Beranda / Romansa / Anakku Bukan Anakku / bab 5. Tawaran menarik

Share

bab 5. Tawaran menarik

Penulis: Kimmy reana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-14 12:48:22

“Bayarannya lumayan Mbak, masa mau di tolak.” bujuk Wiwi, saat menawarkan pekerjaan pada Mila untuk malam ini.

“Jangan menolak rezeki. Kalau lagi ada, gas aja.”

Mila sudah mendapat tawaran sejak kemarin, biasanya ia akan menerimanya tanpa berpikir dua kali, tapi kali ini ada pengecualian. Hati kecilnya merasa ragu, entah apa alasannya.

“Bayarannya besar, kalau nggak salah tiga juta untuk dua jam. Selain itu, kita juga dapat bonus seperti biasa. Di hitung total, lima atau enam juta dapatlah dan kita hanya kerja dua jam saja. Kapan lagi dapat bayaran besar seperti itu, dengan lokasi masih di sekitar Jakarta.” Wiwi masih membujuk, menggunakan berbagai macam iming-iming yang bisa membuat Mila merasa yakin.

“Ayo, sekarang sudah jam sembilan. Siap-siap, kita langsung berangkat, Riyan yang antar.”

Mila terdiam sejenak, memikirkan tawaran Wiwi berulang kali. Nominal uang yang akan didapatnya sangat banyak, dengan jam kerja hanya dua jam saja.

“Hanya menjual minuman seperti biasa, kan?” Mila meyakinkan, sebab tak jarang tawaran itu datang dengan iming-iming jauh lebih besar, asal ia berani membuka celana dalamnya di depan lelaki hidung belang.

“Iya, hanya jual minuman seperti biasa aja. Nggak lebih,”

Wiwi pun tahu, selama ini Mila hanya bersedia menjual minuman tanpa pernah mau menjual diri seperti yang dilakukan teman lainnya, termasuk dirinya. Tidak dipungkiri Wiwi merasa tergiur dengan tawaran yang sangat besar, hingga ia pun terbuai dan melakukan open BO tanpa sepengetahuan Mila dan Ajeng.

“Baiklah, aku terima tawarannya.”

Setelah berpikir puluhan kali, Mila akhirnya menerima tawaran Wiwi. Tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia masih merasa ragu, bahkan nyaris membatalkan saat dalam perjalanan menuju lokasi.

Tepat pukul sebelas, Mila dan Wiwi sampai di lokasi. Situasinya sudah sangat ramai, biasanya memang semakin malam, akan semakin ramai.

Mila meletakkan tas kecil miliknya di loker yang sudah disediakan pihak klub, ia juga membuka coat hitam yang menutupi penampilan sexy nya malam ini.

Dengan mengenakan rok pendek warna hitam sebatas paha, sementara bagian atas hanya berupa tanktop berwarna senada, kulit putih Mila semakin terlihat bercahaya.

Salah satu hal yang patut disyukuri Mila, karena ia memiliki warna kulit putih mulus tanpa cacat. Hanya luka sayat di bagian perut saja yang terlihat mencolok, sebagai bukti bahwa ia pernah berjuang nyaris mati untuk melahirkan anak kecil itu ke dunia.

“Ayo, tamunya sudah menunggu.”

Mila berjalan dengan penuh percaya diri, bahkan memasang wajah ramah dengan senyum menghiasi wajahnya saat ia masuk ke sebuah ruangan dimana para lelaki berduit itu berada. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bingung oleh Mila, bingung bagaimana cara menghabiskan uang yang tidak pernah ada habisnya. Berbanding terbalik dengan keadaannya yang harus mencari uang dengan mengorbankan segala cara, termasuk harga dirinya.

“Mau temani saya malam ini,” seorang lelaki menyentuh paha Mila, salah satu hal yang dianggap lumrah saat bekerja. Mila tidak terbiasa, meski sudah tahu resiko yang akan diterimanya saat bekerja di tempat seperti itu, tapi sentuhan dan usapan yang dianggap tidak senonoh dan lebih cenderung melecehkan itu kerap ditepisnya. Tentu saja dengan cara yang halus, tidak mungkin ia menepis tangan lelaki itu dengan kasar. Bisa-bisa Mila langsung dipecat saat itu juga, meski jauh di lubuk hatinya yang paling dalam keinginan itu selalu ada.

“Tidak Tuan,” balasnya dengan lembut. “Saya sedang ada tamu bulanan.” Bisiknya dengan suara manja.

“Saya temani minum saja, bagaimana?”

Lelaki itu tersenyum. “Baiklah, tapi beritahu aku, jika tamu bulanan kamu sudah selesai.”

“Baik.”

Mila tersenyum, menuang minuman ke dalam gelas di lelaki itu. Semakin banyak lelaki itu menghabiskan minuman beralkohol, maka semakin banyak juga pundi-pundi rupiah yang akan di dapat Mila.

Seseorang datang di tengah kerumunan, langkahnya begitu cepat menuju salah satu ruangan. Ia seperti terburu-buru, bahkan saat membuka pintu pun dilakukannya dengan sangat kasar. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan tersebut langsung menoleh ke arah sosok lelaki yang tengah berdiri menatap tajam ke arah Mila dan tamunya malam ini.

Dadanya bergemuruh dan panas mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, saat melihat bagaimana lelaki itu menyentuh, mengusap bagian tubuh Mila. Yang lebih membuatnya kesal lagi, yakni saat wanita itu tidak menepis, seolah mengizinkan tubuhnya disentuh oleh siapapun.

“Murahan.” gumamnya.

“Sepertinya tuan salah masuk ruangan.” ucap Wiwi, ia beranjak dari tempat duduknya menghampiri Dimas.

“Kalau boleh tau, Tuan mau ke ruangan mana? Biar saya antar.”

Dari penampilannya saja sudah meyakinkan, bahwa lelaki di hadapannya itu adalah salah satu sumber uang. Fisik dan penampilannya sangat meyakinkan, ditambah dengan ketampanan yang membuat Wiwi tergoda.

“Saya tidak salah ruangan,” ucapnya, tapi dengan tatapan tertuju ke arah Mila.

“Saya ada janji dengan wanita itu.” tunjuk Dimas.

“Mila?”

“Iya, Mila Agnesia.”

Mila menoleh saat namanya disebut dengan suara lantang dan nama lengkap.

Saat kedua tatapannya bertemu, dimana untuk pertama kalinya Mila kembali melihat manik coklat yang begitu tajam menatap ke arahnya.

Mila berharap dirinya sedang berhalusinasi, kembali bertemu dengan lelaki itu di tempat yang tidak mendukung seperti saat ini hanya akan menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak.

Tapi, untuk apa Mila memperdulikan hal itu?

Bukankah lelaki itu sudah membuangnya?

Apapun yang dilakukannya saat ini bukan lagi menjadi urusan Dimas, ia tidak perlu merasa malu apalagi terganggu dengan kehadirannya.

“Ingin bertemu Mila, sudah ada janji?” tanya Wiwi lagi.

“Sudah,”

“Baiklah, buat aku tanyakan terlebih dahulu, sebab saat ini Mila sedang bekerja.”

Dimas tidak bisa langsung menghampiri Mila, meski sangat ingin. Bahkan lelaki itu ingin segera menyeret Mila ke tempat lain dan menuntaskan apa yang belum selesai selama ini.

“Ada tamu, katanya sudah ada janji.” bisik Wiwik, saat menghampiri Mila.

“Aku nggak merasa punya janji sama dia. Abaikan saja.”

“Oke.”

Wiwi kembali menjauh untuk menemui Dimas yang menunggunya di ambang pintu.

“Maaf Tuan, saat ini kami sedang bekerja dan sepertinya Tuan tidak ada janji dengan Mila.”

“Apa harus ada janji dulu, jika ingin bertemu dengannya.”

Dimas terkekeh. “Baiklah aku akan membuatnya datang sendiri padaku.”

Jika Dimas tetap nekat menyeret Mila keluar dari dalam ruangan tersebut, yang akan terjadi hanya keributan. Saat ini Dimas sedang menjaga nama baiknya, agar tidak tersandung masalah yang akan menambah jejak hitam dalam hidupnya. Dimas sedang merintis karir, yang pastinya ia harus lebih hati-hati lagi saat bertindak.

“Tuan bisa menunggu kalau mau.” saran Wiwi.

“Tentu, aku akan menunggu.”

“Mungkin sedikit lama,”

“Tidak apa-apa, aku bahkan sudah menunggunya sejak enam tahun lalu.” Dimas menyeringai, menatap ke arah Mila yah juga tengah menatap ke arahnya, lantas ia pun pergi.

Mila hanya bisa menghela lemah, melihat kepergian lelaki itu. Berharap malam ini hanya kebetulan semata dan tidak ada kebetulan-kebetulan lainnya yang akan membuat keduanya kembali bertemu. Namun sepertinya keinginan Mila tidak akan pernah terwujud, sebab mulai malam ini, Dimas akan kembali merecoki hidupnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 6. Ketakutan

    “Bayaran untuk malam ini sudah saya kirim ke nomor rekening masing-masing. Terimakasih untuk kerjasamanya malam ini,” seorang pria bertubuh gempal menghampiri Mila dan wiwi, saat jam kerja keduanya selesai. Irawan namanya. “Kalian boleh pulang, jika tidak ingin menambah jam kerja. Semakin malam, semakin mahal bayarannya.” Irawan, tersenyum menggoda. Tawaran yang sama, tapi Mila tetap akan menolaknya. “Tidak Pak, saya mau langsung pulang saja. Udah di tunggu anak.” tolak Mila, usai memastikan pembayarannya berhasil masuk melalui aplikasi bank online. “Ya sudah, itu pilihan kamu.” Irawan memang tidak pernah memaksa, meski tidak pernah berhenti menawarkan tawaran yang begitu menggiurkan itu. Tapi Mila sadar betul konsekuensi yang akan diterimanya nanti, saat menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang tidak hanya menjanjikan penghasilan besar, tapi resiko yang besar juga. “Mbak Mila mau langsung pulang?” “Iya, udah janji sama Talita, besok pagi mau ke antar dia ke rumah sakit.”“B

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Anakku Bukan Anakku   Bab 7. Sisi iblis

    Alasan mengapa Dimas begitu kesal dan tersinggung, yakni karena selama di penjara, Dimas kerap mengkhawatirkan Mila. Nyaris setiap hari memikirkannya, bahkan tak jarang ia merasa begitu bersalah, telah mengusir wanita itu tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan saat ia bercinta dengan kekasihnya, saat itulah matanya terpejam dan bayangan seorang Mila memenuhi ruang pikirannya saat mencapai pelepasan. Memang tidak adil untuk Donna, tapi itulah fakta yang sebentar terjadi selama ini, yang selalu Dimas tutup-tutupi darinya. Sebanyak apapun Dimas berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok wanita yang kini ada di hadapannya. “Dimas, please!” ucap Mila dengan susah payah dia berusaha terus menarik cengkraman Dimas, di lehernya. “Mohonlah, aku suka mendengarnya.” bisik Dimas tajam, mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Mila, sehingga wanita itu tidak dapat berkutik. Satu tangan Dimas dengan kurang ajarnya mendarat di salah satu pa

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Anakku Bukan Anakku   Bab 8. Coklat manis

    Saat itu..Ibu menatap sedih ke arah Mila, saat wanita itu baru membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dinyatakan koma selama dua hari. Mila mengalami pendarahan hebat, usai menjalani operasi Caesar saat melahirkan putrinya Talita. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, sampai Mila tidak tahu mana yang paling sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit. “Aku minta maaf,” kalimat pertama yang diucapkan Mila, dengan tatapan sedih ke arah ibunya. “Tidak apa-apa, Nak.” Ibu mencium punggung tangan Mila, mengusap dengan cepat lelehan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Kesedihan terlihat jelas di kedua mata Ibu yang sembab, bisa dipastikan wanita paruh baya yang baru kehilangan suami tiga bulan itu menangis tanpa henti saat Mila dinyatakan koma, akibat pendarahan. “Ibu senang, akhirnya kamu sadar. Terimakasih Nak, sudah bertahan untuk Ibu dan juga anakmu.” Ibu kembali menangis, ada rasa bahagia dan sedih, bercampur menjadi satu. “Ibu selalu yakin, kamu bisa melewati semua ini.” Ibu meng

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Anakku Bukan Anakku   Bab 9

    “Kenapa coklatnya jadi dua?” Mila menatap dua coklat yang ada di tangan Talita. Bukan hanya jumlahnya yang bertambah, tapi mereknya pun berubah.“Yang dikasih Dokter Andev mana?” Dokter spesialis jantung itu jelas tidak akan memberikan makanan tanpa mengetahui komposisi yang ada di dalamnya, khususnya Talita. Gadis yang mengidap gagal jantung sejak masih bayi itu tidak boleh sembarangan mengkonsumsi makanan, yang mungkin akan berpotensi memperburuk jantungnya. Salah satunya coklat, makanan dengan kadar gula tinggi itu harus dihindari Talita dan yang diberikan Dokter Andev jelas coklat khusus dengan kadar gula rendah dan aman dikonsumsi Talita, tentunya dengan jumlah yang dibatasi. “Jatuh, seseorang tanpa sengaja menabraknya.” jelas Ibu. “Dia menggantinya dengan coklat ini,” “Banyak ibu,” Talita tersenyum, memamerkan dua coklat miliknya. “Sangat banyak.” terlihat kegembiraan di kedua sorot matanya. “Orang itu memberikan satu kardus coklat, tapi ibu ingat, Talita harus membatasi as

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Anakku Bukan Anakku   Bab 10. Teman baik

    Menatap ragu pada penampilannya hari ini.Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang.“Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” ajak Tanto, menarik tanga

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Anakku Bukan Anakku   bab 11

    Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan.“Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya.“Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, seb

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Anakku Bukan Anakku   Bab 12

    Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill.“Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.“Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Anakku Bukan Anakku   bab 13

    “Mungkin sebaiknya memikirkan kembali tawaran Nadia kemarin, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkannya dalam segala hal, termasuk kenyamanan dan gaji.” Bagian terakhir adalah yang paling penting. Mila sangat mempertimbangkan segala hal hanya dari uang, seberapa besar resiko dan lelah yang akan dirasakannya nanti, itu hanyalah nomor ke sekian. Yang terutama adalah uang, atau gaji. “Sudah tahu nominal gaji yang ditawarkan temannya Nadia?” Tanto kembali bertanya, memperhatikan ekspresi Mila yang tengah menikmati mie ayam di pinggir jalan, dekat kediamannya. Mila kerap menolak, setiap kali Tano mengajaknya pergi ke tempat yang lebih nyaman atau dengan banyak menu lainnya, wanita itu justru memilih untuk makan di pinggir jalan, sperti mie ayam atau pecel lele. Mila bukan wanita kampungan yang tidak mengerti gaya hidup kekinian, atau makan-makan viral jaman sekarang, tapi wanita itu seolah menarik diri dari dari hal-hal yang berbau trend. Mila seolah membiarkan dirinya terjebak di da

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-04

Bab terbaru

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 15

    Ragu saat menerima pekerjaan baru, sulit juga meninggalkan pekerjaan lama. Bukan karena Mila menikmati pekerjaannya sebagai seorang LC, bukan juga karena ia lebih nyaman berada di dunia hiburan malam, tapi karena teman baik yang dimilikinya. Salah satu hal terberat karena mereka. Wiwi, Ajeng, dan Rian. Mereka bertiga adalah teman yang baik, yang memperlakukan Mila dengan sangat manusiawi. Saling mengenal satu sama lain dengan waktu yang sangat singkat, tidak lantas membuat pertemanan itu hanya sebatas kedekatan di lokasi kerja saja. Di luar pekerjaan pun, mereka berhubungan sangat baik.“Mbak Mila sudah menemukan pekerjaan baru?” Ajeng mendekat, saat Mila dan Wiwi berada di depan teras, di kediaman orang tua Wiwi. Seperti biasanya, tempat itu selalu dijadikan titik pertemuan mereka. “Iya.” Jawab Mila.“Dimana? Di kantoran lagi?” Selidik Ajeng.“Iya.” Mila pun mengangguk.“Mbak Mila memang seharusnya ada di tempat seperti itu, dengan pendidikan dan pengalaman kerja yang dimilikiny

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 14

    Saat berada disamping Nadia, Mila memang merasa tidak percaya diri, penampilan keduanya bagai bumi dan langit tapi, saat berdiri di samping Donna, tingkat ketidak percayaan diri itu semakin tinggi. Jika Nadia bagaikan langit, lantas Dona apa?Mars? Atau mungkin Pluto?Mila merasa malu, duduk berdampingan dengan wanita cantik dan ramah itu. Senyum yang terpancar indah di wajahnya semakin menyempurnakan penampilannya yang begitu stunning. “Dia sudah sangat berpengalaman, di bidang desain apalagi, nggak usah diragukan lagi.” Nadia seolah tengah mempromosikan Mila, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di salah satu cafe, Nadia lah yang terlihat begitu berusaha meyakinkan Donna untuk menerima Mila. “Desain ilustrasi?”“Benar. Kami dulu bekerja sebagai ilustrasi desain sebuah produk iklan dan kemampuan Mila nggak usah diragukan lagi.”Mila hanya tersenyum samar, Nadia memang sedikit berlebihan saat menceritakan riwayat kerjanya dulu. “Kamu butuh asisten sekaligus tim desain grafis,

  • Anakku Bukan Anakku   bab 13

    “Mungkin sebaiknya memikirkan kembali tawaran Nadia kemarin, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkannya dalam segala hal, termasuk kenyamanan dan gaji.” Bagian terakhir adalah yang paling penting. Mila sangat mempertimbangkan segala hal hanya dari uang, seberapa besar resiko dan lelah yang akan dirasakannya nanti, itu hanyalah nomor ke sekian. Yang terutama adalah uang, atau gaji. “Sudah tahu nominal gaji yang ditawarkan temannya Nadia?” Tanto kembali bertanya, memperhatikan ekspresi Mila yang tengah menikmati mie ayam di pinggir jalan, dekat kediamannya. Mila kerap menolak, setiap kali Tano mengajaknya pergi ke tempat yang lebih nyaman atau dengan banyak menu lainnya, wanita itu justru memilih untuk makan di pinggir jalan, sperti mie ayam atau pecel lele. Mila bukan wanita kampungan yang tidak mengerti gaya hidup kekinian, atau makan-makan viral jaman sekarang, tapi wanita itu seolah menarik diri dari dari hal-hal yang berbau trend. Mila seolah membiarkan dirinya terjebak di da

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 12

    Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill.“Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.“Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas

  • Anakku Bukan Anakku   bab 11

    Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan.“Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya.“Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, seb

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 10. Teman baik

    Menatap ragu pada penampilannya hari ini.Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang.“Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” ajak Tanto, menarik tanga

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 9

    “Kenapa coklatnya jadi dua?” Mila menatap dua coklat yang ada di tangan Talita. Bukan hanya jumlahnya yang bertambah, tapi mereknya pun berubah.“Yang dikasih Dokter Andev mana?” Dokter spesialis jantung itu jelas tidak akan memberikan makanan tanpa mengetahui komposisi yang ada di dalamnya, khususnya Talita. Gadis yang mengidap gagal jantung sejak masih bayi itu tidak boleh sembarangan mengkonsumsi makanan, yang mungkin akan berpotensi memperburuk jantungnya. Salah satunya coklat, makanan dengan kadar gula tinggi itu harus dihindari Talita dan yang diberikan Dokter Andev jelas coklat khusus dengan kadar gula rendah dan aman dikonsumsi Talita, tentunya dengan jumlah yang dibatasi. “Jatuh, seseorang tanpa sengaja menabraknya.” jelas Ibu. “Dia menggantinya dengan coklat ini,” “Banyak ibu,” Talita tersenyum, memamerkan dua coklat miliknya. “Sangat banyak.” terlihat kegembiraan di kedua sorot matanya. “Orang itu memberikan satu kardus coklat, tapi ibu ingat, Talita harus membatasi as

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 8. Coklat manis

    Saat itu..Ibu menatap sedih ke arah Mila, saat wanita itu baru membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dinyatakan koma selama dua hari. Mila mengalami pendarahan hebat, usai menjalani operasi Caesar saat melahirkan putrinya Talita. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, sampai Mila tidak tahu mana yang paling sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit. “Aku minta maaf,” kalimat pertama yang diucapkan Mila, dengan tatapan sedih ke arah ibunya. “Tidak apa-apa, Nak.” Ibu mencium punggung tangan Mila, mengusap dengan cepat lelehan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Kesedihan terlihat jelas di kedua mata Ibu yang sembab, bisa dipastikan wanita paruh baya yang baru kehilangan suami tiga bulan itu menangis tanpa henti saat Mila dinyatakan koma, akibat pendarahan. “Ibu senang, akhirnya kamu sadar. Terimakasih Nak, sudah bertahan untuk Ibu dan juga anakmu.” Ibu kembali menangis, ada rasa bahagia dan sedih, bercampur menjadi satu. “Ibu selalu yakin, kamu bisa melewati semua ini.” Ibu meng

  • Anakku Bukan Anakku   Bab 7. Sisi iblis

    Alasan mengapa Dimas begitu kesal dan tersinggung, yakni karena selama di penjara, Dimas kerap mengkhawatirkan Mila. Nyaris setiap hari memikirkannya, bahkan tak jarang ia merasa begitu bersalah, telah mengusir wanita itu tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan saat ia bercinta dengan kekasihnya, saat itulah matanya terpejam dan bayangan seorang Mila memenuhi ruang pikirannya saat mencapai pelepasan. Memang tidak adil untuk Donna, tapi itulah fakta yang sebentar terjadi selama ini, yang selalu Dimas tutup-tutupi darinya. Sebanyak apapun Dimas berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok wanita yang kini ada di hadapannya. “Dimas, please!” ucap Mila dengan susah payah dia berusaha terus menarik cengkraman Dimas, di lehernya. “Mohonlah, aku suka mendengarnya.” bisik Dimas tajam, mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Mila, sehingga wanita itu tidak dapat berkutik. Satu tangan Dimas dengan kurang ajarnya mendarat di salah satu pa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status