedang menyinggung masalah yang sekarang ini sedang dihadapi. Tentang rumah tanggaku yang telah retak. Dan ucapannya adalah perkataan yang pernah kulontarkan dulu padanya. Untuk apa dia mengulangny
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap