Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya.
Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "Silakan diminum pak Ardian," ujar Carla. Senyuman manisnya membuat Ardian salah tingkah. Oh, tidak Ardian ini masih single. Jangan sampai ia tertarik dengan sosok Carla yang sudah bersuami. "Ah, iya kedatangan saya kesini ingin membicarakan bisnis yang sudah kita bicarakan minggu kemarin. Bagaimana kalau kita realisasikan?" "Bisa saja. Apakah anda masih tetap tertarik dengan prospeknya?" "Masih. Dan saya tetap tertarik jika itu menyangkut tentang anda sebagai pemiliknya." Ardian mengedipkan matanya, itu sukses membuat Carla menjadi sedikit tertarik tapi kesan selanjutnya sedikit risih untuk dikatakan. Pesona Ardian tidak main-main. Ia adalah seorang jenius bisnis yang mempunyai banyak sekali rekan bisnis dari berbagai bidang. Sekalinya bisa bermitra dengannya, otomatis namanya ikut melambung. "Benarkah?" "Ehhmm...bagaimana?" Carla berpikir sejenak, penawaran Ardian memang cukup menarik. Carla dan Ardian bisa jadi pemain tunggal dalam bisnis yang akan mereka kerjakan. "Baik, bisa saya proses segera." "Bagaimana kalau bicarakan ini sambil makan malam?" "Maaf, saya sudah harus di rumah setelah jam kerja." terlihat wajah kecewa Ardian setelah penolakan halus oleh Carla. "Ehm, kalau makan siang? Saya yakin anda tidak akan menolak," ujar Ardian dengan kepercayaan dirinya. "Baiklah. Saya bisa." Ardian berdiri sambil menepuk jasnya yang terlihat kusut. Ia mengulurkan tangannya sebagai tanda persetujuan dengan Carla. "Well, saya tunggu di cafe Ox jam makan siang." "Baik. Nanti saya akan datang." "Terima kasih." Ardian pamit undur diri. Carla pun segera memberitahu Abbi untuk tak menunggunya makan siang karena ia sudah lebih dulu janji dengan Ardian. **** "Carla, nanti aku akan menjemputmu." Abi menghubungi Carla setelah tiba di kantornya. Ia sedikit terlambat karena jalanan kota Jakarta sedikit padat pada pagi hari. Setelah mengantar Carla, ia melajukan kendaraannya menuju kantor yang berjarak sedikit jauh. Carla mendengus pelan. Ia tak ingin dijemput oleh suaminya. Carla tak ingin pulang terlalu cepat hari ini. Salahkan mobilnya yang mogok dan harus menginap di bengkel lebih dari seminggu lamanya. "Tidak usah, Mas. Aku—" "Jangan membantah," tegas Abi. "Baiklah. Jemput aku jam tiga sore," jawab Carla malas yang diangguki oleh Abi di ujung sana. Memenuhi janji makan siang bersama Ardian, Carla datang ke sebuah kafe terkenal dekat dengan kantornya. Ia meminta diantarkan oleh salah satu stafnya hingga ke depan pintu kafe. Di salah satu sisinya, ada Ardian yang sedang menunggunya sambil melambaikan tangan memanggil Carla yang masih berdiri di kejauhan. "Carla!" suara antusias Ardian terdengar. Carla berjalan mendekat. "Menunggu lama?" Ardian menggelengkan kepalanya. Ia berdiri sejenak lalu menarik kursi untuk Carla. "Aku baru saja tiba. Ini menunya, silakan pesan." "Hari ini siapa yang traktir?" tanya Carla sambil membolak-balik buku menu. Ardian tertawa melebarkan senyumannya. "Aku yang mengajakmu, jadi aku yang traktir." Carla menutup buku menunya. Untuk memecah keheningan, ia kembali bertanya pada Ardian,, "Kamu tahu apa yang aku suka?" "Iya. Bahkan aku juga tahu segalanya tentang kamu. Well, asistenku sudah datang ke kantormu untuk membawakan berkas yang kita butuhkan." "Ok, lusa kita meeting." Suasana hening kembali. Carla menikmati makan siangnya, sementara pria di seberangnya justru sebaliknya. Tatapannya tertuju pada wajah cantik Carla yang begitu ia kagumi. "Akhir-akhir ini aku selalu bermimpi, biasanya aku mimpi buruk tapi ini mimpi yang indah. Sangat indah." Ardian membuka percakapan kembali. Senyumnya mengembang, menciptakan suasana nyaman untuk keduanya. "Mimpi apa?" tanya Carla penasaran. "Bertemu bidadari." suara Ardian pelan namun berhasil membuat Carla terlarut. Pipinya memerah malu, seakan dirinya yang sedang dirayu oleh pria itu. "Pasti menyenangkan," ucapnya. "Sangat." Akhirnya, makan siang pun selesai dengan aman. Pembicaraan yang mengarah ke ranah pribadi berhasil Carla alihkan. Ia tahu dan ia merasakan sinyal aneh yang Ardian kirimkan padanya. Semacam, pendekatan lebih dalam. "Ah, bagaimana kalau aku antar ke kantor lagi? Kebetulan searah," tawar Ardian. Sangat bisa ditebak oleh Carla bagaimana antusiasnya Ardian ingin mendekatinya. Kebetulan, Abi mengatakan jika ada di sekitar lokasi cafe. Hari ini mereka berencana akan bertemu dengan dokter kandungan yang telah dijadwalkan minggu lalu. "Ehm, suami saya jemput. Sebentar lagi sampai," jawab Carla. Carla lebih dulu berdiri dan berjalan keluar dari cafe. Ardian mengikutinya dari belakang, ia hanya ingin tahu bagaimana penampilan suami Carla yang katanya terlalu posesif pada istrinya. "Carla....." teriak Abi dari kejauhan disertai lambaian tangannya ke arah Carla. "Mas...." Carla membalasnya. Ardian menahan rasa yang aneh di dalam dadanya. Seperti, perasaan cemburu. Ah, Carla kan istri orang. "Dokter Din sudah menunggu. Ayo." Carla menoleh pada pria di sebelahnya lalu berpamitan. Ardian sempat berkenalan dengan Abi tadi. Sorot mata mereka menampilkan perasaan saling menarik satu sama lain. Sorot mata cemburu dan memuja akan kehadiran Carla di sebelah mereka. "Aku duluan, sampai jumpa." Carla melambaikan tangannya, Ardian membalasnya. 'Sampai jumpa bidadari.' lirih Ardian. Abi menoleh lalu menatap Ardian dengan tatapan menantang, Ardian mengeluarkan smirknya. Pria itu menangkap sinyal aneh, ia tahu Ardian tertarik pada Carla. **** Setengah jam menunggu, akhirnya mereka berdua pun masuk kedalam ruangan dokter Din, dokter ahli kandungan yang sudah mereka percaya. Abi dan Carla sudah melakukan tes beberapa hari sebelumnya, berharap hasilnya menggembirakan. "Pak Abi sehat, bu Carla sebenarnya sehat hanya saja ada beberapa hal yang mesti ibu ketahui. Ehm, ini sangat sensitif tapi harus saya beritahukan semuanya," ujar dokter dengan nada seriusnya. Wajah Abi dan Carla terlihat tegang. Aura mereka berubah. Bahkan bisa dibilang Carla yang paling tidak bisa menahannya. Ia berulang kali menggertakkan giginya. "Maksud dokter?" tanya Abi penasaran. "Bu Carla, sabar ya. Kita akan bantu sebisa mungkin. Ada semacam kelainan di rahim bu Carla. Saya belum bisa pastikan, tapi saya akan bantu carikan dokter yang lebih kompeten dan mengetahui hal ini lebih baik dari saya." Degg.. Jantung Carla seperti berhenti berdetak. Rasanya tidak mungkin. Ia memiliki kelainan rahim? Lalu bagaimana dengan pernikahannya?. "Apa saya tetap bisa punya anak, dok?" "Kemungkinannya 50:50. Bu Carla sabar ya, bu." Dokter Din berusaha menguatkan Carla. Ia ikut merasakan apa yang Carla rasakan. Pasti sulit bagi seorang perempuan jika melewati hari-hari pernikahannya tanpa buah hati. "Terima kasih dok, kami permisi." Di dalam kendaraan, keduanya terdiam. Carla memikirkan hal terburuk dalam pernikahannya. Sementara Abi, memikirkan cara bagaimana ia akan mengatakan hal ini pada orangtuanya. Mereka tak mungkin berbohong. Orangtuanya pasti akan memaksa lebih dari ini. "Bagaimana kalau ibu tahu? Apakah kita akan...." "Jangan berpikiran yang aneh. Kita jalani semua dengan sabar. Pasti ada jalan terbaik." Abi menggenggam tangan Carla dan meremasnya pelan. Ia ingin berbagi kegelisahan yang sama. "Bagaimana kalau mas Abi menikah lagi? Aku siap dimadu." "Jangan berpikiran aneh." Abi mengusap rambut Carla dan mencium tangannya serta menaruhnya di wajahnya. "Tapi...." "Carla, aku sangat mencintaimu. Jadi, jangan buat aku memilih." "Baiklah...." *****"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
Sudah menjadi kebiasaan bagi Riandari dan para sahabat dekatnya untuk melakukan pertemuan setiap bulannya. Bertempat di sebuah restoran mewah di pusat kota Jakarta, Riandari dan ke sembilan sahabatnya berkumpul memperebutkan sebuah gulungan kertas yang dengan sengaja disiapkan oleh ketua perkumpulan. Setelah satu nama keluar, mereka berkumpul di tengah untuk merayakan kegembiraan si pemenang. Riandari sebagai anggota yang paling banyak bicara sejak datang tak pernah berhenti membuka mulutnya. Julukannya adalah si biang gosip. Apa sih berita yang tak luput dari mulut besarnya? "Jeng Rian, kemarin Abi habis lamaran ya? Calonnya Abi yang baru cantik enggak?" suara keras dari Ira, salah satu anggota perkumpulan membuat seisi ruangan menoleh padanya. Mertua Carla itu tersenyum sendiri sambil menutup bibirnya malu-malu lalu mengangguk pelan. "Wah, kapan rencana resminya? Saya diundang, kan?" "Semuanya diundang. Rencananya dua bulan lagi." Riandari tersenyum lebar setelahnya. "Jeng Ira,
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri