"Halo, Nan. Hari ini sibuk gak? Ada yang ingin aku omongin sama kamu. Penting!" Aku langsung menyampaikan keinginanku saat Adnan menerima panggilan teleponku."Harus hari ini, ya? Eum ..." Adnan sepertinya tengah berpikir."Kenapa?" Nada suaraku mulai tak bersahabat. Kemarin-kemarin dia yang memintaku untuk bertemu, tetapi aku tolak karena khawatir identitasku terkuak, sekarang giliran aku yang ingin bertemu dia menolak. Gimana gak kesel coba?"Sebenarnya hari ini saya sangat sibuk. Gak ada banyak waktu untuk keluar, tapi kalau memang Non ada perlu penting, saya akan luangkan waktu. Hanya saja, mungkin beberapa pertemuan penting harus ditunda.""Oh, jadi maksudnya bertemu denganku gak penting, begitu?" "Bukan begitu, Non ....""Ya sudah. Aku saja yang akan datang ke kantor nanti jam sepuluh pagi, pastikan Mas Juna kamu suruh keluar supaya aku gak bertemu dengannya. Kamu tahu 'kan maksudku?""Tentu, Non. Saya akan luangkan waktu jam sepuluh pagi.""Terima kasih, Nan. Assalamualaikum."
"Iya, sih. Ibu juga masih kenyang. Ya sudah dibungkus saja."Alhamdulillah ibu menerima usulanku, dan sepertinya tidak karena terpaksa. Aku sedikit lega. Tinggal memikirkan bagaimana caranya aku pamit sama ibu tanpa harus mengatakan yang sebenarnya.Sepertinya aku akan menggunakan nama Lina -teman baikku- sebagai alasannya.Sambil menunggu pesanan bakso selesai dibungkus, aku mengirim pesan pada Lina untuk berpura-pura menelpon dan mengajakku bertemu. Lina setuju-setuju saja karena aku menjanjikan kuota paket data untuk mengisi ponselnya.Tak lama kemudian Lina menelpon."Wulan angkat telepon dulu ya, Bu. Lina menelepon," ucapku sambil memperhatikan ponsel yang tertera foto profil berikut nama Lina."Iya."Lalu aku menerima panggilan itu. "Assalamualaikum, iya, Lin."Lina hanya diam. Tak ada suara apapun yang aku dengar. Ah, Lina gimana sih! "Oh, harus banget ya. Memangnya kamu sakit apa?" ucapku pura-pura menyahuti.Lalu aku diam sejenak berpura-pura tengah mendengarkan perkataan or
"Kenapa? Dia cuma pakai masker karena udara di luar panas." Adnan masih membelaku. Kali ini nada bicaranya tegas dan tak terbantah. "Baiklah, maafkan saya, Pak." Hanum akhirnya pergi, meskipun sebelum itu dia masih memberikan tatapan curiga padaku. Aku menghela napas lega. “Nan, kok lama banget sih? Hampir saja dia lepasin maskerku tadi.” Adnan menahan senyum. “Maaf, Non, tadi saya ada meeting mendadak. Tapi, Non juga sih, kenapa gak bilang kalau Hanum harus pergi dulu? Kalau begini kan jadi ribet.” Aku mengerucutkan bibir. “Iya, lupa! Lagipula, aku udah cukup pusing mikirin cara supaya gak ketahuan sama suamiku. Jangan tambahin bebanku, Nan!” Adnan tersenyum kecil sambil mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke, salah saya. Ayo kita ke ruang kerja saya. Tenang, Hanum gak akan ganggu lagi.” Aku mengangguk, mengikuti langkah Adnan menuju lift. Meski sudah sedikit lega, kepalaku masih berdenyut memikirkan kemungkinan buruk. Kalau tadi maskerku benar-benar terlepas, bisa hancur semuan
Waktu sudah sore ketika aku pulang ke rumah, karena aku tadi mampir ke rumah Lina dan mengajaknya ke salon untuk melakukan perawatan wajah. Aku harus tampil berbeda saat acara ulang tahun perusahaan nanti. Aku tidak ingin orang-orang seperti Hanum meremehkan diriku.Ternyata Mas Juna belum pulang, padahal sudah pukul setengah lima sore. Tapi tak apa, aku malah jadi tidak harus membuat alasan kenapa aku baru pulang.Aku segera membersihkan diri dan bersiap melaksanakan sholat ashar. Tepat ketika aku selesai berdoa, deru mobil Mas Juna terdengar memasuki halaman. Gegas aku melipat mukena dan bersiap menyambutnya.Namun, lagi-lagi aku dibuat kaget oleh kehadiran Hanum yang ternyata mengikut di belakang Mas Juna. Astaga, kenapa sih dia suka sekali mampir ke sini? Pagi datang, sore datang lagi. Kalau begini terus, tinggal nunggu saja dia muncul siang hari, biar sekalian seperti jadwal minum obat!"Jun, kamu sudah lihat pengumuman tadi, kan? Katanya, bakal ada acara besar pas ulang tahun p
"Gampang itu. Aku dah minta izin, kok.""Apa?" Mata Lina memicing. "Jangan bilang alasannya nemenin aku sakit lagi, ya! Aku gak mau sandiwara terus, Wulan. Capek tau!" "Hahaha, enggak kok. Kali ini aku bilang mau nemenin kamu belanja. Tadi aku juga dah kirim foto ke Mas Juna saat kita di kafe. Jadi dia gak akan tanya macam-macam lagi sama kamu."Aku jadi geli sendiri mengingat kemarin Lina ditelpon Mas Juna saat aku pamit menjenguk Lina yang sakit. Dia jadi harus putar otak agar sandiwaraku tak terbongkar."Bener, ya! Awas kalau suamimu telpon aku lagi.""Iya! Lagian kalau telpon, kamu tinggal bilang iya. Gampang kan?""Huh ... Dasar! Eh, ngomong-ngomong ...." Lina mendekati telingaku dan kembali berbisik, "Biayanya pasti mahal. Aku mana ada duit buat bayarnya."Oalah ... Jadi itu alasan yang sebenarnya Lina tampak keberatan dengan treatment yang aku ambil.Aku tersenyum dan ikut berbisik padanya, "Tenang saja, aku yang traktir.""Beneran ya! Makasih ..." Lina berseru gembira seraya
Aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat saat Hanum masih berdiri di depanku dengan tatapan curiga.Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku merogoh tas dan melihat nama Adnan di layar.Adnan telepon, angkat gak ya? bisikku dalam hati. "Wulan, handphone-mu," ucap Lina berbisik.Aku terkesiap. "Ah, iya. Sebentar aku angkat telepon dulu, ya," ucapku."Siapa yang menelepmu? Juna?" tanya Hanum dan aku tak ingin menjawab.Saat aku ingin mengangkat telepon, deringnya berhenti. Dan aku hanya bisa menghela napas."Biar aku yang bayarin. Berapa sih? Kasian banget kamu, Wulan ... Wulan," ejek Hanum.Namun, Hanum terperangah ketika kasir menyebutkan nominal yang harus aku bayarkan. Dia menoleh padaku sambil melotot."Heh! Belagu banget kamu, ya, ambil paket VIP. Mau meras duit Juna, kamu!" omelnya."Bukan aku yang mau bayar, kok, Mbak. Aku ditraktir sama dia," kilahku menunjuk Lina yang seketika gelagapan."Tapi mana? Nyatanya kalian gak bisa bayar kan?! Dasar udik, kampungan! Kalau gak ada duit g
Lina langsung mengantarku sampai halaman rumah. Dan benar saja, roda empat milik suamiku sudah terparkir rapi di sana."Makasih untuk hari ini, ya, Lin, tapi aku gak bisa ajak kamu mampir. Suamiku udah pulang," ucapku."Iya gak pa-pa. Aku juga makasih ya dah diajak treatment hari ini," balasnya."Bukan apa-apa. Ya udah aku masuk dulu, ya.""Oke."Lalu aku keluar dari mobil Lina dan masuk ke dalam rumah setelah mobil Lina tak terlihat.Aku berjalan menuju kamar untuk mencari Mas Juna. Namun, saat kubuka pintunya, kamar sepi dan tak ada siapapun.Aku meletakkan tas di atas meja rias, lalu mendekati pintu kamar mandi untuk mengecek apakah Mas Juna ada dalam atau tidak. Lagi-lagi sepi, tak terdengar sedikitpun gemericik air di sana.Aku berinisiatif ke dapur untuk mencari ibu. Siapa tahu beliau tahu di mana Mas Juna berada sekarang. Namun, di dapur juga sepi. Tak ada ibu atau siapapun di sana.Lalu kakiku melangkah menuju pintu samping yang terhubung pada sebuah taman kecil di samping rum
Hah! Bisa-bisanya Mas Juna berpikir seperti itu padaku. Kurang asem, lagi-lagi ini semua karena Hanum."Oh, jadi Mas lebih percaya pada Mbak Hanum dari pada aku?" Seketika aku mempunyai ide untuk mengalihkan pembahasan. Kini bergantian aku yang memberi tatapan tajam sambil mendorong pelan dada Mas Juna.Dia mengerjap bingung sambil berjalan mundur. "Kenapa jadi kamu yang marah?""Oh jelas. Sejak tadi Mas mendiami aku. Menuduh yang tidak-tidak hanya berdasarkan sebuah foto." Aku terus berjalan sambil menunjuk-nunjuk dadanya."Tapi itu foto benar 'kan? Kamu memang dibayarin sama laki-laki tua itu kan?" Mas Juna berhenti mundur karena membentur dipan. "Kalau iya emang kenapa? Apa karena hal itu, lantas Mas berhak menuduh istrimu ini simpanan om-om?" Aku terus mendekat sampai Mas Juna jatuh terlentang di atas kasur.Tak mau kalah, aku pun menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Kini kami saling bertindihan dengan mukena yang masih melekat di badanku sambil memandang satu sama lain."Apa setia
Mataku terpejam, menahan geram dan keinginan untuk merobek mulutnya yang tak bertulang itu. Sekuat tenaga aku menetralkan emosi, karena jika aku terpancing, Hanum pasti akan merasa menang. Menarik napas panjang, aku kemudian menatapnya. "Siapa yang piala bergilir ya? Ah, aku jadi teringat cerita tentang seorang wanita yang rela melakukan segala cara, asalkan bisa naik jabatan dan dapat uang jajan setiap bulan. Termasuk menyerahkan kesuciannya." Satu tanganku terangkat memegang janggut seakan tengah berpikir. Sementara wajah Hanum terlihat berubah merah. "Apa maksudmu?!" sentaknya. "Gak ada. Udah, ah. Aku malas meladeni orang yang suka fitnah gak jelas." Setelah itu aku melangkah meninggalkannya begitu saja, kembali ke ballroom. Ketika aku masuk, tepuk tangan semakin meriah. Rupanya MC menyebutkan acara yang selanjutnya yaitu penghargaan khusus untuk karyawan. Sepertinya ini yang mereka tunggu-tunggu. MC mulai menyebutkan kategori apa saja yang akan mendapatkan penghargaan. B
Aku menuruni panggung dengan tenang setelah memberikan pidato singkat tadi. Adnan mengiringiku hingga kembali ke tempat dudukku, lalu berbisik pelan, “Kamu pasti akan menghadapi banyak pertanyaan setelah ini. Tapi aku yakin kamu sudah siap, kan?” Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Sudah waktunya, bukan?” Adnan mengangguk tipis, lalu duduk di tempatnya. Ponselku kembali bergetar. Dugaanku itu adalah Mas Juna yang mengirimkan pesan, dan ternyata tebakanku tak meleset. [Wulan.] [Ya, Mas ] kali ini aku langsung membalasnya [Kita perlu bicara sekarang] [Baiklah] Setelah itu aku sedikit menoleh ke belakang. Ekor mataku menangkap Mas Juna melangkah keluar ballroom. Ia meninggalkan Hanum yang masih terpaku di tempatnya. Aku pun mulai beranjak."Mau ke mana?" tanya Adnan."oh, aku mau ke toilet sebentar," jawabku terpaksa berbohong."ya, baiklah."Setelah itu aku benar-benar melangkah menuju balkon.Mas Juna sudah menungguku. Dengan stelan jas hitam senada dengan celana d
Di dalam ballroom, suasana tampak meriah. Para tamu menikmati hidangan dan dekorasi mewah yang menghiasi ruangan. Namun, semua mata tertuju padaku dan Adnan saat kami melangkah. Dadaku berdegup kencang seiring kaki ini melangkah. Keringat dingin mulai membasahi kening. Dapat kurasakan dinginnya telapak tanganku yang basah oleh keringat gerogi. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa berbicara lancar nanti."Halo, Nak. Akhirnya kamu bersedia datang ke sini." Paman Bamantara menghampiriku."Eh, Paman. Apa kabar?" sapaku."Baik, dong. Seperti yang kamu lihat." Paman merentangkan tangannya, menunjukkan bahwa badannya tetap tegap, itu artinya dia sehat meskipun sudah tidak muda lagi.Kemudian aku dan paman ngobrol. Beberapa kolega ayah yang mengenalku juga turut menghampiri dan menyambutku dengan baik.Saat aku tertawa, tak sengaja mataku melihat Mas Juna dan Hanum yang memperhatikan aku dari jarak yang agak jauh. Mungkin mereka heran kenapa aku bisa mengenal para petinggi perusahaan ini.I
"Mas Juna, Hanum." Aku berucap lirih, tak menyangka akan bertemu mereka di sini. Namun, ada hal yang terasa begitu menohok hatiku, ialah Mas Juna yang masih membiarkan Hanum mengapit lengannya, padahal jelas ada aku di depannya."Ouh, rupanya kamu yang datang, Wulan. Gak salah alamat kamu?" Hanum mencibirku dengan gayanya yang tetap angkuh.Aku menyilangkan kedua tangan di atas dada. "Kenapa memangnya?" ucapku tanpa gentar."Ya ampun, Wulan ..." Dia terkekeh, tetapi kekehan itu lebih kepada menghinaku. "Ini acara besar, dan hanya orang-orang penting dan karyawan yang boleh hadir. Memangnya kamu siapa? Bahkan undangannya saja kamu gak punya. Itu artinya kamu gak diterima di sini," sambungnya masih dengan tawa mengejek."Kata siapa? Aku diundang, kok. Justru aku diundang secara khusus di sini."Lagi-lagi Hanum tertawa kecil. "Diundang? Kamu yakin? Jangan-jangan kamu cuma nyelip di mobil orang ya? Atau datang sendiri berharap ada yang kasihan dan ngajak masuk?"Aku menggeram dalam hati,
Seperti hari-hari biasanya, aku membantu ibu membuat sarapan di dapur. Meskipun Mas Juna masih marah, aku tetap melakukan kewajibanku melayani makannya. Namun, saat mencium bau bawang putih, perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Aku berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan dari perut yang belum terisi apa-apa."Ya Allah, Nak. Kalau kamu gak kuat, jangan dipaksakan. Biar Ibu saja yang masak, kamu istirahat saja, ya. Itu pasti bawaan bayi." Ibu dengan lembut mengurut tengkukku agar sedikit lega."Iya, Bu. Maaf ya, perut Wulan mual banget," ucapku sambil menahan rasa tak enak."Iya, gak pa-pa kok. Kamu istirahat saja di kamar."Aku bergeming. Rasanya malas bertemu dengan Mas Juna yang jutek padaku."Istirahat saja di kamar Ibu yang lebih dekat dengan dapur, biar gak perlu naik tangga," ujar ibu seperti tahu kegelisahanku."Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Maaf gak bisa bantu Ibu.""Iya, Sayang. Sama-sama."Setelah itu aku benar-benar masuk ke kamar Ibu dan berbaring di ranjang sampai tak t
"Kamu tahu alasanku kenapa tidak mau melakukan tes DNA, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan mau membahayakan nyawa anakku. Kalau kamu tetap pada pendirianmu itu, terserah. Dan soal laki-laki yang rela mengeluarkan uang demi aku, hari ini juga aku kenalkan siapa dia padamu kalau kamu mau. Aku tidak memintamu untuk percaya padaku, karena apapun yang aku katakan, kamu sulit mempercayainya karena yang ada di pikiran kamu itu cuma perkataan Hanum adalah yang paling benar. Dan aku yakin, semua tuduhanmu itu pasti berdasarkan pemikiran wanita yang berkedok sahabatmu itu! Atau sebenarnya kamu yang ada main dengannya, Mas? Sepertinya apapun yang dia katakan kamu selalu mendukung." Aku balas menudingnya. Aku bahkan seakan tak peduli andai rumah tanggaku akan hancur hari ini. Padahal sebelumnya aku bertekad untuk mempertahankan mahligai cinta yang kami bina baru seumur jagung ini."Jangan memutar balikkan fakta, Wulan. Kau yang berselingkuh kenapa jadi aku yang dituduh?""Sepuluh hari, Mas. Mar
Sekitar pukul tiga siang aku baru sampai di halaman rumah. Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti tengah menungguku."Assalamualaikum, Bu." Kuulurkan tangan menyalami beliau."Waalaikumsalam, Nak," sahutnya sambil menerima uluran tanganku. "Kenapa baru pulang? Ibu khawatir. Telepon Ibu juga gak kamu angkat. Kamu pergi dari pagi loh, Sayang," lanjutnya mencercaku dengan raut wajah yang memang terlihat sedang khawatir."Maaf, Bu. Tadi Wulan mampir ke mall dulu buat ngilangin stres. Dokter bilang ibu hamil gak boleh terlalu banyak pikiran, jadi Wulan jalan-jalan bentar, deh." "Dokter benar, Nak. Tapi kenapa telepon Ibu gak kamu angkat?""Soal itu ... Sebentar." Aku mengambil gadget di dalam tas dan memang betul ada tiga panggilan tak terjawab dari ibu mertuaku. "Maaf, Bu, handphone-nya Wulan silent karena Mas Juna marah-marah gak jelas tadi."Sengaja aku menceritakan yang sebenarnya sama ibu. Bukan bermaksud mengadu, tetapi mulai sekarang aku tidak ingin menyimpan semuanya sendiri
Segera kubuat mimik sesantai mungkin agar dia tak curiga. "Gak, kok. Biasalah, Mas Juna nyuruh aku pulangnya jangan terlalu sore." Aku terpaksa berbohong. "Oh ...." Adnan terlihat mengangguk, kemudian kembali berkata, "Juna pasti beruntung banget ya memiliki kamu, sampai dia begitu menjagamu. Pulang saja diperhatikan." Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul, karena sungguh kenyataan yang sedang kuhadapi tidak seperti penilaiannya. Adnan melirik arloji di tangan kirinya, lalu berpamitan padaku, "Jam istirahat siang sudah habis, aku harus segera kembali ke kantor. Tapi sebelum itu aku akan mengantarmu." "Tidak usah. Aku masih mau jalan-jalan lagi di sini sebentar. Kamu balik aja, gak pa-pa." "Baiklah, jangan terlalu capek. Wajahmu terlihat pucat." "Iya, aku hanya kelaparan tadi. Setelah makanan yang kumakan dicerna, aku pasti kembali cerah." Dia hanya mengangguk kemudian berdiri. Namun, saat kakinya terayun satu langkah aku menghentikannya. "Adnan." "Iya." Dia kembali menole
Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku