"Aku tidak mau bertanggung jawab. Gugurkan saja. " ucap seorang lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilan Mila, sayangnya lelaki itu justru menolak bertanggung jawab saat Mila mengabarkan kehamilannya. Apakah lelaki itu akan menyesali perbuatannya? Atau ia justru sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak diketahui Mila hingga memutuskan untuk menolak kehamilannya?
View MoreSaat itu..Ibu menatap sedih ke arah Mila, saat wanita itu baru membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dinyatakan koma selama dua hari. Mila mengalami pendarahan hebat, usai menjalani operasi Caesar saat melahirkan putrinya Talita. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, sampai Mila tidak tahu mana yang paling sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit. “Aku minta maaf,” kalimat pertama yang diucapkan Mila, dengan tatapan sedih ke arah ibunya. “Tidak apa-apa, Nak.” Ibu mencium punggung tangan Mila, mengusap dengan cepat lelehan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Kesedihan terlihat jelas di kedua mata Ibu yang sembab, bisa dipastikan wanita paruh baya yang baru kehilangan suami tiga bulan itu menangis tanpa henti saat Mila dinyatakan koma, akibat pendarahan. “Ibu senang, akhirnya kamu sadar. Terimakasih Nak, sudah bertahan untuk Ibu dan juga anakmu.” Ibu kembali menangis, ada rasa bahagia dan sedih, bercampur menjadi satu. “Ibu selalu yakin, kamu bisa melewati semua ini.” Ibu meng
Alasan mengapa Dimas begitu kesal dan tersinggung, yakni karena selama di penjara, Dimas kerap mengkhawatirkan Mila. Nyaris setiap hari memikirkannya, bahkan tak jarang ia merasa begitu bersalah, telah mengusir wanita itu tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan saat ia bercinta dengan kekasihnya, saat itulah matanya terpejam dan bayangan seorang Mila memenuhi ruang pikirannya saat mencapai pelepasan. Memang tidak adil untuk Donna, tapi itulah fakta yang sebentar terjadi selama ini, yang selalu Dimas tutup-tutupi darinya. Sebanyak apapun Dimas berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok wanita yang kini ada di hadapannya. “Dimas, please!” ucap Mila dengan susah payah dia berusaha terus menarik cengkraman Dimas, di lehernya. “Mohonlah, aku suka mendengarnya.” bisik Dimas tajam, mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Mila, sehingga wanita itu tidak dapat berkutik. Satu tangan Dimas dengan kurang ajarnya mendarat di salah satu pa
“Bayaran untuk malam ini sudah saya kirim ke nomor rekening masing-masing. Terimakasih untuk kerjasamanya malam ini,” seorang pria bertubuh gempal menghampiri Mila dan wiwi, saat jam kerja keduanya selesai. Irawan namanya. “Kalian boleh pulang, jika tidak ingin menambah jam kerja. Semakin malam, semakin mahal bayarannya.” Irawan, tersenyum menggoda. Tawaran yang sama, tapi Mila tetap akan menolaknya. “Tidak Pak, saya mau langsung pulang saja. Udah di tunggu anak.” tolak Mila, usai memastikan pembayarannya berhasil masuk melalui aplikasi bank online. “Ya sudah, itu pilihan kamu.” Irawan memang tidak pernah memaksa, meski tidak pernah berhenti menawarkan tawaran yang begitu menggiurkan itu. Tapi Mila sadar betul konsekuensi yang akan diterimanya nanti, saat menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang tidak hanya menjanjikan penghasilan besar, tapi resiko yang besar juga. “Mbak Mila mau langsung pulang?” “Iya, udah janji sama Talita, besok pagi mau ke antar dia ke rumah sakit.”“B
“Bayarannya lumayan Mbak, masa mau di tolak.” bujuk Wiwi, saat menawarkan pekerjaan pada Mila untuk malam ini. “Jangan menolak rezeki. Kalau lagi ada, gas aja.” Mila sudah mendapat tawaran sejak kemarin, biasanya ia akan menerimanya tanpa berpikir dua kali, tapi kali ini ada pengecualian. Hati kecilnya merasa ragu, entah apa alasannya. “Bayarannya besar, kalau nggak salah tiga juta untuk dua jam. Selain itu, kita juga dapat bonus seperti biasa. Di hitung total, lima atau enam juta dapatlah dan kita hanya kerja dua jam saja. Kapan lagi dapat bayaran besar seperti itu, dengan lokasi masih di sekitar Jakarta.” Wiwi masih membujuk, menggunakan berbagai macam iming-iming yang bisa membuat Mila merasa yakin. “Ayo, sekarang sudah jam sembilan. Siap-siap, kita langsung berangkat, Riyan yang antar.” Mila terdiam sejenak, memikirkan tawaran Wiwi berulang kali. Nominal uang yang akan didapatnya sangat banyak, dengan jam kerja hanya dua jam saja. “Hanya menjual minuman seperti biasa, kan?”
Dimas mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika sudah tiba di lobby kantor milik Donna, kekasihnya. Dia janji akan menjemput wanita itu dan makan malam bersama, di kediaman keluarganya. Hal yang sudah menjadi agenda wajib, yang dilakukan Dimas dan Donna, mengingat hubungan keduanya yang sebentar lagi akan memasuki jenjang yang lebih serius, yakin pernikahan. Sosok wanita itu muncul dari arah pintu lift, senyum manis langsung menyambut saat Dimas mendekat. “Sudah lama?” tanyanya, dengan satu tangan merangkul pinggang Dimas. “Tidak, baru saja sampai.” Dimas mencium kening Donna. “Ayo, Ayah dan Ibu sudah menunggu.” ajak Dimas, menggenggam tangan Donna menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan lobi. Wanita itu tersenyum, menyandarkan kepala di satu sisi kepala Dimas.Dalam perjalanan menuju kediaman orang tua Dimas, Donna sempat menyinggung kembali kepulangan mereka dari Bandung, yang lebih cepat dari rencana yang sudah direncanakan sebelumnya. “Aku masih kesal, saat kamu ti
Sampai Jakarta sekitar pukul delapan pagi, dimana kedatangan Mila disambut hangat oleh senyum Talita. Gadis kecil itu tengah duduk bersama seorang lelaki yang sudah menemaninya sejak enam tahun lalu. Tanto, rekan kerjanya dulu saat masih di perusahaan Dirgantara. “Ibu sudah pulang,” tunjuk Tanto ke arah Mila, ia pun menggenggam tangan Talita, menghampirinya.“Ibu,” gadis kecil berambut hitam sebahu itu segera memeluk Mila, seolah sudah lama tidak bertemu.“Gadis ibu apa kabar? Nggak nakal, kan?” bukan hanya Talita, Mila juga kerap merasa rindu meski hanya beberapa jam terpisah. “Baik, Ibu.” kedua tangan mungil itu memeluk tubuh Mila. “Anak baik,” Mila membalasnya dengan mencium puncak kepala Talita.“Ayo, masuk.” ajaknya.Secangkir teh panas menjadi teman sebungkus nasi uduk. Porsinya sangat banyak, tapi dijamin, Mila akan menghabiskannya tanpa sisa. “Udah lama? Nggak bilang mau ke sini.” Lelaki di hadapannya tersenyum samar, memperhatikan bagaimana caranya menikmati makanan. Me
Di lokasi yang sama, di sebuah Bar, tiga orang lelaki melangkah beriringan menuju sebuah tempat yang sudah merasa booking sebelumnya. Rencananya hari ini salah satu dari mereka bertiga akan melepas masa lajang dalam waktu kurang dari dua bulan lagi akan melangsungkan pernikahan. Sebuah kemajuan yang patut diapresiasi, sebab lelaki yang hendak melepas lajang itu adalah sosok yang menganut hidup bebas dan anti komitmen. Dia adalah Dimas Arkan Wijaya. “Nggak nyangka banget akhirnya lo sampai di titik sekarang.” Arik, salah satu temannya menatap takjub ke arah Dimas. “Patut dirayakan lebih dari ini sih,” lanjutnya dengan senyum jahil. “Keluar dari penjara, langsung dapat jodoh wanita cantik kaya raya. Lo harus bersyukur.” balas Albi. “Anggap aja investasi jangka panjang, dapat warisannya, dapat juga anaknya yang cantik.” Albi dan Arik sama-sama tertawa, sementara Dimas hanya menatap malas ke arah dua temannya itu. Hubungan persahabatan yang sempat merenggang akibat Dimas pernah mela
Asap mengepul dari dalam cangkir putih yang ada dalam genggaman kedua tangannya, sensasi yang sebelumnya panas perlahan menghangat. Aliran panas yang digenggamnya erat tidak lantas membuat hatinya ikut menghangat. Justru, ia merasa semakin dingin nyaris membeku.Sosok wanita yang sudah membersihkan tubuhnya di pukul sebelas malam itu bernama Mila Agnesia. Berusia dua puluh tujuh tahun, memiliki seorang anak tapi tidak memiliki suami. Mila seorang janda, sekaligus ibu untuk anak perempuannya bernama Talita Zahran. Mila menoleh ke arah tempat tidur, dimana gadis kecilnya masih meringkuk dibawah selimut tebal berwarna merah muda, warna kesukaannya. Helaan nafasnya teratur dengan sesekali terdengar dengkuran halus yang menandakan tidurnya begitu pulas. Jika bukan karena tuntutan pekerjaan, rasanya ingin kembali bergabung bersama gadis kecilnya itu dibalik selimut. Memeluknya, menghirup harum aroma tubuh Talita yang sangat disukai Mila. Tapi tuntutan hidup memaksanya bekerja lebih keras
Asap mengepul dari dalam cangkir putih yang ada dalam genggaman kedua tangannya, sensasi yang sebelumnya panas perlahan menghangat. Aliran panas yang digenggamnya erat tidak lantas membuat hatinya ikut menghangat. Justru, ia merasa semakin dingin nyaris membeku.Sosok wanita yang sudah membersihkan tubuhnya di pukul sebelas malam itu bernama Mila Agnesia. Berusia dua puluh tujuh tahun, memiliki seorang anak tapi tidak memiliki suami. Mila seorang janda, sekaligus ibu untuk anak perempuannya bernama Talita Zahran. Mila menoleh ke arah tempat tidur, dimana gadis kecilnya masih meringkuk dibawah selimut tebal berwarna merah muda, warna kesukaannya. Helaan nafasnya teratur dengan sesekali terdengar dengkuran halus yang menandakan tidurnya begitu pulas. Jika bukan karena tuntutan pekerjaan, rasanya ingin kembali bergabung bersama gadis kecilnya itu dibalik selimut. Memeluknya, menghirup harum aroma tubuh Talita yang sangat disukai Mila. Tapi tuntutan hidup memaksanya bekerja lebih keras...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments