Pov Akbar"Ini Mas, minumannya."Aku mendesah pelan melihat minuman yang disuguhkan Hanifah. Bukan tak suka, tapi sudah bosan rasanya minum, minuman yang dibilangnya adalah minuman kesehatan. Aku tidak sakit, tapi entah kenapa, sudah beberapa bulan ini istriku itu selalu menyuguhkan minuman tersebut. Dulu lebih parah lagi, dia memberikanku obat-obatan yang katanya cuma vitamin untuk kebugaran tubuh. Menjagaku agar tak gampang sakit. Nyatanya aku tetap jatuh sakit hingga akhirnya memohon untuk menghentikan penggunaan vitamin tersebut. Tak mempan dan buang-buang uang saja. Istriku itu aneh sejak terakhir kami melakukan tes kesehatan dan tes kesuburan diri masing-masing. Padahal hasil tes tersebut telah menyatakan kami berdua dalam keadaan sehat dan tidak ada masalah dengan hasil kesuburan kami. Aku pun tidak mempermasalahkan kami yang sampai menjelang usia pernikahan yang ke lima tahun, belum juga dikarunia seorang anak satu pun. Kami masih tetap mesra karena aku sangat mencintainya,
"Hani, Mas pergi dulu ya?"Aku pamit pada Hanifah dengan alasan dinas keluar kota. Padahal bukan. Aku pergi ke kota Te Yusni memenuhi keinginan Ibu yang ingin aku bertatap muka dulu dengan Nita agar saling mengenal. Dengan terpaksa kupenuhi keinginannya tersebut. Meskipun belum tertarik pada wanita tersebut, paling tidak setelah ketemu, aku punya alasan untuk menolaknya. Bilang saja tidak cocok atau bukan kriteriaku. Sebenarnya Ibu sudah menunjukkan fotonya sebelum pergi menemuinya secara langsung. Cantik, tapi entah kenapa aku belum tertarik dan seolah-olah malas untuk dijodohkan dengannya. Entah kenapa, hati meragu. Jadi Ibu memaksaku menemuinya dulu agar keputusanku tersebut tidak salah. "Iya, Mas. Hati-hati di jalan ya. Semua pakaian Mas sudah rapi di dalam koper. Tak lupa juga kumasukkan obat dan vitamin. Ingat jangan lupa diminum, ya. Jangan begadang juga. Tenaga Mas jangan diforsir."Aku tersenyum renyah padanya. "Iya," jawabku singkat sembari mengecup keningnya mesra. Ini yan
Aku kembali pamit pada Hanifah untuk pergi dinas ke luar kota lagi dan itu bohong. Diatur dua minggu setelah pertemuanku bersama keluarga Nita agar Hanifah tidak curiga kalau aku ke sana untuk melamar wanita lain. Hanifah seperti biasa mengizinkan. Meskipun dia cukup kaget karena izin dinas kali ini lebih lama dari sebelumnya. Aku bilang padanya bakal dinas selama lima hari, dan Hanifah tidak menaruh curiga sama sekali. Itu karena sikapnya yang seperti biasa saja saat aku mengutarakan maksudku pergi saat itu. Kali ini aku pergi bersama Ibu dan satu teman yang sudah kuanggap sahabat. Dia akan menjadi saksi pernikahanku nantinya dan tentunya terpercaya. Dina, adikku tidak ikut serta karena bakal membuat Hanifah curiga kalau kami pergi membawanya dan meninggalkan Hanifah sendirian di rumah. Apalagi Dina sangat menentang rencana pernikahan ini. Dia tidak setuju aku menikah lagi dan mengkhianati Hanifah yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Hubungan mereka memang sang
"Astagfirullah!" Aku tersentak kaget mendengar suara pintu yang ditutup keras. Suaranya membangunkanku yang baru saja terlelap tidur. Perasaan aku baru saja memejamkan mata, sudah dipaksa bangun lagi. Ada sedikit rasa kesal menyeruak. Namun tak tahu kemana harus dimuntahkan. Nita yang berada di sebelahku tampaknya tidak terganggu sama sekali. Dia terlihat nyenyak saja, tak terbangun sepertiku. Eh, tapi itu tadi apa? Suara apa? Sungguhan suara pintu yang ditutup kencang atau ….Apa aku yang salah dengar? Daripada dirundung penasaran, bergegas aku bangkit dari rebahan dan segera bangun menuju pintu kamar. Suaranya dari kamar sebelah kiriku dan itu kamarnya Dina. Apa benar adikku itu yang melakukan hal tersebut atau gangguan gaib? Kurang kerjaan sekali dia. Namun kalau diingat-ingat, tiba-tiba bulu kudukku meremang memikirkan hal tersebut. Pikiranku sudah bercabang saja kemana-mana. Semua beraura negatif. Siapa juga yang malam-malam melakukan hal yang sangat mengganggu tersebut kec
"Mas.""Hm.""Mas, bangun."Sayup seperti ada yang memanggil namaku. Suara itu ….Nita. "Mas!"Mataku dengan cepat mengerjap, terkejut saat bahuku ditepuk keras seseorang. Nita. Benar dia yang melakukan hal tersebut, membuat mataku melek seketika. "Iya. Ada apa, Nit?" sahutku menoleh ke asal suara, bertanya. Keadaanku masih setengah sadar sembari mengumpulkan nyawa yang masih belum lengkap. "Sudah pagi. Mas nggak kerja?" tanyanya seraya berbaring kembali di sampingku. Ia memelukku. "Kerja? Astaga, Nit, kenapa Mas baru dibangunkan?" protesku tersadar sembari menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Aku sedikit kesal setelah melihat jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 06.35. Tentu saja itu waktu yang buruk karena artinya aku telah terlambat berangkat ke kantor dan Nita tampak biasa saja seolah meremehkan. Bergegas aku turun dari ranjang untuk menuju kamar mandi."Maaf, Nita kesiangan juga, Mas. Ini baru bangun kalau Ibu tidak mengetuk kamar kita dan menanyakan keberadaan
"Minggat?" Ibu membeo ucapanku. "Maksudnya Hani pergi dari rumah ini tanpa pamit?" tanyanya memastikan. Nadanya naik se-oktaf. Aku mengangguk lemah seraya mengusap kasar wajah. Tak pernah terbayangkan kalau dia akan pergi dari rumah ini. Tanpa pamit lagi. Bahkan aku tak tahu kapan dia pergi. Mendapati hal ini entah kenapa hatiku terasa sesak. "Nah, kan! Tambah nggak sopan. Seenaknya aja dia pergi. Sudah Bar, ajukan saja gugatan cerai, biar nyaho istrimu itu. Sudah kebangetan pergi nggak pamit. Apa sih maunya Hani? Sudah enak hidup di sini, semua ada, semua terpenuhi, punya suami dan mertua yang baik, eh, cuma dimadu doang milih minggat."Aku tak ingin menanggapi ucapan Ibu. Tidak penting juga dan sedikit heran. Bagaimana bisa Ibu berucap seperti itu? Perkara diduakan itu bukan masalah kecil. Tidak semua mau dan pasti sakit bagi kaum wanita, hanya saja kenapa Hani tidak bertahan barang sebentar sampai anak yang diimpikan lahir, pasti aku akan kembali padanya lagi. Jadi tak perlu ada
"Mas, ada apa?" Baru juga menghampiri Ibu dan Nita di ruang makan sudah dicecar pertanyaan oleh istri mudaku itu. "Makan saja, jangan tanya dulu." Tanpa menoleh ke arahnya, aku menjawab ketus. Lalu duduk di seberang dia dan Ibu. Kutunggu lima menit, Nita diam saja, dia tak peka. Terpaksa aku mengambil sendiri piring dan makananku. Ia tak melayaniku seperti Hani. "Ekhem." Mendengar dehaman Ibu refleks kepala menoleh padanya. Saat mata kami bersirobok, Ibu mengedipkan matanya menyorot ke Nita seolah memberi kode padaku. Mungkin teguran atas sikap ketusku pada istri mudaku tersebut. Kulihat Nita makan tanpa semangat. Makanan di piringnya cuma diaduk-aduk saja dengan wajah ditekuk. Aku mendesah berat. 'Wanita memang aneh'. Sebenarnya lagi malas, tapi kode dari Ibu tak bisa diabaikan. "Nit, ayo makan. Jangan diaduk begitu makanannya. Maaf Mas tadi lagi banyak pikiran, tapi tolong jangan ditanya dulu, ya? Boleh kan?" Aku membujuknya lembut untuk makan dengan benar. Andai Nita tidak ham
"Jangan!" tolakku. Aku tak setuju kalau kamar ini ditempati Nita. "Loh, kenapa? Kan kak Hani sudah pergi. Kamar ini juga kosong. Sayang, daripada dibiarkan, mending kita yang pindah ke sini. Iya kan Mas?" Nita setengah memaksa. Aku menggelengkan kepala tetap menolak ide dan inginnya tersebut. "Tidak, biarkan saja seperti ini. Kamarmu tetap di sebelah.""Kenapa Mas? Apa Mas Akbar masih mengharapkannya kembali?"Refleks aku mendelik tajam padanya. Tak suka dengan kalimat yang dilontarkannya meski itu benar. Sudut hatiku terdalam masih berharap Hani kembali, tapi tidak juga harus diakui apalagi di hadapan Nita. Pasti dia cemburu kalau kuiyakan. "Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Ayo kita keluar!" ajakku keluar dari kamar agar pembicaraan seputar Hani dan kamar ini tak dibahas lagi. Meski berat, Nita terpaksa menurut. ***"Akbar." Aku menoleh sebentar ke asal suara yang memanggilku tersebut. Itu Ibu. Dia yang bersuara dan datang menghampiriku di ruang tengah. Aku sedang sibuk di d
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap