Share

Gagal

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Tapi Bu, kenapa?" Aku mau tahu alasannya. Mataku tertuju ke arah pintu, takut tiba-tiba Nita muncul di sana. Bagaimanapun juga kami bicara di luar yang tentu saja bisa dipergoki istriku itu kapan saja. Lagipula Ibu lupa situasi. Mau ngomongin menantunya malah di depan teras rumah.

"Lah, pake ditanya? Nggak lihat apa kelakuan istrimu itu selama ini di rumah, bikin Ibu eneg. Ibu kira seperti Hani yang rajin, pintar masak, eh rupanya malah melebihi Dina. Pemalas!" cucur Ibu sampai maju begitu bibirnya saat menjawab. Tak ada lagi pujian seperti biasanya. Sepertinya Ibu memang sangat kesal dengan Nita, padahal dia yang dulu mendukung penuh saat aku ingin menikah dengan wanita tersebut dan tak peduli dengan Hanifah. Mungkin beliau mengira Nita akan seperti Hani. Aku pun dulu juga menduga begitu. Kukira sikap malasnya ini hanya sementara karena bawaan orok, tapi setelah diamati lebih berhari-hari, hampir di semua sektor urusan rumah tangga, ia terlihat enggan menyentuhnya.

Oh, itu? Syukur
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
kumpulan orang "egois
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Berita Mengejutkan

    "Bu, maaf. Nita nggak mau pulang. Katanya dia mau di sini saja."Aku pergi ke kamar Ibu memberitahukan hasil jawaban Nita atas pertanyaanku beberapa jam yang lalu. Nita sudah tidur dan ini kesempatanku keluar dari kamar. Wajah Ibu memberengut. Aku tahu itu bukan jawaban yang diinginkannya. Namun mau bagaimana lagi, aku tak mungkin juga memaksa wanita tersebut untuk pergi karena bakal memantik rasa penasarannya kenapa aku terlalu memaksa. Paling buruk ia tahu maksud kami sebenarnya adalah mengusirnya sementara dari rumah ini secara halus. Sebenarnya bukan Ibu saja yang sudah muak dengan kelakuan Nita, aku pun demikian. Padahal dia baru berada di sini tak lama. Belum sampai sebulan, tapi rasanya sudah sangat memuakkan. Sikapnya yang pemalas, tidak peka, dan seenaknya membuatku tak nyaman. Dia tidak seperti Hani yang mengerti keinginanku dan apa saja mauku. Sekarang tiap malam selalu menyetel jam alarm sendiri biar tidak kesiangan bangun dan telat ke kantor, atau memastikan jamnya berfu

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Terdesak

    Pov Hanifah"Lebih baik kamu istirahat saja, Ren. Pikiranmu lagi kacau." Aku membenarkan selimut yang menutupi setengah badan Reni. Namun tanganku dipeganngnya membuat gerakanku terhenti sesaat. "Aku serius. Waktuku tak kan lama. Jika aku pergi, kasihan Mas Alfian." Wajah memelas Reni membuatku tak nyaman. "Ren, kalau pikiranmu begini terus, sakitmu akan makin parah. Pikiran buruk itu menambah energi negatif dan menambah kekuatan untuk penyakit di dalamnya. Bukannya sembuh, kamu malah membuat mereka makin kuat," ujarku menegurnya. Aku tak suka cara Reni yang sudah terlihat putus asa. Pasti dia sembuh. Apalagi dia orang kaya, bisa kan ikhtiar sampai titik penghabisan. Pergi kemanapun, ke tempat pengobatan yang lebih canggih. Semua bisa dengan uang yang dipunya. "Kamu gampang ngomong gitu sebab kamu nggak ngalaminnya. Nggak ngerasainnya. Semua sudah kulakukan buat sembuh, Han. Tapi yang namanya sakit parah, tentu sulit, Han, dan ini sudah yang terakhir kalinya berusaha. Kamu kira aku

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Aku Mengenalnya

    "Semudah itu, Bu? Jangan! Selidiki dulu orang yang ingin anda jadikan keluarga. Saya bukan orang yang tepat." Kukatakan hal tersebut lebih dulu biar tak jadi penyesalan di kemudian hari. Tatapanku lurus ke depan. Menatap tembok rumah sakit yang berwarna putih. Ibunya Reni tersenyum renyah. Aku belum tahu siapa namanya. Fokus kami ke pembahasan penting ini. Sehingga tak ada yang lebih dulu memperkenalkan nama masing-masing di antara kami. Bagiku ini penting, tak bisa dijadikan pembahasan receh. Jujur aku memang ingin punya keluarga. Punya orang yang bisa dipanggil Ayah atau Ibu. Sebuah cita-cita dari kecil. Semua anak yang tinggal di panti pasti merindukan hal ini. "Sepertinya pilihan Reni tepat. Aku memang tak sembarangan menjadikan seseorang itu anak. Kami memang cuma mempunyai Reni, tapi bukan berarti setelah dia hilang, semoga saja tidak. Cuma mengandaikan saja kalau terjadi. Orang tua mana yang mau anaknya pergi lebih dulu. Andai bisa menggantikan, seharusnya kami saja yang suda

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Pertemuan Kta terduga

    "Mbak kenal?"Sintya bertanya memastikan. Menatapku penuh selidik. "Eh, nggak." Dengan cepat aku menggelengkan kepala, membantah. "Entahlah. Kayaknya salah orang," lanjutku meragu, takut salah orang. Awalnya aku sangat yakin saat melihat wajahnya barusan, tapi tak berani bercerita pada Sintya, takutnya memang salah orang. Apalagi yang sedang kami bicarakan adalah ibunya Pak Dokter. Aku tak ingin nantinya disebut sok kenal atau sok dekat. "Oh, Mbak ngomongnya kayak meyakinkan. Kirain kenal. Tapi nggak mungkin juga sih, kenal dimana. Iya kan? Nyonya besar pasti kumpulnya di tempat elit. Eh, bukan maksud merendahkan, tapi–"Sintya tampak salah tingkah dan merasa bersalah dengan ucapannya barusan. Aku tersenyum tipis membalasnya. "Santai Sin, aku ngerti kok. Nggak tersinggung juga." Kutepuk pundak Sintya meyakinkannya kalau aku baik-baik saja. Toh, memang begitu kenyataannya. Tidak mungkin aku satu cicle dengan mereka. Jangkauan pertemanananku bukan orang kaya. "Syukurlah Mbak, maaf.

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Tak Diizinkan Pergi

    "Hanifah, Bu?" Aku mengulurkan tangan ke arah Bu Amelia, seraya menyebut nama. Namun Bu Amelia belum menyambut uluran tanganku, dia memicingkan mata seolah memindaiku. "Jeng." Bu Rosa menegur. "Amelia." Tanganku akhirnya dijabatnya yang hampir saja kutarik karena kelamaan tak disambut. Kukira Bu Amelia tidak mau bersalaman denganku. "Kamu … Hanifah yang …." Tanganku masih dijabat Bu Amelia. Sepertinya beliau telah mengingatku. Jadi aku tak salah orang. Dia memang Bu Amelia yang tak sengaja bertemu di jalan, dan kubantu saat ban mobilnya yang kempis dengan menelponkan tukang bengkel. . Aku tak berani mengiakan, menunggunya mengingat sendiri atau memilih pura-pura lupa saja. Biar tak malu. "Hanifah yang membantu saya waktu ban mobil saya kempis kan?" tebak Bu Amelia dan aku tersenyum dalam hati. Beliau ingat. "Oh, Ibu, Ibu Amelia ya," ujarku mengiakan. Sok lupa. "Iya, astaga ketemu di sini." Tiba-tiba dia merangsek memelukku membuatku terkejut karena tak siap. Tak menyangka Dapat

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Ternyata orang kaya

    "Ayo masuk. Anggaplah rumah sendiri." Tanganku diraih Bu Rosa yang terdiam membeku di tempat, dituntunnya aku agar masuk ke dalam rumahnya. Aku diam dan manut saja seolah terhipnotis. Berjalan pelan sambil mengamati sekeliling. Bukan apa. Rumah orangtua Reni ternyata sangat besar. Aku takjub melihatnya. Kuharap Bu Rosa tidak melihat bagaimana ekspresi wajah yang kubuat. Mata membelo dengan mulut ternganga, aku yakin seperti itu ekspresiku barusan. Ekspresi itu spontan saja karena melihat hal yang selama ini tak pernah kulihat secara dekat. Rumahnya lebih besar dari rumah Reni. Artinya Reni itu anak orang kaya. Aku tak tahu dan tak pernah menyangka bisa berteman dengannya. Almarhumah juga tak pernah cerita. Memang benar kata Orang-orang kalau orang kaya itu terlihat kaya secara diam-diam, bukan dengan cara pamer. Bahkan mereka malah lebih nyaman saat mengenakan hal yang biasa saja, tidak haus akan sebuah brand produk. Meskipun tidak semuanya. "Selamat malam Bu."Aku terdiam di sisi B

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Penghuni Baru

    Pov Akbar"Bagaimana Bu? Yang kerja sudah datang?" Aku menghubungi Ibu di rumah mumpung jam istirahat tiba. Penasaran apa orang dari yayasan penyalur jasa itu sudah datang atau belum. Seharusnya sudah, tapi tak ada kabar dari Ibu. Padahal janjinya jam delapan pagi, dan ini sudah jam duabelas siang, tapi Ibu tak ada menghubungi sampai sekarang membuatku penasaran kabarnya. Aneh. Tidak biasanya. Makanya aku berinisiatif menghubungi lebih dulu. "Iya, sudah datang. Sudah kerja juga hari ini. Bagus kok. Maaf ya Ibu lupa bilang. Ibu ketiduran. Mungkin karena nggak enak badan, dan tadi Surti mijatin. Eh pijatannya enak banget sampai lupa hubungi kamu. Ibu ketiduran." Terdengar kekehannya di ujung telepon. Aku mengernyit mendengar penjelasan Ibu. Surti? Apa nama yang kerja itu Surti ya? Sepertinya aku lupa-lupa ingat siapa namanya. "Namanya Surti ya, Bu?" tanyaku memastikan. "Iya, Surti. Iya kan?" "Kok nanya balik? Kan dia bawa CV-nya sendiri, Ibu bisa baca. Benar apa nggak, kemarin juga

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Dapat surat cinta

    Kata orang, beristri lebih dari satu itu enak, karena saat yang satu ngebosenin, maka yang satunya masih fresh. Lebih segar dan lebih ngangenin, bikin jiwa kembali muda. Jadi hidup rumah tangga juga berwarna, tidak itu-itu saja. Awalnya aku membenarkan. Apalagi saat lagi hangat-hangatnya dengan istri kedua. Dunia terasa cuma milik berdua. Aku melupakan sejenak istri pertama. Namun setelah menjalaninya lebih lama apalagi setelah pernikahan kedua diketahui oleh istri pertama, petaka itu akhirnya dimulai. Kesengsaraanku tiba juga. Istri pertama terpaksa pergi, maka istri kedua menggantikan. Kukira istri kedua bakal bisa menjalani status seperti istri pertama, namun nyatanya tidak. Aku makin terpuruk dan berharap istri pertama kembali. Hanifah. Kembalilah. Aku menunggumu, Sayang. ***"Pak, ini ada kiriman, katanya buat Bapak."Surti menghampiriku yang baru keluar dari kamar."Kiriman apa? Pagi begini?" tanyaku heran. Bingung saja sejak kapan datang kiriman di jam pagi bahkan belum jam

Bab terbaru

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Telat, dan Penyesalan

    “Bagaimana, persiapan sudah sampai mana?” Bu Rosa bertanya saat Hanifah baru saja mendaratkan badannya ke sofa ruang tengah. Ia mampir sebentar ke rumah orangtua angkatnya ini demi menunjukkan perhatiannya pada orang yang telah berperan besar mengubah nasibnya tersebut. Sesibuk apa pun bakal menyempatkan hadir ke rumah ini. “Hm, sudah hampir beres Bu, sudah delapan puluh persen dan berjalan lancar. Sisanya ngepas baju pengantin bersama Mas Alfian,” jawab Hanifah tak jadi merebahkan punggungnya ke bahu sofa, mencoba bersikap sopan karena diajak bicara. Sebenarnya badannya terasa remuk sebab seminggu belakangan ini Hanifah sibuk kerja demi hari pernikahannya berjalan lancar. Ia tak mau konsentrasinya jadi terganggu. Makanya menuntaskan pekerjaan kantor secepatnya, sisanya biar dihandle sama asisten dan karyawan kepercayaannya. Bu Rosa tersenyum. “Syukurlah. Tidak ada kendala berarti kan?” tanya wanita berumur setengah abad itu dengan tatapan serius, memastikan. Hanifah menggeleng le

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Keadaan Keluarga Akbar

    “Bu.” Akbar merangsek duduk di hadapan ibunya yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Sejak tahu kebenaran tentang menantunya, Bu Nilam jatuh sakit. Tekanan darahnya naik, disertai demam tinggi. Akbar sudah memaksa ibunya untuk pergi berobat ke dokter, tapi Bu Nilam menolak. Ia merasa takkan ada perubahan berarti andai dirawat di sana, ini soal hati, bukan raga. Ia sakit hati. Tak menyangka bakal dicurangi menantu yang disayanginya hingga rela mengorbankan menantu pertama. Bu Nilam memutuskan tetap berada di rumah. Minta Surti saja yang merawatnya dan minum obat racikan apotek. Pasti juga sembuh, pikir Bu Nilam. “Bu, makan dulu.” Akbar mengangkat piring dan siap untuk menyuapi ibunya makan. Surti memberitahu kalau ibunya tak mau makan meski sudah dipaksa asisten rumah tangganya tersebut. Makanya terpaksa Akbar turun tangan sendiri. Kalau tidak begini keadaan ibunya akan tetap sama. Bu Nilam menggeleng. Menolak suapan Akbar yang mengayun ke mulutnya. Gerakan tangan Akbar tertahan

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Misi Berakhir

    “Mas, kumohon. Jangan usir kami. Kasihan Kesya, dia masih kecil butuh sosok ayah, kalau–”“Tapi aku bukan ayahnya. Silakan bawa dia ke ayah kandungnya, aku yakin orang itu masih hidup bukan? Kenapa jadi membebaniku dengan dosa laki-laki lain, dosa kalian berdua tepatnya. Cih! Aku tak sudi!” sela Akbar kasar memotong ucapan Nita. Hatinya sudah mati untuk bersimpati. Kesalahan Nita dan keluarganya sudah fatal. Kesabarannya sudah diambang batas. Tega-teganya kedua ibu-anak tersebut membodohi ia dan ibunya. Bahkan karena menikahi Nita, Akbar tega menceraikan Hanifah yang menurutnya adalah istri terbaik selama hidupnya. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, semua takkan bisa dikembalikan seperti semula. Hanifah pergi, dan Nita terpaksa diusir. Nita tak dapat menjawab, ia kehabisan kata. Sindiran Akbar benar. Kenapa malah laki-laki tersebut yang menanggung dosa ayah biologisnya Kesya, dosanya juga. Tak mungkin Kesya hadir tanpa kontribusi kedua orang berlawanan jenis tersebut. Nita menatap

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Tatap Muka

    “Bagaimana? Ada kabar apa?” Hanifah bertanya saat Beni minta bertemu. Katanya ada informasi penting dan harus tatap muka. Mereka sekarang berada di sebuah kafe dekat kantor Hanifah. Meskipun bingung, Hanifah menurut saja, mungkin ia kira memang ada yang harus diobrolkan secara tatap muka. selama ini komunikasi mereka lebih sering lewat sambungan telepon. “Maaf, Bu, minta bertemu. Mungkin ini laporan terakhir yang bisa saya sampaikan."Jawaban Beni berhasil membuat kening Hanifah berkerut. Dia bingung kenapa Beni mengatakan hal seperti itu, apa mau mengundurkan diri dari tugas rahasia ini? Apa semua sudah selesai? Perasaan Hanifah, semua baru setengah berjalan, bahkan terkesan baru saja dimulai. Apa jangan-jangan semua rencana mereka telah ketahuan oleh Akbar atau orang lain dan? Tapi ….Hanifah belum sempat bertanya, Beni sudah bersuara. “Sepertinya tugas saya sudah selesai, Bu. Dari kabar yang saya dengar, Nita, ibu, dan anaknya diusir dari rumah oleh Pak Akbar. Dari kabar yang saya

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Akbar Marah Besar

    Beberapa hari sudah hubungan Akbar dan Nita sangat dingin. Akbar malas mengajak bicara Nita, sedang Nita takut-takut untuk memulai pembicaraan ke Akbar. Sejak melakukan tes DNA, keduanya seperti memutuskan irit bicara dan hanya sekedarnya. Terutama Akbar dan ibunya. Begitupun hubungan Bu Nilam dan Yusni. Keduanya seolah menabuh genderang perang tapi secara diam-diam dan hanya lewat tatapan mata yang sengit. Rumah Bu Nilam dan Akbar layaknya medan perang tapi dalam mode gencatan senjata. “Gimana, Bu? Mas Akbar masih mendiamkan Nita sampai sekarang ini. Bahkan cuma menengok Kesya tanpa ingin menggendongnya apalagi menciumnya seperti biasa. Suamiku itu makin menjauh seolah yakin Kesya bukan anaknya. Ia juga tak peduli dengan apa yang sudah Nita lakukan. Semua terasa sia-sia. Apa Mas Akbar sudah merasakan hal tersebut ya? Aaakh! Nita bingung. Nita pasrah, Bu.” Nita mengeluh melihat sikap Akbar padanya. Padahal Nita sudah mulai berubah. Sikapnya lebih lembut dari sebelumnya. Ia tidak lagi

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Gagal, Nita Pasrah

    “Dok, tunggu. Boleh tidak kita bicara dulu empat mata? Cuma sebentar, cuma berdua.” Baru saja seorang perawat ingin meraih Kesya dari gendongan Nita, dengan cepat ditepisnya seraya memalingkan badan ke arah berlawanan. Ia juga mengatakan hal yang membuat dokter dan perawat yang ada di dalam ruangan ini mengernyit heran. “Ada apa ya, Bu?” Dokter Iraguna tampak hati-hati bertanya. Ia merasa ada kerisauan dari wajah yang ditampakkan wanita yang berdiri di hadapannya. Kecemasan yang berlebihan. “Ada yang bisa dibantu? Kalau untuk Kesya, aman Bu, kami profesional,” imbuh Dokter menenangkan. “Hmm … bukan, bukan itu, tapi ….” Nita menatap seorang perawat di dalam ruangan tersebut seolah memberi kode pada Dokter kalau perawat itu harus pergi. Ia hanya ingin bicara berdua, cuma berdua saja bersama dokter. Kalau ibunya tidak bisa bertindak, Nita terpaksa yang turun tangan. Hanya ini harapannya. Dr. Iraguna mengisyaratkan lewat tatapannya kalau perawat bernama Bening tersebut harus pergi. P

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Melakukan tes DNA

    “Akbar! Kamu apa-apaan sih ngasih penawaran enak begitu? Bisa-bisanya kamu bilang bakal memberikan rumah dan aset hartamu buat mereka? Terus Ibu sama Dina tinggal dimana?” Tak terima mendengar pernyataan seenaknya Akbar di meja makan, Bu Nilam protes. Mereka saat ini ada di teras rumah menunggu Nita dan Kesya bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Bu Yusni terlihat di dalam kamar bersama Nita, itulah sebabnya Bu Nilam mengajak bicara Akbar di teras. Menyempatkan bicara sebelum anaknya tersebut pergi membawa Kesya untuk tes DNA. “Iya, Mas. Aneh. Dina pokoknya tidak setuju. Enak di mereka, nggak enak di kita. Mas enak karena dia istri Mas, lah kami bakal terusir nantinya dari sini. Mana selama ini Dina kurang bersahabat lagi dengan mereka. Pokoknya Dina tidak setuju dan Mas batalkan kesepakatan Mas barusan. Kalau mau bikin kesepakatan jangan mengorbankan kami juga Mas. Harusnya Mas cari alternatif lain. Bukan rumah ini jadi jaminannya!” Dina ikutan berkomentar, memprotes pernyataan abangn

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Debat panas

    “Akbar.” Laki-laki yang tampak frustasi tersebut mendongak menatap orang yang memanggilnya. Bu Nilam, ibunya masuk ke dalam kamar setelah melihat Nita keluar dari kamar tersebut. Sedari menantu dan anaknya berada di kamar, Bu Nilam diam-diam meminta Surti untuk terus mengawasi kamar tamu tersebut untuk memantau situasi di sana. Sekaligus memberi informasi kalau salah satu atau keduanya telah keluar dari kamar tersebut. Bu Nilam tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Ia yakin ada yang salah dan mereka sedang tak baik-baik saja. “Bu. Please tinggalkan Akbar. Akbar ingin sendiri,” pinta Akbar memelas dengan wajah sayu dan sendu. Laki-laki itu tak bersemangat untuk bicara apalagi menceritakan apa yang telah terjadi. Ia cuma butuh sendiri untuk merenungkan apakah tindakannya barusan benar atau salah. Mengetahui informasi yang masih abu-abu saja, ia sudah frustasi begini, apalagi jika semua itu benar seperti yang dipikirkannya. Mungkin ia akan hancur. Lima tahun penantian demi mendapatkan

  • Kau Lukai Aku, Kubuka Aibmu   Panik

    “Siapa ayahnya Kesya? Jawab!”Bentakan Akbar membuat Nita terkejut. Bukan hanya karena bentakannya, tapi pertanyaannya yang membuat Nita shock berat. “A–ayah Kesya? Ya k–kamu, Mas, siapa lagi,” jawab Nita tergagap. Ia sampai memundurkan langkah dengan badan gemetar. Tidak menyangka Akbar akan menanyakan pertanyaan tersebut padanya. Hatinya tak karuan, takut rahasia besar yang disimpannya terbongkar. Akbar tersenyum miring menyeringai. “Aku? Yakin? Jangan sampai aku bisa membuktikan kalau Kesya itu bukan anakku,” pelan, tapi mengandung ancaman. Akbar mencoba mengintimidasi istrinya. Ia tahu Nita sedang gugup dan takut, hal ini memperkuat dugaannya kalau ternyata apa yang dikatakan surat kaleng itu benar. Kesya bukan anaknya dan Nita telah membohonginya selama ini. Kalau memang tidak benar seharusnya Nita tidak gugup seperti sekarang ini, harusnya bersikap biasa saja. Lagi pula apa untungnya si pengirim surat kaleng melakukan semua ini, Akbar merasa tak punya musuh, dan kepentingan ap

DMCA.com Protection Status