Acara reuni berlangsung lumayan seru. Ada beberapa sesi acara yang berlangsung meriah. Sambutan lucu dari beberapa angkatan membuat suasana tidak membosankan. Aku yang sama sekali tidak mengenal mereka pun ikut terhibur dan menikmati acara ini.
Hingga sekitar pukul dua belas malam lebih sedikit acara usai. Satu persatu sudah lebih dulu pulang terutama mereka yang membawa anak kecil atau yang meninggalkan anaknya di rumah. Namun, beberapa yang masih belum punya momongan seperti aku dan Mas Juna masih betah ngobrol dan berbincang dengan teman mereka jaman dulu, termasuk Hanum. Mungkin dia belum punya momongan juga, atau jangan-jangan dia masih jomblo? Ah, bukan urusanku. "Jun, nanti kita mampir ke kafe 24 jam yuk. Sekalian nostalgia. Sekarang makin rame dan seru loh tempatnya." Hanum mengajak suamiku sambil meraih pergelangan tangan Mas Juna. Tidak tahu malu sekali, bahkan di depan banyak orang yang masih mengobrol. "Oh ya? Bo--" "Mas ..." Aku tak mau kalah dari Hanum. Kupotong ucapan Mas Juna, kutarik tangannya hingga menempel di dadaku lalu bersandar di pundaknya seraya berbisik, "Aku dah ngantuk, pengen tidur di peluk Mas." Mas Juna bereaksi. Dia melepaskan tangan yang dipegang Hanum lalu mengelus kepalaku. "Ya udah kita pulang, ya." Aku mengangguk manja dengan posisi masih bersandar. Tak ku pedulikan bagaimana wajah Hanum juga penilaian mereka tentang aku. Terserah mereka mau bilang aku lebai atau manja, yang jelas aku ingin mata Hanum terbuka bahwa aku ini prioritas seorang Arjuna Abimana sekarang. "Kalau begitu aku ikut, ya. Emangnya kamu tega, Jun, membiarkan aku pulang sendirian malam-malam begini?" Tiba-tiba Hanum juga bersikap manja pada Mas Juna. Hemmm, masih tak mau kalah rupanya. "Boleh, dong." Tanpa pikir-pikir atau meminta persetujuan dariku Mas Juna langsung mengiyakan permintaan Hanum. "Kamu gak keberatan 'kan, Wulan?" Hanum pura-pura meminta pendapatku. Aslinya aku yakin dia sedang meledekku karena Mas Juna masih peduli terhadapnya. "Sebenarnya aku sih keberatan, karena aku ingin ke suatu tempat dulu sama suamiku. Tapi karena aku orang yang baik, jadi ya udahlah. Kasian juga kamu. Mana bajumu kurang bahan gitu, takutnya nanti masuk angin kalau gak segera pulang dan ganti baju," selorohku. "Sayang ... Kamu ada-ada aja." Mas Juna mencubit gemas hidung mungilku. Sedang Hanum terlihat tak suka. Namun, detik berikutnya dia tersenyum. "Kamu benar, Wulan. Aku memang kedinginan sekarang. Ah, aku salah kostum ternyata. Bagaimana kalau aku pinjam blazermu, Jun?" Perempuan di depanku rupanya benar-benar tak tahu malu dan tak tahu diri. Ada aja tingkahnya untuk bersaing denganku. Hello ... Dia suami orang loh. Ada istrinya pulak di sampingnya. Bisa-bisanya kamu bersikap seperti itu. Tak punya malu ya?! Sayangnya aku hanya bisa berucap dalam hati. "Boleh." Mas Juna bergerak melepaskan blazernya lalu memberikan pada Hanum. "Nih pake aja." What! Mas Juna dengan gampangnya memberikan blazernya pada perempuan lain ... Di depanku ... Aku shock sih. Kaget, benar-benar kaget, tapi aku harus tetap bersikap tenang. Sepertinya mereka memang sangat akrab dulunya, dan mungkin akan berlanjut hingga sekarang dan seterusnya jika tak segera ku atasi. Kini Mas Juna hanya memakai kaos pendek warna putih. Kaos hadiah dariku saat bulan madu ke Bali kemarin. "Terima kasih, Jun. Kamu memang masih seperti yang dulu." Hanum terlihat sangat gembira menyambut baju tebal pinjaman suamiku. "Hanum benar, ternyata Juna masih bersikap seperti kacung seperti dulu. Padahal udah nikah loh. Minimal jaga lah perasaan istrinya. Atau kalau gak bisa jaga, buat aku ajalah." Salah satu pria yang sedang duduk tak jauh dariku dan mas Juna berceletuk. Tadi dia bilang kacung? Mas Juna jadi kacung Hanum seperti dulu? Hmmm, sepertinya memang ada sesuatu di antara Mas Juna dan Hanum. Aku akan mencari tahu. "Diem loe, Kampret." Mas Juna tak terima. "Udahlah jangan di dengerin. Bobi emang sirik aja dari dulu," ucap Hanum. "Yuk, jalan," sambungnya. Jadi pria itu namanya Bobi. Oke, aku akan ingat-ingat wajah dan namanya. Siapa tahu suatu saat berguna. "Ayuk, Sayang." Mas Juna menepuk pinggangku lalu berjalan sambil merangkulku. Aku hanya bisa menurut sambil menghela napas. Saat sampai di parkiran gedung acara, Hanum yang berjalan di depan terlihat mendatangi sedang berbicara seorang laki-laki agak tua yang berdiri di dekat mobil mewah. "Siapa dia, Mas?" tanyaku pada Mas Juna sambil terus memperhatikan Hanum dan pria tua itu. "Namanya Pak Sapri, supir Hanum." "Lah dia bawa supir ngapain ikut kita, Mas?" Aku melayangkan sedikit protes. Kupikir Hanum bakal pulang naik taksi atau dijemput seseorang, makanya aku mengiyakan walau dengan berat hati. Eh, gak taunya dia ada supir yang sudah menunggunya. "Gak pa-pa, Sayang. Mungkin dia lagi pengen. Gak tiap hari juga, kok." Mas Juna berujar sangat enteng. Iyalah gak tiap hari, orang acara reuni juga gak tiap hari. Lagi-lagi aku hanya bisa menggerutu dalam hati. "Padahal mobilnya lebih bagus loh, Mas, dari pada mobil kita," celetukku lagi. "Hemmm." Mas Juna hanya bergumam. Oke. Aku mulai BT sekarang. Aku menoleh pada Mas Juna, memberikan tatapan tajam sembari bersedekap dada. "Kenapa memandangku seperti itu?" tanyanya. "Hemmm," balasku menirunya. "Balas dendam nih, ceritanya." Mas Juna mencolek punggungku. Aku masih BT. "Mas kedinginan nih. Makanya Mas diem aja. Masuk mobil, yuk," ujarnya. "Salah sendiri sok-sokan ngasih blazer ke orang." Aku menggerutu untuk ke sekian kalinya sambil berjalan lebih dulu menuju mobil Avanza milik Mas Juna. Mas Juna membukakan pintu mobil untukku. Aku bersiap untuk masuk, tapi tiba-tiba seseorang menyerobot masuk dan duduk di kursi dekat dengan kursi kemudi. Siapa lagi kalau bukan Hanum. "Aku mau duduk di depan," celetuknya enteng. . ."Mas Juna ..." Aku sengaja memanggil Mas Juna untuk melihat bagaimana dia akan menyikapi hal ini.Suamiku ini sepertinya kebingungan. Dia menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal.Thin. Thin!Bunyi klakson terdengar dari belakangku. Aku menoleh, pun dengan Mas Juna dan Hanum."Wulan, dari pada gak dianggap, yuk sama aku aja. Aku tahu rumah Juna, kok." Seseorang yang ternyata Bobi itu sedikit berteriak."Iya, deh." Aku langsung berbalik pura-pura menyetujui ajakan Bobi untuk mengetahui reaksi Mas Juna."Eh, Sayang. Mau ke mana?""Udah biarin aja dia pulang sama Bobi. Kamu sama aku."Seketika ayunan langkahku berhenti mendengar ucapan Hanum. Kurang asem, aku sudah terpancing emosi oleh Hanum. Astaghfirullahal 'adziem."Sayang ..." Mas Juna menyusulku. "Ayuk masuk mobil." Dia meraih tanganku."Gak sebelum Hanum turun," ujarku sedikit ketus."Iya, Sayang. Tadinya juga mau aku suruh turun kok, kamu malah pergi.""Ya udah, buru ..." Aku mencebik manja.Lalu Mas Juna menuntunku kembali me
[Iya, Num, aku mengerti. Maaf aku tidak sengaja. Mungkin karena aku dan Wulan masih pengantin baru.][Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kamu maafin aku 'kan?][Hanum ...]Sepertinya chat Mas Juna tidak terbalas. Yang membuatku merasa aneh, kenapa Mas Juna seperti takut Hanum marah padanya? Ada apa sebenarnya?Huffhh. Aku harus segera menemukan titik terangnya. Untung setelah selesai shalat tahajud aku inisiatif mencabut charger yang masih terhubung dengan ponsel Mas Juna. Dan entah kenapa aku yang biasanya cuek dengan benda pipih ini, sekarang tiba-tiba merasa penasaran untuk membuka. Ternyata Allah ingin menunjukkan hal ini padaku.Oke, fix. Aku harus segera bertanya seberapa jauh persahabatan yang dijalin suamiku dengan wanita itu.Ah, dari pada pikiranku kacau memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik aku nderes saja sambil menunggu subuh, gumamku.Benar saja, setelah mengaji beberapa menit, adzan subuh berkumandang. Kukerjakan sholat qobliyah subuh ketika adzan selesai dan sebe
"Kamu ini ..." Ibu tertawa kecil. "Status sosial kami sangat berbeda, Nduk. Mana mungkin mereka pacaran. Tapi ...""Tapi apa, Bu?" Aku langsung menyela karena ibu menjeda ucapannya."Lagi ngomongin apa, sih? Serius banget." Saat ibu mulai membuka mulutnya tiba-tiba Mas Juna muncul dan ikut menyela."Eh, Mas ... Baru aja aku mau panggil Mas buat sarapan." Aku sedikit gugup, khawatir suamiku ini tahu bahwa aku sedang mencari tahu tentang Hanum."Ini, si Wulan tanya tentang Hanum," sahut ibu."Oh ... Kami baru bertemu tadi malam di acara reuni," ujar Mas Juna seraya duduk di sebelahku, lalu dia memandangku. "Kenapa gak tanya-tanya ke Mas? Hem?""Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma pengen denger versi kamu sama Ibu." Aku nyengir kuda saat menjawabnya."Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja, sekarang kita sarapan dulu, yuk. Sebentar lagi Juna 'kan kerja." Ibu lalu berdiri hendak mengambil piring di dapur, dan segera kucegah."Biar Wulan saja, Bu." Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung berjal
Hanum mencebik, tetapi tak terlihat gerak-gerik akan meninggalkan rumah ini. Dia tetap anteng duduk di tempatnya tanpa menyentuh makanan hasil olahanku.Uhukkk!Tiba-tiba Mas Juna keselek."Minum, Jun. Ya ampun ...." Hanum cekatan mengambilkan segelas air putih untuk Mas Juna, lalu sekaligus membantu meminumkannya.Waw, gercep sekali."Kamu ini gimana, sih! Bisa nyuapin gak? Dasar gak becus! Sini, biar aku aja yang suapin Juna!" Hanum memarahiku kemudian merebut piring yang ada di depan Mas Juna, dan mengambil alih peranku. Padahal Mas Juna sendiri yang meminta aku untuk menyuapinya.Aku sengaja diam untuk mengetahui bagaimana reaksi Mas Juna pada sahabatnya itu. Kalau dia mau-mau saja tanpa mempedulikan aku, artinya aku tidak lebih penting dari si Hanum itu.Aku masih diam terpaku untuk beberapa menit sambil melirik ibu mertua sebentar. Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi beliau."Kamu ini, Jun ... Seperti anak kecil saja disuapin segala." Tiba-tiba ibu bangkit, mendekati Mas Juna y
Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya."Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi."Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya."Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung."Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.Cup. Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you
"Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru
"Astaghfirullah ... Apa ini?" Aku masih mengamati satu persatu foto yang mirip seperti Mas Juna sedang merangkul seorang wanita berpakaian kurang bahan di sebuah bar. Sekilas wajah wanita itu mirip dengan Hanum, dan dari pakaian si lelaki memang warnanya mirip dengan yang dikenakan Mas Juna barusan. Hanya saja ...Seketika satu sudut bibirku terangkat. Mungkin dia kira aku bodoh. Dasar amatir!Derit pintu kamar mandi mengalihkan perhatianku. Mas Juna tampak segar dengan rambut basah dan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya membuatku terpaku."Mas belum shalat isya, Dek. Sabar, ya!" celetuk Mas Juna membuatku terkesiap."Ah, apaan, sih. Ya udah sana shalat. Aku udah, tuh," sahutku salah tingkah."Siapa yang ajak kamu, orang Mas cuma kasih tau, kok." Sambil memakai sarung Mas Juna menimpali.Aku pura-pura menunduk sambil bermain ponsel. Nyatanya mataku ini masih curi-curi pandang ke arah suami tampanku yang kini sudah rapi dengan baju koko dan peci di kepalanya. La
"Ya, kecuali. Kecuali ... Kalau aku juga jadi menantu Tante. Bukankah seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu, Tan?" Uhukkk! Ibu terbatuk. Mungkin beliau juga kaget sama sepertiku dengan pernyataan Hanum yang aneh itu. Huh! Bilang aja mau jadi pel4kor. "Assalamualaikum ..." Terdengar suara pria tercintaku mengucap salam. Aku segera muncul sebelum jailangkung itu mendahuluiku. "Wa'alaikumsalam, Mas ..." Aku berjalan cepat meraih telapak tangan Mas Juna dan menciumnya dengan ta'zim, lalu berdiri sedikit mencondongkan kepala sebagai isyarat untuk Mas Juna mengecup keningku. Tak kupedulikan tanggapan ibu apalagi Hanum. Cup. Yesss! Alhamdulillah, Mas Juna mengerti bahasa isyaratku. "Eh, ada Hanum juga, ya." Mas Juna nampak kaget melihat sahabatnya itu sudah duduk bersama ibu di pagi buta seperti ini. Mas Juna lalu menyalami ibu, dan tentu saja Hanum sudah menyodorkan tangannya berharap suamiku ini juga akan menyalaminya. "Eits!" Aku menepuk lengan Mas Ju
Sementara wajahku sudah terasa memanas. Malu sendiri mendengar pertanyaan Mas Juna. Aku tahu aktivitas apa yang dimaksud olehnya."Boleh dong, Pak. Yang penting pelan saja, ya. Hindari juga aktivitas berat dan jangan sampai kelelahan. Olahraga ringan seperti jalan kaki boleh dilakukan.""Alhamdulillah." Kudengar Mas Juna bergumam. Dan hal itu kembali membuat Dokter mengulas senyum."Dukungan emosional dari suami juga penting ya, Pak. Ibu hamil sering mengalami perubahan hormon yang bisa mempengaruhi suasana hati. Jadi, bersikap sabar dan memberikan perhatian lebih sangat membantu, ya. Jangan terlalu memaksakan istri seandainya sedang dalam keadaan lemas. Karena jika dipaksakan akibatnya bisa berbahaya," pesan dokter lagi. Aku masih diam karena Mas Juna sepertinya terlihat antusias menanggapi setiap yang diucapkan dokter."Tanda-tanda bahaya seperti apa dan apa yang harus kami lakukan, Dok?" Mas Juna kembali bertanya. Wajahnya serius menyimak penjelasan."Jika terjadi perdarahan, nyer
Aku mendongak saat mengenali suara siapa yang masuk. Pria tampan yang sudah membersamaiku selama tiga bulan itu berjalan mendekatiku seraya tersenyum manis. Senyuman yang selalu kurindukan."Apaan sih, panggil ibu segala. Emangnya aku dah tua!" gurauku, seraya berdiri menyambutnya."Jangan terlalu capek," ucapnya penuh perhatian seraya memeluk dan mengecup pucuk kepalaku."Iya, tapi aku gak suka dipanggil ibu sama kamu," jawabku, merenggangkan pelukan dan pura-pura merajuk di depannya."Kan sekarang kamu atasanku, Dek." Mas Juna menoel hidungku."Kata siapa?""Kata Mas 'lah, dan itu fakta. Kamu posisinya di atas Mas sekarang.""Itu 'kan menurut, Mas. Kalau menurut aku, lebih asik yang di bawah," bisikku sengaja menggoda."Apa itu?" Mas Juna mengernyit. "Mau nggoda Mas kamu, ya?!" Tangannya kembali menarikku lebih dekat dengannya."Apa, sih. Enggak kok!" Tanganku bergerak melingkar pada pundaknya."Kalau gak ingat ini di kantor, sudah aku lahap kamu!""Lahap aja. Boleh, kok.""Kamu nan
"Wulan juga tidak tahu, Paman. Kata Mas Juna, Hanum pernah bilang kalau ayahnya masih saudara sama pemilik perusahaan ini. Barangkali itu memang benar, Paman."Paman Bamantara nampak berpikir. "Eum ... Sepertinya gak ada, Lan. Almarhum ayahmu tidak pernah cerita sama Paman.""Gitu ya.""Untuk memastikan, kamu bisa lihat di biodata Hanum. Di sana pasti ada nama ayah dan alamatnya," celetuk Adnan yang sejak tadi banyak diamnya."Iya juga. Ya sudah, aku minta biodatanya dong, Nan," pintaku yang langsung diangguki olehnya. Detik berikutnya Adnan menghubungi seseorang, dan tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu."Masuk!" ucap Adnan.Seorang bapak-bapak muncul sembari membawa satu map di tangannya."Ini berkas biodata Hanum yang Anda minta, Pak," ucapnya seraya memberikan map itu pada Adnan.Anak Paman Bamantara tersebut pun meraihnya seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu, bapak-bapak tadi undur diri."Ini, mungkin bisa membantu rasa penasaranmu." Adnan memberikan map itu padaku
"Seperti yang saya bilang saat acara kemarin, saya akan memberikan sanksi ketika berada di kantor, dan sekarang adalah saatnya," terangku."Gak! Saya gak terima. Ini namanya semena-mena. Jangan mentang-mentang Anda adalah pewaris bisa seenaknya pada karyawan seperti saya.""Kamu tidak lupa dengan semua bukti yang saya miliki bukan? Atau saya perlu beberkan semuanya di sini sekarang?""Memangnya bukti apa yang kamu miliki. Saya sudah bekerja hampir tiga tahun di perusahaan ini, sedangkan kamu baru pertama kali. Lalu tiba-tiba menurunkan jabatan saya seenaknya. Aturan macam apa ini!""Dengar, Bu Hanum. Saya dan staf lainnya sudah lama melihat gelagat Anda, hanya saja kami sengaja menunggu sampai di mana Anda mengehentikan kecurangan Anda dalam bekerja. Bukannya berubah, ternyata Anda semakin menjadi. Terpaksa kami harus melakukan tindakan seperti ini." Kali ini Adnan yang berujar tegas."Tapi tidak bisa mendadak seperti ini dong, Pak. Paling tidak saya mendapat teguran terlebih dahulu a
Keesokan paginya, aku sudah dalam perjalanan menuju kantor. Meski rasa mual masih kerap datang, aku tetap bertekad karena sudah sangat berniat untuk mulai menyibukkan diri di kantor. Lagian, aku sudah kadung janji sama Adnan dan Paman Bamantara."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Juna di sela-sela fokusnya mengemudi."Yakin, Mas," jawabku mantap. Aku yang duduk di sebelahnya melirik sekilas padanya untuk melihat ekspresi wajahnya. "Kenapa, Mas?""Gak pa-pa, Dek. Memangnya kamu gak malu punya suami cuma karyawan biasa?""Gak. Kenapa malu? Mas Juna kan kerjanya halal."Kulihat pria tampan di sampingku itu menghela napas."Kenapa, Mas? Atau jangan-jangan kamu yang gak nyaman dengan keberadaanku yang menjabat sebagai CEO?"Sontak pertanyaanku membuat Mas Juna menoleh sekilas padaku."Kok kamu mikirnya gitu sih, Dek? Demi Allah, Mas gak pernah berpikir seperti itu.""Ha ha ha, muka Mas Juna lucu. Wulan cuma bercanda, Mas,' kelakarku untuk mencairkan suasana."Ish! Kamu ini ya, Dek. Awas ya ....
Dia terkekeh. "Gak. Masa remaja Mas gak ada waktu buat pacaran. Apalagi sejak bapak meninggal, Mas sibuk bantu ibu mencari uang dan belajar. Mas punya mimpi sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses biar ibu gak perlu lagi capek cari uang. Alhamdulillah Mas bisa dapat beasiswa saat SMA dan perguruan tinggi sehingga Mas bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang lumayan.""Terus, kenapa Mas bisa dekat sama Mbak Hanum? Malah aku perhatikan Mas begitu nurut sama dia. Bahkan terkesan sangat percaya sama dia. Mas sebenarnya suka ya sama dia? Secara, Mbak Hanum 'kan cantik dan seksi." Aku melepaskan pelukan karena kesal sendiri.Lagi-lagi Mas Juna tertawa melihat tingkahku."Itu karena Mas punya hutang budi yang banyak sama Hanum dan keluarganya.""Hutang budi apa?" Aku menoleh padanya."Banyak. Mulai dari pergaulan, pekerjaan dan lainnya. Berkat Hanum Mas gak lagi mendapat perlakuan kasar di sekolah. Keluarganya juga membantu Mas mencarikan pekerjaan. Termasuk membantu Mas masuk ke perusaha
"Sepertinya itu ide yang bagus, Mbak. Mungkin aku akan mempertimbangkannya," ucapku kemudian, seraya melirik Mas Juna yang menghela napas."Gitu dong. Jadi perempuan gak usah sok."Aku tak lagi mempedulikan Hanum yang terus ngoceh di seberang sana. Fokusku teralihkan oleh pergerakan suamiku yang tiba-tiba menjadi salah tingkah karena terus aku pandangi.Hingga panggilan diakhiri sepihak oleh Hanum, aku masih memperhatikan wajahnya."Kenapa sih, Dek?" Mas Juna membuka suaranya beberapa saat setelah aku selesai telepon. "Nih apelnya dah selesai Mas potong. Dimakan ya." Ia meletakkan potongan buah yang sudah tersaji di atas piring kecil, tepat di depanku."Mas ...." panggilku penuh arti.Lelaki dengan alis tebal itu kembali menghela napasnya, seakan mengerti bahwa panggilanku menuntut penjelasan."Makanlah dulu, setelah itu kita bicara di kamar." Mas Juna mengelus lembut pucuk kepalaku, kemudian mulai mengambil sarapan dan menyantapnya.Sementara aku yang memang tak berselera hanya bisa
"Eummm ... Mungkin. Meskipun hati kecil Mas sebenarnya sangat percaya padamu. Hanya saja, Mas memang merasa aneh ketika ada seorang pria yang rela mengeluarkan uang banyak untukmu. Mas cemburu, dan Mas merasa gagal menjadi suami. Untuk sekedar perawatan saja, kamu harus meminta bantuan orang lain." Kali ini Mas Juna menunduk. Kini bergantian aku yang menangkupkan tangan mengangkat wajahnya."Mas gak gagal, tapi aku yang gak tahu diri. Niatnya mau nyenengin kamu dengan melakukan perawatan diam-diam, tapi malah jadi begini." Aku menghela napas panjang."Berarti akar masalahnya adalah kurangnya komunikasi di antara kalian." Tiba-tiba suara ibu menyela dari samping. Wanita paruh baya yang masih segar bugar itu mendekat, kemudian berdiri di sisi kiri Mas Juna."Menyatukan dua hati yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda memang tidak mudah. Apalagi kalian menikah melalui jalan ta'aruf yang tentunya belum begitu memahami satu sama lainnya. Kalau sudah begitu, komunikasi adalah jembatan
"Kamu kenapa, Jun? Kenapa kamu tidur masih menggunakan dasi?" tanya ibu. Nadanya terdengar bingung.Alih-alih menjawab pertanyaan ibu, Mas Juna justru berjalan gontai menaiki tangga tanpa mempedulikan aku dan ibu yang memperhatikannya.Ku pandangi punggung lelaki yang menjadi imamku dua bulan ini menyusuri tangga. Seperti ada yang menghimpit, seketika dadaku terasa sesak melihat sikapnya. Namun, sebisa mungkin aku terlihat biasa saja di depan ibu. Bukan karena aku merasa tidak bersalah, tetapi aku ingin pelan-pelan saja menjelaskan semuanya pada ibu. Semoga saja ibu mau mengerti dan tetap menyayangiku."Nduk," panggilan ibu yang lembut seketika membuatku teralihkan. "Mau sarapan dulu atau menunggu Juna?" lanjutnya.Bimbang. Aku tak tahu harus bagaimana. Ingin menyusul ke atas sebenarnya, tetapi ada keraguan dalam hati. Khawatir kembali mendapat penolakan."Lebih baik kita sarapan dulu. Kamu harus ingat janin yang ada di perut kamu, ya. Ayok Ibu temenin," ucap ibu seolah mengerti kerag