Dimas mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika sudah tiba di lobby kantor milik Donna, kekasihnya.
Dia janji akan menjemput wanita itu dan makan malam bersama, di kediaman keluarganya. Hal yang sudah menjadi agenda wajib, yang dilakukan Dimas dan Donna, mengingat hubungan keduanya yang sebentar lagi akan memasuki jenjang yang lebih serius, yakin pernikahan. Sosok wanita itu muncul dari arah pintu lift, senyum manis langsung menyambut saat Dimas mendekat. “Sudah lama?” tanyanya, dengan satu tangan merangkul pinggang Dimas. “Tidak, baru saja sampai.” Dimas mencium kening Donna. “Ayo, Ayah dan Ibu sudah menunggu.” ajak Dimas, menggenggam tangan Donna menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan lobi. Wanita itu tersenyum, menyandarkan kepala di satu sisi kepala Dimas. Dalam perjalanan menuju kediaman orang tua Dimas, Donna sempat menyinggung kembali kepulangan mereka dari Bandung, yang lebih cepat dari rencana yang sudah direncanakan sebelumnya. “Aku masih kesal, saat kamu tiba-tiba minta pulang ke Jakarta lebih cepat, padahal rencananya satu minggu disana.” Dona menoleh dengan tatapan kesal yang dibuat-buat. “Memangnya ada urusan penting apa? Kamu belum menjelaskannya padaku.” Donna masih menuntut penjelasan, atas sikap Dimas yang dianggap sangat mencurigakan itu, pasalnya Donna tahu betul jadwal kesibukan calon suaminya itu. “Ada urusan bisnis, kamu tahu kan, ajang pencarian bakat tahun ini perusahaanku menjadi salah satu pendukungnya.” Dimas beralibi. “Tahu, tapi Mas Aming bilang, proyek Star Idol itu baru akan membuka audisi via online sekitar tiga minggu lagi dan kamu nggak perlu repot-repot ngurusin itu, ada kru lain yang bertugas melakukannya. Kita hanya perlu duduk manis, menunggumu audisi tahap selanjutnya.” Donna adalah wanita pintar, tidak mudah membohonginya hanya dengan alasan sepele. Wanita yang sudah terjun di dunia bisnis sejak usianya masih sangat mudah itu, tahu betul seluk-beluk di dunia bisnis termasuk dunia entertainment yang kini digeluti Dimas. “Iya, aku hanya ingin memastikan saja, apalagi saat ini adalah momen pertama kalinya aku terlibat kembali dalam pencarian bakat, aku begitu antusias.” Dimas sangat berhati-hati saat menjawab, sedikit saja kesalahan yang dilakukan, Donna akan semakin mencurigainya. Wanita itu sangat jeli dalam hal apapun, bahkan memiliki daya ingat yang begitu tajam. “Aku ingin memastikan semua berjalan lancar tanpa ada sedikitpun kesalahan. Aku ingin nama D'Entertainment semakin dikenal luas dan perlahan menghapus image buruk yang sudah kubuat dulu.” “Dengan kualitas yang kamu miliki saat ini, aku yakin semua orang akan secara perlahan melupakan kejadian waktu itu, di tambah dengan bergabungnya Isyana pada kita, semakin menambah kepercayaan masyarakat bahwa D'Entertainment sudah bersih dan tidak ada lagi tindak kecurangan di dalamnya.” Donna mengusap lengan Dimas, memberinya semangat tanpa henti. Wanita itu memang tidak pernah lelah mendukung dan menyuntikkan semangat untuk Dimas, bahkan sejak ia masih di dalam sel jeruji besi. Donna lah satu-satunya wanita yang tidak meninggalkan Dimas dalam keadaan terpuruk sekalipun.. “Aku akan selalu mendukungmu, jangan takut.” Tangan lentik dengan kuku berwarna merah itu mengusap lembut wajah Dimas. “Maaf, tadi aku sempat curiga.” Dimas tersenyum dan mengangguk samar. Wanita itu memang sangat pintar, tapi jelas ia sangat lemah dengan sentuhan dan sikap manis, yang akan membuatnya luluh. Begitulah wanita diciptakan dengan konsep bisa sekuat baja, tapi lemah saat berurusan dengan hati. Di kediaman kedua orang tuanya, Dimas dan Donna makan malam bersama. Kedua belah pihak memang sudah merestui hubungan mereka bahkan saat ini mereka sudah mulai merancang acara pesta pernikahan yang digadang-gadang akan menjadi salah satu pesta pernikahan termewah tahun ini. Mengingat siapa dan darimana Donna berasal, rasanya tidak sulit mewujudkan pesta pernikahan bak didunia dongeng. “Waktunya sudah sangat dekat, kurang lebih dua bulan lagi kalian akan menikah. Segala persiapan harus dilakukan dari sekarang. Banyak hal yang harus diurus, jangan mengulur waktu lebih lama. Lagi.” Ucap Anton, ayah Dimas.. “Masih lama, Pah. Lebih dari sembilan minggu.” Entah mengapa membahas pernikahan saat ini tidak lagi menarik di mata Dimas. Jika sebelumnya ia merasa begitu yakin dengan keputusan dan pilihannya sendiri, tapi sekarang ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Dimas tidak berani mengungkapkan, ganjalan apa yang kini ada dalam hatinya, rasanya terlalu ragu atau mungkin takut untuk mengakuinya. “Sembilan minggu bukan waktu yang sebentar, kamu harus mulai mempersiapkan segalanya.” Balas Tika, ibunya. “Iya Mah, Pah, kami akan mencicil semua keperluan untuk menikah, mungkin dimulai dari mencari WO, gaun dan gedung. Kami dibantu beberapa orang kepercayaan, yang membuat kami masih terlihat santai sampai hari ini.” jelas Donna. “Begitu ya. Baiklah, kami percayakan pada kalian berdua bagaimana baiknya, kami sebagai orang tua hanya mendukung saja.” “Iya,” Obrolan makan malam tidak jauh dari seputar pernikahan. Konsep, warna bahkan sampai catering, semuanya dibahas Donn dan Tika.. Kedua wanita itu terlihat begitu antusias, menyambut acara pernikahan nanti. Sementara itu Dimas lebih memilih mengasingkan diri di belakang, tepatnya di dekat kolam renang. Duduk menikmati secangkir kopi dan rokok ditembak angin sepoi-sepoi membuat Dimas larut dalam lamunannya sendiri. Ia kembali teringat akan kejadian dua hari lalu, saat ia nekat menghubungi nomor Mila. Untuk pertama kalinya setelah enak tahun berlalu, Dimas kembali mendengar suara itu.. Suara yang dulu selalu terdengar merdu saat menyebut namanya dalam balutan gairah, atau saat wanita itu merengek malu setiap kali Dimas menatap wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Tiba-tiba Dimas merasa kepanasan, tubuhnya masih bereaksi saat ia membayangkan sosok wanita itu, bahkan celana yang sebelumnya longgar, tiba-tiba saja terasa sempit. Sesuatu mengeras dibawah sana. Sial! Dimas mengumpat dirinya sendiri, yang masih saja bereaksi berlebihan pada wanita itu, padahal ia hanya sebatas membayangkan suaranya saja. Lantas bagaimana jika keduanya kembali bertemu? Apakah Dimas bisa menahan diri? Dimas menghela lemah, “Lupakan wanita murahan itu!” ucapnya pada diri sendiri. Dimas kembali menyesal rokok, menghembuskan asap putih ke udara. Tiba-tiba ponselnya berdering, panggilan dari salah satu orang kepercayaannya.. “Apa?!” jawab Dimas dengan nada ketus, seolah panggilan tersebut begitu mengganggunya. “Bos, wanita itu setuju datang malam ini.” “Apa?! “ tanpa sadar Dimas melemparkan barang rokok ke dalam kolam renang. “Jam sebelas sampai dan satu. Hanya dua jam saja.” Dimas melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas kurang, yang artinya kurang dari beberapa menit lagi, Mila akan datang ke tempat yang sudah dijanjikan, yakin bar ternama yang ada di daerah Kemang. “Oke, aku kesana sekarang!” Tanpa ragu, Dimas segera bergegas ke lokasi mengabaikan pertanyaan Donna dan Ibunya, yang terus memanggilnya.“Bayarannya lumayan Mbak, masa mau di tolak.” bujuk Wiwi, saat menawarkan pekerjaan pada Mila untuk malam ini. “Jangan menolak rezeki. Kalau lagi ada, gas aja.” Mila sudah mendapat tawaran sejak kemarin, biasanya ia akan menerimanya tanpa berpikir dua kali, tapi kali ini ada pengecualian. Hati kecilnya merasa ragu, entah apa alasannya. “Bayarannya besar, kalau nggak salah tiga juta untuk dua jam. Selain itu, kita juga dapat bonus seperti biasa. Di hitung total, lima atau enam juta dapatlah dan kita hanya kerja dua jam saja. Kapan lagi dapat bayaran besar seperti itu, dengan lokasi masih di sekitar Jakarta.” Wiwi masih membujuk, menggunakan berbagai macam iming-iming yang bisa membuat Mila merasa yakin. “Ayo, sekarang sudah jam sembilan. Siap-siap, kita langsung berangkat, Riyan yang antar.” Mila terdiam sejenak, memikirkan tawaran Wiwi berulang kali. Nominal uang yang akan didapatnya sangat banyak, dengan jam kerja hanya dua jam saja. “Hanya menjual minuman seperti biasa, kan?”
“Bayaran untuk malam ini sudah saya kirim ke nomor rekening masing-masing. Terimakasih untuk kerjasamanya malam ini,” seorang pria bertubuh gempal menghampiri Mila dan wiwi, saat jam kerja keduanya selesai. Irawan namanya. “Kalian boleh pulang, jika tidak ingin menambah jam kerja. Semakin malam, semakin mahal bayarannya.” Irawan, tersenyum menggoda. Tawaran yang sama, tapi Mila tetap akan menolaknya. “Tidak Pak, saya mau langsung pulang saja. Udah di tunggu anak.” tolak Mila, usai memastikan pembayarannya berhasil masuk melalui aplikasi bank online. “Ya sudah, itu pilihan kamu.” Irawan memang tidak pernah memaksa, meski tidak pernah berhenti menawarkan tawaran yang begitu menggiurkan itu. Tapi Mila sadar betul konsekuensi yang akan diterimanya nanti, saat menjerumuskan diri ke dalam dunia hitam yang tidak hanya menjanjikan penghasilan besar, tapi resiko yang besar juga. “Mbak Mila mau langsung pulang?” “Iya, udah janji sama Talita, besok pagi mau ke antar dia ke rumah sakit.”“B
Alasan mengapa Dimas begitu kesal dan tersinggung, yakni karena selama di penjara, Dimas kerap mengkhawatirkan Mila. Nyaris setiap hari memikirkannya, bahkan tak jarang ia merasa begitu bersalah, telah mengusir wanita itu tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan saat ia bercinta dengan kekasihnya, saat itulah matanya terpejam dan bayangan seorang Mila memenuhi ruang pikirannya saat mencapai pelepasan. Memang tidak adil untuk Donna, tapi itulah fakta yang sebentar terjadi selama ini, yang selalu Dimas tutup-tutupi darinya. Sebanyak apapun Dimas berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok wanita yang kini ada di hadapannya. “Dimas, please!” ucap Mila dengan susah payah dia berusaha terus menarik cengkraman Dimas, di lehernya. “Mohonlah, aku suka mendengarnya.” bisik Dimas tajam, mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Mila, sehingga wanita itu tidak dapat berkutik. Satu tangan Dimas dengan kurang ajarnya mendarat di salah satu pa
Saat itu..Ibu menatap sedih ke arah Mila, saat wanita itu baru membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dinyatakan koma selama dua hari. Mila mengalami pendarahan hebat, usai menjalani operasi Caesar saat melahirkan putrinya Talita. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, sampai Mila tidak tahu mana yang paling sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit. “Aku minta maaf,” kalimat pertama yang diucapkan Mila, dengan tatapan sedih ke arah ibunya. “Tidak apa-apa, Nak.” Ibu mencium punggung tangan Mila, mengusap dengan cepat lelehan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Kesedihan terlihat jelas di kedua mata Ibu yang sembab, bisa dipastikan wanita paruh baya yang baru kehilangan suami tiga bulan itu menangis tanpa henti saat Mila dinyatakan koma, akibat pendarahan. “Ibu senang, akhirnya kamu sadar. Terimakasih Nak, sudah bertahan untuk Ibu dan juga anakmu.” Ibu kembali menangis, ada rasa bahagia dan sedih, bercampur menjadi satu. “Ibu selalu yakin, kamu bisa melewati semua ini.” Ibu meng
