"Jangan!" tolakku. Aku tak setuju kalau kamar ini ditempati Nita. "Loh, kenapa? Kan kak Hani sudah pergi. Kamar ini juga kosong. Sayang, daripada dibiarkan, mending kita yang pindah ke sini. Iya kan Mas?" Nita setengah memaksa. Aku menggelengkan kepala tetap menolak ide dan inginnya tersebut. "Tidak, biarkan saja seperti ini. Kamarmu tetap di sebelah.""Kenapa Mas? Apa Mas Akbar masih mengharapkannya kembali?"Refleks aku mendelik tajam padanya. Tak suka dengan kalimat yang dilontarkannya meski itu benar. Sudut hatiku terdalam masih berharap Hani kembali, tapi tidak juga harus diakui apalagi di hadapan Nita. Pasti dia cemburu kalau kuiyakan. "Sudah, jangan tanya-tanya lagi. Ayo kita keluar!" ajakku keluar dari kamar agar pembicaraan seputar Hani dan kamar ini tak dibahas lagi. Meski berat, Nita terpaksa menurut. ***"Akbar." Aku menoleh sebentar ke asal suara yang memanggilku tersebut. Itu Ibu. Dia yang bersuara dan datang menghampiriku di ruang tengah. Aku sedang sibuk di d
Pov Hanifah"Kak.""Kak Hani!"Dina terus saja memanggilku setelah aku keluar dari pintu rumahnya, tapi kuabaikan. Aku terus berjalan menuju gerbang keluar dari rumah ini. "Kak Hani!" Kepalaku refleks menoleh ke asal suara yang memanggilku tersebut. Dina. Dia menghampiriku. "Ayolah Kak, jangan menyerah. Kakak tetap di sini untuk mempertahankan Mas Akbar. Please …." rengeknya manja seperti biasanya saat dia ingin sesuatu dariku. Namun sayangnya telat, Din. Aku tersenyum kecut mendengar permohonannya barusan. Kenapa sekarang dia terlihat peduli? Kemarin kemana saja? Bukannya mendukungku, malah terus-terusan menghinaku yang selalu dianggapnya bodoh. Aku tak bergeming dengan rengekannya seperti anak kecil. "Yang minta aku pergi itu Mas Akbar, jadi buat apa aku mempertahankan kalau orang yang kuperjuangkan tidak menginginkanku di sini," jawabku mematahkan harapannya. Ponselku berbunyi. Aku yakin itu dari supir taksi online yang telah kupesan."Tapi Kak, Mas Akbar itu cintanya–"Tan
Alfian.Dokter Alfian. Iya, itu dia. Aku ingat betul karena sering bertemu dengannya. Dia dokter spesialis andrologi. Dia yang menangani suamiku dulu saat pemeriksaan kesuburan Mas Akbar. "Alfian," ucap laki-laki tersebut ramah menyebutkan namanya seraya mengulurkan tangannya ke arahku. Tak ada rasa canggung sepertiku. Apa dia tidak mengenalku? Aku asyik bertanya dalam hati, hingga …. "Han.""Hani." Teguran Reni membuyarkan lamunanku tentang laki-laki di depanku saat ini. Aku terkesiap, sedikit malu juga takutnya Reni salah mengartikan diamku. Apalagi dari caraku memandang suaminya. "Eh, m–maaf." Aku menangkupkan tanganku ke dada, menolak bersalaman dengannya. Namun aku menyebutkan namaku layaknya orang yang saling berkenalan dengan sedikit menundukkan kepala. "Hanifah."Laki-laki bernama Alfian tersebut menarik tangannya kembali. Senyum tipis masih terulas padaku. Sedikit mengangguk juga padaku. "Beruntung kamu ketemu suamiku, Han. Biasanya dia sudah di rumah sakit.""Oh, dokte
"Kenapa Ren?" Aku tak sabar ingin tahu. Reni malah tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Tidak apa. Aku cuma kesenangan kamu mau tinggal di sini. Jadi aku ada temannya. Padahal aku berharap kamunya lama loh tinggal di sini." Ia menggamit lenganku manja. Melihatnya membuatku merasakan arti sebuah saudara. Reni tiga tahun diataskudiatasku, dan sikapnya barusan membuatku terharu. Aku memeluknya. "Terima kasih ya Ren. Kalau tidak ada kamu, aku nggak tahu harus bagaimana. Harus tinggal dimana dulu. Semuanya tidak berjalan sesuai rencanaku.""Kamu nggak mau cerita kenapa cerai?"Aku melepas pelukanku. "Aku malu Ren, soalnya ada aib yang harus kututupi.""Aib … suamimu?" tebak Reni terdengar hati-hati. "Hah?" Cukup kaget mendengarnya lalu kusunggingkan senyum tipis. Tak membenarkan juga apa yang barusan dikatakan Reni. "Iya, aku ngerti. Maaf ya." Kuanggukkan kepala mengiakan. Setelah itu Reni tak bertanya lagi, ia pamit pergi dan membiarkan aku istirahat di kamarnya. Alhamdulil
