Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir.
Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, harusnya tahu cara bersikap yang benar. Aku sebagai suami, sudah mencoba menegur ibu." Abi berteriak lantang pada Carla yang kini berdiri di luar sana. Angin dingin semilir menerpa wajah Carla dan sedikit masuk ke dalam kamar pasangan suami istri itu. Keduanya terdiam beberapa saat. Air mata Carla jatuh membasahi pipinya yang lembut. Dalam keadaan terisak ia mengatakan sesuatu yang membuat rumah tangga mereka hancur di malam itu. "Mas, mari kita bercerai." Abi membelalakkan matanya. "Apa? Apa katamu? Kamu ingin bercerai?" Carla mengangguk. "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu!" "Mas tidak dengar kata-kata yang keluar dari mulut ibu?" teriak Carla. "Mas dengar tidak?" "Carla, aku mohon jangan seperti ini. Aku sayang sama kamu, sama Adam juga. Kita satu keluarga." "Tapi aku mandul, Mas!" Carla begitu frustasi dengan keadaan dirinya. Tubuhnya lemas setelah semua yang ia rasakan selama ini keluar lewat tangisannya. Kamar yang sebelumnya syahdu dan damai kini berubah seperti neraka. Carla menangis sejadinya, meluapkan semuanya dalam kelamnya malam. Kemarin lusa, saat Riandari datang menghubungi anak semata wayangnya suasana rumah yang tenang tiba-tiba berubah. Wajahnya yang dulu ramah seketika menjadi penuh kebencian. Terlebih saat melihat wajah Carla di depannya. "Kamu itu sudah enam tahun menikah, Adam juga sudah mulai besar. Lalu, kapan dia akan punya adik?" sindir Riandari. Carla tentu saja terhenyak mendengar kalimat itu. "Ditunggu saja bu, sabar. Insya Allah secepatnya," sahut Carla dengan suara lembut. "Abi itu sudah terbukti sehat, lha wong buktinya dia punya anak. Berarti kamu tuh yang tidak sehat. Coba kamu periksa ke rumah sakit. Ibu tidak mau kalau sampai Abi hanya punya satu anak. Keluarga besar kami, harus punya anak lebih dari satu. Kamu mengerti, kan?" Ketus Riandari. Abi merampas ponsel Carla dan mendengarkan kata-kata ibunya di telpon. Abi geram, ia ingin berkata kasar tapi tak mungkin. Ini ibunya. "Bu, kalau ibu tidak bisa berkata baik mohon ibu lampiaskan pada Abi. Bukan dengan istri Abi. Ibu tahu, perkataan ibu sangat menyakiti hati Carla." kata-kata Abi terdengar penuh emosi namun terarah. Ia membela Carla. Biar bagaimanapun, Carla adalah istrinya. Ia pantas dibela. "Kamu harusnya tahu, ibu sama ayah inginnya kamu punya anak banyak. Kalau memang Carla tidak bisa memberi kamu keturunan, ceraikan saja dia atau kamu cari istri lagi. Punya istri kok gabuk." Cukup sudah. Perkataan sang ibu sudah membuat hati Abi panas. Carla masih menangis, sepertinya ia mendengar perkataan ibu barusan. Abi memeluknya dengan posisi berdiri, ia pun mengusap kepalanya. "Bu, sudah malam. Abi mau tidur. Selamat malam." Abi mematikan sambungan telpon. Tangisan Carla semakin menjadi. Abi duduk berjongkok di hadapan Carla, ia menengadahkan kepalanya dan menghapus air mata istrinya dengan tangan. "Mas, ibu benar. Aku wanita gabuk, tidak bisa punya anak." tangis Carla bertambah. Abi semakin merasakan betapa tersiksanya Carla dengan ucapan ibunya. "Maafkan ibu, ya. Aku sayang sama kamu. Jangan hiraukan ucapan ibu." Carla mengangguk. Keduanya pun berpelukan. Abi ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Setelah pertengkaran semalam, Carla dan Abi terlibat perang dingin. Abi berangkat lebih dulu ke kantor sedangkan Carla menyusulnya siang nanti. Namun saat Carla membuka pintu, wajah sinis ibu mertuanya menyapa paginya yang sendu. "Ibu? Datang kesini tidak memberitahu Carla?" Carla segera mencium tangan ibu mertuanya serta mempersilakannya masuk. "Ibu apa kabar?" tanya Carla yang tak ditanggapi oleh Riandari. Carla mengembangkan senyum getir melihat perlakuan ibu mertuanya. Ia masih ingat pertengkaran semalam dengan Abi dan ia bertekad untuk memendamnya dalam hati. Riandari membuka tas yang ia bawa dan menyerahkan satu lembar brosur yang entah isinya apa. "Baca. Kamu sepertinya sangat membutuhkan itu." Carla membaca perlahan isi brosur tersebut. Matanya terbelalak, bibirnya termangu tak percaya. Dengan mata berkaca-kaca ia bertanya pada Riandari, "Tapi, Bu Mas Abi...." "Carla, ibu malu sama orang sekitar. Sudah enam tahun kalian menikah, belum juga ada momongan. Ibu percaya kalau Abi sehat, tapi kamu?" Riandari menarik napas panjang. Lalu kembali menatap menantunya. "Carla, ibu ingin kamu cek kesehatan di klinik itu. Kata tetangga ibu, kliniknya dijamin bagus. Kamu harus coba." Carla tersenyum kecut. Sudah dapat diduga sebelumnya, ibu mertuanya pasti ingin dirinya segera memiliki anak. Dengan suara parau Carla membalasnya, "Saya omongin sama mas Abi dulu, Bu." "Tidak perlu. Karena ibu sudah hubungi dia, kamu hanya tentukan tanggal datangnya saja." "Iya, bu." **** Sepulangnya sang ibu mertua, Carla segera pergi ke kantor. Tujuannya adalah bertanya pada Abi tentang brosur yang kini ada di tangannya. Ia hanya ingin tahu, apakah Abi menyetujui keinginan ibunya atau tidak. Berdua saja di dalam ruangan sepi membuat sepasang suami istri itu dilanda kegelisahan. Imbas dari pertanyaan Carla membuat Abi marah. Dirinya masih lelah dengan peristiwa tadi malam tapi mengapa timbul permasalahan baru yang membuatnya kembali geram. "Ibu datang ke rumah hanya untuk memberikan brosur ini?" Abi membanting kasar brosur dan merematnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Matanya menatap Carla yang tertunduk di sofa ruangan kantornya. Ia tahu, Carla pasti menangis. "Ibu benar, Mas. Aku harus ikut pengobatan. Lagipula, siapa tahu jika ternyata memang benar terbukti aku mandul. Mas pasti malu punya istri seperti aku. Mas pasti—" "Stop! Cukup! Aku kepala keluarga, aku yang berhak menentukan. Kalau sudah saatnya, kita akan diberikan amanah seorang anak, Carla." Abi menaikkan suaranya beberapa oktaf. Carla terdiam. Sejenak ia menghapus airmatanya lalu berdiri. "Mas, kalau ternyata aku mandul bagaimana?" Abi yang tadinya terdiam malah menaikkan tensi emosinya. Ia berjalan bolak balik mengitari ruangannya sambil meremas rambutnya. Udara di sekitarnya mendadak menjadi panas. "Kamu tuh ngomong apa sih?" "Mas, kita buktikan dulu hasil tesnya. Kalau memang aku mandul, aku tidak akan bisa melanjutkan kembali pernikahan kita." Carla berteriak dengan lantang. Beberapa orang yang melintas depan ruangan Abi menengok, mereka sempat kaget dengan suara Carla. Abi mengguncang bahu Carla. Ia menajamkan pandangannya. Ia menatap mata Carla yang sama tajam menatapnya. Dada Abi bergerak naik turun. "Tidak ada perpisahan. Kita tetap suami istri, apapun hasilnya!" tegas Abi. Ia mencengkeram bahu Carla. "Kalau begitu, Mas harus menikah lagi." Apa? Menikah? Tidak. Tidak ada di kamus Abi, menikahi wanita diatas pernikahannya sendiri. Ini tidak adil untuk Carla dan juga wanita itu. "Kita bicarakan lain kali." "Mas, sekarang juga harus kita bicarakan. Kita harus ambil keputusan segera." Carla menarik lengan kemeja Abi yang berjalan menjauhinya. "Aku mohon, Mas." "Kita pikirkan ini dengan keputusan yang matang. Jangan ambil tindakan gegabah." "Aku selalu dipojokkan, Mas. Ibu selalu memojokkan aku." **** Sepulang kerja, Abi menyempatkan diri untuk berbincang bersama sahabatnya di pendopo dekat rumah. Seperti biasa, sehabis makan malam mereka sering berkumpul. Terkadang membicarakan masalah rumah tangga, game atau apapun hal yang sedikit absurd. Bimo dan Kuncoro seperti biasa main game, Hadi dan Abi malah lebih senang mencari teman chatting di aplikasi media sosial. Abbi tadinya bersemangat, namun anehnya tiba-tiba ia teringat istrinya dan permasalahan rumah tangganya. "Kenapa Bi? Kok bengong?" tanya Kuncoro. Ia ternyata ikut memperhatikan perubahan wajah Abi tadi. Abi hanya menggeleng ringan. Ia terdiam. "Bi, jangan terlalu banyak dipikir ya. Kehidupan pernikahan memang begitu," ujar Bimo. "Kalian tahu, dokter ginekologi yang terkenal? Aku mau periksa kesuburan." Pernyataan Abi membuat syok beberapa orang yang duduk di pendopo. Mereka saling berpandangan. Mungkin, hal inilah yang membuat Abi dari tadi terdiam. "Aku punya, nanti aku kirim alamatnya," ujar Hadi. Dulu, Hadi punya masalah yang sama dengan dirinya. Mungkin inilah solusinya. "Thanks, No." **** "Besok sabtu kita ke ahli ginekologi. Kita lihat, apakah bisa kita mendapatkan momongan secepatnya. Supaya kita bisa membungkam mulut orangtua kita." Abi dengan terburu-buru masuk kedalam rumah dan memberitahukan perihal pemeriksaan ini. Carla tersentak kaget. Hampir saja buah yang ia makan terlempar dari tangannya. "Serius, mas? Kalau hasilnya buruk?" Carla ketakutan. Ia takut kalau hasilnya tak sesuai dengan keinginan mereka. Carla takut jika ternyata Abi lebih memilih mendengarkan perkataan ibunya. "Aku akan terima semuanya. Kamu jangan takut." Carla tak habis pikir, kenapa Abi tetap bersikeras mempertahankan egonya. Kalaupun benar ia mandul, apa kata orangtua mereka? Pasti akan terjadi huru-hara. Iya, mereka pasti bertengkar hebat.. "Tapi, mas....." "Keputusanku tetap bulat. Mau tidak mau, kita harus tetap test. Apapun hasilnya." ****Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya. Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "S
"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
"Aduh." Terlihat seorang wanita tengah kesusahan memijat pergelangan kakinya yang baru saja tak sengaja menginjak sebuah kain. Ia terduduk sambil menundukkan wajahnya yang mengerang kesakitan. Kain yang terjulur itu adalah kain milik Carla yang tengah dipasangkan di tubuhnya oleh staf butik tante Leni. Staf itu tak melihat jika ada seseorang tengah melintas di belakangnya. "Bu, maaf. Tadi enggak sengaja. Saya tidak melihat—" "Kalau kerja itu pakai mata! Mentang-mentang kamu lagi sibuk sama pelanggan satunya, jangan lupakan juga ada pelanggan yang lain," bentak wanita itu. Carla yang merasa familiar dengan suara itu seketika menoleh dengan cepat ke arahnya. Matanya terbelalak, ternyata benar orang yang ada di pikirannya itu tengah berada di tempat yang sama dengannya. Ia menghela napas kasarnya. Baru saja ia terbebas dari masalah di acara pertunangan Kesya kemarin, kini harus dipertemukan lagi dengan wanita itu. Entah apa rencana tuhan yang sebenarnya dengan mereka berdua. Takdi
Kabar kehamilan Risya mampir di telinga Carla. Ini semua karena ulah bibik yang sering bergosip dengan asisten yang lain saat sedang santai. Curi dengar itu membuat hati Carla tercubit. Dua kali dirinya mendengar kabar bahagia kehamilan orang di dekatnya tapi dirinya sendiri masih belum juga memiliki satupun. Carla berjalan bolak-balik di belakang rumah hanya untuk memastikan apa yang didengarnya tidaklah salah. Ia bahkan rela duduk sambil mengunyah makanan agar gosip yang terdengar itu semakin seru. 'Ternyata, dia memang sudah hamil lagi?' Lalu, Carla mengusap perutnya. Datar, tanpa isi kecuali lemak. Carla menghela napas kasarnya. Ia beranjak dari duduknya menuju dapur. Tenggorokannya haus sejak tadi. Jus melon adalah pilihan bagus untuknya. "Mama!" teriak Adam dan Tasya yang berlarian masuk ke dalam rumah. "Adam minggu depan libur." "Tasya juga." Keduanya menunjukkan sebuah surat himbauan dari sekolah. Carla membacanya dengan seksama lalu mengangguk paham. "Satu bulan libur
"Kesya, sini nak." Kesya berlari kecil ke arah ibunya yang memanggil dari kejauhan. Al sudah tak tahu kemana, sepertinya sedang berbincang dengan teman-temannya yang datang ke acaranya. Kesya tentunya tak tahu siapa yang berada di samping ibunya, karena posisi mereka yang dekat dengan lorong tempat lalu lalang orang. Dengan senyum manisnya Kesya memeluk ibunya dari samping. Ia belum sadar dengan siapa ibunya tengah berbincang. Hingga suara ibunya menyadarkan dirinya dan akhirnya membuat batinnya sedikit terguncang. 'Abi?' "Ini loh saudara jauh kamu yang sering main ke rumah lama kita di Semarang. Kamu pasti sudah lupa. Namanya Risya dan ini suaminya." Kesya meringis tak tahu harus menjawab apa. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan keduanya. "Kamu ngobrol dulu. Ibu mau cek barang-barang hantaran tadi." "Dunia sempit ya? Aku enggak tahu kalau ternyata Risya itu sepupuku," sinis Kesya tak suka. Merasa diremehkan membuat Risya menaikkan wajahnya seolah sedang menant
Setelah pemeriksaan ke dokter kandungan, Abi dan Risya memutuskan untuk merayakan perayaan kehamilan kedua dengan makan bersama di kafe milik Vian. Abi memilih kafe itu karena ada memori tersendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Risya tampak bahagia. Pasalnya, ia membawa keluarga besarnya untuk ikut merayakan pesta itu. Abi pun tak keberatan sama sekali. "Makan yang banyak, Ma. Kita makan enak malam ini," ujar Risya pada ibunya yang juga datang. Abi tersenyum datar melihat suasana akrab itu. Sekedar mencari angin, Abi memilih keluar dari dalam ruangan untuk duduk di dekat anak tangga belakang. Ia ingin merilekskan otaknya sejenak menatap kolam ikan yang sepi. Pikirannya berkelana ke beberapa waktu silam saat ia melihat Adam berada di sana. Dia sedang apa sekarang ? Pesan yang dikirim tiga hari lalu masih saja diabaikan. "Adam mau dibawakan apa? Udang asam manis atau cumi pedas?" Abi menoleh ke belakang, asal su
"Mau kemana kamu?" Abi turun dari tangga langsung mendapati Risya yang sedang mengendap-endap ingin pergi ke suatu tempat. Pakaiannya rapi dan ini masih pagi. Seharusnya wanita itu mengurusi anaknya atau setidaknya memasak untuk suaminya. "Mau kemana?" tanya Abi lagi. "Mau ke butik tantenya Indah. Aku mau ambil pesanan minggu lalu untuk lamaran dan pernikahan anaknya om aku yang tinggal di luar kota. Dia minggu ini anaknya lamaran dan aku belum pernah ketemu lagi dari SMP. Pas kita nikah dia juga enggak bisa datang karena sakit. Boleh ya?" ujar Risya panjang lebar menceritakan rencananya hari ini. "Katanya mau periksa kandungan? Aku udah telpon dokternya." Abi menyilangkan dadanya di depan Risya. Istrinya itu menelan ludah kasar. Abi jika dalam model seperti ini sulit untuk ditolak pesonanya. "Kamu enggak lagi coba berbohong sama aku kan?" "Demi tuhan, aku enggak bohong. Janjian ke dokternya jam berapa?" tanya Risya. "Sore jam tiga." Risya tersenyum senang. Berarti pagi ini dia
Lelah menghampiri Abi yang baru saja menyelesaikan pekerjaan hari ini. Setelah libur selama dua hari akhir pekan kemarin, sulit baginya untuk sekedar bersantai sejenak. Hal yang membuatnya lelah hari ini adalah audit keuangan perusahaan yang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Al yang memanggil tim audit. Ini semua demi pengetatan anggaran yang tak perlu dan mencari pelaku pelanggaran yang menyebabkan kebocoran keuangan perusahaan. Al mencurigai banyak pihak telah berbuat curang. Al mencurigai Abi, lebih tepatnya. "Aku tahu kau sangat curiga denganku. Iya, kan?" tanya Abi setelah diperbolehkan masuk ke dalam ruangan minimalis milik Al. Ia menaikkan satu sudut bibirnya, tersenyum sinis setelahnya. "Ow, kau merasa ya? Padahal aku hanya ingin audit biasa saja. Ah, bukankah kamu pernah membuat kebijakan bagi karyawan untuk memakai uang perusahaan dengan cara pinjaman seperti student loan misalnya. Pengabdian dengan separuh gaji jika mema
Keesokan harinya, Risya bermaksud meminta pertanggung jawaban Nanda yang telah menipunya hingga berujung malu di depan banyak orang. Bahkan ia sudah bersiap untuk memberikan tamparan pada temannya itu. Segera ia pergi ke studio musik milik Nanda untuk menemuinya. Di dalam studio itu, ia melihat Nanda dan Gane sedang tertawa lepas mendengar cerita salah seorang staf studio musik itu. Risya berdiri di dekat pintu masuk yang terbuka di satu sisinya. Dari situ ia bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan mereka bertiga. "Mertua si bodoh itu viral? Sudah kuduga. Wanita itu memang picik dan senang membuat keributan," ujar Nanda yang diangguki oleh Gane. "Iya. Pantas saja mantan menantunya tidak kuat. Kalau jadi Carla, aku sudah kasih itu racun ke makanannya si mertua jahanam itu," tambah Gane yang dibalas kekehan kasar dari Nanda. "Orang seperti itu harus kita kerjain sekali-kali. Aku pernah kasih semangat untuk Carla menjelang sidang perceraiannya. Dia terlihat sedih tapi ber
Carla tak habis pikir. Dirinya sudah menjauh dari kehidupan Abi tapi tetap saja masih bertemu dengan mereka di sela kesibukannya. Tak ada lagi nama Abi, tak ada lagi komunikasi apapun dengan pria itu. Tapi takdir selalu mempertemukan mereka berdua. Sepertinya, memang itu semua sudah digariskan dari tuhan. "Untuk tuan Abi, tolong beritahukan pada keluarga anda untuk tidak menganggu kehidupan saya lagi. Dunia tak berputar hanya sekitar mereka saja. Kalau mereka butuh pengakuan lebih, berbuatlah sesuatu yang bisa membanggakan. Jangan bertingkah seperti tadi." Carla menggandeng tangan Vian keluar dari gedung acara. Ia tak ingin mendengar segala omong kosong yang keluar dari mulut mantan suaminya itu. Rasa kesal dan benci menguar dari dalam dirinya. Padahal, rasa itu telah dikuburnya dalam-dalam. "Aku, minta maaf Carla." Abi berteriak memanggil Carla yang hampir mencapai pintu keluar. "Atas nama keluargaku, aku minta maaf. Aku akan peringatkan mereka untuk t
Sepanjang acara amal, Risya terus saja berwajah masam. Seluruh rencananya hilang sejak semalam. Tadinya, dia akan membuat video saat dirinya berada di panggung memamerkan jumlah donasi yang diberikan. Berhubung jumlah donasinya hanya sedikit, ia malu untuk membuatnya viral. Ibu mertuanya juga bingung dengan kejadian tadi. Bukankah menantunya bilang kalau dirinya menyumbang banyak untuk donasi dalam acara amal ini? Mungkin saja ada kecurangan dari pihak panitianya. Ditengah-tengah acara, Riandari memberanikan diri untuk menanyakan dimana panitia acaranya. Kebetulan, salah satu temannya mengenal ketua panitia acaranya. Dengan langkah penuh semangat, Riandari beranjak menuju panggung belakang. Biarlah tak mengapa acaranya masih berlangsung. Ia harus mendapatkan jawaban atas masalah yang terjadi. "Mbak ini panitia acaranya ya?" Riandari tiba di belakang panggung bertemu dengan salah satu panitia. Wanita yang disapa Riandari menganggukkan kepalanya. "Saya mau protes tentang donasi yang