Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir.
Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, harusnya tahu cara bersikap yang benar. Aku sebagai suami, sudah mencoba menegur ibu." Abi berteriak lantang pada Carla yang kini berdiri di luar sana. Angin dingin semilir menerpa wajah Carla dan sedikit masuk ke dalam kamar pasangan suami istri itu. Keduanya terdiam beberapa saat. Air mata Carla jatuh membasahi pipinya yang lembut. Dalam keadaan terisak ia mengatakan sesuatu yang membuat rumah tangga mereka hancur di malam itu. "Mas, mari kita bercerai." Abi membelalakkan matanya. "Apa? Apa katamu? Kamu ingin bercerai?" Carla mengangguk. "Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikan kamu!" "Mas tidak dengar kata-kata yang keluar dari mulut ibu?" teriak Carla. "Mas dengar tidak?" "Carla, aku mohon jangan seperti ini. Aku sayang sama kamu, sama Adam juga. Kita satu keluarga." "Tapi aku mandul, Mas!" Carla begitu frustasi dengan keadaan dirinya. Tubuhnya lemas setelah semua yang ia rasakan selama ini keluar lewat tangisannya. Kamar yang sebelumnya syahdu dan damai kini berubah seperti neraka. Carla menangis sejadinya, meluapkan semuanya dalam kelamnya malam. Kemarin lusa, saat Riandari datang menghubungi anak semata wayangnya suasana rumah yang tenang tiba-tiba berubah. Wajahnya yang dulu ramah seketika menjadi penuh kebencian. Terlebih saat melihat wajah Carla di depannya. "Kamu itu sudah enam tahun menikah, Adam juga sudah mulai besar. Lalu, kapan dia akan punya adik?" sindir Riandari. Carla tentu saja terhenyak mendengar kalimat itu. "Ditunggu saja bu, sabar. Insya Allah secepatnya," sahut Carla dengan suara lembut. "Abi itu sudah terbukti sehat, lha wong buktinya dia punya anak. Berarti kamu tuh yang tidak sehat. Coba kamu periksa ke rumah sakit. Ibu tidak mau kalau sampai Abi hanya punya satu anak. Keluarga besar kami, harus punya anak lebih dari satu. Kamu mengerti, kan?" Ketus Riandari. Abi merampas ponsel Carla dan mendengarkan kata-kata ibunya di telpon. Abi geram, ia ingin berkata kasar tapi tak mungkin. Ini ibunya. "Bu, kalau ibu tidak bisa berkata baik mohon ibu lampiaskan pada Abi. Bukan dengan istri Abi. Ibu tahu, perkataan ibu sangat menyakiti hati Carla." kata-kata Abi terdengar penuh emosi namun terarah. Ia membela Carla. Biar bagaimanapun, Carla adalah istrinya. Ia pantas dibela. "Kamu harusnya tahu, ibu sama ayah inginnya kamu punya anak banyak. Kalau memang Carla tidak bisa memberi kamu keturunan, ceraikan saja dia atau kamu cari istri lagi. Punya istri kok gabuk." Cukup sudah. Perkataan sang ibu sudah membuat hati Abi panas. Carla masih menangis, sepertinya ia mendengar perkataan ibu barusan. Abi memeluknya dengan posisi berdiri, ia pun mengusap kepalanya. "Bu, sudah malam. Abi mau tidur. Selamat malam." Abi mematikan sambungan telpon. Tangisan Carla semakin menjadi. Abi duduk berjongkok di hadapan Carla, ia menengadahkan kepalanya dan menghapus air mata istrinya dengan tangan. "Mas, ibu benar. Aku wanita gabuk, tidak bisa punya anak." tangis Carla bertambah. Abi semakin merasakan betapa tersiksanya Carla dengan ucapan ibunya. "Maafkan ibu, ya. Aku sayang sama kamu. Jangan hiraukan ucapan ibu." Carla mengangguk. Keduanya pun berpelukan. Abi ingin memberikan kenyamanan untuk istrinya. Setelah pertengkaran semalam, Carla dan Abi terlibat perang dingin. Abi berangkat lebih dulu ke kantor sedangkan Carla menyusulnya siang nanti. Namun saat Carla membuka pintu, wajah sinis ibu mertuanya menyapa paginya yang sendu. "Ibu? Datang kesini tidak memberitahu Carla?" Carla segera mencium tangan ibu mertuanya serta mempersilakannya masuk. "Ibu apa kabar?" tanya Carla yang tak ditanggapi oleh Riandari. Carla mengembangkan senyum getir melihat perlakuan ibu mertuanya. Ia masih ingat pertengkaran semalam dengan Abi dan ia bertekad untuk memendamnya dalam hati. Riandari membuka tas yang ia bawa dan menyerahkan satu lembar brosur yang entah isinya apa. "Baca. Kamu sepertinya sangat membutuhkan itu." Carla membaca perlahan isi brosur tersebut. Matanya terbelalak, bibirnya termangu tak percaya. Dengan mata berkaca-kaca ia bertanya pada Riandari, "Tapi, Bu Mas Abi...." "Carla, ibu malu sama orang sekitar. Sudah enam tahun kalian menikah, belum juga ada momongan. Ibu percaya kalau Abi sehat, tapi kamu?" Riandari menarik napas panjang. Lalu kembali menatap menantunya. "Carla, ibu ingin kamu cek kesehatan di klinik itu. Kata tetangga ibu, kliniknya dijamin bagus. Kamu harus coba." Carla tersenyum kecut. Sudah dapat diduga sebelumnya, ibu mertuanya pasti ingin dirinya segera memiliki anak. Dengan suara parau Carla membalasnya, "Saya omongin sama mas Abi dulu, Bu." "Tidak perlu. Karena ibu sudah hubungi dia, kamu hanya tentukan tanggal datangnya saja." "Iya, bu." **** Sepulangnya sang ibu mertua, Carla segera pergi ke kantor. Tujuannya adalah bertanya pada Abi tentang brosur yang kini ada di tangannya. Ia hanya ingin tahu, apakah Abi menyetujui keinginan ibunya atau tidak. Berdua saja di dalam ruangan sepi membuat sepasang suami istri itu dilanda kegelisahan. Imbas dari pertanyaan Carla membuat Abi marah. Dirinya masih lelah dengan peristiwa tadi malam tapi mengapa timbul permasalahan baru yang membuatnya kembali geram. "Ibu datang ke rumah hanya untuk memberikan brosur ini?" Abi membanting kasar brosur dan merematnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Matanya menatap Carla yang tertunduk di sofa ruangan kantornya. Ia tahu, Carla pasti menangis. "Ibu benar, Mas. Aku harus ikut pengobatan. Lagipula, siapa tahu jika ternyata memang benar terbukti aku mandul. Mas pasti malu punya istri seperti aku. Mas pasti—" "Stop! Cukup! Aku kepala keluarga, aku yang berhak menentukan. Kalau sudah saatnya, kita akan diberikan amanah seorang anak, Carla." Abi menaikkan suaranya beberapa oktaf. Carla terdiam. Sejenak ia menghapus airmatanya lalu berdiri. "Mas, kalau ternyata aku mandul bagaimana?" Abi yang tadinya terdiam malah menaikkan tensi emosinya. Ia berjalan bolak balik mengitari ruangannya sambil meremas rambutnya. Udara di sekitarnya mendadak menjadi panas. "Kamu tuh ngomong apa sih?" "Mas, kita buktikan dulu hasil tesnya. Kalau memang aku mandul, aku tidak akan bisa melanjutkan kembali pernikahan kita." Carla berteriak dengan lantang. Beberapa orang yang melintas depan ruangan Abi menengok, mereka sempat kaget dengan suara Carla. Abi mengguncang bahu Carla. Ia menajamkan pandangannya. Ia menatap mata Carla yang sama tajam menatapnya. Dada Abi bergerak naik turun. "Tidak ada perpisahan. Kita tetap suami istri, apapun hasilnya!" tegas Abi. Ia mencengkeram bahu Carla. "Kalau begitu, Mas harus menikah lagi." Apa? Menikah? Tidak. Tidak ada di kamus Abi, menikahi wanita diatas pernikahannya sendiri. Ini tidak adil untuk Carla dan juga wanita itu. "Kita bicarakan lain kali." "Mas, sekarang juga harus kita bicarakan. Kita harus ambil keputusan segera." Carla menarik lengan kemeja Abi yang berjalan menjauhinya. "Aku mohon, Mas." "Kita pikirkan ini dengan keputusan yang matang. Jangan ambil tindakan gegabah." "Aku selalu dipojokkan, Mas. Ibu selalu memojokkan aku." **** Sepulang kerja, Abi menyempatkan diri untuk berbincang bersama sahabatnya di pendopo dekat rumah. Seperti biasa, sehabis makan malam mereka sering berkumpul. Terkadang membicarakan masalah rumah tangga, game atau apapun hal yang sedikit absurd. Bimo dan Kuncoro seperti biasa main game, Hadi dan Abi malah lebih senang mencari teman chatting di aplikasi media sosial. Abbi tadinya bersemangat, namun anehnya tiba-tiba ia teringat istrinya dan permasalahan rumah tangganya. "Kenapa Bi? Kok bengong?" tanya Kuncoro. Ia ternyata ikut memperhatikan perubahan wajah Abi tadi. Abi hanya menggeleng ringan. Ia terdiam. "Bi, jangan terlalu banyak dipikir ya. Kehidupan pernikahan memang begitu," ujar Bimo. "Kalian tahu, dokter ginekologi yang terkenal? Aku mau periksa kesuburan." Pernyataan Abi membuat syok beberapa orang yang duduk di pendopo. Mereka saling berpandangan. Mungkin, hal inilah yang membuat Abi dari tadi terdiam. "Aku punya, nanti aku kirim alamatnya," ujar Hadi. Dulu, Hadi punya masalah yang sama dengan dirinya. Mungkin inilah solusinya. "Thanks, No." **** "Besok sabtu kita ke ahli ginekologi. Kita lihat, apakah bisa kita mendapatkan momongan secepatnya. Supaya kita bisa membungkam mulut orangtua kita." Abi dengan terburu-buru masuk kedalam rumah dan memberitahukan perihal pemeriksaan ini. Carla tersentak kaget. Hampir saja buah yang ia makan terlempar dari tangannya. "Serius, mas? Kalau hasilnya buruk?" Carla ketakutan. Ia takut kalau hasilnya tak sesuai dengan keinginan mereka. Carla takut jika ternyata Abi lebih memilih mendengarkan perkataan ibunya. "Aku akan terima semuanya. Kamu jangan takut." Carla tak habis pikir, kenapa Abi tetap bersikeras mempertahankan egonya. Kalaupun benar ia mandul, apa kata orangtua mereka? Pasti akan terjadi huru-hara. Iya, mereka pasti bertengkar hebat.. "Tapi, mas....." "Keputusanku tetap bulat. Mau tidak mau, kita harus tetap test. Apapun hasilnya." ****Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya. Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "S
"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Carla mendesah pasrah mendengar suara sumbang ibu mertuanya yang terdengar nyaring di ujung telpon. Abi tak hentinya diomeli tanpa jeda. Bermacam kata-kata kasar dari mulut wanita paruh baya itu. Mungkin dia kesal karena Abi memilih memilih menemani Carla dibandingkan dengan wanita pilihannya. Anehnya, mengapa Abi terlihat tenang ketika menghadapi ibunya. Padahal, telinga Carla sudah panas mendengarnya sejak tadi. "Pokoknya, kamu harus pulang! Ibu malu sama keluarganya Risya tadi," omel Riandari yang dibalas desisan oleh Abi. "Carla dirawat inap, Bu. Enggak ada yang jaga dia." Abi menoleh ke arah Carla yang sedang memelototinya. Bibir Carla terlihat komat-kamit merutuki suaminya yang kini malah terkekeh melihat reaksi sang istri. "Durhaka banget kamu sama ibu. Suruh saja asisten dia tuh yang sering kesini buat jagain dia," omelnya lagi. "Enggak bisa, Bu. Abi enggak tega ninggalin dia sendirian. Carla kan istri aku." Abi cekikikan lagi tanpa suara. Dari kejauhan, Carla sudah melaya
"Papa ..." Adam berlari kencang dari dalam kamar menabrak lengan Abi yang sedang duduk di kursi makan. Adam mengecup pipi ayahnya lalu duduk di kursi sebelahnya. "Mama kemana, Pa?" Abi menoleh lalu menghentikan acara makannya. "Di rumah sakit." Adam hanya mengangguk. "Adam boleh ikut papa ke rumah sakit? Adam mau jenguk mama." tanya Adam dengan suara tenang. Adam memang anak yang berjiwa tenang dan tak mudah terbawa suasana. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjalani kehidupan seperti orang dewasa. Sering ditinggal oleh kedua orangtuanya membuatnya tumbuh menjadi anak yang mandiri. "Nanti papa jemput ke sekolah." Abi tersenyum lalu mengusap rambut anaknya dengan lembut. Adam menggelengkan kepalanya. "Tidak usah. Biar Adam sama pak Ujang yang ke rumah sakit," ujar Adam yang membuat Adi tertegun lalu ikut mengangguk. Adam lebih dewasa dari dirinya. "Good. Papa akan kasih tahu pak Ujang alamat rumah sakitnya." "Ok!" hanya itu jawaban yang didengar oleh Abi. Adam memang tak banyak bica
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri