Lina langsung mengantarku sampai halaman rumah. Dan benar saja, roda empat milik suamiku sudah terparkir rapi di sana."Makasih untuk hari ini, ya, Lin, tapi aku gak bisa ajak kamu mampir. Suamiku udah pulang," ucapku."Iya gak pa-pa. Aku juga makasih ya dah diajak treatment hari ini," balasnya."Bukan apa-apa. Ya udah aku masuk dulu, ya.""Oke."Lalu aku keluar dari mobil Lina dan masuk ke dalam rumah setelah mobil Lina tak terlihat.Aku berjalan menuju kamar untuk mencari Mas Juna. Namun, saat kubuka pintunya, kamar sepi dan tak ada siapapun.Aku meletakkan tas di atas meja rias, lalu mendekati pintu kamar mandi untuk mengecek apakah Mas Juna ada dalam atau tidak. Lagi-lagi sepi, tak terdengar sedikitpun gemericik air di sana.Aku berinisiatif ke dapur untuk mencari ibu. Siapa tahu beliau tahu di mana Mas Juna berada sekarang. Namun, di dapur juga sepi. Tak ada ibu atau siapapun di sana.Lalu kakiku melangkah menuju pintu samping yang terhubung pada sebuah taman kecil di samping rum
Hah! Bisa-bisanya Mas Juna berpikir seperti itu padaku. Kurang asem, lagi-lagi ini semua karena Hanum."Oh, jadi Mas lebih percaya pada Mbak Hanum dari pada aku?" Seketika aku mempunyai ide untuk mengalihkan pembahasan. Kini bergantian aku yang memberi tatapan tajam sambil mendorong pelan dada Mas Juna.Dia mengerjap bingung sambil berjalan mundur. "Kenapa jadi kamu yang marah?""Oh jelas. Sejak tadi Mas mendiami aku. Menuduh yang tidak-tidak hanya berdasarkan sebuah foto." Aku terus berjalan sambil menunjuk-nunjuk dadanya."Tapi itu foto benar 'kan? Kamu memang dibayarin sama laki-laki tua itu kan?" Mas Juna berhenti mundur karena membentur dipan. "Kalau iya emang kenapa? Apa karena hal itu, lantas Mas berhak menuduh istrimu ini simpanan om-om?" Aku terus mendekat sampai Mas Juna jatuh terlentang di atas kasur.Tak mau kalah, aku pun menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Kini kami saling bertindihan dengan mukena yang masih melekat di badanku sambil memandang satu sama lain."Apa setia
Aku mengernyit, siapa yang datang saat maghrib seperti ini tanpa salam dan berteriak begitu? Tidak sopan sekali!Gegas aku mengambil kerudung instan dan keluar untuk melihatnya. Siapa tahu saja dia punya niatan yang tidak baik."Juna ..." Lagi, dia berteriak memanggil suamiku.Kupercepat langkah menuju tangga, lalu berjalan pelan menuruninya."Loh, Mbak Hanum!" Ternyata wanita itu lagi. Ya ampun ... Apa dia benar-benar jailangkung?"Kok kamu yang muncul. Juna sama Tante mana?" Dia terlihat tak suka melihatku datang."Suamiku? Tentu saja dia sedang beribadah di masjid. Memangnya kamu, bertamu kok teriak-teriak begitu," cibirku sambil terus berjalan mendekatinya. "Ada perlu apa sih?""Halah, sok suci. Mending gak sopan dari pada murahan!""Maksud kamu apa?" Aku menyilangkan tangan seraya menatapnya tajam.Perempuan yang lebih pendek beberapa centimeter dariku itu pun balas menatapku. "Perempuan kalau dibayarin sama om-om, apa namanya kalau bukan murahan? Sok alim, sok suci, gak tahu dir
"Aku kenapa, Bu? Kepalaku rasanya berat sekali," lirihku tak menggubris Hanum."Kamu pingsan, Nduk. Hampir setengah jam kamu gak sadar-sadar, Juna sampai panggil dokter untuk memeriksa keadaanmu.""Pingsan?" tanyaku. Pantas saja badanku terasa lemas sekali."Iya. Tunggu Juna datang, ya. Dia sedang mengantar dokter ke depan."Aku mengangguk lemah, dan kembali memejamkan mata untuk menghilangkan pusing yang masih tersisa."Udah deh, gak usah pura-pura pingsan lagi. Duduk kamu!" Tiba-tiba Hanum menabok lenganku dan memaksaku untuk bangun."Aw, astaghfirullah ..." rintihku benar-benar pusing."Hanum, jangan seperti itu. Wulan masih lemas dan pusing. Pelan-pelan saja." Ibu membantuku yang sedang diseret paksa untuk duduk oleh Hanum."Tuman, Tante! Jangan dimanjain, dong. Jadi manja 'kan dia!" sahut Hanum masih memojokkanku."Wulan, kamu sudah sadar?" Mas Juna tergopoh-gopoh muncul dari pintu, wajahnya tampak panik saat melangkah cepat ke arahku."Iya, Mas," sahutku lemah."Dokter tadi tany
"Jangan menuduh tanpa bukti, Nak Hanum. Wulan sedang hamil muda, dia tidak boleh memikirkan hal yang berat-berat." Ibu membuka suara, membelaku."Tante bela dia?" Hanum seperti tak percaya mertuaku lebih memihakku dari pada dia."Ibu tidak membela siapapun, tapi kita memang tidak punya dasar kuat untuk menghakimi Wulan seperti itu. Dia istrinya Juna, tentu saja anak itu anak Juna, cucu Tante. Wajib hukumnya Tante menjaganya.""Dia sendiri loh, Tan, yang bilang punya hubungan khusus sama laki-laki tua yang udah ngebayarin dia siang tadi. Aku gak salah dong, kalau curiga." Wanita itu tetap bersikeras, dan suami hanya diam, tak sama sekali membelaku.Ada yang sakit di dadaku melihat keraguan di mata suamiku sendiri. Rasa haru yang baru saja tercipta seakan menguap entah ke mana."Gak pa-pa kalau Mas meragukan darah daging Mas sendiri. Aku bisa menjaganya sendiri tanpa Mas." Aku berlalu dari hadapan Mas Juna setelah mengatakan itu.Entah kenapa mendadak hatiku terasa sensitif. Aku sedih d
Keesokan harinya aku terbangun dengan perasaan aneh di dalam dada. Pusingku sudah hilang, tapi rasa sakit di hati tetap membekas. Aku memutuskan untuk tidak bergantung pada siapa pun. Jika mereka meragukan aku, maka aku akan membuktikan semuanya sendiri.Semalam setelah sholat isya, aku langsung tertidur dan tak tahu apa yang Mas Juna lakukan setelah perdebatan itu.Kuputuskan untuk membersihkan diri, lalu keluar dari kamar setelah merasa cukup segar. Rumah tampak sepi, hanya ada Ibu yang duduk di ruang makan. Beliau menoleh dan tersenyum lembut kepadaku.“Sudah mendingan, Nduk?” tanyanya.Aku mengangguk pelan. “Ibu, aku mau ke dokter kandungan hari ini. Sendiri.”Ibu mengerutkan kening. “Kenapa sendiri? Juna pasti mau menemani kamu.”“Tidak usah, Bu. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”Ibu memegang tanganku, mencoba memberikan kekuatan. “Apapun yang terjadi, Ibu yakin kamu kuat, Nduk. Ibu percaya sama kamu.”Kata-katanya seperti pelukan hangat yang menenangkan hatiku. Aku mengan
Aku menatap Paman Bamantara dengan penuh harap. Meski terdengar sulit, tapi aku berharap paman mau menuruti permintaanku. Lelaki yang usianya lebih muda dari mendiang ayahku menatapku lekat, seakan penuh tanya. Mungkin beliau heran kenapa aku tiba-tiba antusias dengan acara kantor, padahal sebelumnya aku tidak pernah peduli. Namun, di detik berikutnya paman mengalihkan pandangan dan menelpon seseorang. Rupanya paman menyuruh seseorang untuk membuatkan minuman untukku dan beliau. "Kita ngobrolnya sambil minum teh, biar lebih santai, ya," ucapnya. "Terima kasih, Paman. Jadi ... Apakah Paman bisa membantuku?" Aku kembali bertanya. Terkesan mendesak, tetapi aku benar-benar ingin tahu jawabannya. "Kau yakin?" Aku mengangguk mantap. Orang kepercayaan ayah itu manggut-manggut, tetapi belum juga menjawab pertanyaanku. Hingga ketukan pintu terdengar, dan seorang office boy masuk membawa minuman sesuai perintah paman. Dua gelas berisi teh itu ia letakkan di atas meja, kemudian pamit undu
Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku
Sementara wajahku sudah terasa memanas. Malu sendiri mendengar pertanyaan Mas Juna. Aku tahu aktivitas apa yang dimaksud olehnya."Boleh dong, Pak. Yang penting pelan saja, ya. Hindari juga aktivitas berat dan jangan sampai kelelahan. Olahraga ringan seperti jalan kaki boleh dilakukan.""Alhamdulillah." Kudengar Mas Juna bergumam. Dan hal itu kembali membuat Dokter mengulas senyum."Dukungan emosional dari suami juga penting ya, Pak. Ibu hamil sering mengalami perubahan hormon yang bisa mempengaruhi suasana hati. Jadi, bersikap sabar dan memberikan perhatian lebih sangat membantu, ya. Jangan terlalu memaksakan istri seandainya sedang dalam keadaan lemas. Karena jika dipaksakan akibatnya bisa berbahaya," pesan dokter lagi. Aku masih diam karena Mas Juna sepertinya terlihat antusias menanggapi setiap yang diucapkan dokter."Tanda-tanda bahaya seperti apa dan apa yang harus kami lakukan, Dok?" Mas Juna kembali bertanya. Wajahnya serius menyimak penjelasan."Jika terjadi perdarahan, nyer
Aku mendongak saat mengenali suara siapa yang masuk. Pria tampan yang sudah membersamaiku selama tiga bulan itu berjalan mendekatiku seraya tersenyum manis. Senyuman yang selalu kurindukan."Apaan sih, panggil ibu segala. Emangnya aku dah tua!" gurauku, seraya berdiri menyambutnya."Jangan terlalu capek," ucapnya penuh perhatian seraya memeluk dan mengecup pucuk kepalaku."Iya, tapi aku gak suka dipanggil ibu sama kamu," jawabku, merenggangkan pelukan dan pura-pura merajuk di depannya."Kan sekarang kamu atasanku, Dek." Mas Juna menoel hidungku."Kata siapa?""Kata Mas 'lah, dan itu fakta. Kamu posisinya di atas Mas sekarang.""Itu 'kan menurut, Mas. Kalau menurut aku, lebih asik yang di bawah," bisikku sengaja menggoda."Apa itu?" Mas Juna mengernyit. "Mau nggoda Mas kamu, ya?!" Tangannya kembali menarikku lebih dekat dengannya."Apa, sih. Enggak kok!" Tanganku bergerak melingkar pada pundaknya."Kalau gak ingat ini di kantor, sudah aku lahap kamu!""Lahap aja. Boleh, kok.""Kamu nan
"Wulan juga tidak tahu, Paman. Kata Mas Juna, Hanum pernah bilang kalau ayahnya masih saudara sama pemilik perusahaan ini. Barangkali itu memang benar, Paman."Paman Bamantara nampak berpikir. "Eum ... Sepertinya gak ada, Lan. Almarhum ayahmu tidak pernah cerita sama Paman.""Gitu ya.""Untuk memastikan, kamu bisa lihat di biodata Hanum. Di sana pasti ada nama ayah dan alamatnya," celetuk Adnan yang sejak tadi banyak diamnya."Iya juga. Ya sudah, aku minta biodatanya dong, Nan," pintaku yang langsung diangguki olehnya. Detik berikutnya Adnan menghubungi seseorang, dan tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu."Masuk!" ucap Adnan.Seorang bapak-bapak muncul sembari membawa satu map di tangannya."Ini berkas biodata Hanum yang Anda minta, Pak," ucapnya seraya memberikan map itu pada Adnan.Anak Paman Bamantara tersebut pun meraihnya seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu, bapak-bapak tadi undur diri."Ini, mungkin bisa membantu rasa penasaranmu." Adnan memberikan map itu padaku
"Seperti yang saya bilang saat acara kemarin, saya akan memberikan sanksi ketika berada di kantor, dan sekarang adalah saatnya," terangku."Gak! Saya gak terima. Ini namanya semena-mena. Jangan mentang-mentang Anda adalah pewaris bisa seenaknya pada karyawan seperti saya.""Kamu tidak lupa dengan semua bukti yang saya miliki bukan? Atau saya perlu beberkan semuanya di sini sekarang?""Memangnya bukti apa yang kamu miliki. Saya sudah bekerja hampir tiga tahun di perusahaan ini, sedangkan kamu baru pertama kali. Lalu tiba-tiba menurunkan jabatan saya seenaknya. Aturan macam apa ini!""Dengar, Bu Hanum. Saya dan staf lainnya sudah lama melihat gelagat Anda, hanya saja kami sengaja menunggu sampai di mana Anda mengehentikan kecurangan Anda dalam bekerja. Bukannya berubah, ternyata Anda semakin menjadi. Terpaksa kami harus melakukan tindakan seperti ini." Kali ini Adnan yang berujar tegas."Tapi tidak bisa mendadak seperti ini dong, Pak. Paling tidak saya mendapat teguran terlebih dahulu a
Keesokan paginya, aku sudah dalam perjalanan menuju kantor. Meski rasa mual masih kerap datang, aku tetap bertekad karena sudah sangat berniat untuk mulai menyibukkan diri di kantor. Lagian, aku sudah kadung janji sama Adnan dan Paman Bamantara."Kamu yakin, Dek?" tanya Mas Juna di sela-sela fokusnya mengemudi."Yakin, Mas," jawabku mantap. Aku yang duduk di sebelahnya melirik sekilas padanya untuk melihat ekspresi wajahnya. "Kenapa, Mas?""Gak pa-pa, Dek. Memangnya kamu gak malu punya suami cuma karyawan biasa?""Gak. Kenapa malu? Mas Juna kan kerjanya halal."Kulihat pria tampan di sampingku itu menghela napas."Kenapa, Mas? Atau jangan-jangan kamu yang gak nyaman dengan keberadaanku yang menjabat sebagai CEO?"Sontak pertanyaanku membuat Mas Juna menoleh sekilas padaku."Kok kamu mikirnya gitu sih, Dek? Demi Allah, Mas gak pernah berpikir seperti itu.""Ha ha ha, muka Mas Juna lucu. Wulan cuma bercanda, Mas,' kelakarku untuk mencairkan suasana."Ish! Kamu ini ya, Dek. Awas ya ....
Dia terkekeh. "Gak. Masa remaja Mas gak ada waktu buat pacaran. Apalagi sejak bapak meninggal, Mas sibuk bantu ibu mencari uang dan belajar. Mas punya mimpi sekolah yang tinggi biar jadi orang sukses biar ibu gak perlu lagi capek cari uang. Alhamdulillah Mas bisa dapat beasiswa saat SMA dan perguruan tinggi sehingga Mas bisa mendapatkan pekerjaan dan gaji yang lumayan.""Terus, kenapa Mas bisa dekat sama Mbak Hanum? Malah aku perhatikan Mas begitu nurut sama dia. Bahkan terkesan sangat percaya sama dia. Mas sebenarnya suka ya sama dia? Secara, Mbak Hanum 'kan cantik dan seksi." Aku melepaskan pelukan karena kesal sendiri.Lagi-lagi Mas Juna tertawa melihat tingkahku."Itu karena Mas punya hutang budi yang banyak sama Hanum dan keluarganya.""Hutang budi apa?" Aku menoleh padanya."Banyak. Mulai dari pergaulan, pekerjaan dan lainnya. Berkat Hanum Mas gak lagi mendapat perlakuan kasar di sekolah. Keluarganya juga membantu Mas mencarikan pekerjaan. Termasuk membantu Mas masuk ke perusaha
"Sepertinya itu ide yang bagus, Mbak. Mungkin aku akan mempertimbangkannya," ucapku kemudian, seraya melirik Mas Juna yang menghela napas."Gitu dong. Jadi perempuan gak usah sok."Aku tak lagi mempedulikan Hanum yang terus ngoceh di seberang sana. Fokusku teralihkan oleh pergerakan suamiku yang tiba-tiba menjadi salah tingkah karena terus aku pandangi.Hingga panggilan diakhiri sepihak oleh Hanum, aku masih memperhatikan wajahnya."Kenapa sih, Dek?" Mas Juna membuka suaranya beberapa saat setelah aku selesai telepon. "Nih apelnya dah selesai Mas potong. Dimakan ya." Ia meletakkan potongan buah yang sudah tersaji di atas piring kecil, tepat di depanku."Mas ...." panggilku penuh arti.Lelaki dengan alis tebal itu kembali menghela napasnya, seakan mengerti bahwa panggilanku menuntut penjelasan."Makanlah dulu, setelah itu kita bicara di kamar." Mas Juna mengelus lembut pucuk kepalaku, kemudian mulai mengambil sarapan dan menyantapnya.Sementara aku yang memang tak berselera hanya bisa
"Eummm ... Mungkin. Meskipun hati kecil Mas sebenarnya sangat percaya padamu. Hanya saja, Mas memang merasa aneh ketika ada seorang pria yang rela mengeluarkan uang banyak untukmu. Mas cemburu, dan Mas merasa gagal menjadi suami. Untuk sekedar perawatan saja, kamu harus meminta bantuan orang lain." Kali ini Mas Juna menunduk. Kini bergantian aku yang menangkupkan tangan mengangkat wajahnya."Mas gak gagal, tapi aku yang gak tahu diri. Niatnya mau nyenengin kamu dengan melakukan perawatan diam-diam, tapi malah jadi begini." Aku menghela napas panjang."Berarti akar masalahnya adalah kurangnya komunikasi di antara kalian." Tiba-tiba suara ibu menyela dari samping. Wanita paruh baya yang masih segar bugar itu mendekat, kemudian berdiri di sisi kiri Mas Juna."Menyatukan dua hati yang dibesarkan di lingkungan yang berbeda memang tidak mudah. Apalagi kalian menikah melalui jalan ta'aruf yang tentunya belum begitu memahami satu sama lainnya. Kalau sudah begitu, komunikasi adalah jembatan
"Kamu kenapa, Jun? Kenapa kamu tidur masih menggunakan dasi?" tanya ibu. Nadanya terdengar bingung.Alih-alih menjawab pertanyaan ibu, Mas Juna justru berjalan gontai menaiki tangga tanpa mempedulikan aku dan ibu yang memperhatikannya.Ku pandangi punggung lelaki yang menjadi imamku dua bulan ini menyusuri tangga. Seperti ada yang menghimpit, seketika dadaku terasa sesak melihat sikapnya. Namun, sebisa mungkin aku terlihat biasa saja di depan ibu. Bukan karena aku merasa tidak bersalah, tetapi aku ingin pelan-pelan saja menjelaskan semuanya pada ibu. Semoga saja ibu mau mengerti dan tetap menyayangiku."Nduk," panggilan ibu yang lembut seketika membuatku teralihkan. "Mau sarapan dulu atau menunggu Juna?" lanjutnya.Bimbang. Aku tak tahu harus bagaimana. Ingin menyusul ke atas sebenarnya, tetapi ada keraguan dalam hati. Khawatir kembali mendapat penolakan."Lebih baik kita sarapan dulu. Kamu harus ingat janin yang ada di perut kamu, ya. Ayok Ibu temenin," ucap ibu seolah mengerti kerag