Apa jadinya jika perempuan yang mengincar suami kita itu ternyata karyawan di perusahaan milik keluarga kita? Kayaknya bakal seru kalau kita kerjain dia habis-habisan, apalagi jika wanita gatal itu bersikap congkak dan sombong! Hal itulah yang terjadi pada kehidupan Wulan Handayani Aditama kala menghadapi wanita yang menyebut dirinya sebagai sahabat suaminya! Lantas, bagaimana keseruan cerita Wulan?
Lihat lebih banyakMataku terpejam, menahan geram dan keinginan untuk merobek mulutnya yang tak bertulang itu. Sekuat tenaga aku menetralkan emosi, karena jika aku terpancing, Hanum pasti akan merasa menang. Menarik napas panjang, aku kemudian menatapnya. "Siapa yang piala bergilir ya? Ah, aku jadi teringat cerita tentang seorang wanita yang rela melakukan segala cara, asalkan bisa naik jabatan dan dapat uang jajan setiap bulan. Termasuk menyerahkan kesuciannya." Satu tanganku terangkat memegang janggut seakan tengah berpikir. Sementara wajah Hanum terlihat berubah merah. "Apa maksudmu?!" sentaknya. "Gak ada. Udah, ah. Aku malas meladeni orang yang suka fitnah gak jelas." Setelah itu aku melangkah meninggalkannya begitu saja, kembali ke ballroom. Ketika aku masuk, tepuk tangan semakin meriah. Rupanya MC menyebutkan acara yang selanjutnya yaitu penghargaan khusus untuk karyawan. Sepertinya ini yang mereka tunggu-tunggu. MC mulai menyebutkan kategori apa saja yang akan mendapatkan penghargaan. B
Aku menuruni panggung dengan tenang setelah memberikan pidato singkat tadi. Adnan mengiringiku hingga kembali ke tempat dudukku, lalu berbisik pelan, “Kamu pasti akan menghadapi banyak pertanyaan setelah ini. Tapi aku yakin kamu sudah siap, kan?” Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Sudah waktunya, bukan?” Adnan mengangguk tipis, lalu duduk di tempatnya. Ponselku kembali bergetar. Dugaanku itu adalah Mas Juna yang mengirimkan pesan, dan ternyata tebakanku tak meleset. [Wulan.] [Ya, Mas ] kali ini aku langsung membalasnya [Kita perlu bicara sekarang] [Baiklah] Setelah itu aku sedikit menoleh ke belakang. Ekor mataku menangkap Mas Juna melangkah keluar ballroom. Ia meninggalkan Hanum yang masih terpaku di tempatnya. Aku pun mulai beranjak."Mau ke mana?" tanya Adnan."oh, aku mau ke toilet sebentar," jawabku terpaksa berbohong."ya, baiklah."Setelah itu aku benar-benar melangkah menuju balkon.Mas Juna sudah menungguku. Dengan stelan jas hitam senada dengan celana d
Di dalam ballroom, suasana tampak meriah. Para tamu menikmati hidangan dan dekorasi mewah yang menghiasi ruangan. Namun, semua mata tertuju padaku dan Adnan saat kami melangkah. Dadaku berdegup kencang seiring kaki ini melangkah. Keringat dingin mulai membasahi kening. Dapat kurasakan dinginnya telapak tanganku yang basah oleh keringat gerogi. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa berbicara lancar nanti."Halo, Nak. Akhirnya kamu bersedia datang ke sini." Paman Bamantara menghampiriku."Eh, Paman. Apa kabar?" sapaku."Baik, dong. Seperti yang kamu lihat." Paman merentangkan tangannya, menunjukkan bahwa badannya tetap tegap, itu artinya dia sehat meskipun sudah tidak muda lagi.Kemudian aku dan paman ngobrol. Beberapa kolega ayah yang mengenalku juga turut menghampiri dan menyambutku dengan baik.Saat aku tertawa, tak sengaja mataku melihat Mas Juna dan Hanum yang memperhatikan aku dari jarak yang agak jauh. Mungkin mereka heran kenapa aku bisa mengenal para petinggi perusahaan ini.I
"Mas Juna, Hanum." Aku berucap lirih, tak menyangka akan bertemu mereka di sini. Namun, ada hal yang terasa begitu menohok hatiku, ialah Mas Juna yang masih membiarkan Hanum mengapit lengannya, padahal jelas ada aku di depannya."Ouh, rupanya kamu yang datang, Wulan. Gak salah alamat kamu?" Hanum mencibirku dengan gayanya yang tetap angkuh.Aku menyilangkan kedua tangan di atas dada. "Kenapa memangnya?" ucapku tanpa gentar."Ya ampun, Wulan ..." Dia terkekeh, tetapi kekehan itu lebih kepada menghinaku. "Ini acara besar, dan hanya orang-orang penting dan karyawan yang boleh hadir. Memangnya kamu siapa? Bahkan undangannya saja kamu gak punya. Itu artinya kamu gak diterima di sini," sambungnya masih dengan tawa mengejek."Kata siapa? Aku diundang, kok. Justru aku diundang secara khusus di sini."Lagi-lagi Hanum tertawa kecil. "Diundang? Kamu yakin? Jangan-jangan kamu cuma nyelip di mobil orang ya? Atau datang sendiri berharap ada yang kasihan dan ngajak masuk?"Aku menggeram dalam hati,
Seperti hari-hari biasanya, aku membantu ibu membuat sarapan di dapur. Meskipun Mas Juna masih marah, aku tetap melakukan kewajibanku melayani makannya. Namun, saat mencium bau bawang putih, perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Aku berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan dari perut yang belum terisi apa-apa."Ya Allah, Nak. Kalau kamu gak kuat, jangan dipaksakan. Biar Ibu saja yang masak, kamu istirahat saja, ya. Itu pasti bawaan bayi." Ibu dengan lembut mengurut tengkukku agar sedikit lega."Iya, Bu. Maaf ya, perut Wulan mual banget," ucapku sambil menahan rasa tak enak."Iya, gak pa-pa kok. Kamu istirahat saja di kamar."Aku bergeming. Rasanya malas bertemu dengan Mas Juna yang jutek padaku."Istirahat saja di kamar Ibu yang lebih dekat dengan dapur, biar gak perlu naik tangga," ujar ibu seperti tahu kegelisahanku."Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Maaf gak bisa bantu Ibu.""Iya, Sayang. Sama-sama."Setelah itu aku benar-benar masuk ke kamar Ibu dan berbaring di ranjang sampai tak t
"Kamu tahu alasanku kenapa tidak mau melakukan tes DNA, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan mau membahayakan nyawa anakku. Kalau kamu tetap pada pendirianmu itu, terserah. Dan soal laki-laki yang rela mengeluarkan uang demi aku, hari ini juga aku kenalkan siapa dia padamu kalau kamu mau. Aku tidak memintamu untuk percaya padaku, karena apapun yang aku katakan, kamu sulit mempercayainya karena yang ada di pikiran kamu itu cuma perkataan Hanum adalah yang paling benar. Dan aku yakin, semua tuduhanmu itu pasti berdasarkan pemikiran wanita yang berkedok sahabatmu itu! Atau sebenarnya kamu yang ada main dengannya, Mas? Sepertinya apapun yang dia katakan kamu selalu mendukung." Aku balas menudingnya. Aku bahkan seakan tak peduli andai rumah tanggaku akan hancur hari ini. Padahal sebelumnya aku bertekad untuk mempertahankan mahligai cinta yang kami bina baru seumur jagung ini."Jangan memutar balikkan fakta, Wulan. Kau yang berselingkuh kenapa jadi aku yang dituduh?""Sepuluh hari, Mas. Mar
Sekitar pukul tiga siang aku baru sampai di halaman rumah. Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti tengah menungguku."Assalamualaikum, Bu." Kuulurkan tangan menyalami beliau."Waalaikumsalam, Nak," sahutnya sambil menerima uluran tanganku. "Kenapa baru pulang? Ibu khawatir. Telepon Ibu juga gak kamu angkat. Kamu pergi dari pagi loh, Sayang," lanjutnya mencercaku dengan raut wajah yang memang terlihat sedang khawatir."Maaf, Bu. Tadi Wulan mampir ke mall dulu buat ngilangin stres. Dokter bilang ibu hamil gak boleh terlalu banyak pikiran, jadi Wulan jalan-jalan bentar, deh." "Dokter benar, Nak. Tapi kenapa telepon Ibu gak kamu angkat?""Soal itu ... Sebentar." Aku mengambil gadget di dalam tas dan memang betul ada tiga panggilan tak terjawab dari ibu mertuaku. "Maaf, Bu, handphone-nya Wulan silent karena Mas Juna marah-marah gak jelas tadi."Sengaja aku menceritakan yang sebenarnya sama ibu. Bukan bermaksud mengadu, tetapi mulai sekarang aku tidak ingin menyimpan semuanya sendiri
Segera kubuat mimik sesantai mungkin agar dia tak curiga. "Gak, kok. Biasalah, Mas Juna nyuruh aku pulangnya jangan terlalu sore." Aku terpaksa berbohong. "Oh ...." Adnan terlihat mengangguk, kemudian kembali berkata, "Juna pasti beruntung banget ya memiliki kamu, sampai dia begitu menjagamu. Pulang saja diperhatikan." Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul, karena sungguh kenyataan yang sedang kuhadapi tidak seperti penilaiannya. Adnan melirik arloji di tangan kirinya, lalu berpamitan padaku, "Jam istirahat siang sudah habis, aku harus segera kembali ke kantor. Tapi sebelum itu aku akan mengantarmu." "Tidak usah. Aku masih mau jalan-jalan lagi di sini sebentar. Kamu balik aja, gak pa-pa." "Baiklah, jangan terlalu capek. Wajahmu terlihat pucat." "Iya, aku hanya kelaparan tadi. Setelah makanan yang kumakan dicerna, aku pasti kembali cerah." Dia hanya mengangguk kemudian berdiri. Namun, saat kakinya terayun satu langkah aku menghentikannya. "Adnan." "Iya." Dia kembali menole
Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku
"Juna, jangan bilang dia ini istrimu. Ck! Seleramu rendah sekali!" Sontak aku mendongak kaget mendengar suara nyaring itu. Seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan melangkah mendekat. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya tajam ke arahku. Mas Juna, suamiku, hanya tertawa kecil. "Hanum, jangan bercanda. Wulan ini istriku." "Ah, aku kira kamu masih sendiri." Aku hanya tersenyum meski hati terasa berdesir. Wanita ini siapa? Kenapa memandangku seperti musuh? "Wulan, kenalkan ini sahabat Mas, namanya Hanum," ucap Mas Juna memperkenalkan diriku padanya. Apakah pakaian yang ia kenakan tidak terlalu terbuka untuk sekedar acara reuni sekolah seperti ini? Bagian da danya dibiarkan terekspos, juga lengan mulus hingga keti aknya terlihat jelas. Apa dia tidak masuk angin nantinya memakai pakaian seperti itu? Apalagi malam ini cuacanya cukup dingin. "Hai, Mbak. Namaku Wulan." Aku menyapa terlebih dahulu seraya mengajaknya bersalaman. "Hai," sahutnya sangat singkat. Tangan mul...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen