"Juna, jangan bilang dia ini istrimu. Ck! Seleramu rendah sekali!" Sontak aku mendongak kaget mendengar suara nyaring itu. Seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan melangkah mendekat. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya tajam ke arahku. Mas Juna, suamiku, hanya tertawa kecil. "Hanum, jangan bercanda. Wulan ini istriku." "Ah, aku kira kamu masih sendiri." Aku hanya tersenyum meski hati terasa berdesir. Wanita ini siapa? Kenapa memandangku seperti musuh? "Wulan, kenalkan ini sahabat Mas, namanya Hanum," ucap Mas Juna memperkenalkan diriku padanya. Apakah pakaian yang ia kenakan tidak terlalu terbuka untuk sekedar acara reuni sekolah seperti ini? Bagian da danya dibiarkan terekspos, juga lengan mulus hingga keti aknya terlihat jelas. Apa dia tidak masuk angin nantinya memakai pakaian seperti itu? Apalagi malam ini cuacanya cukup dingin. "Hai, Mbak. Namaku Wulan." Aku menyapa terlebih dahulu seraya mengajaknya bersalaman. "Hai," sahutnya sangat singkat. Tangan mul
Acara reuni berlangsung lumayan seru. Ada beberapa sesi acara yang berlangsung meriah. Sambutan lucu dari beberapa angkatan membuat suasana tidak membosankan. Aku yang sama sekali tidak mengenal mereka pun ikut terhibur dan menikmati acara ini.Hingga sekitar pukul dua belas malam lebih sedikit acara usai. Satu persatu sudah lebih dulu pulang terutama mereka yang membawa anak kecil atau yang meninggalkan anaknya di rumah. Namun, beberapa yang masih belum punya momongan seperti aku dan Mas Juna masih betah ngobrol dan berbincang dengan teman mereka jaman dulu, termasuk Hanum. Mungkin dia belum punya momongan juga, atau jangan-jangan dia masih jomblo? Ah, bukan urusanku."Jun, nanti kita mampir ke kafe 24 jam yuk. Sekalian nostalgia. Sekarang makin rame dan seru loh tempatnya." Hanum mengajak suamiku sambil meraih pergelangan tangan Mas Juna.Tidak tahu malu sekali, bahkan di depan banyak orang yang masih mengobrol."Oh ya? Bo--""Mas ..." Aku tak mau kalah dari Hanum. Kupotong ucapan M
"Mas Juna ..." Aku sengaja memanggil Mas Juna untuk melihat bagaimana dia akan menyikapi hal ini.Suamiku ini sepertinya kebingungan. Dia menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal.Thin. Thin!Bunyi klakson terdengar dari belakangku. Aku menoleh, pun dengan Mas Juna dan Hanum."Wulan, dari pada gak dianggap, yuk sama aku aja. Aku tahu rumah Juna, kok." Seseorang yang ternyata Bobi itu sedikit berteriak."Iya, deh." Aku langsung berbalik pura-pura menyetujui ajakan Bobi untuk mengetahui reaksi Mas Juna."Eh, Sayang. Mau ke mana?""Udah biarin aja dia pulang sama Bobi. Kamu sama aku."Seketika ayunan langkahku berhenti mendengar ucapan Hanum. Kurang asem, aku sudah terpancing emosi oleh Hanum. Astaghfirullahal 'adziem."Sayang ..." Mas Juna menyusulku. "Ayuk masuk mobil." Dia meraih tanganku."Gak sebelum Hanum turun," ujarku sedikit ketus."Iya, Sayang. Tadinya juga mau aku suruh turun kok, kamu malah pergi.""Ya udah, buru ..." Aku mencebik manja.Lalu Mas Juna menuntunku kembali me
[Iya, Num, aku mengerti. Maaf aku tidak sengaja. Mungkin karena aku dan Wulan masih pengantin baru.][Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kamu maafin aku 'kan?][Hanum ...]Sepertinya chat Mas Juna tidak terbalas. Yang membuatku merasa aneh, kenapa Mas Juna seperti takut Hanum marah padanya? Ada apa sebenarnya?Huffhh. Aku harus segera menemukan titik terangnya. Untung setelah selesai shalat tahajud aku inisiatif mencabut charger yang masih terhubung dengan ponsel Mas Juna. Dan entah kenapa aku yang biasanya cuek dengan benda pipih ini, sekarang tiba-tiba merasa penasaran untuk membuka. Ternyata Allah ingin menunjukkan hal ini padaku.Oke, fix. Aku harus segera bertanya seberapa jauh persahabatan yang dijalin suamiku dengan wanita itu.Ah, dari pada pikiranku kacau memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik aku nderes saja sambil menunggu subuh, gumamku.Benar saja, setelah mengaji beberapa menit, adzan subuh berkumandang. Kukerjakan sholat qobliyah subuh ketika adzan selesai dan sebe
"Kamu ini ..." Ibu tertawa kecil. "Status sosial kami sangat berbeda, Nduk. Mana mungkin mereka pacaran. Tapi ...""Tapi apa, Bu?" Aku langsung menyela karena ibu menjeda ucapannya."Lagi ngomongin apa, sih? Serius banget." Saat ibu mulai membuka mulutnya tiba-tiba Mas Juna muncul dan ikut menyela."Eh, Mas ... Baru aja aku mau panggil Mas buat sarapan." Aku sedikit gugup, khawatir suamiku ini tahu bahwa aku sedang mencari tahu tentang Hanum."Ini, si Wulan tanya tentang Hanum," sahut ibu."Oh ... Kami baru bertemu tadi malam di acara reuni," ujar Mas Juna seraya duduk di sebelahku, lalu dia memandangku. "Kenapa gak tanya-tanya ke Mas? Hem?""Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma pengen denger versi kamu sama Ibu." Aku nyengir kuda saat menjawabnya."Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja, sekarang kita sarapan dulu, yuk. Sebentar lagi Juna 'kan kerja." Ibu lalu berdiri hendak mengambil piring di dapur, dan segera kucegah."Biar Wulan saja, Bu." Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung berjal
Hanum mencebik, tetapi tak terlihat gerak-gerik akan meninggalkan rumah ini. Dia tetap anteng duduk di tempatnya tanpa menyentuh makanan hasil olahanku.Uhukkk!Tiba-tiba Mas Juna keselek."Minum, Jun. Ya ampun ...." Hanum cekatan mengambilkan segelas air putih untuk Mas Juna, lalu sekaligus membantu meminumkannya.Waw, gercep sekali."Kamu ini gimana, sih! Bisa nyuapin gak? Dasar gak becus! Sini, biar aku aja yang suapin Juna!" Hanum memarahiku kemudian merebut piring yang ada di depan Mas Juna, dan mengambil alih peranku. Padahal Mas Juna sendiri yang meminta aku untuk menyuapinya.Aku sengaja diam untuk mengetahui bagaimana reaksi Mas Juna pada sahabatnya itu. Kalau dia mau-mau saja tanpa mempedulikan aku, artinya aku tidak lebih penting dari si Hanum itu.Aku masih diam terpaku untuk beberapa menit sambil melirik ibu mertua sebentar. Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi beliau."Kamu ini, Jun ... Seperti anak kecil saja disuapin segala." Tiba-tiba ibu bangkit, mendekati Mas Juna y
Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya."Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi."Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya."Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung."Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.Cup. Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you
"Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru
"Gampang itu. Aku dah minta izin, kok.""Apa?" Mata Lina memicing. "Jangan bilang alasannya nemenin aku sakit lagi, ya! Aku gak mau sandiwara terus, Wulan. Capek tau!" "Hahaha, enggak kok. Kali ini aku bilang mau nemenin kamu belanja. Tadi aku juga dah kirim foto ke Mas Juna saat kita di kafe. Jadi dia gak akan tanya macam-macam lagi sama kamu."Aku jadi geli sendiri mengingat kemarin Lina ditelpon Mas Juna saat aku pamit menjenguk Lina yang sakit. Dia jadi harus putar otak agar sandiwaraku tak terbongkar."Bener, ya! Awas kalau suamimu telpon aku lagi.""Iya! Lagian kalau telpon, kamu tinggal bilang iya. Gampang kan?""Huh ... Dasar! Eh, ngomong-ngomong ...." Lina mendekati telingaku dan kembali berbisik, "Biayanya pasti mahal. Aku mana ada duit buat bayarnya."Oalah ... Jadi itu alasan yang sebenarnya Lina tampak keberatan dengan treatment yang aku ambil.Aku tersenyum dan ikut berbisik padanya, "Tenang saja, aku yang traktir.""Beneran ya! Makasih ..." Lina berseru gembira seraya
Waktu sudah sore ketika aku pulang ke rumah, karena aku tadi mampir ke rumah Lina dan mengajaknya ke salon untuk melakukan perawatan wajah. Aku harus tampil berbeda saat acara ulang tahun perusahaan nanti. Aku tidak ingin orang-orang seperti Hanum meremehkan diriku.Ternyata Mas Juna belum pulang, padahal sudah pukul setengah lima sore. Tapi tak apa, aku malah jadi tidak harus membuat alasan kenapa aku baru pulang.Aku segera membersihkan diri dan bersiap melaksanakan sholat ashar. Tepat ketika aku selesai berdoa, deru mobil Mas Juna terdengar memasuki halaman. Gegas aku melipat mukena dan bersiap menyambutnya.Namun, lagi-lagi aku dibuat kaget oleh kehadiran Hanum yang ternyata mengikut di belakang Mas Juna. Astaga, kenapa sih dia suka sekali mampir ke sini? Pagi datang, sore datang lagi. Kalau begini terus, tinggal nunggu saja dia muncul siang hari, biar sekalian seperti jadwal minum obat!"Jun, kamu sudah lihat pengumuman tadi, kan? Katanya, bakal ada acara besar pas ulang tahun p
"Kenapa? Dia cuma pakai masker karena udara di luar panas." Adnan masih membelaku. Kali ini nada bicaranya tegas dan tak terbantah. "Baiklah, maafkan saya, Pak." Hanum akhirnya pergi, meskipun sebelum itu dia masih memberikan tatapan curiga padaku. Aku menghela napas lega. “Nan, kok lama banget sih? Hampir saja dia lepasin maskerku tadi.” Adnan menahan senyum. “Maaf, Non, tadi saya ada meeting mendadak. Tapi, Non juga sih, kenapa gak bilang kalau Hanum harus pergi dulu? Kalau begini kan jadi ribet.” Aku mengerucutkan bibir. “Iya, lupa! Lagipula, aku udah cukup pusing mikirin cara supaya gak ketahuan sama suamiku. Jangan tambahin bebanku, Nan!” Adnan tersenyum kecil sambil mengangkat kedua tangannya. “Oke, oke, salah saya. Ayo kita ke ruang kerja saya. Tenang, Hanum gak akan ganggu lagi.” Aku mengangguk, mengikuti langkah Adnan menuju lift. Meski sudah sedikit lega, kepalaku masih berdenyut memikirkan kemungkinan buruk. Kalau tadi maskerku benar-benar terlepas, bisa hancur semuan
"Iya, sih. Ibu juga masih kenyang. Ya sudah dibungkus saja."Alhamdulillah ibu menerima usulanku, dan sepertinya tidak karena terpaksa. Aku sedikit lega. Tinggal memikirkan bagaimana caranya aku pamit sama ibu tanpa harus mengatakan yang sebenarnya.Sepertinya aku akan menggunakan nama Lina -teman baikku- sebagai alasannya.Sambil menunggu pesanan bakso selesai dibungkus, aku mengirim pesan pada Lina untuk berpura-pura menelpon dan mengajakku bertemu. Lina setuju-setuju saja karena aku menjanjikan kuota paket data untuk mengisi ponselnya.Tak lama kemudian Lina menelpon."Wulan angkat telepon dulu ya, Bu. Lina menelepon," ucapku sambil memperhatikan ponsel yang tertera foto profil berikut nama Lina."Iya."Lalu aku menerima panggilan itu. "Assalamualaikum, iya, Lin."Lina hanya diam. Tak ada suara apapun yang aku dengar. Ah, Lina gimana sih! "Oh, harus banget ya. Memangnya kamu sakit apa?" ucapku pura-pura menyahuti.Lalu aku diam sejenak berpura-pura tengah mendengarkan perkataan or
"Halo, Nan. Hari ini sibuk gak? Ada yang ingin aku omongin sama kamu. Penting!" Aku langsung menyampaikan keinginanku saat Adnan menerima panggilan teleponku."Harus hari ini, ya? Eum ..." Adnan sepertinya tengah berpikir."Kenapa?" Nada suaraku mulai tak bersahabat. Kemarin-kemarin dia yang memintaku untuk bertemu, tetapi aku tolak karena khawatir identitasku terkuak, sekarang giliran aku yang ingin bertemu dia menolak. Gimana gak kesel coba?"Sebenarnya hari ini saya sangat sibuk. Gak ada banyak waktu untuk keluar, tapi kalau memang Non ada perlu penting, saya akan luangkan waktu. Hanya saja, mungkin beberapa pertemuan penting harus ditunda.""Oh, jadi maksudnya bertemu denganku gak penting, begitu?" "Bukan begitu, Non ....""Ya sudah. Aku saja yang akan datang ke kantor nanti jam sepuluh pagi, pastikan Mas Juna kamu suruh keluar supaya aku gak bertemu dengannya. Kamu tahu 'kan maksudku?""Tentu, Non. Saya akan luangkan waktu jam sepuluh pagi.""Terima kasih, Nan. Assalamualaikum."
"Gak u--""Udah terima aja, Mas. Mbak Hanum pasti di rumah sudah mencicipi ini sebelumnya. Sudah siang loh, Mas juga belum mandi. Kalau berdebat terus kapan kelarnya. Iya 'kan, Mbak? Makasih loh," ucapku memotong ucapan Mas Juna sambil tersenyum pada Hanum, lalu mengambil piring berisi omelette milik Hanum dan memberikannya pada Mas Juna."Ya udah, deh, makasih ya, Num." Akhirnya Mas Juna memakan sarapannya."Kalian, ini. Seperti anak kecil saja." Ibu hanya geleng-geleng kepala.Sedangkan aku? Aku juga menyantap omelette pemberian sahabat suamiku dengan riang gembira.Kok rasa omelette-nya mirip punya abang-abang di ujung gang sana ya? Katanya bikin sendiri. Ah, sudahlah, yang penting hari ini aku jadi gak capek masak. Makasih ya, sahabat suamiku.***"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Udah pulang, Mas?" Aku menyambut Mas Juna yang hari ini pulang tepat waktu. Tak lupa mencium tangannya dengan takzim dan mengambil alih tas kerjanya."Iya, Dek. Alhamdulillah gak ada lembur lagi.""Syu
"Ya, kecuali. Kecuali ... Kalau aku juga jadi menantu Tante. Bukankah seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu, Tan?" Uhukkk! Ibu terbatuk. Mungkin beliau juga kaget sama sepertiku dengan pernyataan Hanum yang aneh itu. Huh! Bilang aja mau jadi pel4kor. "Assalamualaikum ..." Terdengar suara pria tercintaku mengucap salam. Aku segera muncul sebelum jailangkung itu mendahuluiku. "Wa'alaikumsalam, Mas ..." Aku berjalan cepat meraih telapak tangan Mas Juna dan menciumnya dengan ta'zim, lalu berdiri sedikit mencondongkan kepala sebagai isyarat untuk Mas Juna mengecup keningku. Tak kupedulikan tanggapan ibu apalagi Hanum. Cup. Yesss! Alhamdulillah, Mas Juna mengerti bahasa isyaratku. "Eh, ada Hanum juga, ya." Mas Juna nampak kaget melihat sahabatnya itu sudah duduk bersama ibu di pagi buta seperti ini. Mas Juna lalu menyalami ibu, dan tentu saja Hanum sudah menyodorkan tangannya berharap suamiku ini juga akan menyalaminya. "Eits!" Aku menepuk lengan Mas Ju
"Astaghfirullah ... Apa ini?" Aku masih mengamati satu persatu foto yang mirip seperti Mas Juna sedang merangkul seorang wanita berpakaian kurang bahan di sebuah bar. Sekilas wajah wanita itu mirip dengan Hanum, dan dari pakaian si lelaki memang warnanya mirip dengan yang dikenakan Mas Juna barusan. Hanya saja ...Seketika satu sudut bibirku terangkat. Mungkin dia kira aku bodoh. Dasar amatir!Derit pintu kamar mandi mengalihkan perhatianku. Mas Juna tampak segar dengan rambut basah dan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya membuatku terpaku."Mas belum shalat isya, Dek. Sabar, ya!" celetuk Mas Juna membuatku terkesiap."Ah, apaan, sih. Ya udah sana shalat. Aku udah, tuh," sahutku salah tingkah."Siapa yang ajak kamu, orang Mas cuma kasih tau, kok." Sambil memakai sarung Mas Juna menimpali.Aku pura-pura menunduk sambil bermain ponsel. Nyatanya mataku ini masih curi-curi pandang ke arah suami tampanku yang kini sudah rapi dengan baju koko dan peci di kepalanya. La
"Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru