"Yang, Mas mau bicara."
Aku menoleh ke asal suara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Memasang senyum palsu saat laki-laki yang bergelar suami tersebut datang menghampiri. Pintu kamar ditutupnya rapat dan dikunci dari dalam. Sepertinya ini pembicaraan serius. Tentu saja setelah hampir setengah jam laki-laki itu masih di ruang dapur, sedang diinterogasi ibunya. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku tak tertarik untuk menguping. Biarkan saja. Lebih baik aku ke kamar meredakan gejolak emosi yang hampir membuncah tak tertahankan lagi."Bicara saja. Bebas kok," balasku terdengar santai dan yang segera ambil posisi duduk setelah dari rebahan."Mas minta maaf. Mas terpaksa menikah lagi. Ibu yang paksa Mas, Han." Mas Akbar tiba-tiba merosot ke bawah dan memohon dalam posisi berlutut di depanku, mengakui kesalahannya. Kedua tangannya berada di atas pahaku.Aku menengadahkan kepala ke atas tak ingin melihat mimik wajah bersalahnya. Bukan takut luluh, tapi untuk menahan emosi yang tertahan di hati sejak di ruang makan tadi. Aku tak ingin marah-marah apalagi bersikap barbar seperti kebanyakan wanita lainnya setelah tahu kebusukan suaminya. Aku ingin terlihat elegan, tampak tegar setelah tahu rahasia mereka."Ya sudah. Mau bagaimana lagi. Sudah terjadi bukan?"Nada bicara kutekan kuat agar tidak terdengar bergetar. Setengah jam cukup bagiku juga menata hati yang sempat hancur akan kecurangan mereka. Aku wanita, punya hati yang rapuh, apalagi soal cinta."Kamu tidak marah?" Dengan bodohnya pertanyaan itu dilontarkannya. Satu tanganku mengepal kuat di belakang tubuh. Aneh, siapa yang tidak marah mendengar suami menikah lagi. Hanya orang tak punya hati yang bisa mengatakan ia baik-baik saja saat tahu suaminya menikah lagi diam-diam di belakangnya."Untuk apa? Apa dengan marah, Mas bakal menceraikan Nita?" Aku menantangnya. Meski yakin itu tidak akan terjadi.Mas Akbar gelagapan. Ia segera berdiri dengan wajah salah tingkah."M–mana mu …mungkin Han, Nita sedang mengandung anak mas. Tidak boleh Mas menceraikan wanita yang sedang hamil."Alasan!"Kapan Mas menikahinya?" Aku mengabaikan jawabannya karena bagiku itu tak penting. Kulemparkan pertanyaan baru yang sebenarnya tak niat juga bertanya karena hanya ingin tahu saja sampai dimana kejujurannya. Tanpa bertanya pun, aku sudah tahu jawabannya kapan dan dimana dia menikahi wanita tersebut. Semua berawal dari pesan nomor yang tak dikenal mengirimkan beberapa foto pernikahan Mas Akbar dan Nita ke ponselku. Entah siapa orang tersebut. Aku juga tidak tahu apakah harus berterima kasih atau harus waspada padanya karena memberitahukan pengkhianatan suamiku. Kalau niat membantu bisa saja jujur padaku siapa jati dirinya agar aku bisa benar-benar berterima kasih padanya karena telah mengungkapkan semuanya. Namun tidak, niatnya hanya sebatas hal tersebut dan nomornya sudah tidak aktif ketika kucoba menghubungi balik.Dari sana juga banyak fakta terungkap. Dimana ada andil ibu mertua yang merestui hubungan keduanya tanpa memikirkan bagaimana perasaan menantu yang telah banyak berkorban untuknya, tetap setia di samping anaknya. Aku yang senantiasa mendoakan keduanya agar selalu dalam lindungan Tuhan. Bahkan aku masih berpikir positif sejak mereka pergi ke luar kota dengan alasan menjenguk keluarga yang sakit dan aku tak diajak karena harus menjaga rumah dan adik ipar yang harus diperhatikan karena menolak ikut."Ehm, baru."Aku mendelik mendengarnya. Jawaban aman. Tak jelas!"Sejak dua bulan lalu," jawabnya kemudian lebih memperjelas. Mungkin sadar kutatap tajam barusan."Dan wanita itu hamil. Hebat juga kamu, Mas. Secepat itu membuahi wanita tersebut. Sedang denganku, tak bisa." Sengaja aku memujinya. Mungkin tepatnya menyindir.Mas Rayyan kembali menggenggam tanganku. "Mas tetap cinta sama kamu, Han. Apa pun itu. Percayalah. Mas akan bersikap adil."Adil?Keadilan untuk siapa? Sejak awal saja bertindak seperti pencuri. Diam-diam menikah lagi. Namun kalimat itu cuma terendap di dasar hati. Lagi malas untuk mendebat. Hatiku sudah capek, tak perlu raga ikutan juga."Bukankah kemarin kamu nggak enak badan dan pusing. Sekarang, juga kan? Masih sama. Makanya tidak bisa masak seperti biasanya. Apa jangan-jangan itu karena hamil? Sudah diperiksa? Testpack-nya sudah digunakan?" Mas Akbar antusias bertanya. Seolah masih mengharapkan anak dariku."Negatif. Jadi Mas tidak perlu berharap lagi. Lagi pula Mas akan segera punya anak dari wanita tersebut." Kutarik dengan kuat tanganku agar terlepas dari genggamannya. Lebih baik jujur saja daripada berpura-pura hamil seperti rencana yang ingin kulakukan."N–negatif?" Tampak kaget sebentar. "Ya, nggak papa, Han, kita coba lagi. Pasti nanti berhasil. Jangan putus asa dulu.""Apa Mas? Putus asa? Bukankah Mas yang telah putus asa hingga memutuskan menikahi wanita lain? Perkataan itu harusnya untuk Mas. Jadi jangan bicara sok bijak kepadaku, Mas. Hadapi saja kenyataannya sekarang ini. Aku tak kan pernah punya anak dari Mas."Padahal bibir ingin sekali bilang kalau dia itu mandul, tidak mungkin punya anak. Namun ini bukan saatnya. Aku akan buka di waktu yang tepat. Dimana akan membuat penyesalan seumur hidupnya karena telah mengkhianatiku."Bukan begitu, maksud Mas."Aku menghentikannya bicara dengan mengangkat telapak tanganku ke depan wajahnya. "Cukup, Mas. Tidak perlu menjelaskan apa pun ke Hani. Mas sudah jelaskan ke mereka bukan apa konsekuensi dari melanggar perjanjian pra nikah kita?"Kualihkan ke hal lebih penting. Tak perlu menenangkanku atas pernikahan keduanya. Aku masih kuat untuk menerima kenyataan ini.Mas Akbar terdiam. Mulutnya tiba-tiba terkatup rapat saat kutanyakan hal tersebut."Apa keputusan Mas?" Kudesak paksa Mas Akbar. Memang disengaja. Biar dia makin bingung menentukan pilihan."Han. Mana surat perjanjian kita?"Keningku mengernyit. "Buat apa Mas menanyakannya? Ada kok. Aman.""Hm, sepertinya Mas dulu salah ambil keputusan. Ada poin yang seharusnya diubah."Diubah? Enak saja!"Diubah? Kenapa?" gegas aku bertanya. Padahal dari awal kami berdua membuatnya sudah sepakat dan tidak ada masalah dengan isi perjanjian tersebut. Kini, setelah dia yang melanggar, baru menyesal."Itu lebih merugikan Mas. Sedang kamu sendiri tidak menanggung kerugian materil apa pun kalau perjanjian itu kamu langgar."Aku tersenyum kecut mendengarnya. Sekarang dia membandingkan. Sekarang saja dibilang rugi, padahal dia sendiri yang setuju saat hal tersebut kutawarkan. Bahkan dengan jumawanya dia bilang tidak akan pernah selingkuh atau menduakanku. Jadi isi perjanjian ini bukan momok menakutkan baginya. Lalu sekarang setelah semua terjadi dan dia melanggarnya, baru merasa rugi. Bukankah surat perjanjian tersebut dibuat agar masing-masing dari kita menjaga jangan sampai hal tersebut terjadi. Kalau terjadi ya harus tanggung sendiri akibatnya."Maaf Mas. Setelah terjadi baru Mas merasa rugi dan aku tidak? Mas lupa dulu Mas dengan bangganya yakin tidak akan menduakanku, jadi poin dalam surat perjanjian kita Mas sepakati dengan kesadaran Mas sendiri. Bukan aku yang maksa. Lagi pula aku keberatan kalau harus diubah. Jadi aku tidak setuju."Mas Akbar meraup wajahnya kasar tanpa menyahutku lagi. Tampak sekali dia frustasi saat ini. Entah tekanan apa yang diberikan ibu dan istri barunya sekarang sampai dia minta aku mengubah isi perjanjian kami."Jadi apa keputusan Mas? Ceraikan dia atau bercerai denganku dan harta Mas termasuk rumah ini jadi milikku?""Jangan gitu, Han. Mas tuh cinta sama kamu. Serius. Mas nggak bohong. Mas cuma butuh Nita buat punya anak. Ibu nggak sabar nunggu kamu punya anak. Beliau jadinya nekan Mas buat nikahi wanita lain." Mas Akbar protes, membela diri. Kebanyakan lelaki memang begitu, kalau salah masih saja mengelak dan mencari pembelaan. "Bukankah di awal Mas sudah tahu kalau Hani nggak mau dimadu? Kenapa masih nekat? Kalau mau nikah lagi ya Mas ceraikan Hani dulu. Gampang kan? Poin di perjanjian itu tak kan kena Mas sekarang karena jatuhnya Hani yang mengundurkan diri, bukan karena Mas ketahuan selingkuh." Aku mencak kesal karena mendengar jawabannya. Mas Akbar terdiam mendengar penjelasanku. Mungkin dia baru menyadarinya atau menyesal kenapa tidak menceraikanku lebih dulu baru menikah lagi. "Jadi Mas pilih yang mana?" Aku kembali mendesaknya, melihatnya cuma diam. Mas Akbar terlihat lemas. Terdengar desahan panjang menandakan ada beban berat yang sedang dipikulnya. 'Salah sendiri.' Aku bergumam dala
"Oh, Mas Akbar belum cerita ya?" "Cerita apa? Kenapa kamu senyum-senyum begitu?" Wajah Ibu menyiratkan keheranan. Ia memandangku lekat penuh tanya, mungkin penasaran dengan apa yang kumaksud barusan. "Begini, Bu. Kami mempunyai perjanjian pranikah kalau siapa pun diantara kami yang selingkuh, maka dia harus pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan. "Lalu, apa hubungannya dengan …." Ibu menggantung ucapannya dan aku mengangguk mengisyaratkan kalau apa yang sedang dipikirkannya adalah benar. "Mas Akbar harus keluar dari rumah ini karena dia yang berkhianat lebih dulu," lanjutku memperjelas. "T–tidak! Itu tidak bisa dijadikan tolak ukur. Anakku juga tidak selingkuh. Dia menikah atas restuku. Dia juga berhak menikah lagi karena kamu sebagai istri tidak bisa memberikannya anak." Ibu protes keras tidak setuju dengan apa yang telah kukatakan. "Mas Akbar tidak bilang dia menikah lagi. Dia juga tidak izin sama Hani, Bu. Tiba-tiba saja sekarang ini
Setelah lama mengurung diri di dalam kamar, aku memutuskan keluar. Aku ingin tahu keadaan di luar kamar, apa yang terjadi. Sejak di dalam kamar, tak ada panggilan lagi dari Ibu mertua. Aku jadi penasaran, apa yang dilakukannya di luar sana. Saat keluar, kadaan di ruang tengah sepi. Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak terlihat ada Ibu maupun Nita. Apa mereka juga ikut mengurung diri di kamar? Untuk apa? Setahuku jam segini, Ibu sudah duduk di depan tivi. Menonton siaran drama kesukaannya. Belum beranjak dari ruang tengah terdengar suara orang bicara dari arah dapur. Aku berjalan ke arah sana memastikan, seraya menajamkan indra pendengaran. "Masaknya gini."Suara Ibu mertua yang berbicara. Ternyata ia sedang masak bersama Nita di dapur. Lebih tepatnya Ibu yang tampak sibuk memasak, sedang Nita berdiri di sampingnya sedang memperhatikan. Aku memperhatikan mereka dari ambang pintu dapur. Posisi mereka membelakangiku, jadi tentu saja tidak tahu akan keberadaanku yang memperhat
"Nita, ayo makan yang banyak, Nak. Demi bayi dalam kandunganmu. Masakan Ibu enak kan?"Mendengar ucapan ibu mertua, aku refleks menoleh ke arahnya. Lalu memperhatikan Nita yang duduk di sebelahnya yang tampak kurang semangat untuk makan. Dia terlihat cuma mengaduk-aduk makanan tersebut. "Enak sih Bu. Tapi nggak tahu kenapa, lagi nggak selera aja. Mungkin bawaan bayi, Bu, kayaknya lagi malas makan." Saat mengatakannya, wanita yang duduk di depanku ini melirik padaku. Entah apa maksudnya. Oh. Aku hanya ber-oh ria dalam hati. Bisa jadi ucapannya benar. Katanya orang hamil ada dua type saat makan, makan lahap atau malas makan, bahkan ada yang sakit gara-gara malas makan karena keseringan dimuntahkan tiap kali makan. Aku cuma mendengar, belum pernah merasakan. Jadi, tidak juga peduli dengan apa yang terjadi pada Nita. Sudah ada Ibu mertua yang memperhatikan. Jadi, aku kembali fokus makan dengan menuku sendiri yang berbeda dari Ibu dan Nita. Bukan maksudnya ingin beda sendiri, hanya saja
"Maksudnya, apa?" Aku bertanya memastikan. Kutatap lekat gadis berumur 21 tahun ini. "Lupakan. Pertanyaannya cukup sekali dan tidak bisa diulang, apalagi dijelaskan. Pahami sendiri. Makanya sekolah tinggi biar nggak dibodohi." "Eh, kok?" Dina menatap heran dengan apa yang kulakukan padanya. Kuhentikan aktivitas makannya dengan menahan sendok yang ingin di arahkan ke mulutnya. Sikap Dina sudah keterlaluan. "Jelaskan dulu apa maksudmu barusan, Din! Jangan membuat teka-teki lagi. Jangan juga mengejek hidupku yang memang tak bisa melanjutkan sekolah setingkat universitas sepertimu. Aku tak seberuntung kamu, tapi jangan hina aku. Aku ini kakak iparmu, sedikit saja hormatilah. Tak perlu membungkukkan badan, cukup berkata baik padaku maka aku juga akan baik padamu." Dengan tajam kubalas perkataan Dina. Sudah sekian lama bersabar, akhirnya pecah juga. Emosi yang tertahan itu terpaksa harus dikeluarkan padanya. "Seharusnya dari awal bersikap seperti ini. Jadi Kakak tidak akan ditindas, apa
"Ayo makan. Ada mie ayam. Mau?" Aku terkejut mendengar tawaran Dina padaku. Tiba-tiba saja dia muncul dan ada di hadapanku. Membuka bungkusan kresek yang dikatakannya barusan adalah mie ayam. "Kamu saja," tolakku tak bersemangat. Seketika Dina mendelik ke arahku. Lalu menggelengkan kepala seolah gelengan itu untukku. Aku diam saja malas menanggapi. "Katanya sudah kuat, tapi kok melihat gituan sudah down lagi." Celetukan Dina memantikku untuk menatapnya. Yang barusan itu apa? Tentang siapa yang dimaksudnya? Aku bertanya dalam hati sambil menatap gadis berumur 21 tahun tersebut minta penjelasan. "Ayo makan. Hidup ini keras Kak. Capek berjuang sendiri, mending sekarang pikirin diri sendiri, karena kita itu berharga." Lagi-lagi Dina berteka-teki padaku. Entah kenapa aku berpikir kalau dia sedang menyinggung masalah yang sekarang ini sedang dihadapi. Tentang rumah tanggaku yang telah retak. Dan ucapannya adalah perkataan yang pernah kulontarkan dulu padanya. Untuk apa dia mengulangny
"Hanifah, mulai hari ini kamu kubebaskan. Kamu bukan istriku lagi. Dengan kesadaran penuh aku menalakmu!"Pernyataan talak itu terngiang jelas di telingaku seolah kamar ini telah menggemakannya berulang kali. Aku terdiam membisu di tempat. Masih dalam posisi sama seperti sebelum Mas Akbar pergi. Berdiri terpaku dengan kaki yang bersandar pada tepi ranjang. Ternyata laki-laki tersebut tak ada berkeinginan untuk mempertahankanku sebagai istrinya. Bahkan dengan mudahnya memberi talak untukku demi anak yang bukan darah dagingnya. Perlahan tapi pasti badan ini merosot ke bawah. Aku terduduk menyedihkan setelah kepergian suamiku tersebut dari kamar ini. Kutatap lekat satu per satu apa yang bisa kulihat di dalam ruangan 3x4 meter ini. Kamar yang lumayan luas untukku yang dulu pernah tinggal di panti asuhan. Air mata akhirnya luruh juga. Ternyata aku tak sekuat yang kupikirkan. Hatiku tak sehebat yang kudengungkan. Pernyataan laki-laki tersebut meluluhlantakkan hati dan pikiranku saat ini
Pov Akbar"Ini Mas, minumannya."Aku mendesah pelan melihat minuman yang disuguhkan Hanifah. Bukan tak suka, tapi sudah bosan rasanya minum, minuman yang dibilangnya adalah minuman kesehatan. Aku tidak sakit, tapi entah kenapa, sudah beberapa bulan ini istriku itu selalu menyuguhkan minuman tersebut. Dulu lebih parah lagi, dia memberikanku obat-obatan yang katanya cuma vitamin untuk kebugaran tubuh. Menjagaku agar tak gampang sakit. Nyatanya aku tetap jatuh sakit hingga akhirnya memohon untuk menghentikan penggunaan vitamin tersebut. Tak mempan dan buang-buang uang saja. Istriku itu aneh sejak terakhir kami melakukan tes kesehatan dan tes kesuburan diri masing-masing. Padahal hasil tes tersebut telah menyatakan kami berdua dalam keadaan sehat dan tidak ada masalah dengan hasil kesuburan kami. Aku pun tidak mempermasalahkan kami yang sampai menjelang usia pernikahan yang ke lima tahun, belum juga dikarunia seorang anak satu pun. Kami masih tetap mesra karena aku sangat mencintainya,
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap