Share

Bab 7

Author: NingrumAza
last update Last Updated: 2025-01-22 18:52:28

Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.

Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya.

"Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi.

"Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya.

"Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung.

"Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.

Cup.

Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you ..."

Entah bagaimana reaksinya saat mendapat serangan tiba-tiba dariku, tapi saat aku melongok dari pintu, kulihat dia tersenyum dan geleng-geleng kepala sambil memandangku. Jari telunjuknya bergerak-gerak ke arahku seolah memberi peringatan, 'awas nanti ya!'

Setelah itu Mas Juna benar-benar masuk ke dalam mobilnya. Saat itulah aku beralih melihat Hanum yang sedang cemberut.

Dia lagi-lagi memandangku dengan tatapan marah. Namun, tatapan itu aku balas dengan jariku yang ditempelkan pada ibu jari membentuk love, atau bahasa kerennya 'Sarangheo.'

***

Pukul sepuluh malam Mas Juna belum juga pulang. Aku telepon nomornya juga tidak aktif. Hatiku mulai gelisah, dihantui hal-hal buruk yang selalu berusaha aku tepis.

Tok! Tok! Tok!

Pintu terdengar diketuk dari luar. Mungkin itu ibu. Aku segera membukanya.

"Belum tidur, Wulan?" tanyanya begitu aku membuka pintu.

"Belum, Bu. Mas Juna belum pulang-pulang. Padahal sudah malam banget loh, Bu. Mana gak ada kabar sama sekali dari siang," sahutku.

Ibu tersenyum lalu menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam kamarku. Duduk di tepian ranjang, ibu memberi tahu sesuatu padaku.

"Tadi ada yang ngabarin ibu kalau Juna malam ini lembur. Mungkin pulangnya akan larut."

"Siapa yang ngabarin, Bu? Kok Mas Juna gak ngabarin Wulan?"

"Ibu juga gak tahu, Lan. Nomornya baru, belum tersimpan di handphone ibu."

Ragu, aku ingin melihat nomor yang menghubungi ibu, tapi gak enak mau bilang.

"Ini, coba kamu lihat saja sendiri, siapa tahu kamu kenal dengan nomor itu." Seolah tahu apa yang aku pikirkan, ibu memberikan handphone-nya padaku.

"Sebentar aku lihat dulu, Bu." Aku meraih handphone itu lalu melihat aplikasi warna hijau untuk melihat nomor yang sudah menghubungi ibu.

Nomornya memang tak ada nama apapun, hanya ada emot cium sebagai tanda pengenalnya. Sementara foto profilnya tidak ada. Siapa ya?

"Boleh aku menelponnya, Bu? Aku cuma ingin memastikan saja bahwa ini memang rekan kerja Mas Juna." Aku penasaran dengan nomor ini.

"Boleh, telepon saja."

Aku segera menekan tombol panggil di dekat nomor itu. Di detik berikutnya foto yang semula kosong mendadak muncul sebuah gambar yang sukses membuatku mematung.

Hanum!

"Bukankah ini foto Mbak Hanum, Bu?" Aku memperlihatkan gambar profil yang mendadak muncul.

Ibu lantas mencondongkan badannya untuk melihat gambar profinya. "Iya, itu Hanum. itu nomor yang kasih tau kalau Juna lembur?" ucap ibu balik bertanya.

"Iya, Bu. Kok Mbak Hanum bisa tau kalau Mas Juna lembur?"

"Mungkin mereka satu kantor, Lan." Ibu juga tampak bingung. "Biar ibu yang telepon," imbuhnya, mengambil alih handphone lalu melakukan panggilan.

Cukup lama ibu menempelkan benda pipih itu pada pipinya, tetapi sepertinya tak ada jawaban.

"Gak diangkat, Lan," ucap ibu sembari memandang handphone-nya.

"Ya udah gak pa-pa, Bu. Mungkin mereka memang lagi sibuk. Nanti kalau sudah waktunya pulang, Mas Juna juga pulang, kok. Ibu istirahat aja. Dah malem." Aku memperlihatkan senyuman seolah tidak merasa apa-apa agar ibu tenang.

"Ya sudah kalau begitu. Kamu juga istirahat, ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban. Lalu ibu pun keluar dari kamarku.

Setelah memastikan ibu benar-benar tak terlihat, aku kembali menghubungi nomor Mas Juna, tetapi lagi-lagi tak ada respon.

Ah, pikiranku mulai kacau sekarang. Masa iya di pernikahan yang baru dua bulan ini aku sudah diselingkuhin? Kan gak lucu. Tapi, semoga Mas Juna gak melakukan hal bodoh itu. Ya, aku harus berpikir positif.

Saat aku sedang memikirkan nasib pernikahanku, handphone di tanganku bergetar. Aku terlonjak, seketika melihat siapa yang menghubungi, berharap itu adalah suamiku. Namun, nyatanya itu bukanlah dia, melainkan sebuah nomor yang aku beri nama 'Paman' yang menghubungiku.

Aku menghela napas pelan. Sejujurnya aku malas untuk mengangkat teleponnya, tetapi aku tidak bisa mengelak terus menerus. Apalagi aku memang sudah sering mengabaikannya.

"Assalamualaikum, Nona," sapanya, begitu aku menjawab panggilan.

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 8

    "Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 9

    "Astaghfirullah ... Apa ini?" Aku masih mengamati satu persatu foto yang mirip seperti Mas Juna sedang merangkul seorang wanita berpakaian kurang bahan di sebuah bar. Sekilas wajah wanita itu mirip dengan Hanum, dan dari pakaian si lelaki memang warnanya mirip dengan yang dikenakan Mas Juna barusan. Hanya saja ...Seketika satu sudut bibirku terangkat. Mungkin dia kira aku bodoh. Dasar amatir!Derit pintu kamar mandi mengalihkan perhatianku. Mas Juna tampak segar dengan rambut basah dan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya membuatku terpaku."Mas belum shalat isya, Dek. Sabar, ya!" celetuk Mas Juna membuatku terkesiap."Ah, apaan, sih. Ya udah sana shalat. Aku udah, tuh," sahutku salah tingkah."Siapa yang ajak kamu, orang Mas cuma kasih tau, kok." Sambil memakai sarung Mas Juna menimpali.Aku pura-pura menunduk sambil bermain ponsel. Nyatanya mataku ini masih curi-curi pandang ke arah suami tampanku yang kini sudah rapi dengan baju koko dan peci di kepalanya. La

    Last Updated : 2025-02-06
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 10

    "Ya, kecuali. Kecuali ... Kalau aku juga jadi menantu Tante. Bukankah seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu, Tan?" Uhukkk! Ibu terbatuk. Mungkin beliau juga kaget sama sepertiku dengan pernyataan Hanum yang aneh itu. Huh! Bilang aja mau jadi pel4kor. "Assalamualaikum ..." Terdengar suara pria tercintaku mengucap salam. Aku segera muncul sebelum jailangkung itu mendahuluiku. "Wa'alaikumsalam, Mas ..." Aku berjalan cepat meraih telapak tangan Mas Juna dan menciumnya dengan ta'zim, lalu berdiri sedikit mencondongkan kepala sebagai isyarat untuk Mas Juna mengecup keningku. Tak kupedulikan tanggapan ibu apalagi Hanum. Cup. Yesss! Alhamdulillah, Mas Juna mengerti bahasa isyaratku. "Eh, ada Hanum juga, ya." Mas Juna nampak kaget melihat sahabatnya itu sudah duduk bersama ibu di pagi buta seperti ini. Mas Juna lalu menyalami ibu, dan tentu saja Hanum sudah menyodorkan tangannya berharap suamiku ini juga akan menyalaminya. "Eits!" Aku menepuk lengan Mas Ju

    Last Updated : 2025-02-07
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 11

    "Gak u--""Udah terima aja, Mas. Mbak Hanum pasti di rumah sudah mencicipi ini sebelumnya. Sudah siang loh, Mas juga belum mandi. Kalau berdebat terus kapan kelarnya. Iya 'kan, Mbak? Makasih loh," ucapku memotong ucapan Mas Juna sambil tersenyum pada Hanum, lalu mengambil piring berisi omelette milik Hanum dan memberikannya pada Mas Juna."Ya udah, deh, makasih ya, Num." Akhirnya Mas Juna memakan sarapannya."Kalian, ini. Seperti anak kecil saja." Ibu hanya geleng-geleng kepala.Sedangkan aku? Aku juga menyantap omelette pemberian sahabat suamiku dengan riang gembira.Kok rasa omelette-nya mirip punya abang-abang di ujung gang sana ya? Katanya bikin sendiri. Ah, sudahlah, yang penting hari ini aku jadi gak capek masak. Makasih ya, sahabat suamiku.***"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Udah pulang, Mas?" Aku menyambut Mas Juna yang hari ini pulang tepat waktu. Tak lupa mencium tangannya dengan takzim dan mengambil alih tas kerjanya."Iya, Dek. Alhamdulillah gak ada lembur lagi.""Syu

    Last Updated : 2025-02-07
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 12

    "Halo, Nan. Hari ini sibuk gak? Ada yang ingin aku omongin sama kamu. Penting!" Aku langsung menyampaikan keinginanku saat Adnan menerima panggilan teleponku."Harus hari ini, ya? Eum ..." Adnan sepertinya tengah berpikir."Kenapa?" Nada suaraku mulai tak bersahabat. Kemarin-kemarin dia yang memintaku untuk bertemu, tetapi aku tolak karena khawatir identitasku terkuak, sekarang giliran aku yang ingin bertemu dia menolak. Gimana gak kesel coba?"Sebenarnya hari ini saya sangat sibuk. Gak ada banyak waktu untuk keluar, tapi kalau memang Non ada perlu penting, saya akan luangkan waktu. Hanya saja, mungkin beberapa pertemuan penting harus ditunda.""Oh, jadi maksudnya bertemu denganku gak penting, begitu?" "Bukan begitu, Non ....""Ya sudah. Aku saja yang akan datang ke kantor nanti jam sepuluh pagi, pastikan Mas Juna kamu suruh keluar supaya aku gak bertemu dengannya. Kamu tahu 'kan maksudku?""Tentu, Non. Saya akan luangkan waktu jam sepuluh pagi.""Terima kasih, Nan. Assalamualaikum."

    Last Updated : 2025-02-12
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 13

    "Iya, sih. Ibu juga masih kenyang. Ya sudah dibungkus saja."Alhamdulillah ibu menerima usulanku, dan sepertinya tidak karena terpaksa. Aku sedikit lega. Tinggal memikirkan bagaimana caranya aku pamit sama ibu tanpa harus mengatakan yang sebenarnya.Sepertinya aku akan menggunakan nama Lina -teman baikku- sebagai alasannya.Sambil menunggu pesanan bakso selesai dibungkus, aku mengirim pesan pada Lina untuk berpura-pura menelpon dan mengajakku bertemu. Lina setuju-setuju saja karena aku menjanjikan kuota paket data untuk mengisi ponselnya.Tak lama kemudian Lina menelpon."Wulan angkat telepon dulu ya, Bu. Lina menelepon," ucapku sambil memperhatikan ponsel yang tertera foto profil berikut nama Lina."Iya."Lalu aku menerima panggilan itu. "Assalamualaikum, iya, Lin."Lina hanya diam. Tak ada suara apapun yang aku dengar. Ah, Lina gimana sih! "Oh, harus banget ya. Memangnya kamu sakit apa?" ucapku pura-pura menyahuti.Lalu aku diam sejenak berpura-pura tengah mendengarkan perkataan or

    Last Updated : 2025-02-12
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 14

    "Kenapa? Dia cuma pakai masker karena udara di luar panas." Adnan masih membelaku. Kali ini nada bicaranya tegas dan tak terbantah. "Baiklah, maafkan saya, Pak." Hanum akhirnya pergi, meskipun sebelum itu dia masih memberikan tatapan curiga padaku. Aku menghela napas lega. “Nan, kok lama banget sih? Hampir saja dia lepasin maskerku tadi.” Adnan menahan senyum. “Maaf, Non, tadi saya ada meeting mendadak. Tapi, Non juga sih, kenapa gak bilang kalau Hanum harus pergi dulu? Kalau begini kan jadi ribet.” Aku mengerucutkan bibir. “Iya, lupa! Lagipula, aku udah cukup pusing mikirin cara supaya gak ketahuan sama suamiku. Jangan tambahin bebanku, Nan!” Adnan tersenyum kecil sambil mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke, salah saya. Ayo kita ke ruang kerja saya. Tenang, Hanum gak akan ganggu lagi.” Aku mengangguk, mengikuti langkah Adnan menuju lift. Meski sudah sedikit lega, kepalaku masih berdenyut memikirkan kemungkinan buruk. Kalau tadi maskerku benar-benar terlepas, bisa hancur semuan

    Last Updated : 2025-02-14
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 15

    Waktu sudah sore ketika aku pulang ke rumah, karena aku tadi mampir ke rumah Lina dan mengajaknya ke salon untuk melakukan perawatan wajah. Aku harus tampil berbeda saat acara ulang tahun perusahaan nanti. Aku tidak ingin orang-orang seperti Hanum meremehkan diriku.Ternyata Mas Juna belum pulang, padahal sudah pukul setengah lima sore. Tapi tak apa, aku malah jadi tidak harus membuat alasan kenapa aku baru pulang.Aku segera membersihkan diri dan bersiap melaksanakan sholat ashar. Tepat ketika aku selesai berdoa, deru mobil Mas Juna terdengar memasuki halaman. Gegas aku melipat mukena dan bersiap menyambutnya.Namun, lagi-lagi aku dibuat kaget oleh kehadiran Hanum yang ternyata mengikut di belakang Mas Juna. Astaga, kenapa sih dia suka sekali mampir ke sini? Pagi datang, sore datang lagi. Kalau begini terus, tinggal nunggu saja dia muncul siang hari, biar sekalian seperti jadwal minum obat!"Jun, kamu sudah lihat pengumuman tadi, kan? Katanya, bakal ada acara besar pas ulang tahun p

    Last Updated : 2025-02-15

Latest chapter

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 46

    Sementara wajahku sudah terasa memanas. Malu sendiri mendengar pertanyaan Mas Juna. Aku tahu aktivitas apa yang dimaksud olehnya."Boleh dong, Pak. Yang penting pelan saja, ya. Hindari juga aktivitas berat dan jangan sampai kelelahan. Olahraga ringan seperti jalan kaki boleh dilakukan.""Alhamdulillah." Kudengar Mas Juna bergumam. Dan hal itu kembali membuat Dokter mengulas senyum."Dukungan emosional dari suami juga penting ya, Pak. Ibu hamil sering mengalami perubahan hormon yang bisa mempengaruhi suasana hati. Jadi, bersikap sabar dan memberikan perhatian lebih sangat membantu, ya. Jangan terlalu memaksakan istri seandainya sedang dalam keadaan lemas. Karena jika dipaksakan akibatnya bisa berbahaya," pesan dokter lagi. Aku masih diam karena Mas Juna sepertinya terlihat antusias menanggapi setiap yang diucapkan dokter."Tanda-tanda bahaya seperti apa dan apa yang harus kami lakukan, Dok?" Mas Juna kembali bertanya. Wajahnya serius menyimak penjelasan."Jika terjadi perdarahan, nyer

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 45

    Aku mendongak saat mengenali suara siapa yang masuk. Pria tampan yang sudah membersamaiku selama tiga bulan itu berjalan mendekatiku seraya tersenyum manis. Senyuman yang selalu kurindukan."Apaan sih, panggil ibu segala. Emangnya aku dah tua!" gurauku, seraya berdiri menyambutnya."Jangan terlalu capek," ucapnya penuh perhatian seraya memeluk dan mengecup pucuk kepalaku."Iya, tapi aku gak suka dipanggil ibu sama kamu," jawabku, merenggangkan pelukan dan pura-pura merajuk di depannya."Kan sekarang kamu atasanku, Dek." Mas Juna menoel hidungku."Kata siapa?""Kata Mas 'lah, dan itu fakta. Kamu posisinya di atas Mas sekarang.""Itu 'kan menurut, Mas. Kalau menurut aku, lebih asik yang di bawah," bisikku sengaja menggoda."Apa itu?" Mas Juna mengernyit. "Mau nggoda Mas kamu, ya?!" Tangannya kembali menarikku lebih dekat dengannya."Apa, sih. Enggak kok!" Tanganku bergerak melingkar pada pundaknya."Kalau gak ingat ini di kantor, sudah aku lahap kamu!""Lahap aja. Boleh, kok.""Kamu nan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 44

    "Wulan juga tidak tahu, Paman. Kata Mas Juna, Hanum pernah bilang kalau ayahnya masih saudara sama pemilik perusahaan ini. Barangkali itu memang benar, Paman."Paman Bamantara nampak berpikir. "Eum ... Sepertinya gak ada, Lan. Almarhum ayahmu tidak pernah cerita sama Paman.""Gitu ya.""Untuk memastikan, kamu bisa lihat di biodata Hanum. Di sana pasti ada nama ayah dan alamatnya," celetuk Adnan yang sejak tadi banyak diamnya."Iya juga. Ya sudah, aku minta biodatanya dong, Nan," pintaku yang langsung diangguki olehnya. Detik berikutnya Adnan menghubungi seseorang, dan tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu."Masuk!" ucap Adnan.Seorang bapak-bapak muncul sembari membawa satu map di tangannya."Ini berkas biodata Hanum yang Anda minta, Pak," ucapnya seraya memberikan map itu pada Adnan.Anak Paman Bamantara tersebut pun meraihnya seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu, bapak-bapak tadi undur diri."Ini, mungkin bisa membantu rasa penasaranmu." Adnan memberikan map itu padaku

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 43

    "Seperti yang saya bilang saat acara kemarin, saya akan memberikan sanksi ketika berada di kantor, dan sekarang adalah saatnya," terangku."Gak! Saya gak terima. Ini namanya semena-mena. Jangan mentang-mentang Anda adalah pewaris bisa seenaknya pada karyawan seperti saya.""Kamu tidak lupa dengan semua bukti yang saya miliki bukan? Atau saya perlu beberkan semuanya di sini sekarang?""Memangnya bukti apa yang kamu miliki. Saya sudah bekerja hampir tiga tahun di perusahaan ini, sedangkan kamu baru pertama kali. Lalu tiba-tiba menurunkan jabatan saya seenaknya. Aturan macam apa ini!""Dengar, Bu Hanum. Saya dan staf lainnya sudah lama melihat gelagat Anda, hanya saja kami sengaja menunggu sampai di mana Anda mengehentikan kecurangan Anda dalam bekerja. Bukannya berubah, ternyata Anda semakin menjadi. Terpaksa kami harus melakukan tindakan seperti ini." Kali ini Adnan yang berujar tegas."Tapi tidak bisa mendadak seperti ini dong, Pak. Paling tidak saya mendapat teguran terlebih dahulu a

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 42

    Keesokan paginya, aku sudah dalam perjalanan menuju kantor. Meski rasa mual masih kerap datang, aku tetap bertekad karena sudah sangat berniat untuk mulai menyibukkan diri di kantor. Lagian, aku sudah kadung janji sama Adnan dan Paman Bamantara."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Juna di sela-sela fokusnya mengemudi."Yakin, Mas," jawabku mantap. Aku yang duduk di sebelahnya melirik sekilas padanya untuk melihat ekspresi wajahnya. "Kenapa, Mas?""Gak pa-pa, Dek. Memangnya kamu gak malu punya suami cuma karyawan biasa?""Gak. Kenapa malu? Mas Juna kan kerjanya halal."Kulihat pria tampan di sampingku itu menghela napas."Kenapa, Mas? Atau jangan-jangan kamu yang gak nyaman dengan keberadaanku yang menjabat sebagai CEO?"Sontak pertanyaanku membuat Mas Juna menoleh sekilas padaku."Kok kamu mikirnya gitu sih, Dek? Demi Allah, Mas gak pernah berpikir seperti itu.""Ha ha ha, muka Mas Juna lucu. Wulan cuma bercanda, Mas,' kelakarku untuk mencairkan suasana."Ish! Kamu ini ya, Dek. Awas ya ....

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 41

    Dia terkekeh. "Gak. Masa remaja Mas gak ada waktu buat pacaran. Apalagi sejak bapak meninggal, Mas sibuk bantu ibu mencari uang dan belajar. Mas punya mimpi sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses biar ibu gak perlu lagi capek cari uang. Alhamdulillah Mas bisa dapat beasiswa saat SMA dan perguruan tinggi sehingga Mas bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang lumayan.""Terus, kenapa Mas bisa dekat sama Mbak Hanum? Malah aku perhatikan Mas begitu nurut sama dia. Bahkan terkesan sangat percaya sama dia. Mas sebenarnya suka ya sama dia? Secara, Mbak Hanum 'kan cantik dan seksi." Aku melepaskan pelukan karena kesal sendiri.Lagi-lagi Mas Juna tertawa melihat tingkahku."Itu karena Mas punya hutang budi yang banyak sama Hanum dan keluarganya.""Hutang budi apa?" Aku menoleh padanya."Banyak. Mulai dari pergaulan, pekerjaan dan lainnya. Berkat Hanum Mas gak lagi mendapat perlakuan kasar di sekolah. Keluarganya juga membantu Mas mencarikan pekerjaan. Termasuk membantu Mas masuk ke perusaha

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 40

    "Sepertinya itu ide yang bagus, Mbak. Mungkin aku akan mempertimbangkannya," ucapku kemudian, seraya melirik Mas Juna yang menghela napas."Gitu dong. Jadi perempuan gak usah sok."Aku tak lagi mempedulikan Hanum yang terus ngoceh di seberang sana. Fokusku teralihkan oleh pergerakan suamiku yang tiba-tiba menjadi salah tingkah karena terus aku pandangi.Hingga panggilan diakhiri sepihak oleh Hanum, aku masih memperhatikan wajahnya."Kenapa sih, Dek?" Mas Juna membuka suaranya beberapa saat setelah aku selesai telepon. "Nih apelnya dah selesai Mas potong. Dimakan ya." Ia meletakkan potongan buah yang sudah tersaji di atas piring kecil, tepat di depanku."Mas ...." panggilku penuh arti.Lelaki dengan alis tebal itu kembali menghela napasnya, seakan mengerti bahwa panggilanku menuntut penjelasan."Makanlah dulu, setelah itu kita bicara di kamar." Mas Juna mengelus lembut pucuk kepalaku, kemudian mulai mengambil sarapan dan menyantapnya.Sementara aku yang memang tak berselera hanya bisa

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 39

    "Eummm ... Mungkin. Meskipun hati kecil Mas sebenarnya sangat percaya padamu. Hanya saja, Mas memang merasa aneh ketika ada seorang pria yang rela mengeluarkan uang banyak untukmu. Mas cemburu, dan Mas merasa gagal menjadi suami. Untuk sekedar perawatan saja, kamu harus meminta bantuan orang lain." Kali ini Mas Juna menunduk. Kini bergantian aku yang menangkupkan tangan mengangkat wajahnya."Mas gak gagal, tapi aku yang gak tahu diri. Niatnya mau nyenengin kamu dengan melakukan perawatan diam-diam, tapi malah jadi begini." Aku menghela napas panjang."Berarti akar masalahnya adalah kurangnya komunikasi di antara kalian." Tiba-tiba suara ibu menyela dari samping. Wanita paruh baya yang masih segar bugar itu mendekat, kemudian berdiri di sisi kiri Mas Juna."Menyatukan dua hati yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda memang tidak mudah. Apalagi kalian menikah melalui jalan ta'aruf yang tentunya belum begitu memahami satu sama lainnya. Kalau sudah begitu, komunikasi adalah jembatan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 38

    "Kamu kenapa, Jun? Kenapa kamu tidur masih menggunakan dasi?" tanya ibu. Nadanya terdengar bingung.Alih-alih menjawab pertanyaan ibu, Mas Juna justru berjalan gontai menaiki tangga tanpa mempedulikan aku dan ibu yang memperhatikannya.Ku pandangi punggung lelaki yang menjadi imamku dua bulan ini menyusuri tangga. Seperti ada yang menghimpit, seketika dadaku terasa sesak melihat sikapnya. Namun, sebisa mungkin aku terlihat biasa saja di depan ibu. Bukan karena aku merasa tidak bersalah, tetapi aku ingin pelan-pelan saja menjelaskan semuanya pada ibu. Semoga saja ibu mau mengerti dan tetap menyayangiku."Nduk," panggilan ibu yang lembut seketika membuatku teralihkan. "Mau sarapan dulu atau menunggu Juna?" lanjutnya.Bimbang. Aku tak tahu harus bagaimana. Ingin menyusul ke atas sebenarnya, tetapi ada keraguan dalam hati. Khawatir kembali mendapat penolakan."Lebih baik kita sarapan dulu. Kamu harus ingat janin yang ada di perut kamu, ya. Ayok Ibu temenin," ucap ibu seolah mengerti kerag

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status