“Kenapa coklatnya jadi dua?” Mila menatap dua coklat yang ada di tangan Talita. Bukan hanya jumlahnya yang bertambah, tapi mereknya pun berubah.“Yang dikasih Dokter Andev mana?” Dokter spesialis jantung itu jelas tidak akan memberikan makanan tanpa mengetahui komposisi yang ada di dalamnya, khususnya Talita. Gadis yang mengidap gagal jantung sejak masih bayi itu tidak boleh sembarangan mengkonsumsi makanan, yang mungkin akan berpotensi memperburuk jantungnya. Salah satunya coklat, makanan dengan kadar gula tinggi itu harus dihindari Talita dan yang diberikan Dokter Andev jelas coklat khusus dengan kadar gula rendah dan aman dikonsumsi Talita, tentunya dengan jumlah yang dibatasi. “Jatuh, seseorang tanpa sengaja menabraknya.” jelas Ibu. “Dia menggantinya dengan coklat ini,” “Banyak ibu,” Talita tersenyum, memamerkan dua coklat miliknya. “Sangat banyak.” terlihat kegembiraan di kedua sorot matanya. “Orang itu memberikan satu kardus coklat, tapi ibu ingat, Talita harus membatasi as
Menatap ragu pada penampilannya hari ini.Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang.“Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” ajak Tanto, menarik tanga
Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan.“Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya.“Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, seb
Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill.“Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.“Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas
Ragu saat menerima pekerjaan baru, sulit juga meninggalkan pekerjaan lama. Bukan karena Mila menikmati pekerjaannya sebagai seorang LC, bukan juga karena ia lebih nyaman berada di dunia hiburan malam, tapi karena teman baik yang dimilikinya. Salah satu hal terberat karena mereka. Wiwi, Ajeng, dan Rian. Mereka bertiga adalah teman yang baik, yang memperlakukan Mila dengan sangat manusiawi. Saling mengenal satu sama lain dengan waktu yang sangat singkat, tidak lantas membuat pertemanan itu hanya sebatas kedekatan di lokasi kerja saja. Di luar pekerjaan pun, mereka berhubungan sangat baik.“Mbak Mila sudah menemukan pekerjaan baru?” Ajeng mendekat, saat Mila dan Wiwi berada di depan teras, di kediaman orang tua Wiwi. Seperti biasanya, tempat itu selalu dijadikan titik pertemuan mereka. “Iya.” Jawab Mila.“Dimana? Di kantoran lagi?” Selidik Ajeng.“Iya.” Mila pun mengangguk.“Mbak Mila memang seharusnya ada di tempat seperti itu, dengan pendidikan dan pengalaman kerja yang dimilikiny
Saat berada disamping Nadia, Mila memang merasa tidak percaya diri, penampilan keduanya bagai bumi dan langit tapi, saat berdiri di samping Donna, tingkat ketidak percayaan diri itu semakin tinggi. Jika Nadia bagaikan langit, lantas Dona apa?Mars? Atau mungkin Pluto?Mila merasa malu, duduk berdampingan dengan wanita cantik dan ramah itu. Senyum yang terpancar indah di wajahnya semakin menyempurnakan penampilannya yang begitu stunning. “Dia sudah sangat berpengalaman, di bidang desain apalagi, nggak usah diragukan lagi.” Nadia seolah tengah mempromosikan Mila, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di salah satu cafe, Nadia lah yang terlihat begitu berusaha meyakinkan Donna untuk menerima Mila. “Desain ilustrasi?”“Benar. Kami dulu bekerja sebagai ilustrasi desain sebuah produk iklan dan kemampuan Mila nggak usah diragukan lagi.”Mila hanya tersenyum samar, Nadia memang sedikit berlebihan saat menceritakan riwayat kerjanya dulu. “Kamu butuh asisten sekaligus tim desain grafis,
“Mungkin sebaiknya memikirkan kembali tawaran Nadia kemarin, aku yakin dia pasti sudah mempertimbangkannya dalam segala hal, termasuk kenyamanan dan gaji.” Bagian terakhir adalah yang paling penting. Mila sangat mempertimbangkan segala hal hanya dari uang, seberapa besar resiko dan lelah yang akan dirasakannya nanti, itu hanyalah nomor ke sekian. Yang terutama adalah uang, atau gaji. “Sudah tahu nominal gaji yang ditawarkan temannya Nadia?” Tanto kembali bertanya, memperhatikan ekspresi Mila yang tengah menikmati mie ayam di pinggir jalan, dekat kediamannya. Mila kerap menolak, setiap kali Tano mengajaknya pergi ke tempat yang lebih nyaman atau dengan banyak menu lainnya, wanita itu justru memilih untuk makan di pinggir jalan, sperti mie ayam atau pecel lele. Mila bukan wanita kampungan yang tidak mengerti gaya hidup kekinian, atau makan-makan viral jaman sekarang, tapi wanita itu seolah menarik diri dari dari hal-hal yang berbau trend. Mila seolah membiarkan dirinya terjebak di da
Nafas tersengal-sengal, dengan sekujur tubuh memanas. Tidak pernah sekeras ini melakukan latihan fisik hanya untuk melupakan bayangan wanita itu. Pikiran Dimas melayang pada pergulatannya dan ciuman panas terakhirnya. Sial! Makinya dalam hati. Seharusnya tidak perlu memikirkan wanita itu lagi dan tidak membiarkan dirinya terus tenggelam dalam kemarahan yang tidak berarti. Tapi bayang-bayang Mila tersus berputar dalam ingatan dan sulit untuk dienyahkan. Terus berlari dengan menaikkan kecepatan, berlari sekencang mungkin sampai ia kesulitan bernafas. Perlahan treadmill melambat, ia langsung menoleh ke arah samping, pada sosok pelaku yang dengan sengaja menurunkan kecepatan. “Apa?!” Dimas keluar dari treadmill.“Lo mau mati?!” Albi pun melakukan hal serupa, keluar dari treadmill. Dimas mendengus, berjalan ke sudut Gym untuk duduk sambil mengusap keringat dengan handuk kecil yang tergantung di bahunya.“Ada masalah?” Albi menyodorkan sebotol minuman dingin padanya. “Nggak.” Dimas
Setelah bersiap dan menikmati salad buah pemberian Nadia, Mila bergegas menuju lokasi dimana Wiwi sudah menunggunya. Lokasi yang kerap dijadikan tempat mereka berkumpul sebelum berangkat ke salah satu kelab atau tempat pesan, tempat tersebut adalah rumah yang ditinggali Wiwi bersama kedua orang tuanya. Kedua orang tua paruh baya itu tidak pernah tahu pekerjaan asli Mila, Wiwi dan Ajeng, yang diketahuinya mereka bertiga bekerja sebagai sales minuman ringan. Perjalanan menuju kediaman Wiwi lumayan jauh. Lima belas menit menggunakan ojek online. Begitu Mila menapakkan kakinya di kediaman Wiwi, wanita itu langsung menyerbunya dengan tatapan yang sulit diartikan, sikap yang sangat membingungkan.“Kenapa Wi?” Tanya Mila bingung, saat Wiwi menyeretnya ke belakang, menjauh dari Ajeng dan Rian yang juga ada di rumahnya.“Mbak Mila open BO?” Tanya Wiwi, langsung pada intinya. Kening Mila langsung mengerut, kenapa wanita itu bisa bertanya seperti itu. “Nggak,” jelas Mila akan menyangkal, seb
Menatap ragu pada penampilannya hari ini.Tubuhnya hanya dibalut pakai sederhana, kaos oversize warna putih dan celana jeans biru. Sepatu yang dikenakannya pun hanya snickers usang, yang sudah dibelinya sejak tiga tahun lalu. Baginya masih sangat layak pakai, tapi jika digunakan di tempat yang saat ini dikunjunginya jelas tidak cocok. “Kalau bukan karena Nadia, aku nggak akan mau ke tempat seperti ini.” keluhnya, menatap sedih penampilannya yang terlihat di cermin besar, di pintu masuk sebuah hotel mewah. “Nggak apa-apa, kamu tetap cantik ko.” Tanto akan selalu memujinya, tapi tatapan orang yang berpapasan dengannya tidak bisa berbohong. “Aku nggak bisa lama-lama, paling cuman mau ketemu Nadia aja, abis itu mau pulang.” bahkan sebelum bertemu, Mila sudah menyusun rencana untuk pulang.“Belum juga ketemu, udah mau pulang aja. Nadia sengaja pilih tempat mewah ini bukan untuk membuatmu minder, tapi untuk membuat kita merasakan kekayaan yang dimilikinya. Ayo!” ajak Tanto, menarik tanga
“Kenapa coklatnya jadi dua?” Mila menatap dua coklat yang ada di tangan Talita. Bukan hanya jumlahnya yang bertambah, tapi mereknya pun berubah.“Yang dikasih Dokter Andev mana?” Dokter spesialis jantung itu jelas tidak akan memberikan makanan tanpa mengetahui komposisi yang ada di dalamnya, khususnya Talita. Gadis yang mengidap gagal jantung sejak masih bayi itu tidak boleh sembarangan mengkonsumsi makanan, yang mungkin akan berpotensi memperburuk jantungnya. Salah satunya coklat, makanan dengan kadar gula tinggi itu harus dihindari Talita dan yang diberikan Dokter Andev jelas coklat khusus dengan kadar gula rendah dan aman dikonsumsi Talita, tentunya dengan jumlah yang dibatasi. “Jatuh, seseorang tanpa sengaja menabraknya.” jelas Ibu. “Dia menggantinya dengan coklat ini,” “Banyak ibu,” Talita tersenyum, memamerkan dua coklat miliknya. “Sangat banyak.” terlihat kegembiraan di kedua sorot matanya. “Orang itu memberikan satu kardus coklat, tapi ibu ingat, Talita harus membatasi as
Saat itu..Ibu menatap sedih ke arah Mila, saat wanita itu baru membuka mata untuk pertama kalinya, setelah dinyatakan koma selama dua hari. Mila mengalami pendarahan hebat, usai menjalani operasi Caesar saat melahirkan putrinya Talita. Sakit menjalar ke seluruh tubuh, sampai Mila tidak tahu mana yang paling sakit, bahkan hatinya pun ikut sakit. “Aku minta maaf,” kalimat pertama yang diucapkan Mila, dengan tatapan sedih ke arah ibunya. “Tidak apa-apa, Nak.” Ibu mencium punggung tangan Mila, mengusap dengan cepat lelehan air mata yang mulai membasahi wajahnya. Kesedihan terlihat jelas di kedua mata Ibu yang sembab, bisa dipastikan wanita paruh baya yang baru kehilangan suami tiga bulan itu menangis tanpa henti saat Mila dinyatakan koma, akibat pendarahan. “Ibu senang, akhirnya kamu sadar. Terimakasih Nak, sudah bertahan untuk Ibu dan juga anakmu.” Ibu kembali menangis, ada rasa bahagia dan sedih, bercampur menjadi satu. “Ibu selalu yakin, kamu bisa melewati semua ini.” Ibu meng
Alasan mengapa Dimas begitu kesal dan tersinggung, yakni karena selama di penjara, Dimas kerap mengkhawatirkan Mila. Nyaris setiap hari memikirkannya, bahkan tak jarang ia merasa begitu bersalah, telah mengusir wanita itu tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan saat ia bercinta dengan kekasihnya, saat itulah matanya terpejam dan bayangan seorang Mila memenuhi ruang pikirannya saat mencapai pelepasan. Memang tidak adil untuk Donna, tapi itulah fakta yang sebentar terjadi selama ini, yang selalu Dimas tutup-tutupi darinya. Sebanyak apapun Dimas berhubungan, sama sekali tidak mampu melupakan sosok wanita yang kini ada di hadapannya. “Dimas, please!” ucap Mila dengan susah payah dia berusaha terus menarik cengkraman Dimas, di lehernya. “Mohonlah, aku suka mendengarnya.” bisik Dimas tajam, mengikis jarak dengan menghimpit tubuh besarnya pada Mila, sehingga wanita itu tidak dapat berkutik. Satu tangan Dimas dengan kurang ajarnya mendarat di salah satu pa