Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir.
Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, harusnya tahu cara bersikap yang benar. Aku sebagai suami, sudah mencoba menegur ibu." Abi berteriak lantang pada Carla yang kini berdiri di luar sana. Angin dingin semilir menerpa wajah Carla dan sedikit masuk ke dalam kamar pasangan suami istri itu. Keduanya terdiam beberapa saat. Air mata Carla jatuh membasahi pipinya yang lembut. Dalam keadaan terisak ia mengatakan sesuatu yang membuat rumah tangga mereka hancur di malam itu. "Mas, mari kita bercerai." Abi membelalakkan matanya. "Apa? Apa katamu? Kamu ingin bercerai?" Carla mengangguk. "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu!" "Mas tidak dengar kata-kata yang keluar dari mulut ibu?" teriak Carla. "Mas dengar tidak?" "Carla, aku mohon jangan seperti ini. Aku sayang sama kamu, sama Adam juga. Kita satu keluarga." "Tapi aku mandul, Mas!" Carla begitu frustasi dengan keadaan dirinya. Tubuhnya lemas setelah semua yang ia rasakan selama ini keluar lewat tangisannya. Kamar yang sebelumnya syahdu dan damai kini berubah seperti neraka. Carla menangis sejadinya, meluapkan semuanya dalam kelamnya malam. Kemarin lusa, saat Riandari datang menghubungi anak semata wayangnya suasana rumah yang tenang tiba-tiba berubah. Wajahnya yang dulu ramah seketika menjadi penuh kebencian. Terlebih saat melihat wajah Carla di depannya. "Kamu itu sudah enam tahun menikah, Adam juga sudah mulai besar. Lalu, kapan dia akan punya adik?" sindir Riandari. Carla tentu saja terhenyak mendengar kalimat itu. "Ditunggu saja bu, sabar. Insya Allah secepatnya," sahut Carla dengan suara lembut. "Abi itu sudah terbukti sehat, lha wong buktinya dia punya anak. Berarti kamu tuh yang tidak sehat. Coba kamu periksa ke rumah sakit. Ibu tidak mau kalau sampai Abi hanya punya satu anak. Keluarga besar kami, harus punya anak lebih dari satu. Kamu mengerti, kan?" Ketus Riandari. Abi merampas ponsel Carla dan mendengarkan kata-kata ibunya di telpon. Abi geram, ia ingin berkata kasar tapi tak mungkin. Ini ibunya. "Bu, kalau ibu tidak bisa berkata baik mohon ibu lampiaskan pada Abi. Bukan dengan istri Abi. Ibu tahu, perkataan ibu sangat menyakiti hati Carla." kata-kata Abi terdengar penuh emosi namun terarah. Ia membela Carla. Biar bagaimanapun, Carla adalah istrinya. Ia pantas dibela. "Kamu harusnya tahu, ibu sama ayah inginnya kamu punya anak banyak. Kalau memang Carla tidak bisa memberi kamu keturunan, ceraikan saja dia atau kamu cari istri lagi. Punya istri kok gabuk." Cukup sudah. Perkataan sang ibu sudah membuat hati Abi panas. Carla masih menangis, sepertinya ia mendengar perkataan ibu barusan. Abi memeluknya dengan posisi berdiri, ia pun mengusap kepalanya. "Bu, sudah malam. Abi mau tidur. Selamat malam." Abi mematikan sambungan telpon. Tangisan Carla semakin menjadi. Abi duduk berjongkok di hadapan Carla, ia menengadahkan kepalanya dan menghapus air mata istrinya dengan tangan. "Mas, ibu benar. Aku wanita gabuk, tidak bisa punya anak." tangis Carla bertambah. Abi semakin merasakan betapa tersiksanya Carla dengan ucapan ibunya. "Maafkan ibu, ya. Aku sayang sama kamu. Jangan hiraukan ucapan ibu." Carla mengangguk. Keduanya pun berpelukan. Abi ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Setelah pertengkaran semalam, Carla dan Abi terlibat perang dingin. Abi berangkat lebih dulu ke kantor sedangkan Carla menyusulnya siang nanti. Namun saat Carla membuka pintu, wajah sinis ibu mertuanya menyapa paginya yang sendu. "Ibu? Datang kesini tidak memberitahu Carla?" Carla segera mencium tangan ibu mertuanya serta mempersilakannya masuk. "Ibu apa kabar?" tanya Carla yang tak ditanggapi oleh Riandari. Carla mengembangkan senyum getir melihat perlakuan ibu mertuanya. Ia masih ingat pertengkaran semalam dengan Abi dan ia bertekad untuk memendamnya dalam hati. Riandari membuka tas yang ia bawa dan menyerahkan satu lembar brosur yang entah isinya apa. "Baca. Kamu sepertinya sangat membutuhkan itu." Carla membaca perlahan isi brosur tersebut. Matanya terbelalak, bibirnya termangu tak percaya. Dengan mata berkaca-kaca ia bertanya pada Riandari, "Tapi, Bu Mas Abi...." "Carla, ibu malu sama orang sekitar. Sudah enam tahun kalian menikah, belum juga ada momongan. Ibu percaya kalau Abi sehat, tapi kamu?" Riandari menarik napas panjang. Lalu kembali menatap menantunya. "Carla, ibu ingin kamu cek kesehatan di klinik itu. Kata tetangga ibu, kliniknya dijamin bagus. Kamu harus coba." Carla tersenyum kecut. Sudah dapat diduga sebelumnya, ibu mertuanya pasti ingin dirinya segera memiliki anak. Dengan suara parau Carla membalasnya, "Saya omongin sama mas Abi dulu, Bu." "Tidak perlu. Karena ibu sudah hubungi dia, kamu hanya tentukan tanggal datangnya saja." "Iya, bu." **** Sepulangnya sang ibu mertua, Carla segera pergi ke kantor. Tujuannya adalah bertanya pada Abi tentang brosur yang kini ada di tangannya. Ia hanya ingin tahu, apakah Abi menyetujui keinginan ibunya atau tidak. Berdua saja di dalam ruangan sepi membuat sepasang suami istri itu dilanda kegelisahan. Imbas dari pertanyaan Carla membuat Abi marah. Dirinya masih lelah dengan peristiwa tadi malam tapi mengapa timbul permasalahan baru yang membuatnya kembali geram. "Ibu datang ke rumah hanya untuk memberikan brosur ini?" Abi membanting kasar brosur dan merematnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Matanya menatap Carla yang tertunduk di sofa ruangan kantornya. Ia tahu, Carla pasti menangis. "Ibu benar, Mas. Aku harus ikut pengobatan. Lagipula, siapa tahu jika ternyata memang benar terbukti aku mandul. Mas pasti malu punya istri seperti aku. Mas pasti—" "Stop! Cukup! Aku kepala keluarga, aku yang berhak menentukan. Kalau sudah saatnya, kita akan diberikan amanah seorang anak, Carla." Abi menaikkan suaranya beberapa oktaf. Carla terdiam. Sejenak ia menghapus airmatanya lalu berdiri. "Mas, kalau ternyata aku mandul bagaimana?" Abi yang tadinya terdiam malah menaikkan tensi emosinya. Ia berjalan bolak balik mengitari ruangannya sambil meremas rambutnya. Udara di sekitarnya mendadak menjadi panas. "Kamu tuh ngomong apa sih?" "Mas, kita buktikan dulu hasil tesnya. Kalau memang aku mandul, aku tidak akan bisa melanjutkan kembali pernikahan kita." Carla berteriak dengan lantang. Beberapa orang yang melintas depan ruangan Abi menengok, mereka sempat kaget dengan suara Carla. Abi mengguncang bahu Carla. Ia menajamkan pandangannya. Ia menatap mata Carla yang sama tajam menatapnya. Dada Abi bergerak naik turun. "Tidak ada perpisahan. Kita tetap suami istri, apapun hasilnya!" tegas Abi. Ia mencengkeram bahu Carla. "Kalau begitu, Mas harus menikah lagi." Apa? Menikah? Tidak. Tidak ada di kamus Abi, menikahi wanita diatas pernikahannya sendiri. Ini tidak adil untuk Carla dan juga wanita itu. "Kita bicarakan lain kali." "Mas, sekarang juga harus kita bicarakan. Kita harus ambil keputusan segera." Carla menarik lengan kemeja Abi yang berjalan menjauhinya. "Aku mohon, Mas." "Kita pikirkan ini dengan keputusan yang matang. Jangan ambil tindakan gegabah." "Aku selalu dipojokkan, Mas. Ibu selalu memojokkan aku." **** Sepulang kerja, Abi menyempatkan diri untuk berbincang bersama sahabatnya di pendopo dekat rumah. Seperti biasa, sehabis makan malam mereka sering berkumpul. Terkadang membicarakan masalah rumah tangga, game atau apapun hal yang sedikit absurd. Bimo dan Kuncoro seperti biasa main game, Hadi dan Abi malah lebih senang mencari teman chatting di aplikasi media sosial. Abbi tadinya bersemangat, namun anehnya tiba-tiba ia teringat istrinya dan permasalahan rumah tangganya. "Kenapa Bi? Kok bengong?" tanya Kuncoro. Ia ternyata ikut memperhatikan perubahan wajah Abi tadi. Abi hanya menggeleng ringan. Ia terdiam. "Bi, jangan terlalu banyak dipikir ya. Kehidupan pernikahan memang begitu," ujar Bimo. "Kalian tahu, dokter ginekologi yang terkenal? Aku mau periksa kesuburan." Pernyataan Abi membuat syok beberapa orang yang duduk di pendopo. Mereka saling berpandangan. Mungkin, hal inilah yang membuat Abi dari tadi terdiam. "Aku punya, nanti aku kirim alamatnya," ujar Hadi. Dulu, Hadi punya masalah yang sama dengan dirinya. Mungkin inilah solusinya. "Thanks, No." **** "Besok sabtu kita ke ahli ginekologi. Kita lihat, apakah bisa kita mendapatkan momongan secepatnya. Supaya kita bisa membungkam mulut orangtua kita." Abi dengan terburu-buru masuk kedalam rumah dan memberitahukan perihal pemeriksaan ini. Carla tersentak kaget. Hampir saja buah yang ia makan terlempar dari tangannya. "Serius, mas? Kalau hasilnya buruk?" Carla ketakutan. Ia takut kalau hasilnya tak sesuai dengan keinginan mereka. Carla takut jika ternyata Abi lebih memilih mendengarkan perkataan ibunya. "Aku akan terima semuanya. Kamu jangan takut." Carla tak habis pikir, kenapa Abi tetap bersikeras mempertahankan egonya. Kalaupun benar ia mandul, apa kata orangtua mereka? Pasti akan terjadi huru-hara. Iya, mereka pasti bertengkar hebat.. "Tapi, mas....." "Keputusanku tetap bulat. Mau tidak mau, kita harus tetap test. Apapun hasilnya." ****Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya. Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "S
"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
Kecurigaan Adam ada benarnya. Ia sudah mengunci gerak-gerik Risya sejak wanita itu masuk ke dalam ruangan ayahnya. Wajah Risya terlihat kaku dan pucat seperti baru saja melihat hantu. Apalagi saat sedang bicara dengan Abi, matanya terus menerus melirik arloji dan yang paling mencurigakan, wajahnya kembali pucat saat menerima panggilan telepon entah dari siapa. Adam itu memiliki insting yang kuat dan terbukti semua yang ia curigai jadi kenyataan. Dengan tenang, Adam berdiri mengintai Risya yang berjalan tenang menghampiri seseorang di pelataran parkir rumah sakit. Seorang pria yang mungkin umurnya diatas 35 tahun. Adam tak pernah melihatnya sama sekali. Adam berjalan mengendap-endap mengikuti langkah Risya. Sedikit pertengkaran di awal, pria itu marah lalu menyeret Risya masuk ke dalam mobil sambil menunjuk-nunjuknya. Ada kata-kata kotor yang Adam dengar dari kejauhan. Risya menangis tapi Adam tak peduli. Adam mengambil foto dari arah yang cukup dekat, balik tembok besar diantara mo
"Ingat, waktu kamu hanya lima belas menit. Lebih dari itu, aku datangi kamar suami kamu dan—" "Iya, iya. Kamu ancam aku?" Sandy terkekeh. Di balik kacamatanya, ia menyeringai. Mantan kekasihnya itu terlihat frustasi dengan ancaman yang baru saja diberikannya. Mereka berdiri di depan gedung rumah sakit tempat Abi dirawat. Hanya melangkah ke arah lorong belakang lalu naik ke lantai lima, mereka bisa menemukan ruang rawat pria itu. Sandy bisa saja ikut naik ke atas, lalu menceritakan semuanya pada suami Risya. Tapi, rasanya itu terlalu cepat. Ia ingin sedikit bermain-main dengan wanita yang telah meninggalkannya dulu. "Sayang, kamu kok malah kasar sih? Oh, apa kamu mau aku ikut ke atas? Yah, enggak masalah sih. Palingan kamu bakalan diceraikan sama dia saat ini juga," ujar Sandy disertai kekehan. "Kamu seneng banget ya kalau aku cerai? Kamu mau balas dendam sama aku?" teriak Risya. Untung saja dia dan Sandy berada di tempat parkir, tidak ada yang mendengar pertengkaran mereka karena
Pagi menjelang. Adam terbangun lebih dulu dari tidurnya yang cukup nyenyak semalam. Saat membuka mata, tatapan matanya jatuh pada tubuh ayahnya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Adam menghela napas berat. Wajah yang masih kusut karena kurang tidur diusapnya. Setelah sadar sepenuhnya, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tadi malam, pak Us datang membawakan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuknya. Ia pikir itu Risya, ternyata bukan. Bicara soal Risya, istri ayahnya itu tidak ikut dan tidak datang ke rumah sakit untuk menemani suaminya. Entah dia takut, malu, syok atau memang sudah tak peduli lagi dengan suaminya. Adam tak peduli. "Papa sudah bangun?" sapa Adam yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Abi mengangguk lemah. "Mau ke kamar mandi? Adam bantu yuk." Abi melirik ke arah tas dan tempat makan yang berada di atas meja. Lalu bertanya pada anaknya, "Risya semalam datang?" "Bukan. Itu dari pak Us." Abi mendengus kasar. Ia pikir,
Adam berlari mengejar brankar yang membawa tubuh ayahnya masuk ke dalam ruangan IGD sebuah rumah sakit. Ia berdiri di sebelah tirai yang tertutup dengan tangan gemetar. Dua orang suster datang membantu sang dokter yang berkali-kali memeriksa denyut nadi ayahnya. Sayup-sayup Adam mendengar mereka mengatakan bahwa denyut nadi ayahnya menghilang. Tak kuat melihatnya, Adam ke luar dari ruangan itu. Ia duduk di kursi Tungga sambil menundukkan kepala mengusap wajahnya dengan tangan. Lalu terdengar langkah seseorang yang datang mendekatinya dan berhenti tepat di hadapannya. "Adam, bagimana keadaan Abi?" tanya Bimo yang datang dengan raut wajah pucat. Adam tadi sempat memberitahu sahabat ayahnya itu. "Om..." Adam berdiri lalu memeluk Bimo. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan sahabat ayahnya itu. "Adam takut, om. Adam takut papa pergi, om." "Apa yang terjadi sebenarnya, Adam? Bagaimana bisa, Abi tiba-tiba pingsan dengan hidung berdarah?" Adam hanya menggelengkan kepalanya. "Aku enggak tah
Setelah puas bermain hingga sore, Fariska tertidur di dalam pangkuan Adam karena kelelahan. Jihan terkekeh melihat kedekatan Adam dan adik tirinya yang makin hari makin lengket seperti ayahnya sendiri. "Lucu ya, Fariska malah deketnya sama kamu," celetuk Jihan sambil mengusap lembut rambut lembut Fariska. "Padahal baru deket beberapa bulan lalu loh. Aku sama dia tuh beda delapan tahunan lebih. Dari kecil enggak pernah nyapa, megang juga. Eh, begitu aku balik langsung minta gendong." Adam terkekeh jika membayangkan hal itu lagi. Entah sejak kapan mereka berdua terlalu dekat hingga tak canggung lagi seperti sekarang. "Kamu tuh orangnya lembut kalau sama anak kecil. Makanya dia seneng dekat kamu." "Iya kayaknya. Padahal aku galak loh." Jihan kini terkekeh mendengar pengakuan Adam yang tak sesuai dengan ucapannya. Adam yang ia tahu adalah pria yang humoris dan tak pernah meninggikan suaranya. "Mana ada? Kamu kan kalau ngomong lembut banget. Bikin cewek-cewek nempel. Ups." Jihan menu
Abi berjalan gelisah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Dua matanya selalu tertuju pada jam dinding yang setiap menitnya terus berjalan. Sudah pukul dua belas malam, tidak biasanya Risya belum pulang hingga semalam ini. Tiga jam lalu dirinya sempat menghubungi nomor ponsel Risya, namun panggilannya tak terjawab. Lalu dirinya menghubungi Anna dan katanya, memang Risya sempat ke rumahnya sore hari tapi pukul tujuh dirinya pulang ke rumah. "Pergi ke mana dia?" gumam Abi yang masih gelisah. Karena sudah malam, ia memutuskan untuk beristirahat dan akan melanjutkan pencarian besok. Ia akan meminta bantuan Anna dan karyawan Risya yang biasanya tahu ke mana istrinya itu pergi. Di tempat berbeda, Risya tertidur setelah dipaksa meminum obat penenang oleh Sandy. Wanita itu tidur di kamar yang sama dengan mantan kekasihnya itu. Bahkan ia tak sadar jika dirinya tidur dipelukannya. "Sudah lama ya, Ris. Delapan tahun lebih loh. Kenapa kamu enggak tungguin aku dulu sih? Malah nikah sama laki
Dokter Dimas selesai melakukan terapi pada Fariska. Anak kedua Abi itu sudah mulai ada perkembangan setelah kunjungannya minggu lalu. Ternyata, semua ini karena tekanan psikis dari ibunya yang membuat mental Fariska terganggu. Selama delapan tahun Fariska bersama Risya, anak itu seringkali mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan. Selama itu pula Fariska memendamnya tanpa berani bicara pada siapapun. Abisena sang ayah hanya datang sesekali mendengarkan anaknya bicara, tapi selalu dibalas dengan senyuman tanpa ada teguran pada istrinya. Abisena menganggap, kebiasaan Fariska wajar di usianya yang masih kecil tapi sebenarnya itu adalah awal terganggunya psikis sang anak. "Bagaimana dokter Dimas? Ada perkembangan dengan Fariska?" tanya Abisena yang tak sabar ingin tahu keadaan anaknya. Fariska sudah bisa menyusun alphabet dan juga angka dengan benar. Bahkan bisa menyebutkan nama hewan dan tumbuhan. Anak itu sudah mulai berani bercerita apa saja yang dilihatnya. Jauh lebih baik dari kea
"Jadi, ini yang kamu lakukan selama aku tak ada di rumah?" tanya Abi dengan suara dinginnya. Risya menunduk takut. Tangannya saling mengerat satu sama lain. "Aku, tak tahu apa yang harus kulakukan selain menceraikanmu. Ini sudah kedua kalinya kamu mengecewakan aku, Risya." "Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku melakukan ini karena terpaksa. Aku, terjerat hutang dan aku tak memiliki uang untuk membayarnya. Aku—" "Hutang? Bukannya kamu sudah punya pekerjaan sendiri? Uang yang aku berikan setiap bulan, kamu gunakan untuk apa?" Risya semakin menunduk ketakutan. Ia bingung akan berkata apa, mengatakan yang sejujurnya sama saja membuat lubang untuk dirinya. "Pa, kita langsung ke dokter aja. Sudah sore," ujar Adam menginterupsi. Abisena hanya mengangguk. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengganti bajunya sebentar. "Tante, kalau masih mau sama papa, tante harus berubah. Kalau seperti ini terus, bisa jadi papa akan menceraikan tante secepatnya." Risya memicingkan matanya, ia mulai membenci la
Bulan berlalu, Risya tak pernah lagi menganggu Fariska seperti yang diminta oleh Abi. Ia semakin sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan suaminya. Semua yang ada di kepalanya hanya uang dan popularitas. Abi pun tak pernah lagi bertegur sapa dengan istrinya, hanya sesekali jika sedang berkumpul di ruang makan. Itupun tanpa Adam dan Fariska. Kedua anaknya sudah enggan bertemu dengan Risya kecuali terpaksa. Siang itu, Adam pulang cepat dari kampus karena ingin membawa adiknya terapi ke dokter. Mereka akan berangkat sore hari sembari menunggu Abi pulang dari kantor. Risya yang tak mengira kalau anak tirinya akan pulang cepat, tergesa-gesa masuk ke ruang kerja suaminya lalu menutup pintunya. Risya kembali mengambil perhiasan milik Carla. "Halo, pa. Adam sudah di rumah. Ada yang darurat, pa?" tanya Adam yang baru saja sampai di rumah. Ia menaiki anak tangga pertama sambil memegang ponsel di telinganya. "Map yang dari dokter? Dibawa sekarang?" Adam terdiam mendengar instruksi dari