Aku mengernyit, siapa yang datang saat maghrib seperti ini tanpa salam dan berteriak begitu? Tidak sopan sekali!Gegas aku mengambil kerudung instan dan keluar untuk melihatnya. Siapa tahu saja dia punya niatan yang tidak baik."Juna ..." Lagi, dia berteriak memanggil suamiku.Kupercepat langkah menuju tangga, lalu berjalan pelan menuruninya."Loh, Mbak Hanum!" Ternyata wanita itu lagi. Ya ampun ... Apa dia benar-benar jailangkung?"Kok kamu yang muncul. Juna sama Tante mana?" Dia terlihat tak suka melihatku datang."Suamiku? Tentu saja dia sedang beribadah di masjid. Memangnya kamu, bertamu kok teriak-teriak begitu," cibirku sambil terus berjalan mendekatinya. "Ada perlu apa sih?""Halah, sok suci. Mending gak sopan dari pada murahan!""Maksud kamu apa?" Aku menyilangkan tangan seraya menatapnya tajam.Perempuan yang lebih pendek beberapa centimeter dariku itu pun balas menatapku. "Perempuan kalau dibayarin sama om-om, apa namanya kalau bukan murahan? Sok alim, sok suci, gak tahu dir
"Aku kenapa, Bu? Kepalaku rasanya berat sekali," lirihku tak menggubris Hanum."Kamu pingsan, Nduk. Hampir setengah jam kamu gak sadar-sadar, Juna sampai panggil dokter untuk memeriksa keadaanmu.""Pingsan?" tanyaku. Pantas saja badanku terasa lemas sekali."Iya. Tunggu Juna datang, ya. Dia sedang mengantar dokter ke depan."Aku mengangguk lemah, dan kembali memejamkan mata untuk menghilangkan pusing yang masih tersisa."Udah deh, gak usah pura-pura pingsan lagi. Duduk kamu!" Tiba-tiba Hanum menabok lenganku dan memaksaku untuk bangun."Aw, astaghfirullah ..." rintihku benar-benar pusing."Hanum, jangan seperti itu. Wulan masih lemas dan pusing. Pelan-pelan saja." Ibu membantuku yang sedang diseret paksa untuk duduk oleh Hanum."Tuman, Tante! Jangan dimanjain, dong. Jadi manja 'kan dia!" sahut Hanum masih memojokkanku."Wulan, kamu sudah sadar?" Mas Juna tergopoh-gopoh muncul dari pintu, wajahnya tampak panik saat melangkah cepat ke arahku."Iya, Mas," sahutku lemah."Dokter tadi tany
"Jangan menuduh tanpa bukti, Nak Hanum. Wulan sedang hamil muda, dia tidak boleh memikirkan hal yang berat-berat." Ibu membuka suara, membelaku."Tante bela dia?" Hanum seperti tak percaya mertuaku lebih memihakku dari pada dia."Ibu tidak membela siapapun, tapi kita memang tidak punya dasar kuat untuk menghakimi Wulan seperti itu. Dia istrinya Juna, tentu saja anak itu anak Juna, cucu Tante. Wajib hukumnya Tante menjaganya.""Dia sendiri loh, Tan, yang bilang punya hubungan khusus sama laki-laki tua yang udah ngebayarin dia siang tadi. Aku gak salah dong, kalau curiga." Wanita itu tetap bersikeras, dan suami hanya diam, tak sama sekali membelaku.Ada yang sakit di dadaku melihat keraguan di mata suamiku sendiri. Rasa haru yang baru saja tercipta seakan menguap entah ke mana."Gak pa-pa kalau Mas meragukan darah daging Mas sendiri. Aku bisa menjaganya sendiri tanpa Mas." Aku berlalu dari hadapan Mas Juna setelah mengatakan itu.Entah kenapa mendadak hatiku terasa sensitif. Aku sedih d
Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan aneh di dalam dada. Pusingku sudah hilang, tapi rasa sakit di hati tetap membekas. Aku memutuskan untuk tidak bergantung pada siapa pun. Jika mereka meragukan aku, maka aku akan membuktikan semuanya sendiri.Semalam setelah sholat isya, aku langsung tertidur dan tak tahu apa yang Mas Juna lakukan setelah perdebatan itu.Kuputuskan untuk membersihkan diri, lalu keluar dari kamar setelah merasa cukup segar. Rumah tampak sepi, hanya ada Ibu yang duduk di ruang makan. Beliau menoleh dan tersenyum lembut kepadaku.“Sudah mendingan, Nduk?” tanyanya.Aku mengangguk pelan. “Ibu, aku mau ke dokter kandungan hari ini. Sendiri.”Ibu mengerutkan kening. “Kenapa sendiri? Juna pasti mau menemani kamu.”“Tidak usah, Bu. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”Ibu memegang tanganku, mencoba memberikan kekuatan. “Apapun yang terjadi, Ibu yakin kamu kuat, Nduk. Ibu percaya sama kamu.”Kata-katanya seperti pelukan hangat yang menenangkan hatiku. Aku mengan
Aku menatap Paman Bamantara dengan penuh harap. Meski terdengar sulit, tapi aku berharap paman mau menuruti permintaanku. Lelaki yang usianya lebih muda dari mendiang ayahku menatapku lekat, seakan penuh tanya. Mungkin beliau heran kenapa aku tiba-tiba antusias dengan acara kantor, padahal sebelumnya aku tidak pernah peduli. Namun, di detik berikutnya paman mengalihkan pandangan dan menelpon seseorang. Rupanya paman menyuruh seseorang untuk membuatkan minuman untukku dan beliau. "Kita ngobrolnya sambil minum teh, biar lebih santai, ya," ucapnya. "Terima kasih, Paman. Jadi ... Apakah Paman bisa membantuku?" Aku kembali bertanya. Terkesan mendesak, tetapi aku benar-benar ingin tahu jawabannya. "Kau yakin?" Aku mengangguk mantap. Orang kepercayaan ayah itu manggut-manggut, tetapi belum juga menjawab pertanyaanku. Hingga ketukan pintu terdengar, dan seorang office boy masuk membawa minuman sesuai perintah paman. Dua gelas berisi teh itu ia letakkan di atas meja, kemudian pamit undu
Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku
Segera kubuat mimik sesantai mungkin agar dia tak curiga. "Gak, kok. Biasalah, Mas Juna nyuruh aku pulangnya jangan terlalu sore." Aku terpaksa berbohong. "Oh ...." Adnan terlihat mengangguk, kemudian kembali berkata, "Juna pasti beruntung banget ya memiliki kamu, sampai dia begitu menjagamu. Pulang saja diperhatikan." Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul, karena sungguh kenyataan yang sedang kuhadapi tidak seperti penilaiannya. Adnan melirik arloji di tangan kirinya, lalu berpamitan padaku, "Jam istirahat siang sudah habis, aku harus segera kembali ke kantor. Tapi sebelum itu aku akan mengantarmu." "Tidak usah. Aku masih mau jalan-jalan lagi di sini sebentar. Kamu balik aja, gak pa-pa." "Baiklah, jangan terlalu capek. Wajahmu terlihat pucat." "Iya, aku hanya kelaparan tadi. Setelah makanan yang kumakan dicerna, aku pasti kembali cerah." Dia hanya mengangguk kemudian berdiri. Namun, saat kakinya terayun satu langkah aku menghentikannya. "Adnan." "Iya." Dia kembali menole
Sekitar pukul tiga siang aku baru sampai di halaman rumah. Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti tengah menungguku."Assalamualaikum, Bu." Kuulurkan tangan menyalami beliau."Waalaikumsalam, Nak," sahutnya sambil menerima uluran tanganku. "Kenapa baru pulang? Ibu khawatir. Telepon Ibu juga gak kamu angkat. Kamu pergi dari pagi loh, Sayang," lanjutnya mencercaku dengan raut wajah yang memang terlihat sedang khawatir."Maaf, Bu. Tadi Wulan mampir ke mall dulu buat ngilangin stres. Dokter bilang ibu hamil gak boleh terlalu banyak pikiran, jadi Wulan jalan-jalan bentar, deh." "Dokter benar, Nak. Tapi kenapa telepon Ibu gak kamu angkat?""Soal itu ... Sebentar." Aku mengambil gadget di dalam tas dan memang betul ada tiga panggilan tak terjawab dari ibu mertuaku. "Maaf, Bu, handphone-nya Wulan silent karena Mas Juna marah-marah gak jelas tadi."Sengaja aku menceritakan yang sebenarnya sama ibu. Bukan bermaksud mengadu, tetapi mulai sekarang aku tidak ingin menyimpan semuanya sendiri
"Oh, tentu. Jelaskan semuanya sekarang. Aku akan dengan setia mendengarnya," ujarku, menyilangkan kedua tangan di dada."Sudahlah, Jun. Lebih baik kamu katakan saja yang sebenarnya. Kalau dia memang istri yang baik, dia pasti mau menerima kamu apa adanya. Kalau dia tidak mau, lebih baik ceraikan saja," tukas Hanum."Hanum!" bentak Mas Juna.Wanita itu kembali tersenyum sinis sambil memutar bola mata malasnya."Kita bicara di rumah saja, ya. Ayo kita pulang dulu. Ini juga sudah jam pulang, kan?" Mas Juna ingin meraih tanganku lagi, tapi tak berhasil karena aku menghindar."Gak. Aku ingin kita selesaikan semuanya di sini!" tegasku."Dek, tolonglah. Gak enak sama temen-temen kalau sampai ada yang denger.""Seharusnya kamu berfikir seperti itu sebelum berduaan sama Hanum, Mas," sentakku. "Atau jangan-jangan hal seperti ini sudah sering kalian lakukan?""CK! Dasar sombong. Kaya hasil warisan doang, juga!" cibir Hanum dengan lirih, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas."Setidaknya ada ya
Sampai di ruangan, tubuhku kembali terasa lemas. Padahal, aku hanya berjalan dari halaman kantor ke ruanganku di lantai dua puluh—dengan lift. Tapi entah kenapa, rasanya seperti baru menaiki ratusan anak tangga. Letih sekali.Pintu terdengar diketuk. Adnan muncul setelah aku mempersilahkan masuk."Sudah siap?" tanyanya begitu sampai di depanku."Aku baru sampai di sini, Nan. Kamu gak lihat aku masih ngos-ngosan begini," sahutku sewot seraya menyenderkan kepala di kursi kebesaranku."Oh, maaf." Adnan lantas menarik kursi di depan meja kerjaku lalu duduk. "Memangnya kamu habis ngapain? Kok seperti kelelahan begitu. Wajahmu juga terlihat pucat.""Namanya juga hamil muda, Nan. Cepat letih."Adnan manggut-manggut. "Kalau kamu tidak bisa ikut, tidak apa-apa. Nanti aku akan menjelaskan tentang keadaan kamu yang sebenarnya sama klien kita.""Beneran gak pa-pa?" tanyaku memastikan."Iya. Daripada nanti kamu kenapa-kenapa?""Ya sudah, aku memang rasanya capek banget, Nan. Pengen istirahat saja
Pesan itu berisi tiga foto Mas Juna yang sedang terlelap di atas ranjang hanya menggunakan kaos dalam dan tertutup selimut. Lalu di gambar yang paling bawah, Hanum menuliskan caption yang bertujuan untuk memanas-manasiku.[Juna masih sangat gagah seperti dulu.]Di foto-foto itu juga tertera tanggal dan bulan pengambilan gambar. Tanggal itu belum lama, baru sekitar beberapa Minggu yang lalu. Mungkinkah alasan Mas Juna pas dia bilang lembur waktu itu, sebenarnya karena menghabiskan waktu bersama Hanum?Ah, aku tidak ingin ambil kesimpulan dulu. Lagi-lagi aku harus mencari informasi sebelum mengambil tindakan.Oke. Yang pasti aku tahu tujuan utama Hanum adalah merebut Mas Juna dariku, atas dasar apa? Itu yang yang harus aku cari tahu."Dek!" Pundakku terasa ditepuk."Ah, iya, Mas. Kenapa?" ucapku terperanjat, tersadar dari lamunan."Kita sudah sampai kantor. Dari tadi Mas manggil Kamu loh, tapi kamu gak nyaut-nyaut.""Iyakah? Maaf, Mas. Mungkin aku kecapean," kilahku masih menutupi kegel
Sementara wajahku sudah terasa memanas. Malu sendiri mendengar pertanyaan Mas Juna. Aku tahu aktivitas apa yang dimaksud olehnya."Boleh dong, Pak. Yang penting pelan saja, ya. Hindari juga aktivitas berat dan jangan sampai kelelahan. Olahraga ringan seperti jalan kaki boleh dilakukan.""Alhamdulillah." Kudengar Mas Juna bergumam. Dan hal itu kembali membuat Dokter mengulas senyum."Dukungan emosional dari suami juga penting ya, Pak. Ibu hamil sering mengalami perubahan hormon yang bisa mempengaruhi suasana hati. Jadi, bersikap sabar dan memberikan perhatian lebih sangat membantu, ya. Jangan terlalu memaksakan istri seandainya sedang dalam keadaan lemas. Karena jika dipaksakan akibatnya bisa berbahaya," pesan dokter lagi. Aku masih diam karena Mas Juna sepertinya terlihat antusias menanggapi setiap yang diucapkan dokter."Tanda-tanda bahaya seperti apa dan apa yang harus kami lakukan, Dok?" Mas Juna kembali bertanya. Wajahnya serius menyimak penjelasan."Jika terjadi perdarahan, nyer
Aku mendongak saat mengenali suara siapa yang masuk. Pria tampan yang sudah membersamaiku selama tiga bulan itu berjalan mendekatiku seraya tersenyum manis. Senyuman yang selalu kurindukan."Apaan sih, panggil ibu segala. Emangnya aku dah tua!" gurauku, seraya berdiri menyambutnya."Jangan terlalu capek," ucapnya penuh perhatian seraya memeluk dan mengecup pucuk kepalaku."Iya, tapi aku gak suka dipanggil ibu sama kamu," jawabku, merenggangkan pelukan dan pura-pura merajuk di depannya."Kan sekarang kamu atasanku, Dek." Mas Juna menoel hidungku."Kata siapa?""Kata Mas 'lah, dan itu fakta. Kamu posisinya di atas Mas sekarang.""Itu 'kan menurut, Mas. Kalau menurut aku, lebih asik yang di bawah," bisikku sengaja menggoda."Apa itu?" Mas Juna mengernyit. "Mau nggoda Mas kamu, ya?!" Tangannya kembali menarikku lebih dekat dengannya."Apa, sih. Enggak kok!" Tanganku bergerak melingkar pada pundaknya."Kalau gak ingat ini di kantor, sudah aku lahap kamu!""Lahap aja. Boleh, kok.""Kamu nan
"Wulan juga tidak tahu, Paman. Kata Mas Juna, Hanum pernah bilang kalau ayahnya masih saudara sama pemilik perusahaan ini. Barangkali itu memang benar, Paman."Paman Bamantara nampak berpikir. "Eum ... Sepertinya gak ada, Lan. Almarhum ayahmu tidak pernah cerita sama Paman.""Gitu ya.""Untuk memastikan, kamu bisa lihat di biodata Hanum. Di sana pasti ada nama ayah dan alamatnya," celetuk Adnan yang sejak tadi banyak diamnya."Iya juga. Ya sudah, aku minta biodatanya dong, Nan," pintaku yang langsung diangguki olehnya. Detik berikutnya Adnan menghubungi seseorang, dan tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu."Masuk!" ucap Adnan.Seorang bapak-bapak muncul sembari membawa satu map di tangannya."Ini berkas biodata Hanum yang Anda minta, Pak," ucapnya seraya memberikan map itu pada Adnan.Anak Paman Bamantara tersebut pun meraihnya seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu, bapak-bapak tadi undur diri."Ini, mungkin bisa membantu rasa penasaranmu." Adnan memberikan map itu padaku
"Seperti yang saya bilang saat acara kemarin, saya akan memberikan sanksi ketika berada di kantor, dan sekarang adalah saatnya," terangku."Gak! Saya gak terima. Ini namanya semena-mena. Jangan mentang-mentang Anda adalah pewaris bisa seenaknya pada karyawan seperti saya.""Kamu tidak lupa dengan semua bukti yang saya miliki bukan? Atau saya perlu beberkan semuanya di sini sekarang?""Memangnya bukti apa yang kamu miliki. Saya sudah bekerja hampir tiga tahun di perusahaan ini, sedangkan kamu baru pertama kali. Lalu tiba-tiba menurunkan jabatan saya seenaknya. Aturan macam apa ini!""Dengar, Bu Hanum. Saya dan staf lainnya sudah lama melihat gelagat Anda, hanya saja kami sengaja menunggu sampai di mana Anda mengehentikan kecurangan Anda dalam bekerja. Bukannya berubah, ternyata Anda semakin menjadi. Terpaksa kami harus melakukan tindakan seperti ini." Kali ini Adnan yang berujar tegas."Tapi tidak bisa mendadak seperti ini dong, Pak. Paling tidak saya mendapat teguran terlebih dahulu a
Keesokan paginya, aku sudah dalam perjalanan menuju kantor. Meski rasa mual masih kerap datang, aku tetap bertekad karena sudah sangat berniat untuk mulai menyibukkan diri di kantor. Lagian, aku sudah kadung janji sama Adnan dan Paman Bamantara."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Juna di sela-sela fokusnya mengemudi."Yakin, Mas," jawabku mantap. Aku yang duduk di sebelahnya melirik sekilas padanya untuk melihat ekspresi wajahnya. "Kenapa, Mas?""Gak pa-pa, Dek. Memangnya kamu gak malu punya suami cuma karyawan biasa?""Gak. Kenapa malu? Mas Juna kan kerjanya halal."Kulihat pria tampan di sampingku itu menghela napas."Kenapa, Mas? Atau jangan-jangan kamu yang gak nyaman dengan keberadaanku yang menjabat sebagai CEO?"Sontak pertanyaanku membuat Mas Juna menoleh sekilas padaku."Kok kamu mikirnya gitu sih, Dek? Demi Allah, Mas gak pernah berpikir seperti itu.""Ha ha ha, muka Mas Juna lucu. Wulan cuma bercanda, Mas,' kelakarku untuk mencairkan suasana."Ish! Kamu ini ya, Dek. Awas ya ....
Dia terkekeh. "Gak. Masa remaja Mas gak ada waktu buat pacaran. Apalagi sejak bapak meninggal, Mas sibuk bantu ibu mencari uang dan belajar. Mas punya mimpi sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses biar ibu gak perlu lagi capek cari uang. Alhamdulillah Mas bisa dapat beasiswa saat SMA dan perguruan tinggi sehingga Mas bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang lumayan.""Terus, kenapa Mas bisa dekat sama Mbak Hanum? Malah aku perhatikan Mas begitu nurut sama dia. Bahkan terkesan sangat percaya sama dia. Mas sebenarnya suka ya sama dia? Secara, Mbak Hanum 'kan cantik dan seksi." Aku melepaskan pelukan karena kesal sendiri.Lagi-lagi Mas Juna tertawa melihat tingkahku."Itu karena Mas punya hutang budi yang banyak sama Hanum dan keluarganya.""Hutang budi apa?" Aku menoleh padanya."Banyak. Mulai dari pergaulan, pekerjaan dan lainnya. Berkat Hanum Mas gak lagi mendapat perlakuan kasar di sekolah. Keluarganya juga membantu Mas mencarikan pekerjaan. Termasuk membantu Mas masuk ke perusaha