Share

Bab 22

Penulis: NingrumAza
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-19 17:40:30

"Jangan menuduh tanpa bukti, Nak Hanum. Wulan sedang hamil muda, dia tidak boleh memikirkan hal yang berat-berat." Ibu membuka suara, membelaku.

"Tante bela dia?" Hanum seperti tak percaya mertuaku lebih memihakku dari pada dia.

"Ibu tidak membela siapapun, tapi kita memang tidak punya dasar kuat untuk menghakimi Wulan seperti itu. Dia istrinya Juna, tentu saja anak itu anak Juna, cucu Tante. Wajib hukumnya Tante menjaganya."

"Dia sendiri loh, Tan, yang bilang punya hubungan khusus sama laki-laki tua yang udah ngebayarin dia siang tadi. Aku gak salah dong, kalau curiga." Wanita itu tetap bersikeras, dan suami hanya diam, tak sama sekali membelaku.

Ada yang sakit di dadaku melihat keraguan di mata suamiku sendiri. Rasa haru yang baru saja tercipta seakan menguap entah ke mana.

"Gak pa-pa kalau Mas meragukan darah daging Mas sendiri. Aku bisa menjaganya sendiri tanpa Mas." Aku berlalu dari hadapan Mas Juna setelah mengatakan itu.

Entah kenapa mendadak hatiku terasa sensitif. Aku sedih d
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 23

    Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan aneh di dalam dada. Pusingku sudah hilang, tapi rasa sakit di hati tetap membekas. Aku memutuskan untuk tidak bergantung pada siapa pun. Jika mereka meragukan aku, maka aku akan membuktikan semuanya sendiri.Semalam setelah sholat isya, aku langsung tertidur dan tak tahu apa yang Mas Juna lakukan setelah perdebatan itu.Kuputuskan untuk membersihkan diri, lalu keluar dari kamar setelah merasa cukup segar. Rumah tampak sepi, hanya ada Ibu yang duduk di ruang makan. Beliau menoleh dan tersenyum lembut kepadaku.“Sudah mendingan, Nduk?” tanyanya.Aku mengangguk pelan. “Ibu, aku mau ke dokter kandungan hari ini. Sendiri.”Ibu mengerutkan kening. “Kenapa sendiri? Juna pasti mau menemani kamu.”“Tidak usah, Bu. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”Ibu memegang tanganku, mencoba memberikan kekuatan. “Apapun yang terjadi, Ibu yakin kamu kuat, Nduk. Ibu percaya sama kamu.”Kata-katanya seperti pelukan hangat yang menenangkan hatiku. Aku mengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 24

    Aku hanya diam. Bagaimana mungkin aku menceritakan semuanya? Bahwa aku butuh acara itu sebagai pijakan untuk membuktikan diri, bukan hanya kepada Juna, tapi juga kepada semua orang, terutama Hanum.“Dengar, Wulan,” Paman melanjutkan, nadanya lebih lembut. “Kau tahu, aku selalu ada untukmu. Aku tahu kau kuat, tapi jangan memaksakan diri. Fokuslah pada kesehatanmu dan bayi ini dulu.”Aku mengangguk pelan, menyembunyikan kekecewaanku di balik senyuman kecil.“Wulan, Paman paham kamu ingin aktif di perusahaan. Tapi, mempercepat acara ulang tahun ini terlalu riskan,” ujar Paman dengan nada tenang namun pasti.“Kenapa, Paman? Persiapannya masih kurang? Atau Paman tidak percaya kalau aku bisa memegang peran itu?” Aku berusaha menahan nada suaraku agar tidak terdengar terlalu mendesak.Paman menggeleng. “Bukan masalah percaya atau tidak percaya. Hanya saja, ada banyak pihak yang terlibat dalam acara ini, mulai dari mitra bisnis hingga media. Jika kita mempercepatnya, citra perusahaan bisa t

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 25

    Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 26

    Segera kubuat mimik sesantai mungkin agar dia tak curiga. "Gak, kok. Biasalah, Mas Juna nyuruh aku pulangnya jangan terlalu sore." Aku terpaksa berbohong. "Oh ...." Adnan terlihat mengangguk, kemudian kembali berkata, "Juna pasti beruntung banget ya memiliki kamu, sampai dia begitu menjagamu. Pulang saja diperhatikan." Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul, karena sungguh kenyataan yang sedang kuhadapi tidak seperti penilaiannya. Adnan melirik arloji di tangan kirinya, lalu berpamitan padaku, "Jam istirahat siang sudah habis, aku harus segera kembali ke kantor. Tapi sebelum itu aku akan mengantarmu." "Tidak usah. Aku masih mau jalan-jalan lagi di sini sebentar. Kamu balik aja, gak pa-pa." "Baiklah, jangan terlalu capek. Wajahmu terlihat pucat." "Iya, aku hanya kelaparan tadi. Setelah makanan yang kumakan dicerna, aku pasti kembali cerah." Dia hanya mengangguk kemudian berdiri. Namun, saat kakinya terayun satu langkah aku menghentikannya. "Adnan." "Iya." Dia kembali menole

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 27

    Sekitar pukul tiga siang aku baru sampai di halaman rumah. Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti tengah menungguku."Assalamualaikum, Bu." Kuulurkan tangan menyalami beliau."Waalaikumsalam, Nak," sahutnya sambil menerima uluran tanganku. "Kenapa baru pulang? Ibu khawatir. Telepon Ibu juga gak kamu angkat. Kamu pergi dari pagi loh, Sayang," lanjutnya mencercaku dengan raut wajah yang memang terlihat sedang khawatir."Maaf, Bu. Tadi Wulan mampir ke mall dulu buat ngilangin stres. Dokter bilang ibu hamil gak boleh terlalu banyak pikiran, jadi Wulan jalan-jalan bentar, deh." "Dokter benar, Nak. Tapi kenapa telepon Ibu gak kamu angkat?""Soal itu ... Sebentar." Aku mengambil gadget di dalam tas dan memang betul ada tiga panggilan tak terjawab dari ibu mertuaku. "Maaf, Bu, handphone-nya Wulan silent karena Mas Juna marah-marah gak jelas tadi."Sengaja aku menceritakan yang sebenarnya sama ibu. Bukan bermaksud mengadu, tetapi mulai sekarang aku tidak ingin menyimpan semuanya sendiri

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 28

    "Kamu tahu alasanku kenapa tidak mau melakukan tes DNA, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan mau membahayakan nyawa anakku. Kalau kamu tetap pada pendirianmu itu, terserah. Dan soal laki-laki yang rela mengeluarkan uang demi aku, hari ini juga aku kenalkan siapa dia padamu kalau kamu mau. Aku tidak memintamu untuk percaya padaku, karena apapun yang aku katakan, kamu sulit mempercayainya karena yang ada di pikiran kamu itu cuma perkataan Hanum adalah yang paling benar. Dan aku yakin, semua tuduhanmu itu pasti berdasarkan pemikiran wanita yang berkedok sahabatmu itu! Atau sebenarnya kamu yang ada main dengannya, Mas? Sepertinya apapun yang dia katakan kamu selalu mendukung." Aku balas menudingnya. Aku bahkan seakan tak peduli andai rumah tanggaku akan hancur hari ini. Padahal sebelumnya aku bertekad untuk mempertahankan mahligai cinta yang kami bina baru seumur jagung ini."Jangan memutar balikkan fakta, Wulan. Kau yang berselingkuh kenapa jadi aku yang dituduh?""Sepuluh hari, Mas. Mar

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 29

    Seperti hari-hari biasanya, aku membantu ibu membuat sarapan di dapur. Meskipun Mas Juna masih marah, aku tetap melakukan kewajibanku melayani makannya. Namun, saat mencium bau bawang putih, perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Aku berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan dari perut yang belum terisi apa-apa."Ya Allah, Nak. Kalau kamu gak kuat, jangan dipaksakan. Biar Ibu saja yang masak, kamu istirahat saja, ya. Itu pasti bawaan bayi." Ibu dengan lembut mengurut tengkukku agar sedikit lega."Iya, Bu. Maaf ya, perut Wulan mual banget," ucapku sambil menahan rasa tak enak."Iya, gak pa-pa kok. Kamu istirahat saja di kamar."Aku bergeming. Rasanya malas bertemu dengan Mas Juna yang jutek padaku."Istirahat saja di kamar Ibu yang lebih dekat dengan dapur, biar gak perlu naik tangga," ujar ibu seperti tahu kegelisahanku."Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Maaf gak bisa bantu Ibu.""Iya, Sayang. Sama-sama."Setelah itu aku benar-benar masuk ke kamar Ibu dan berbaring di ranjang sampai tak t

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-21
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 1

    "Juna, jangan bilang dia ini istrimu. Ck! Seleramu rendah sekali!" Sontak aku mendongak kaget mendengar suara nyaring itu. Seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan melangkah mendekat. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya tajam ke arahku. Mas Juna, suamiku, hanya tertawa kecil. "Hanum, jangan bercanda. Wulan ini istriku." "Ah, aku kira kamu masih sendiri." Aku hanya tersenyum meski hati terasa berdesir. Wanita ini siapa? Kenapa memandangku seperti musuh? "Wulan, kenalkan ini sahabat Mas, namanya Hanum," ucap Mas Juna memperkenalkan diriku padanya. Apakah pakaian yang ia kenakan tidak terlalu terbuka untuk sekedar acara reuni sekolah seperti ini? Bagian da danya dibiarkan terekspos, juga lengan mulus hingga keti aknya terlihat jelas. Apa dia tidak masuk angin nantinya memakai pakaian seperti itu? Apalagi malam ini cuacanya cukup dingin. "Hai, Mbak. Namaku Wulan." Aku menyapa terlebih dahulu seraya mengajaknya bersalaman. "Hai," sahutnya sangat singkat. Tangan mul

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22

Bab terbaru

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 29

    Seperti hari-hari biasanya, aku membantu ibu membuat sarapan di dapur. Meskipun Mas Juna masih marah, aku tetap melakukan kewajibanku melayani makannya. Namun, saat mencium bau bawang putih, perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Aku berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan dari perut yang belum terisi apa-apa."Ya Allah, Nak. Kalau kamu gak kuat, jangan dipaksakan. Biar Ibu saja yang masak, kamu istirahat saja, ya. Itu pasti bawaan bayi." Ibu dengan lembut mengurut tengkukku agar sedikit lega."Iya, Bu. Maaf ya, perut Wulan mual banget," ucapku sambil menahan rasa tak enak."Iya, gak pa-pa kok. Kamu istirahat saja di kamar."Aku bergeming. Rasanya malas bertemu dengan Mas Juna yang jutek padaku."Istirahat saja di kamar Ibu yang lebih dekat dengan dapur, biar gak perlu naik tangga," ujar ibu seperti tahu kegelisahanku."Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Maaf gak bisa bantu Ibu.""Iya, Sayang. Sama-sama."Setelah itu aku benar-benar masuk ke kamar Ibu dan berbaring di ranjang sampai tak t

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 28

    "Kamu tahu alasanku kenapa tidak mau melakukan tes DNA, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan mau membahayakan nyawa anakku. Kalau kamu tetap pada pendirianmu itu, terserah. Dan soal laki-laki yang rela mengeluarkan uang demi aku, hari ini juga aku kenalkan siapa dia padamu kalau kamu mau. Aku tidak memintamu untuk percaya padaku, karena apapun yang aku katakan, kamu sulit mempercayainya karena yang ada di pikiran kamu itu cuma perkataan Hanum adalah yang paling benar. Dan aku yakin, semua tuduhanmu itu pasti berdasarkan pemikiran wanita yang berkedok sahabatmu itu! Atau sebenarnya kamu yang ada main dengannya, Mas? Sepertinya apapun yang dia katakan kamu selalu mendukung." Aku balas menudingnya. Aku bahkan seakan tak peduli andai rumah tanggaku akan hancur hari ini. Padahal sebelumnya aku bertekad untuk mempertahankan mahligai cinta yang kami bina baru seumur jagung ini."Jangan memutar balikkan fakta, Wulan. Kau yang berselingkuh kenapa jadi aku yang dituduh?""Sepuluh hari, Mas. Mar

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 27

    Sekitar pukul tiga siang aku baru sampai di halaman rumah. Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti tengah menungguku."Assalamualaikum, Bu." Kuulurkan tangan menyalami beliau."Waalaikumsalam, Nak," sahutnya sambil menerima uluran tanganku. "Kenapa baru pulang? Ibu khawatir. Telepon Ibu juga gak kamu angkat. Kamu pergi dari pagi loh, Sayang," lanjutnya mencercaku dengan raut wajah yang memang terlihat sedang khawatir."Maaf, Bu. Tadi Wulan mampir ke mall dulu buat ngilangin stres. Dokter bilang ibu hamil gak boleh terlalu banyak pikiran, jadi Wulan jalan-jalan bentar, deh." "Dokter benar, Nak. Tapi kenapa telepon Ibu gak kamu angkat?""Soal itu ... Sebentar." Aku mengambil gadget di dalam tas dan memang betul ada tiga panggilan tak terjawab dari ibu mertuaku. "Maaf, Bu, handphone-nya Wulan silent karena Mas Juna marah-marah gak jelas tadi."Sengaja aku menceritakan yang sebenarnya sama ibu. Bukan bermaksud mengadu, tetapi mulai sekarang aku tidak ingin menyimpan semuanya sendiri

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 26

    Segera kubuat mimik sesantai mungkin agar dia tak curiga. "Gak, kok. Biasalah, Mas Juna nyuruh aku pulangnya jangan terlalu sore." Aku terpaksa berbohong. "Oh ...." Adnan terlihat mengangguk, kemudian kembali berkata, "Juna pasti beruntung banget ya memiliki kamu, sampai dia begitu menjagamu. Pulang saja diperhatikan." Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul, karena sungguh kenyataan yang sedang kuhadapi tidak seperti penilaiannya. Adnan melirik arloji di tangan kirinya, lalu berpamitan padaku, "Jam istirahat siang sudah habis, aku harus segera kembali ke kantor. Tapi sebelum itu aku akan mengantarmu." "Tidak usah. Aku masih mau jalan-jalan lagi di sini sebentar. Kamu balik aja, gak pa-pa." "Baiklah, jangan terlalu capek. Wajahmu terlihat pucat." "Iya, aku hanya kelaparan tadi. Setelah makanan yang kumakan dicerna, aku pasti kembali cerah." Dia hanya mengangguk kemudian berdiri. Namun, saat kakinya terayun satu langkah aku menghentikannya. "Adnan." "Iya." Dia kembali menole

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 25

    Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 24

    Aku hanya diam. Bagaimana mungkin aku menceritakan semuanya? Bahwa aku butuh acara itu sebagai pijakan untuk membuktikan diri, bukan hanya kepada Juna, tapi juga kepada semua orang, terutama Hanum.“Dengar, Wulan,” Paman melanjutkan, nadanya lebih lembut. “Kau tahu, aku selalu ada untukmu. Aku tahu kau kuat, tapi jangan memaksakan diri. Fokuslah pada kesehatanmu dan bayi ini dulu.”Aku mengangguk pelan, menyembunyikan kekecewaanku di balik senyuman kecil.“Wulan, Paman paham kamu ingin aktif di perusahaan. Tapi, mempercepat acara ulang tahun ini terlalu riskan,” ujar Paman dengan nada tenang namun pasti.“Kenapa, Paman? Persiapannya masih kurang? Atau Paman tidak percaya kalau aku bisa memegang peran itu?” Aku berusaha menahan nada suaraku agar tidak terdengar terlalu mendesak.Paman menggeleng. “Bukan masalah percaya atau tidak percaya. Hanya saja, ada banyak pihak yang terlibat dalam acara ini, mulai dari mitra bisnis hingga media. Jika kita mempercepatnya, citra perusahaan bisa t

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 23

    Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan aneh di dalam dada. Pusingku sudah hilang, tapi rasa sakit di hati tetap membekas. Aku memutuskan untuk tidak bergantung pada siapa pun. Jika mereka meragukan aku, maka aku akan membuktikan semuanya sendiri.Semalam setelah sholat isya, aku langsung tertidur dan tak tahu apa yang Mas Juna lakukan setelah perdebatan itu.Kuputuskan untuk membersihkan diri, lalu keluar dari kamar setelah merasa cukup segar. Rumah tampak sepi, hanya ada Ibu yang duduk di ruang makan. Beliau menoleh dan tersenyum lembut kepadaku.“Sudah mendingan, Nduk?” tanyanya.Aku mengangguk pelan. “Ibu, aku mau ke dokter kandungan hari ini. Sendiri.”Ibu mengerutkan kening. “Kenapa sendiri? Juna pasti mau menemani kamu.”“Tidak usah, Bu. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”Ibu memegang tanganku, mencoba memberikan kekuatan. “Apapun yang terjadi, Ibu yakin kamu kuat, Nduk. Ibu percaya sama kamu.”Kata-katanya seperti pelukan hangat yang menenangkan hatiku. Aku mengan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 22

    "Jangan menuduh tanpa bukti, Nak Hanum. Wulan sedang hamil muda, dia tidak boleh memikirkan hal yang berat-berat." Ibu membuka suara, membelaku."Tante bela dia?" Hanum seperti tak percaya mertuaku lebih memihakku dari pada dia."Ibu tidak membela siapapun, tapi kita memang tidak punya dasar kuat untuk menghakimi Wulan seperti itu. Dia istrinya Juna, tentu saja anak itu anak Juna, cucu Tante. Wajib hukumnya Tante menjaganya.""Dia sendiri loh, Tan, yang bilang punya hubungan khusus sama laki-laki tua yang udah ngebayarin dia siang tadi. Aku gak salah dong, kalau curiga." Wanita itu tetap bersikeras, dan suami hanya diam, tak sama sekali membelaku.Ada yang sakit di dadaku melihat keraguan di mata suamiku sendiri. Rasa haru yang baru saja tercipta seakan menguap entah ke mana."Gak pa-pa kalau Mas meragukan darah daging Mas sendiri. Aku bisa menjaganya sendiri tanpa Mas." Aku berlalu dari hadapan Mas Juna setelah mengatakan itu.Entah kenapa mendadak hatiku terasa sensitif. Aku sedih d

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 21

    "Aku kenapa, Bu? Kepalaku rasanya berat sekali," lirihku tak menggubris Hanum."Kamu pingsan, Nduk. Hampir setengah jam kamu gak sadar-sadar, Juna sampai panggil dokter untuk memeriksa keadaanmu.""Pingsan?" tanyaku. Pantas saja badanku terasa lemas sekali."Iya. Tunggu Juna datang, ya. Dia sedang mengantar dokter ke depan."Aku mengangguk lemah, dan kembali memejamkan mata untuk menghilangkan pusing yang masih tersisa."Udah deh, gak usah pura-pura pingsan lagi. Duduk kamu!" Tiba-tiba Hanum menabok lenganku dan memaksaku untuk bangun."Aw, astaghfirullah ..." rintihku benar-benar pusing."Hanum, jangan seperti itu. Wulan masih lemas dan pusing. Pelan-pelan saja." Ibu membantuku yang sedang diseret paksa untuk duduk oleh Hanum."Tuman, Tante! Jangan dimanjain, dong. Jadi manja 'kan dia!" sahut Hanum masih memojokkanku."Wulan, kamu sudah sadar?" Mas Juna tergopoh-gopoh muncul dari pintu, wajahnya tampak panik saat melangkah cepat ke arahku."Iya, Mas," sahutku lemah."Dokter tadi tany

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status