"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?"
Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa makannya sedikit? Biasanya kamu makan banyak?" ibu membuka percakapan yang terdengar sinis di telinga Carla. Apakah ini perasaannya atau memang ia benar sedang menyindir?. "Ehhmm....nanti nambah kok bu," jelas Carla. Ia sengaja mengambil satu centong nasi lagi supaya ibu mertuanya percaya. Abi berpura-pura tak melihat ibunya. Rasanya aneh sekali jika dia ikut membela istrinya. "Abi, ibu mau bicara empat mata sama kamu." ibu berdiri dari duduknya, lalu berkata lagi." Ibu tunggu di kamar ibu." Mata Abi dan Carla saling melirik, memandang satu sama lain. Gelisah di wajah Carla membuat Abi berpikir sejenak, apa yang harus ia katakan pada ibunya?. "Sayang, maaf. Aku..." "Jujur saja, mas. Aku siap lahir batin." "Tetap saja aku merasa bersalah. Tenang ya, aku akan membelamu di depan ibu." Abi berdiri dan segera menemui ibunya yang sudah ada di dalam kamar. Sementara Carla membereskan meja makan, sambil terus berdoa agar ibu mertuanya tak memisahkan dirinya dan Abi. Di dalam kamar, suasananya pun tak ada bedanya dengan ruang makan tadi. Abi dan ibunya belum terlibat pembicaraan apapun. Masih saling menunggu dan berharap salah satunya akan memulainya lebih dulu. Klikkkk... Ibu membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih. Ibu mengambil gunting dan mulai membuka amplop tersebut. Ia mengeluarkan sebuah surat dan menyerahkannya pada Abi. "Baca!!" Abi meraihnya dan mulai membuka serta membaca isinya. Mula-mula Abi mengerutkan dahinya, lama kelamaan ia terlihat gelisah dan ada keringat dingin mengucur di dahinya. "Bu, bagaimana bisa? Bu, Abi tidak percaya. Abi tidak akan melakukan hal itu. Maaf bu." Abi menutup surat dan menyerahkannya lagi pada ibunya. Ibu hanya diam dan tampak datar melihat si bungsu yang menolak kemauannya. Dalam hati diam-diam merutuki persetujuannya dulu saat putra kesayangannya menikahi Carla. "Itu salahmu. Dulu waktu kamu nikah sama Winda, kamu memaksa tanpa melihat penanggalan jawa. Padahal, kalian itu tidak jodoh. Nah, sekarang sama Carla pun sama. Inilah akibatnya nikah terburu nafsu. Lihat saja kejadian di rumah tangganya." Perkataan ibu sangat pedas. Tak apalah jika Abi memilih dimarahi, daripada Carla yang tak tahu apa-apa juga ikut terbawa. Ini hidupnya, maka ia yang menentukannya. "Maaf, bu. Tapi Abbi....." "Abi, ibu sudah bisa menerka dari wajah kalian berdua. Pasti hasilnya tidak bagus, kan? Carla belum ada kepastian untuk hamil kan? Ya sudah, ceraikan saja. Mudah toh." mata Abi membelalak tajam mendengar perkataan kejam yang keluar dari mulut ibu yang ia cintai. Aneh, ia tak membelanya sedikit pun. "Bu, Abi sayang sama Carla. Jangan seperti ini. Kalau pun Carla tidak punya anak, masih ada Adam. Abi tidak masalah." Abi membela Carla yang memang seharusnya ia bela. Ini bukan kesalahan mereka. Ini takdir. "Abi, pikiran kamu kok aneh sekali. Jangan terhasut atas nama cinta. Ibu tekankan sekali lagi, ada dua pilihan yang harus kamu ambil. Cerai atau kamu nikah lagi. Karena, sisi kosong tanpa anak menyebabkan kamu akan kehilangan segalanya nanti. Camkan kata-kata ibu!" ibu berdiri. Ia melangkah keluar kamar lalu menemui Carla dan meninggalkan Abi sendiri di dalam kamarnya. "Ibu.....aku..." "Ibu sengaja berbicara keras tadi. Bagaimana, kamu setuju kan? Ini demi kelangsungan hidup Abi. Kamu jangan egois." Carla menunduk. Ia ingin membalas bahkan berteriak, tapi seakan mulutnya terikat jika sudah berhadapan dengan ibu mertuanya. "Tapi, bu...." "Tidak ada tapi-tapian. Bulan depan harus sudah dilaksanakan." Ibu tak peduli dengan perasaan halus Carla. Ia tak peduli juga dengan pemberontakan dalam diri Carla. Ia bahkan tak mau mendengarkan apa yang tersirat dalam hasratnya. 'Hikss....hikss...' **** Langit malam ini terasa kelam. Bintang yang berbaur jadi satu pun tak menampilkan keindahan di mata seorang Carla. Kesedihan hatinya merenggut itu semua. Sepertinya, tak akan ada ruang lagi di hatinya atas nama cinta. "Carla, sudah malam. Ayo masuk," ajak Abi dengan suara lembutnya. Ia berjongkok di hadapan Carla yang sedang duduk memandang langit di atas balkon rumahnya. Tempat ia dan Abbi biasa menghabiskan malam sambil bercanda, terkadang pun bersama Adam. Abi menarik tangan Carla dan menggenggamnya. Lalu ia mencium dan meletakkannya di wajah. Seolah Carla sedang membelai wajanya dengan lembut. "Maafkan ibuku Carla. Aku yakin kita bisa hadapi semuanya. Aku akan tetap di sisimu sampai kapanpun. Aku mencintaimu," ujar Abi. Ia menancapkan pesan mesra lewat tatapan matanya yang syahdu. Tersirat juga perasaan sayang pada Carla, sang istri tercinta. "Mas..." Carla menegang. Tubuhnya merespon ucapan Abi tadi. Tapi, ini respon negatif. "Kenapa sayang? Katakan." "Bagaimana kalau kita— Carla menggantung kata-katanya. Ia dan Abi saling berpandangan. Aura tegang menyelinap diam-diam diantara mereka. Abbi sudah berpikiran buruk sejak ia duduk berjongkok di hadapan Carla. Pertanda burukkah? —masuk ke dalam. Disini dingin." lanjut Carla. Abbi mengembus napas lega. Hampir saja darahnya berhenti mengalir. "Yuk..kita hangatkan suasana ranjang seperti kemarin." Abi tersenyum, tiba-tiba ia menggendong Carla, menuruni tangga rumah perlahan-lahan. Carla menyematkan tangan di leher Abbi dan sengaja mendekatkan bibirnya ke pipi Abi lalu menciumnya. 'Ini hanya sementara Abi. Selanjutnya, kita akan terasa jauh.' *** Serasa menyematkan duri diantara daging, rasanya menusuk sampai daging yang terdalam. Ini bukan hanya tentang kata-kata yang menusuk hati. Ini tentang harga diri dan perasaan menentang apa yang seharusnya tak terjadi. Semua serasa lepas tangan dan mata. Mencoba untuk tak tahu atau pura-pura tak tahu. Carla masih menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Ia masih mencoba bersabar walau kenyataannya tidak. Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal lebih jauh Abi hingga ke akarnya. Tapi, malam tadi ia serasa tak mampu. Entahlah, rasanya Abi hanya berkata semampunya. "Mas, pagi ini aku mau ke butik. Aku bawa Adam." Carla membuka tirai dan selimut yang menutupi tubuh Abi. Ia mengguncang tubuh polos suaminya tanpa pakaian dan mencubitnya lembut. "Eungghh..." Abi mengerang. Satu tangannya menarik kasar pinggang Carla dan memeluknya erat. Tubuh Carla jatuh di atas dada Abi. Tak ada rasa berat, Abi malah mendudukkan Carla di atasnya. "Mas..." "Kamu makin ringan. Kamu diet ya?" Carla menggeleng, ia tak pernah diet. Ia bahkan selalu makan dengan lahap setiap harinya, ia juga sadar sepemuhnya kalau dirinya semakin lama semakin tirus. "Aku baru sadar kalau aku kurus, mas. Kenapa ya?" Abi menjawil hidung Carla dengan gemasnya. Lalu berkata," Jangan banyak pikiran. Anggap semua angin lalu." Carla mengangguk. Ia segera turun dari tubuh Abi, tapi lagi-lagi ditahan oleh tangan suaminya itu. "Mas, aku mau beresin baju." "Morning kiss, my babe...." Satu ciuman mendarat di bibir hati sang suami. Abi melumatnya pelan. Satu tangannya ia letakkan di belakang kepala Carla dan ia menahannya. Memastikan jika Carla juga menikmati ciuman panas pagi ini. "Aku tunggu di ruang makan." "Ok, babe." ***"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
Sudah menjadi kebiasaan bagi Riandari dan para sahabat dekatnya untuk melakukan pertemuan setiap bulannya. Bertempat di sebuah restoran mewah di pusat kota Jakarta, Riandari dan ke sembilan sahabatnya berkumpul memperebutkan sebuah gulungan kertas yang dengan sengaja disiapkan oleh ketua perkumpulan. Setelah satu nama keluar, mereka berkumpul di tengah untuk merayakan kegembiraan si pemenang. Riandari sebagai anggota yang paling banyak bicara sejak datang tak pernah berhenti membuka mulutnya. Julukannya adalah si biang gosip. Apa sih berita yang tak luput dari mulut besarnya? "Jeng Rian, kemarin Abi habis lamaran ya? Calonnya Abi yang baru cantik enggak?" suara keras dari Ira, salah satu anggota perkumpulan membuat seisi ruangan menoleh padanya. Mertua Carla itu tersenyum sendiri sambil menutup bibirnya malu-malu lalu mengangguk pelan. "Wah, kapan rencana resminya? Saya diundang, kan?" "Semuanya diundang. Rencananya dua bulan lagi." Riandari tersenyum lebar setelahnya. "Jeng Ira,
Ivana dan Ira terlibat obrolan seru. Carla sebagai pendengar, cukup serius mengamati kedua orang itu dari dekat. Sesekali ia menimpali obrolan yang mulai terasa berat. Mereka membahas bisnis dan inovasinya. Maklum saja, keduanya adalah pengusaha makanan yang banyak terlibat dengan kalangan anak muda yang sedang viral sekarang. Itulah sebabnya, tak jarang keduanya terus menerus berinovasi agar anak muda tidak bosan dengan makanan buatan mereka. Carla yang juga seorang pengusaha minuman kaleng dan makanan kering tentunya sangat terbantu dengan ide menarik dari mereka berdua. "Seru deh kalau sudah coba makanan kekinian yang lagi viral. Tapi sih, menurut saya lebih baik buat inovasi yang lebih menarik. Shinta, kamu kan biasanya ada ide. Siapa tahu kita bertiga bisa saling tukeran ide atau join bareng," seru Ira yang dibalas senyuman oleh anaknya yang sedang membereskan meja di dekat ranjang Carla. "Sudah ada ide. Kalau mau, kita bisa diskusi bareng. Ibu Car
Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera
Abi benar-benar telah matang dalam mengambil keputusan untuk bercerai dengan Risya, istrinya. Di dalam kepalanya, tak ada lagi kesempatan kedua untuk mempertahankan rumah tangga. Abi sudah muak dengan segala macam drama yang telah Risya buat. Walaupun dengan penolakan tak rela dari Risya, tetap saja Abi bersikeras untuk menceraikannya. Baginya, perselingkuhan adalah kehinaan dalam sebuah hubungan. "Turun!" perintah Abi yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Risya. "Jangan sampai aku bertindak kasar padamu!" tegas Abi. Pria itu membuka pintu samping lalu menarik Risya ke luar. Risya terus memberontak bahkan tak segan memukul lengan Abi dengan keras. Abi tak peduli, ia tetap menarik Risya setelah berhasil menurunkan dua koper besar milik wanita itu. "Mas, aku enggak mau pulang ke sini!" rengek Risya. Tak peduli dengan rengekan Risya, Abi tetap menyeret koper milik Risya. Mendengar kegaduhan yang ada di depan rumah, ibu mertua Abi segera berlari menemui asal suara. Karena sayup-say
Risya tak terima dengan keputusan yang diambil oleh Abi. Ia terus meraung-raung tak jelas di depan kamar suaminya. Suaranya baru berhenti menjelang pagi. Rupanya, ia tertidur di depan pintu kamar dengan tubuh tengkurap mencium lantai. Abi sama sekali tak terenyuh dengan pemandangan di depannya. Tanpa menoleh sama sekali, ia pergi sambil melangkahi seonggok tubuh yang tengah tertidur itu. Mendengar suara tawa yang cukup keras dari lantai bawah, Risya terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap lalu perlahan terbuka. Tubuhnya sakit, ia melenguh. Rasanya seperti tertimpa ribuan ton besi. "Pa, hari ini aku mau ajak Ika ke rumah Jihan. Boleh kan?" ujar Adam meminta izin pada ayahnya. Abi mengangguk. Kedua anaknya cukup sering menghabiskan waktu di rumah sahabatnya, tak ada alasan untuk menolaknya. "Soalnya, Fariska mau main sama dedek Ragil. Iya kan?" "Ih, kakak. Kenapa dikasih tahu ke papa?" bibir Fariska mengerucut lucu, pipinya menggembung tanda ia marah pada kakaknya. Adam
Adam meremat tangannya, hatinya gusar dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sejak kejadian di dalam mobil itu. Tidur malam Adam pun tak pernah tenang. Wajah biadab itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya tiap detik. Adam terus menimbang-nimbang apakah dirinya akan mengungkapkan semuanya pada sang ayah atau tidak. Setiap kali melihat wajah lelah ayahnya, Adam jadi tak tega mengungkapkan. Namun jika mengingat perlakuan buruk ibu tirinya, hatinya memanas. Ia tak rela jika ayahnya dikhianati dengan cara kejam di belakangnya. "Pa," panggil Adam dengan suara pelan. Abi menoleh dengan senyuman manisnya. Menepuk pinggiran sofa lalu melambaikan tangan mengajak Adam untuk duduk di sebelahnya. "Pa, Adam—" Abi melihat raut wajah keseriusan di mata Adam. Sudut hatinya yang peka mengatakan jika anaknya itu membutuhkan bantuan. "Ada apa, nak? Ada yang ingin kamu sampaikan?" Suara lembut ani menggoyahkan keinginan Adam untuk mengungkapkan sebuah rahasia. Pria muda itu menarik napas p