"A–apa maksud Dokter?" tanyaku tergagap, gugup. Kuambil gelas minum dan meneguknya sampai tertinggal setengah. Kuletakkan kembali gelas yang masih tersisa setengahnya ke atas meja samping piring makanku. Napasku jadi tersengal karena dipaksa minum untuk menetralisir perasaan campur aduk. Pak Dokter mampu membuatku kelabakan dengan perkataannya. Mungkin ini penyebab tidak nyaman untuk mengiakan tawaran tinggal lebih lama di sini. "Tidak ada. Cuma ngasih tahu saja. Kalau bisa tinggallah lebih lama. Reni sangat menyukaimu." Ucapan Dokter Alfian terdengar sendu. Terasa aneh di kupingku seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau dia merasa saya temannya, pasti tidak akan memaksa untuk tetap tinggal. Lagi pula kapan pun Reni mau dan saya ada waktu, saya bisa berkunjung ke sini, ataupun sebaliknya Reni yang mengunjungi saya," jawabku memberi penjelasan. Tampak Dokter Alfian menghentikan aktivitas makan dan bersandar ke badan kursi makan. Lalu menghela napas berat. Apa jawabanku terlalu
"Reni sakit parah? Sakit apa, Dok?" Aku bertanya serius. "Sakit …, ehm sudah, lupakan. Kalau mau tahu, tanya sendiri ke orangnya. Saya tidak mau dianggap bocor menceritakan semua tentangnya. Nanti dia marah. Biar dia yang cerita."Lah? Tanya orangnya? Itu tidak mungkin. Reni sepertinya malah menyembunyikan penyakitnya itu dariku. Pernah kutanya, dia bilang baik-baik saja dan cuma flu biasa waktu itu. Lagian dokter aneh, tadi sudah keceplosan, kenapa tidak diselanjurkan saja, menceritakan semuanya. "Tidak mungkin Dok. Sepertinya Reni justru menutupi hal tersebut," jawabku berharap agar dokter sendiri yang cerita. "Itu karena dia tidak ingin orang lain mencemaskannya. Apalagi kamu. Dia senang sekali berteman denganmu. Katanya seperti punya saudara sendiri. Merasa akrab dan cocok. Reni itu anak tunggal."Oh, soal itu aku pernah dengar dari Reni sendiri kalau dia anak tunggal. Ternyata benar. Cuma tidak cerita mendetail. Soal aku yang dianggapnya seperti saudara sendiri, aku pun berpik
Pov Akbar"Akbar, bagaimana? Sudah dapat orangnya?"Aku menyentak napas berat. Lelah. Pertanyaan yang terus saja diulang Ibu untuk kesekian kalinya. Tampak wajah penuh harap tersirat di sana. Aku menggeleng, mematahkan binar harapannya. "Belum Bu, nanti Akbar coba hari ini datangi ke yayasannya. Siapa tahu ada. Kalau belum ada yang cocok juga, kita ambil random saja meskipun tak sesuai dengan keinginan Ibu. Bagaimana?" tanyaku memastikan. Aku tak mau nanti Ibu komplain dengan apa yang kupilih. Lelah juga menunggu dan ditodong Ibu dengan pertanyaan yang sama setiap harinya. Asisten rumah tangga.Sejak seminggu yang lalu, Ibu memaksaku secepatnya mencari asisten rumah tangga untuk membantunya di rumah ini. Ibu sudah tampak kelelahan karena mengurus rumah sendirian sejak ditinggal pergi Hanifah. Sedangkan Nita tak dapat diharap. Apalagi Dina, anak itu penuh dengan alasan. Bahkan untuk hal kecil seperti menyapu saja, Nita bilang tak bisa karena badannya pasti akan kelelahan sehabis meny
"Tapi Bu, kenapa?" Aku mau tahu alasannya. Mataku tertuju ke arah pintu, takut tiba-tiba Nita muncul di sana. Bagaimanapun juga kami bicara di luar yang tentu saja bisa dipergoki istriku itu kapan saja. Lagipula Ibu lupa situasi. Mau ngomongin menantunya malah di depan teras rumah. "Lah, pake ditanya? Nggak lihat apa kelakuan istrimu itu selama ini di rumah, bikin Ibu eneg. Ibu kira seperti Hani yang rajin, pintar masak, eh rupanya malah melebihi Dina. Pemalas!" cucur Ibu sampai maju begitu bibirnya saat menjawab. Tak ada lagi pujian seperti biasanya. Sepertinya Ibu memang sangat kesal dengan Nita, padahal dia yang dulu mendukung penuh saat aku ingin menikah dengan wanita tersebut dan tak peduli dengan Hanifah. Mungkin beliau mengira Nita akan seperti Hani. Aku pun dulu juga menduga begitu. Kukira sikap malasnya ini hanya sementara karena bawaan orok, tapi setelah diamati lebih berhari-hari, hampir di semua sektor urusan rumah tangga, ia terlihat enggan menyentuhnya. Oh, itu? Syukur
“Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le
“Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan
“Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap
“Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya
Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi
“Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P
“Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn
“Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan
“Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap