Apa jadinya jika perempuan yang mengincar suami kita itu ternyata karyawan di perusahaan milik keluarga kita? Kayaknya bakal seru kalau kita kerjain dia habis-habisan, apalagi jika wanita gatal itu bersikap congkak dan sombong! Hal itulah yang terjadi pada kehidupan Wulan Handayani Aditama kala menghadapi wanita yang menyebut dirinya sebagai sahabat suaminya! Lantas, bagaimana keseruan cerita Wulan?
View MoreSementara wajahku sudah terasa memanas. Malu sendiri mendengar pertanyaan Mas Juna. Aku tahu aktivitas apa yang dimaksud olehnya."Boleh dong, Pak. Yang penting pelan saja, ya. Hindari juga aktivitas berat dan jangan sampai kelelahan. Olahraga ringan seperti jalan kaki boleh dilakukan.""Alhamdulillah." Kudengar Mas Juna bergumam. Dan hal itu kembali membuat Dokter mengulas senyum."Dukungan emosional dari suami juga penting ya, Pak. Ibu hamil sering mengalami perubahan hormon yang bisa mempengaruhi suasana hati. Jadi, bersikap sabar dan memberikan perhatian lebih sangat membantu, ya. Jangan terlalu memaksakan istri seandainya sedang dalam keadaan lemas. Karena jika dipaksakan akibatnya bisa berbahaya," pesan dokter lagi. Aku masih diam karena Mas Juna sepertinya terlihat antusias menanggapi setiap yang diucapkan dokter."Tanda-tanda bahaya seperti apa dan apa yang harus kami lakukan, Dok?" Mas Juna kembali bertanya. Wajahnya serius menyimak penjelasan."Jika terjadi perdarahan, nyer
Aku mendongak saat mengenali suara siapa yang masuk. Pria tampan yang sudah membersamaiku selama tiga bulan itu berjalan mendekatiku seraya tersenyum manis. Senyuman yang selalu kurindukan."Apaan sih, panggil ibu segala. Emangnya aku dah tua!" gurauku, seraya berdiri menyambutnya."Jangan terlalu capek," ucapnya penuh perhatian seraya memeluk dan mengecup pucuk kepalaku."Iya, tapi aku gak suka dipanggil ibu sama kamu," jawabku, merenggangkan pelukan dan pura-pura merajuk di depannya."Kan sekarang kamu atasanku, Dek." Mas Juna menoel hidungku."Kata siapa?""Kata Mas 'lah, dan itu fakta. Kamu posisinya di atas Mas sekarang.""Itu 'kan menurut, Mas. Kalau menurut aku, lebih asik yang di bawah," bisikku sengaja menggoda."Apa itu?" Mas Juna mengernyit. "Mau nggoda Mas kamu, ya?!" Tangannya kembali menarikku lebih dekat dengannya."Apa, sih. Enggak kok!" Tanganku bergerak melingkar pada pundaknya."Kalau gak ingat ini di kantor, sudah aku lahap kamu!""Lahap aja. Boleh, kok.""Kamu nan
"Wulan juga tidak tahu, Paman. Kata Mas Juna, Hanum pernah bilang kalau ayahnya masih saudara sama pemilik perusahaan ini. Barangkali itu memang benar, Paman."Paman Bamantara nampak berpikir. "Eum ... Sepertinya gak ada, Lan. Almarhum ayahmu tidak pernah cerita sama Paman.""Gitu ya.""Untuk memastikan, kamu bisa lihat di biodata Hanum. Di sana pasti ada nama ayah dan alamatnya," celetuk Adnan yang sejak tadi banyak diamnya."Iya juga. Ya sudah, aku minta biodatanya dong, Nan," pintaku yang langsung diangguki olehnya. Detik berikutnya Adnan menghubungi seseorang, dan tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu."Masuk!" ucap Adnan.Seorang bapak-bapak muncul sembari membawa satu map di tangannya."Ini berkas biodata Hanum yang Anda minta, Pak," ucapnya seraya memberikan map itu pada Adnan.Anak Paman Bamantara tersebut pun meraihnya seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu, bapak-bapak tadi undur diri."Ini, mungkin bisa membantu rasa penasaranmu." Adnan memberikan map itu padaku
"Seperti yang saya bilang saat acara kemarin, saya akan memberikan sanksi ketika berada di kantor, dan sekarang adalah saatnya," terangku."Gak! Saya gak terima. Ini namanya semena-mena. Jangan mentang-mentang Anda adalah pewaris bisa seenaknya pada karyawan seperti saya.""Kamu tidak lupa dengan semua bukti yang saya miliki bukan? Atau saya perlu beberkan semuanya di sini sekarang?""Memangnya bukti apa yang kamu miliki. Saya sudah bekerja hampir tiga tahun di perusahaan ini, sedangkan kamu baru pertama kali. Lalu tiba-tiba menurunkan jabatan saya seenaknya. Aturan macam apa ini!""Dengar, Bu Hanum. Saya dan staf lainnya sudah lama melihat gelagat Anda, hanya saja kami sengaja menunggu sampai di mana Anda mengehentikan kecurangan Anda dalam bekerja. Bukannya berubah, ternyata Anda semakin menjadi. Terpaksa kami harus melakukan tindakan seperti ini." Kali ini Adnan yang berujar tegas."Tapi tidak bisa mendadak seperti ini dong, Pak. Paling tidak saya mendapat teguran terlebih dahulu a
Keesokan paginya, aku sudah dalam perjalanan menuju kantor. Meski rasa mual masih kerap datang, aku tetap bertekad karena sudah sangat berniat untuk mulai menyibukkan diri di kantor. Lagian, aku sudah kadung janji sama Adnan dan Paman Bamantara."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Juna di sela-sela fokusnya mengemudi."Yakin, Mas," jawabku mantap. Aku yang duduk di sebelahnya melirik sekilas padanya untuk melihat ekspresi wajahnya. "Kenapa, Mas?""Gak pa-pa, Dek. Memangnya kamu gak malu punya suami cuma karyawan biasa?""Gak. Kenapa malu? Mas Juna kan kerjanya halal."Kulihat pria tampan di sampingku itu menghela napas."Kenapa, Mas? Atau jangan-jangan kamu yang gak nyaman dengan keberadaanku yang menjabat sebagai CEO?"Sontak pertanyaanku membuat Mas Juna menoleh sekilas padaku."Kok kamu mikirnya gitu sih, Dek? Demi Allah, Mas gak pernah berpikir seperti itu.""Ha ha ha, muka Mas Juna lucu. Wulan cuma bercanda, Mas,' kelakarku untuk mencairkan suasana."Ish! Kamu ini ya, Dek. Awas ya ....
Dia terkekeh. "Gak. Masa remaja Mas gak ada waktu buat pacaran. Apalagi sejak bapak meninggal, Mas sibuk bantu ibu mencari uang dan belajar. Mas punya mimpi sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses biar ibu gak perlu lagi capek cari uang. Alhamdulillah Mas bisa dapat beasiswa saat SMA dan perguruan tinggi sehingga Mas bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang lumayan.""Terus, kenapa Mas bisa dekat sama Mbak Hanum? Malah aku perhatikan Mas begitu nurut sama dia. Bahkan terkesan sangat percaya sama dia. Mas sebenarnya suka ya sama dia? Secara, Mbak Hanum 'kan cantik dan seksi." Aku melepaskan pelukan karena kesal sendiri.Lagi-lagi Mas Juna tertawa melihat tingkahku."Itu karena Mas punya hutang budi yang banyak sama Hanum dan keluarganya.""Hutang budi apa?" Aku menoleh padanya."Banyak. Mulai dari pergaulan, pekerjaan dan lainnya. Berkat Hanum Mas gak lagi mendapat perlakuan kasar di sekolah. Keluarganya juga membantu Mas mencarikan pekerjaan. Termasuk membantu Mas masuk ke perusaha
"Sepertinya itu ide yang bagus, Mbak. Mungkin aku akan mempertimbangkannya," ucapku kemudian, seraya melirik Mas Juna yang menghela napas."Gitu dong. Jadi perempuan gak usah sok."Aku tak lagi mempedulikan Hanum yang terus ngoceh di seberang sana. Fokusku teralihkan oleh pergerakan suamiku yang tiba-tiba menjadi salah tingkah karena terus aku pandangi.Hingga panggilan diakhiri sepihak oleh Hanum, aku masih memperhatikan wajahnya."Kenapa sih, Dek?" Mas Juna membuka suaranya beberapa saat setelah aku selesai telepon. "Nih apelnya dah selesai Mas potong. Dimakan ya." Ia meletakkan potongan buah yang sudah tersaji di atas piring kecil, tepat di depanku."Mas ...." panggilku penuh arti.Lelaki dengan alis tebal itu kembali menghela napasnya, seakan mengerti bahwa panggilanku menuntut penjelasan."Makanlah dulu, setelah itu kita bicara di kamar." Mas Juna mengelus lembut pucuk kepalaku, kemudian mulai mengambil sarapan dan menyantapnya.Sementara aku yang memang tak berselera hanya bisa
"Eummm ... Mungkin. Meskipun hati kecil Mas sebenarnya sangat percaya padamu. Hanya saja, Mas memang merasa aneh ketika ada seorang pria yang rela mengeluarkan uang banyak untukmu. Mas cemburu, dan Mas merasa gagal menjadi suami. Untuk sekedar perawatan saja, kamu harus meminta bantuan orang lain." Kali ini Mas Juna menunduk. Kini bergantian aku yang menangkupkan tangan mengangkat wajahnya."Mas gak gagal, tapi aku yang gak tahu diri. Niatnya mau nyenengin kamu dengan melakukan perawatan diam-diam, tapi malah jadi begini." Aku menghela napas panjang."Berarti akar masalahnya adalah kurangnya komunikasi di antara kalian." Tiba-tiba suara ibu menyela dari samping. Wanita paruh baya yang masih segar bugar itu mendekat, kemudian berdiri di sisi kiri Mas Juna."Menyatukan dua hati yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda memang tidak mudah. Apalagi kalian menikah melalui jalan ta'aruf yang tentunya belum begitu memahami satu sama lainnya. Kalau sudah begitu, komunikasi adalah jembatan
"Kamu kenapa, Jun? Kenapa kamu tidur masih menggunakan dasi?" tanya ibu. Nadanya terdengar bingung.Alih-alih menjawab pertanyaan ibu, Mas Juna justru berjalan gontai menaiki tangga tanpa mempedulikan aku dan ibu yang memperhatikannya.Ku pandangi punggung lelaki yang menjadi imamku dua bulan ini menyusuri tangga. Seperti ada yang menghimpit, seketika dadaku terasa sesak melihat sikapnya. Namun, sebisa mungkin aku terlihat biasa saja di depan ibu. Bukan karena aku merasa tidak bersalah, tetapi aku ingin pelan-pelan saja menjelaskan semuanya pada ibu. Semoga saja ibu mau mengerti dan tetap menyayangiku."Nduk," panggilan ibu yang lembut seketika membuatku teralihkan. "Mau sarapan dulu atau menunggu Juna?" lanjutnya.Bimbang. Aku tak tahu harus bagaimana. Ingin menyusul ke atas sebenarnya, tetapi ada keraguan dalam hati. Khawatir kembali mendapat penolakan."Lebih baik kita sarapan dulu. Kamu harus ingat janin yang ada di perut kamu, ya. Ayok Ibu temenin," ucap ibu seolah mengerti kerag
"Juna, jangan bilang dia ini istrimu. Ck! Seleramu rendah sekali!" Sontak aku mendongak kaget mendengar suara nyaring itu. Seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan melangkah mendekat. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya tajam ke arahku. Mas Juna, suamiku, hanya tertawa kecil. "Hanum, jangan bercanda. Wulan ini istriku." "Ah, aku kira kamu masih sendiri." Aku hanya tersenyum meski hati terasa berdesir. Wanita ini siapa? Kenapa memandangku seperti musuh? "Wulan, kenalkan ini sahabat Mas, namanya Hanum," ucap Mas Juna memperkenalkan diriku padanya. Apakah pakaian yang ia kenakan tidak terlalu terbuka untuk sekedar acara reuni sekolah seperti ini? Bagian da danya dibiarkan terekspos, juga lengan mulus hingga keti aknya terlihat jelas. Apa dia tidak masuk angin nantinya memakai pakaian seperti itu? Apalagi malam ini cuacanya cukup dingin. "Hai, Mbak. Namaku Wulan." Aku menyapa terlebih dahulu seraya mengajaknya bersalaman. "Hai," sahutnya sangat singkat. Tangan mul...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments