"Kenyang ah, aku nggak sanggup ngabisinnya." Kuletakkan kembali garpu kecil di atas piring yang berisi mangga muda. Tertinggal setengah piring dari yang awalnya penuh.
"Nita, kamu mau?" tanyaku menawarkan. Kutatap kedua manik biru miliknya yang tentu saja bukan warna mata sebenarnya. Dia pasti mengenakan soflen. Memang jadi terlihat lebih cantik dipandang. Bisa jadi daya tariknya untuk menggaet suamiku. Buktinya laki-laki itu kecantol hingga mau menikahi siri.Nita menggeleng dengan wajah datar. Tak seperti di awal dia penuh senyum padaku."Kamu ini, sudah mau habis baru ditawarkan ke Nita. Ya sudah malas lah, Han." Ibu mertua menimpali dengan nada ketus."Aduh, maaf, Bu, maaf Nita. Aku kelupaan kalau ada kamu di sini. Ingatnya cuma Ibu dan Mas Akbar dan kalian berdua tidak makan ini." Tak mau kalah aku beralasan. Matanya melebar tanda tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Namun aku tak peduli. Aku memasang wajah tak bersalah di hadapan semuanya."Aku sudah selesai, sudah kenyang juga. Bu, Mas, aku ke kamar dulu ya. Kalian lanjutkan saja makannya." Aku berdiri bersiap pergi dari meja makan.Belum juga beranjak pergi, Ibu menegurku. "Loh, kok ke kamar Han? kamu nggak nunggu kami selesai makan? Ini nanti siapa yang bereskan?"Aku tersenyum ke arah Ibu. "Memang siapa yang harus bereskan, Bu?" Tatapanku beralih ke Nita dan Ibu mengekor gerak mataku."Kamu minta Nita yang bereskan? Dia tamu di sini, Han. Apalagi sekarang dia lagi–"Ucapannya terjeda. Aku sampai menatap lekat Ibu, menunggunya mengatakan kebenaran tentang Nita. Sepertinya Ibu tersadar kalau dia hampir keceplosan."Nita kenapa, Bu?" ujarku tak sabaran melihat Ibu belum bicara juga."Sudah, biar Akbar yang bereskan. Kasihan Hani juga Bu, dia pasti kecapekan membuat masakan ini." Mas Akbar menyela, membuat Ibu tak jadi bicara. Padahal aku menantikan kejujuran mereka, apa mereka berani mengatakannya padaku."Maaf ya, Mas. Hari ini Hani beneran capek. Hani ke kamar dulu, ya." Ucapanku dibalas Mas Akbar dengan anggukkan pelan. Walaupun sebenarnya kalau diperhatikan, Mas Akbar seperti terpaksa melakukannya. Sekali lagi, aku tak peduli. Sekarang aku hanya ingin peduli pada diriku sendiri, tidak pada orang lain. Bertahun-tahun hidup memperdulikan mereka, ternyata dibalas dengan pengkhianatan.Aku tak segera menuju kamar, tapi berhenti di ambang pintu masuk bagian dapur, menepi ke samping dinding dan bersembunyi di sana. Aku ingin mengintip dan mendengarkan percakapan mereka setelah kepergianku."Akbar! Kamu apa-apaan? Ngapain mau beresin ini. Kan bukan tugas kamu, Bar!" Terdengar suara Ibu protes."Jangan keras-keras. Nanti kedengaran Hani, Bu. Biar saja Hani istirahat. Akbar nggak tega lihat Hani yang bereskan. Kayaknya dia memang kecapekan. Ini semua masakannya bukan? Pasti capek, Bu, bikin ini sendirian."Terdengar Mas Akbar membela, tapi sayang Mas, aku tak tersentuh."Lah, dia sudah terbiasa, Bar. Makanya Ibu minta dia bereskan. Masa Nita? Dia lagi hamil nggak boleh banyak aktivitas berat. Lagian Hani hari ini aneh. Tidak seperti biasanya. Kamu merasa nggak?" suara Ibu makin pelan, untung masih terdengar.Degh. Gawat? Apa kentara sekali perubahanku? Sulit untuk bersikap biasa saja setelah kebohongan mereka kuketahui."Maaf ya, Bu. Nita belum bisa bantu-bantu di sini." Sekarang giliran wanita hamil itu yang bicara. Suaranya sengaja dibuat manja begitu pasti untuk mengambil hati Ibu mertua."nggak papa, Nak. kamu memang nggak boleh capek. Harusnya Hani, tapi kakak madumu itu aneh. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Iya kan Bar?""Huuusst! Sudahlah, Bu, jangan dibahas lagi. Nanti kalau Hani dengar gawat. Nanti saja kita bicarakan. Mending Ibu bantu Akbar bereskan. Nita, tolong ditumpang piring kotornya dan bawa ke wastafel, ya. Nanti biar Mas yang cuci.""Biar Nita bantu, Mas. Nggak tega lihat Mas yang nyuci.""Nggak papa kok. Cucian piringnya nggak banyak juga.""Nggak papa Nak, tapi Terima kasih ya kamu sudah perhatian sama Akbar. Ibu senang dengarnya."Nyes! Ada yang berdenyut nyeri mendengar perlakuan manis Mas Akbar sama Ibu mertua pada Nita. Andai aku hamil, apa mereka akan seperti itu juga padaku?Setelah mendengar sepintas percakapan singkat mereka, aku memutuskan berjalan ke arah kamar. Takut ketahuan kalau kelamaan bersembunyi di balik dinding tersebut. Tak sanggup juga mendengar pembelaan untuk Nita, yang dulu pernah kudapatkan."Hani, kamu baik-baik saja kan?" Mas Akbar bertanya setelah masuk ke dalam kamar. Ia memperhatikanku.Aku mengangguk, lalu bangun dari tempat tidur. "Iya, Mas. Aku baik-baik saja. Kenapa?" tanyaku balik pura-pura polos sok tak tahu maksud pertanyaannya tersebut."Ini testpack. Coba cek dulu, Sayang. Mas sempatin beli tadi, maaf baru bisa kasih." Tiba-tiba Mas Akbar memberikan alat tes kehamilan tersebut padaku. Aku sedikit terkesiap heran karena tak menduga bakal sungguhan dibelikannya. Kukira dugaanku salah dan dia berubah pikiran sehingga melupakan hal tersebut ketika kembali pulang. Ternyata ...."Ehm, besok pagi saja kucoba, Mas. Biar akurat." Aku menolak dan meletakkan benda tersebut ke atas nakas."Tapi kalau hasilnya mengecewakan, maaf ya Mas," ujarku lagi sengaja berkata demikian. Aku ingin menunjukkan betapa menyedihkan diriku agar dia merasa sempurna sebagai laki-laki, tapi sayangnya niat baikku itu malah dikhianati. Bertahun-tahun rela menyandang hinaan orang karena dianggap mandul, malah dibalas seperti ini."Nggak papa Sayang. Tanpa anak pun kita bahagia. Aku akan tetap mencintaimu sampai ajal menjemputku meskipun tanpa kehadiran buah hati di pernikahan kita. Jadi kamu jangan sedih seperti ini. Mas tak suka melihatnya." Mas Akbar memelukku dari belakang membisikkan kata tersebut di dekat telinga.Aku berbalik menghadapnya. "Mas nggak ada keinginan untuk menikah lagi?" tanyaku memancingnya. Aku ingin tahu jawabannya sekarang apa sama seperti dulu atau sudah berubah dan dia mau jujur padaku atau tidak. Dulu dia berjanji tidak akan menikah lagi, tapi sekarang janji itu diingkarinya.Pertanyaanku cukup membuatnya salah tingkah dan sedikit menjauh."Kamu ngomong apa sih Han. Selalu mengulang pertanyaan itu terus. Mas capek jawabnya. Kamu kan tahu jawabannya apa." Mas Akbar menyibukkan diri dengan membuka kancing bajunya. Nada suaranya terdengar tak suka.Aku merangsek memeluknya yang telah bertelanjang dada. Sengaja menunjukkan sisi manjaku padanya."Siapa tahu Mas berubah pikiran," ujarku yang masih dalam dekapannya.Tak ada sahutan darinya. Mas Akbar diam. Hanya elusan lembut tangannya yang terasa di kepalaku."Mas tahu kan kalau aku tidak melarang Mas menikah lagi." Kepalaku mendongak menatap wajahnya. Mas Akbar menatapku balik."Tapi … ceraikan aku Mas, karena aku tak sanggup diduakan. Aku tak sanggup berbagi suami dengan wanita mana pun."Sampai kapan pun Mas tidak akan menceraikanmu, Han. Jadi, jangan tanyakan hal itu lagi." Mas Akbar mengurai pelukanku. Dia jelas tak suka.Aku memilih duduk di tepi ranjang sambil menatapnya yang berjalan ke arah lemari pakaian."Aku hanya mengingatkan. Siapa tahu Mas lupa. Aku tak masalah kalau harus pisah dari Mas. Daripada makan hati satu rumah dengan madu sendiri. Aku tidak akan bisa Mas. Mending pisah." Aku kembali bicara. Mengingatkan kembali apa saja yang pernah kukatakan dulu padanya.Kulihat Mas Akbar menjatuhkan bajunya ke lantai. Tampaknya ucapanku barusan membuat Mas Akbar gugup."Mas, kamu nggak papa?" "Sudah lah, Han. Jangan bicarakan itu lagi. Mas lagi capek dan malas diajak debat." Suara Mas Akbar meninggi."Kok marah? Siapa yang mengajak debat. Aku hanya mengingatkan apa saja konsekuensinya bila Mas menikah lagi. Apalagi kalau nikahnya diam-diam. Wah, itu bakalan membuatku marah besar Mas. Aku langsung minta cerai, Mas.""Hani!"Aku kaget dibentak Mas Akbar. Lalu bangkit dari duduk dengan menatapnya tajam."Kenapa Mas? Kenapa marah? perkataanku salah ya?"Mas Akbar meraup wajahnya dan duduk di tepi ranjang. "Maaf, Sayang. Please jangan bahas itu lagi. Kamu kan tahu Mas tidak suka diungkit terus pertanyaan yang sama. Lagian jangan sering disebut, takut malah kejadian.""Mas sepertinya capek. Istirahat lah. Maaf jika membahas hal tersebut. Aku tidak tahu entah kenapa mengungkitnya lagi. Aku takut mimpi itu jadi kenyataan.""Mimpi? Mimpi apa?" Mas Akbar tampak tertarik saat kukatakan hal tersebut.Aku mengangguk. "Aku mimpi Mas pulang bawa wanita lain yang Mas akui sebagai istri Mas yang baru. Mas bilang Mas terpaksa nikah lagi demi mendapatkan keturunan. Itu yang membuatku tak karuan rasa Mas. Apalagi pas Mas datangnya bersama Nita. Kesannya jadi seperti nyata seolah-olah Nita itulah wanita yang jadi madu dalam mimpiku itu, Mas." Bersamaan dengan itu, ponsel Mas Akbar terjatuh. Suamiku itu membungkukkan badannya guna meraih ponselnya kembali."Mas, nggak papa?" tanyaku yang melihatnya gelagapan memegang ponsel dengan tangan gemetar."Tidak. Tidak apa," ujarnya sambil menyeka keringat. Refleks aku menatap ke arah AC memastikan kalau mesin pendingin ruangan itu berfungsi dengan benar. Lalu mengulum bibir melihat mesin AC memang menyala dengan baik dan suhu dinginnya pun terasa di badanku. Permasalahannya di Mas Akbar, bukan AC-nya."Sayang.""Sayang, bangun.""Hanifah."Sayup terdengar namaku dipanggil dengan lembut. Aku mengerjapkan mata sambil menguap. Pura-pura terbangun karena panggilan tersebut. Mas Akbar, dia yang membangunkanku. Pasti dia heran kenapa di jam segini aku masih tertidur di kamar. Harusnya sudah sibuk berada di dapur setelah melaksanakan kewajiban dua rakaat. "Iya, Mas," ujarku seraya mengucek mata memaksimalkan sandiwaraku di hadapannya. "Kok kamu baru bangun, Han? Ini sudah pagi." Sudah kuduga ia akan menanyakan hal tersebut. Aku yang pura-pura baru bangun terkejut dengan pertanyaannya. "Hah! Apa, Mas. Sudah pagi ya? Maaf kesiangan." Dengan gerakan cepat aku segera duduk. Mataku riap-riap seperti orang khas bangun tidur. Tampak Mas Akbar menghela napasnya. Seperti menyesali perbuatanku kali ini. "Ya sudah, cepat bangun dan pergi ke dapur. Ibu sepertinya kesal karena kamu belum masak."Aku mengulum senyum dan memalingkan muka ke arah lain agar tak dilihat Mas Akbar. Sebenarnya memang i
Aku makan dalam diam. Tatapan sengit Ibu kuabaikan. Pasti beliau masih jengkel padaku karena menolak permintaannya untuk masak hari ini. Apalagi tanpa rasa bersalah dan tidak tahu malu aku duduk, ikut makan setelah masakannya siap tersaji di atas meja. Bahkan aku tak membantunya menyiapkan meja makan dan menyajikan masakannya tersebut di atas sana. Tentu hal tersebut bukan kebiasaanku selama tinggal satu atap dengannya. Tak pernah sekalipun aku membiarkannya memasak di rumah ini. Kalaupun beliau ingin sendiri, aku dengan sigap ikut membantunya. Namun kali ini kubiarkan saja seolah tak peduli sama sekali. Menantu barunya saja tak peduli setelah insiden di dapur lalu kenapa aku yang harus berbaik hati? Apa sikapku berlebihan? Aku yang terlalu peka atau pikiran negatifku yang berlebihan, hingga merasa ketiga orang yang duduk bersamaku saat ini menyantap sarapan pagi dengan raut wajah yang aneh. Saling melempar kode lewat tatapan mata seolah ada yang ingin mereka katakan. Dari ekor mat
"Yang, Mas mau bicara." Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi. "Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan. "Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan
"Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala
"Oh, Mas Akbar belum cerita ya?" "Cerita apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" Wajah Ibu menyiratkan keheranan. Ia memandangku lekat penuh tanya, mungkin penasaran dengan apa yang kumaksud barusan. "Begini, Bu. Kami mempunyai perjanjian pranikah kalau siapa pun diantara kami yang selingkuh, maka dia harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan. "Lalu, apa hubungannya dengan …." Ibu menggantung ucapannya dan aku mengangguk mengisyaratkan kalau apa yang sedang dipikirkannya adalah benar. "Mas Akbar harus keluar dari rumah ini karena dia yang berkhianat lebih dulu," lanjutku memperjelas. "T–tidak! Itu tidak bisa dijadikan tolak ukur. Anakku juga tidak selingkuh. Dia menikah atas restuku. Dia juga berhak menikah lagi karena kamu sebagai istri tidak bisa memberikannya anak." Ibu protes keras tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. "Mas Akbar tidak bilang dia menikah lagi. Dia juga tidak izin sama Hani, Bu. Tiba-tiba saja sekarang ini
Setelah lama mengurung diri di dalam kamar, aku memutuskan keluar. Aku ingin tahu keadaan di luar kamar, apa yang terjadi. Sejak di dalam kamar, tak ada panggilan lagi dari Ibu mertua. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukannya di luar sana. Saat keluar, kadaan di ruang tengah sepi. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak terlihat ada Ibu maupun Nita. Apa mereka juga ikut mengurung diri di kamar? Untuk apa? Setahuku jam segini, Ibu sudah duduk di depan tivi. Menonton siaran drama kesukaannya. Belum beranjak dari ruang tengah terdengar suara orang bicara dari arah dapur. Aku berjalan ke arah sana memastikan, seraya menajamkan indra pendengaran. "Masaknya gini."Suara Ibu mertua yang berbicara. Ternyata ia sedang masak bersama Nita di dapur. Lebih tepatnya Ibu yang tampak sibuk memasak, sedang Nita berdiri di sampingnya sedang memperhatikan. Aku memperhatikan mereka dari ambang pintu dapur. Posisi mereka membelakangiku, jadi tentu saja tidak tahu akan keberadaanku yang memperhat
"Nita, ayo makan yang banyak, Nak. Demi bayi dalam kandunganmu. Masakan Ibu enak kan?"Mendengar ucapan ibu mertua, aku refleks menoleh ke arahnya. Lalu memperhatikan Nita yang duduk di sebelahnya yang tampak kurang semangat untuk makan. Dia terlihat cuma mengaduk-aduk makanan tersebut. "Enak sih Bu. Tapi nggak tahu kenapa, lagi nggak selera aja. Mungkin bawaan bayi, Bu, kayaknya lagi malas makan." Saat mengatakannya, wanita yang duduk di depanku ini melirik padaku. Entah apa maksudnya. Oh. Aku hanya ber-oh ria dalam hati. Bisa jadi ucapannya benar. Katanya orang hamil ada dua type saat makan, makan lahap atau malas makan, bahkan ada yang sakit gara-gara malas makan karena keseringan dimuntahkan tiap kali makan. Aku cuma mendengar, belum pernah merasakan. Jadi, tidak juga peduli dengan apa yang terjadi pada Nita. Sudah ada Ibu mertua yang memperhatikan. Jadi, aku kembali fokus makan dengan menuku sendiri yang berbeda dari Ibu dan Nita. Bukan maksudnya ingin beda sendiri, hanya saja
"Maksudnya, apa?" Aku bertanya memastikan. Kutatap lekat gadis berumur 21 tahun ini. "Lupakan. Pertanyaannya cukup sekali dan tidak bisa diulang, apalagi dijelaskan. Pahami sendiri. Makanya sekolah tinggi biar nggak dibodohi." "Eh, kok?" Dina menatap heran dengan apa yang kulakukan padanya. Kuhentikan aktivitas makannya dengan menahan sendok yang ingin di arahkan ke mulutnya. Sikap Dina sudah keterlaluan. "Jelaskan dulu apa maksudmu barusan, Din! Jangan membuat teka-teki lagi. Jangan juga mengejek hidupku yang memang tak bisa melanjutkan sekolah setingkat universitas sepertimu. Aku tak seberuntung kamu, tapi jangan hina aku. Aku ini kakak iparmu, sedikit saja hormatilah. Tak perlu membungkukkan badan, cukup berkata baik padaku maka aku juga akan baik padamu." Dengan tajam kubalas perkataan Dina. Sudah sekian lama bersabar, akhirnya pecah juga. Emosi yang tertahan itu terpaksa harus dikeluarkan padanya. "Seharusnya dari awal bersikap seperti ini. Jadi Kakak tidak akan ditindas, apa
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap