"Mas Juna ..." Aku sengaja memanggil Mas Juna untuk melihat bagaimana dia akan menyikapi hal ini.
Suamiku ini sepertinya kebingungan. Dia menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal. Thin. Thin! Bunyi klakson terdengar dari belakangku. Aku menoleh, pun dengan Mas Juna dan Hanum. "Wulan, dari pada gak dianggap, yuk sama aku aja. Aku tahu rumah Juna, kok." Seseorang yang ternyata Bobi itu sedikit berteriak. "Iya, deh." Aku langsung berbalik pura-pura menyetujui ajakan Bobi untuk mengetahui reaksi Mas Juna. "Eh, Sayang. Mau ke mana?" "Udah biarin aja dia pulang sama Bobi. Kamu sama aku." Seketika ayunan langkahku berhenti mendengar ucapan Hanum. Kurang asem, aku sudah terpancing emosi oleh Hanum. Astaghfirullahal 'adziem. "Sayang ..." Mas Juna menyusulku. "Ayuk masuk mobil." Dia meraih tanganku. "Gak sebelum Hanum turun," ujarku sedikit ketus. "Iya, Sayang. Tadinya juga mau aku suruh turun kok, kamu malah pergi." "Ya udah, buru ..." Aku mencebik manja. Lalu Mas Juna menuntunku kembali menuju mobil. Namun sebelum itu, Mas Juna berteriak pada Bobi. "Pulang sono ... Ditungguin emak loe di rumah." "Num, sorry, ya. Kamu duduk di belakang. Ini tempat Wulan sekarang." Mas Juna meminta Hanum untuk pindah. "Arjuna ... Kamu ..." Hanum seperti tak percaya suamiku tega melakukan itu padanya. Padahal dia kan bukan siapa-siapanya, ya, kenapa kayak gitu reaksinya? "Kalau kamu keberatan, mendingan kamu pulang sama Pak Sapri, tuh masih nungguin di sana," ujar Mas Juna lagi. "Ck!" Hanum berdecak, tetapi dia akhirnya turun dan pindah ke pintu belakang. "Bukain!" "Gak boleh! Mas Juna bukan kacung kamu, ya!" Aku menahan tangan Mas Juna yang hampir terangkat menuruti perintah Hanum. Kemudian Hanum seperti terpaksa membuka pintu mobil, lalu masuk dan menutupnya dengan kasar. "Yuk, Mas." Aku dan Mas Juna pun naik. Beberapa saat kemudian mobil kami melaju perlahan. Mas Juna terlihat kedinginan, apalagi Hanum meminta untuk menghidupkan Ac-nya. "Mas kedinginan ya?" tanyaku perhatian. "Iya, sedikit." Aku ingat, di jok belakang ada jaketku yang sengaja aku tinggal. "Sebentar aku ambil jaketku dulu di belakang." "Ini pakai blazermu aja, Jun. Aku gak pa-pa kok." Hanum ternyata sudah gercep melepaskan blazer Mas Juna yang sempat ia pakai. "Gak pa-pa, aku pakai jaket Wulan aja." Mas Juna menolak. Aku yang sudah bersiap mengambil jaket di belakang meneruskan gerakan yang sempat tertunda sambil berbisik pada Hanum, "Aku istrinya, prioritasnya, bukan kamu!" Setelah itu aku berikan pada Mas Juna dan membantu dia untuk memakainya, karena dia fokus pada jalan. Tiba-tiba terbesit ide untuk menambah panas di hati Hanum. Aku mendekati Mas Juna dan sengaja menc ium pipinya. "Nakal kamu, ya." Tak disangka Mas Juna justru balas menarik kepalaku dan mencium bibirku sekilas. Dalam hati aku bersorak. Ahaiiii ... Emang enak jadi obat nyamuk! "Menjijikkan kau, Juna. Awas saja apa yang bisa aku lakukan padamu!" Hah! Apa katanya, menjijikkan? Walau suaranya lirih, telingaku masih mendengar perkataan Hanum, tapi lebih baik aku pura-pura gak denger aja deh. Malas ribut, dah malem. "Udah, Mas. Dilanjut di rumah aja, ya. Malu sama Mbak Hanum." Aku sengaja berbicara dengan suara keras agar perempuan di belakangku itu mendengarnya. Lalu aku kembali duduk tegak sambil melihat Hanum dengan ujung mataku. Dia terlihat sedang melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah ditekuk menghadap ke jendela. Dih, bodo amat. Suami, suamiku, kenapa dia sewot? Tadi aku dengar dia akan melakukan sesuatu pada Mas Juna. Sampai di rumah nanti, aku harus bertanya tentang kedekatan Mas Juna dengan Hanum. Aku perlu tahu setidaknya untuk mewaspadai jika wanita itu ternyata mempunyai rasa lebih terhadap Mas Juna. **** Jebret! Hanum lagi-lagi membanting pintu mobilku saat dia turun karena sudah berada di halaman rumahnya. Halaman rumah yang ternyata sangat luas menurutku. Rumahnya juga terlihat mewah dan besar. Sepertinya keluarga Hanum kalangan menengah ke atas. Ah, entahlah, bodo amat. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hanum berjalan masuk ke dalam. Aku hanya bisa geleng kepala melihat tingkahnya. Pun dengan Mas Juna yang diam sambil memperhatikan Hanum melewati pintu masuk rumah bercat coklat dan silver. Namun, ada yang aneh dengan perubahan wajah Mas Juna. Dari sorot mata yang memandang Hanum, aku melihat ada kecemasan di sana. Mas Juna juga menjadi pendiam saat mobil sudah kembali melaju hingga sampai di rumah yang kami tempati. Aku yang memang sudah sedikit mengantuk pun tak begitu banyak bertanya. Lebih baik aku tunda menginterogasinya. Besok sajalah kalau sudah santai. *** [Juna, aku gak suka ya, kamu mesra-mesraan sama Wulan. Apalagi itu di depanku!] [Kalau kamu masih begitu juga, aku akan melakukan sesuatu padamu.] Mata yang semula masih mengantuk seketika melebar saat melihat chat Hanum di ponsel Mas Juna. Semakin terbelalak ketika membaca pesan balasan yang dilayangkan suamiku. . .[Iya, Num, aku mengerti. Maaf aku tidak sengaja. Mungkin karena aku dan Wulan masih pengantin baru.][Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kamu maafin aku 'kan?][Hanum ...]Sepertinya chat Mas Juna tidak terbalas. Yang membuatku merasa aneh, kenapa Mas Juna seperti takut Hanum marah padanya? Ada apa sebenarnya?Huffhh. Aku harus segera menemukan titik terangnya. Untung setelah selesai shalat tahajud aku inisiatif mencabut charger yang masih terhubung dengan ponsel Mas Juna. Dan entah kenapa aku yang biasanya cuek dengan benda pipih ini, sekarang tiba-tiba merasa penasaran untuk membuka. Ternyata Allah ingin menunjukkan hal ini padaku.Oke, fix. Aku harus segera bertanya seberapa jauh persahabatan yang dijalin suamiku dengan wanita itu.Ah, dari pada pikiranku kacau memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik aku nderes saja sambil menunggu subuh, gumamku.Benar saja, setelah mengaji beberapa menit, adzan subuh berkumandang. Kukerjakan sholat qobliyah subuh ketika adzan selesai dan sebe
"Kamu ini ..." Ibu tertawa kecil. "Status sosial kami sangat berbeda, Nduk. Mana mungkin mereka pacaran. Tapi ...""Tapi apa, Bu?" Aku langsung menyela karena ibu menjeda ucapannya."Lagi ngomongin apa, sih? Serius banget." Saat ibu mulai membuka mulutnya tiba-tiba Mas Juna muncul dan ikut menyela."Eh, Mas ... Baru aja aku mau panggil Mas buat sarapan." Aku sedikit gugup, khawatir suamiku ini tahu bahwa aku sedang mencari tahu tentang Hanum."Ini, si Wulan tanya tentang Hanum," sahut ibu."Oh ... Kami baru bertemu tadi malam di acara reuni," ujar Mas Juna seraya duduk di sebelahku, lalu dia memandangku. "Kenapa gak tanya-tanya ke Mas? Hem?""Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma pengen denger versi kamu sama Ibu." Aku nyengir kuda saat menjawabnya."Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja, sekarang kita sarapan dulu, yuk. Sebentar lagi Juna 'kan kerja." Ibu lalu berdiri hendak mengambil piring di dapur, dan segera kucegah."Biar Wulan saja, Bu." Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung berjal
Hanum mencebik, tetapi tak terlihat gerak-gerik akan meninggalkan rumah ini. Dia tetap anteng duduk di tempatnya tanpa menyentuh makanan hasil olahanku.Uhukkk!Tiba-tiba Mas Juna keselek."Minum, Jun. Ya ampun ...." Hanum cekatan mengambilkan segelas air putih untuk Mas Juna, lalu sekaligus membantu meminumkannya.Waw, gercep sekali."Kamu ini gimana, sih! Bisa nyuapin gak? Dasar gak becus! Sini, biar aku aja yang suapin Juna!" Hanum memarahiku kemudian merebut piring yang ada di depan Mas Juna, dan mengambil alih peranku. Padahal Mas Juna sendiri yang meminta aku untuk menyuapinya.Aku sengaja diam untuk mengetahui bagaimana reaksi Mas Juna pada sahabatnya itu. Kalau dia mau-mau saja tanpa mempedulikan aku, artinya aku tidak lebih penting dari si Hanum itu.Aku masih diam terpaku untuk beberapa menit sambil melirik ibu mertua sebentar. Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi beliau."Kamu ini, Jun ... Seperti anak kecil saja disuapin segala." Tiba-tiba ibu bangkit, mendekati Mas Juna y
Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya."Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi."Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya."Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung."Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.Cup. Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you
"Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru
"Astaghfirullah ... Apa ini?" Aku masih mengamati satu persatu foto yang mirip seperti Mas Juna sedang merangkul seorang wanita berpakaian kurang bahan di sebuah bar. Sekilas wajah wanita itu mirip dengan Hanum, dan dari pakaian si lelaki memang warnanya mirip dengan yang dikenakan Mas Juna barusan. Hanya saja ...Seketika satu sudut bibirku terangkat. Mungkin dia kira aku bodoh. Dasar amatir!Derit pintu kamar mandi mengalihkan perhatianku. Mas Juna tampak segar dengan rambut basah dan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya membuatku terpaku."Mas belum shalat isya, Dek. Sabar, ya!" celetuk Mas Juna membuatku terkesiap."Ah, apaan, sih. Ya udah sana shalat. Aku udah, tuh," sahutku salah tingkah."Siapa yang ajak kamu, orang Mas cuma kasih tau, kok." Sambil memakai sarung Mas Juna menimpali.Aku pura-pura menunduk sambil bermain ponsel. Nyatanya mataku ini masih curi-curi pandang ke arah suami tampanku yang kini sudah rapi dengan baju koko dan peci di kepalanya. La
"Ya, kecuali. Kecuali ... Kalau aku juga jadi menantu Tante. Bukankah seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu, Tan?" Uhukkk! Ibu terbatuk. Mungkin beliau juga kaget sama sepertiku dengan pernyataan Hanum yang aneh itu. Huh! Bilang aja mau jadi pel4kor. "Assalamualaikum ..." Terdengar suara pria tercintaku mengucap salam. Aku segera muncul sebelum jailangkung itu mendahuluiku. "Wa'alaikumsalam, Mas ..." Aku berjalan cepat meraih telapak tangan Mas Juna dan menciumnya dengan ta'zim, lalu berdiri sedikit mencondongkan kepala sebagai isyarat untuk Mas Juna mengecup keningku. Tak kupedulikan tanggapan ibu apalagi Hanum. Cup. Yesss! Alhamdulillah, Mas Juna mengerti bahasa isyaratku. "Eh, ada Hanum juga, ya." Mas Juna nampak kaget melihat sahabatnya itu sudah duduk bersama ibu di pagi buta seperti ini. Mas Juna lalu menyalami ibu, dan tentu saja Hanum sudah menyodorkan tangannya berharap suamiku ini juga akan menyalaminya. "Eits!" Aku menepuk lengan Mas Ju
"Gak u--""Udah terima aja, Mas. Mbak Hanum pasti di rumah sudah mencicipi ini sebelumnya. Sudah siang loh, Mas juga belum mandi. Kalau berdebat terus kapan kelarnya. Iya 'kan, Mbak? Makasih loh," ucapku memotong ucapan Mas Juna sambil tersenyum pada Hanum, lalu mengambil piring berisi omelette milik Hanum dan memberikannya pada Mas Juna."Ya udah, deh, makasih ya, Num." Akhirnya Mas Juna memakan sarapannya."Kalian, ini. Seperti anak kecil saja." Ibu hanya geleng-geleng kepala.Sedangkan aku? Aku juga menyantap omelette pemberian sahabat suamiku dengan riang gembira.Kok rasa omelette-nya mirip punya abang-abang di ujung gang sana ya? Katanya bikin sendiri. Ah, sudahlah, yang penting hari ini aku jadi gak capek masak. Makasih ya, sahabat suamiku.***"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Udah pulang, Mas?" Aku menyambut Mas Juna yang hari ini pulang tepat waktu. Tak lupa mencium tangannya dengan takzim dan mengambil alih tas kerjanya."Iya, Dek. Alhamdulillah gak ada lembur lagi.""Syu
Mataku terpejam, menahan geram dan keinginan untuk merobek mulutnya yang tak bertulang itu. Sekuat tenaga aku menetralkan emosi, karena jika aku terpancing, Hanum pasti akan merasa menang. Menarik napas panjang, aku kemudian menatapnya. "Siapa yang piala bergilir ya? Ah, aku jadi teringat cerita tentang seorang wanita yang rela melakukan segala cara, asalkan bisa naik jabatan dan dapat uang jajan setiap bulan. Termasuk menyerahkan kesuciannya." Satu tanganku terangkat memegang janggut seakan tengah berpikir. Sementara wajah Hanum terlihat berubah merah. "Apa maksudmu?!" sentaknya. "Gak ada. Udah, ah. Aku malas meladeni orang yang suka fitnah gak jelas." Setelah itu aku melangkah meninggalkannya begitu saja, kembali ke ballroom. Ketika aku masuk, tepuk tangan semakin meriah. Rupanya MC menyebutkan acara yang selanjutnya yaitu penghargaan khusus untuk karyawan. Sepertinya ini yang mereka tunggu-tunggu. MC mulai menyebutkan kategori apa saja yang akan mendapatkan penghargaan. B
Aku menuruni panggung dengan tenang setelah memberikan pidato singkat tadi. Adnan mengiringiku hingga kembali ke tempat dudukku, lalu berbisik pelan, “Kamu pasti akan menghadapi banyak pertanyaan setelah ini. Tapi aku yakin kamu sudah siap, kan?” Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Sudah waktunya, bukan?” Adnan mengangguk tipis, lalu duduk di tempatnya. Ponselku kembali bergetar. Dugaanku itu adalah Mas Juna yang mengirimkan pesan, dan ternyata tebakanku tak meleset. [Wulan.] [Ya, Mas ] kali ini aku langsung membalasnya [Kita perlu bicara sekarang] [Baiklah] Setelah itu aku sedikit menoleh ke belakang. Ekor mataku menangkap Mas Juna melangkah keluar ballroom. Ia meninggalkan Hanum yang masih terpaku di tempatnya. Aku pun mulai beranjak."Mau ke mana?" tanya Adnan."oh, aku mau ke toilet sebentar," jawabku terpaksa berbohong."ya, baiklah."Setelah itu aku benar-benar melangkah menuju balkon.Mas Juna sudah menungguku. Dengan stelan jas hitam senada dengan celana d
Di dalam ballroom, suasana tampak meriah. Para tamu menikmati hidangan dan dekorasi mewah yang menghiasi ruangan. Namun, semua mata tertuju padaku dan Adnan saat kami melangkah. Dadaku berdegup kencang seiring kaki ini melangkah. Keringat dingin mulai membasahi kening. Dapat kurasakan dinginnya telapak tanganku yang basah oleh keringat gerogi. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa berbicara lancar nanti."Halo, Nak. Akhirnya kamu bersedia datang ke sini." Paman Bamantara menghampiriku."Eh, Paman. Apa kabar?" sapaku."Baik, dong. Seperti yang kamu lihat." Paman merentangkan tangannya, menunjukkan bahwa badannya tetap tegap, itu artinya dia sehat meskipun sudah tidak muda lagi.Kemudian aku dan paman ngobrol. Beberapa kolega ayah yang mengenalku juga turut menghampiri dan menyambutku dengan baik.Saat aku tertawa, tak sengaja mataku melihat Mas Juna dan Hanum yang memperhatikan aku dari jarak yang agak jauh. Mungkin mereka heran kenapa aku bisa mengenal para petinggi perusahaan ini.I
"Mas Juna, Hanum." Aku berucap lirih, tak menyangka akan bertemu mereka di sini. Namun, ada hal yang terasa begitu menohok hatiku, ialah Mas Juna yang masih membiarkan Hanum mengapit lengannya, padahal jelas ada aku di depannya."Ouh, rupanya kamu yang datang, Wulan. Gak salah alamat kamu?" Hanum mencibirku dengan gayanya yang tetap angkuh.Aku menyilangkan kedua tangan di atas dada. "Kenapa memangnya?" ucapku tanpa gentar."Ya ampun, Wulan ..." Dia terkekeh, tetapi kekehan itu lebih kepada menghinaku. "Ini acara besar, dan hanya orang-orang penting dan karyawan yang boleh hadir. Memangnya kamu siapa? Bahkan undangannya saja kamu gak punya. Itu artinya kamu gak diterima di sini," sambungnya masih dengan tawa mengejek."Kata siapa? Aku diundang, kok. Justru aku diundang secara khusus di sini."Lagi-lagi Hanum tertawa kecil. "Diundang? Kamu yakin? Jangan-jangan kamu cuma nyelip di mobil orang ya? Atau datang sendiri berharap ada yang kasihan dan ngajak masuk?"Aku menggeram dalam hati,
Seperti hari-hari biasanya, aku membantu ibu membuat sarapan di dapur. Meskipun Mas Juna masih marah, aku tetap melakukan kewajibanku melayani makannya. Namun, saat mencium bau bawang putih, perutku rasanya seperti diaduk-aduk. Aku berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan dari perut yang belum terisi apa-apa."Ya Allah, Nak. Kalau kamu gak kuat, jangan dipaksakan. Biar Ibu saja yang masak, kamu istirahat saja, ya. Itu pasti bawaan bayi." Ibu dengan lembut mengurut tengkukku agar sedikit lega."Iya, Bu. Maaf ya, perut Wulan mual banget," ucapku sambil menahan rasa tak enak."Iya, gak pa-pa kok. Kamu istirahat saja di kamar."Aku bergeming. Rasanya malas bertemu dengan Mas Juna yang jutek padaku."Istirahat saja di kamar Ibu yang lebih dekat dengan dapur, biar gak perlu naik tangga," ujar ibu seperti tahu kegelisahanku."Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Maaf gak bisa bantu Ibu.""Iya, Sayang. Sama-sama."Setelah itu aku benar-benar masuk ke kamar Ibu dan berbaring di ranjang sampai tak t
"Kamu tahu alasanku kenapa tidak mau melakukan tes DNA, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan mau membahayakan nyawa anakku. Kalau kamu tetap pada pendirianmu itu, terserah. Dan soal laki-laki yang rela mengeluarkan uang demi aku, hari ini juga aku kenalkan siapa dia padamu kalau kamu mau. Aku tidak memintamu untuk percaya padaku, karena apapun yang aku katakan, kamu sulit mempercayainya karena yang ada di pikiran kamu itu cuma perkataan Hanum adalah yang paling benar. Dan aku yakin, semua tuduhanmu itu pasti berdasarkan pemikiran wanita yang berkedok sahabatmu itu! Atau sebenarnya kamu yang ada main dengannya, Mas? Sepertinya apapun yang dia katakan kamu selalu mendukung." Aku balas menudingnya. Aku bahkan seakan tak peduli andai rumah tanggaku akan hancur hari ini. Padahal sebelumnya aku bertekad untuk mempertahankan mahligai cinta yang kami bina baru seumur jagung ini."Jangan memutar balikkan fakta, Wulan. Kau yang berselingkuh kenapa jadi aku yang dituduh?""Sepuluh hari, Mas. Mar
Sekitar pukul tiga siang aku baru sampai di halaman rumah. Terlihat Ibu berdiri di ambang pintu seperti tengah menungguku."Assalamualaikum, Bu." Kuulurkan tangan menyalami beliau."Waalaikumsalam, Nak," sahutnya sambil menerima uluran tanganku. "Kenapa baru pulang? Ibu khawatir. Telepon Ibu juga gak kamu angkat. Kamu pergi dari pagi loh, Sayang," lanjutnya mencercaku dengan raut wajah yang memang terlihat sedang khawatir."Maaf, Bu. Tadi Wulan mampir ke mall dulu buat ngilangin stres. Dokter bilang ibu hamil gak boleh terlalu banyak pikiran, jadi Wulan jalan-jalan bentar, deh." "Dokter benar, Nak. Tapi kenapa telepon Ibu gak kamu angkat?""Soal itu ... Sebentar." Aku mengambil gadget di dalam tas dan memang betul ada tiga panggilan tak terjawab dari ibu mertuaku. "Maaf, Bu, handphone-nya Wulan silent karena Mas Juna marah-marah gak jelas tadi."Sengaja aku menceritakan yang sebenarnya sama ibu. Bukan bermaksud mengadu, tetapi mulai sekarang aku tidak ingin menyimpan semuanya sendiri
Segera kubuat mimik sesantai mungkin agar dia tak curiga. "Gak, kok. Biasalah, Mas Juna nyuruh aku pulangnya jangan terlalu sore." Aku terpaksa berbohong. "Oh ...." Adnan terlihat mengangguk, kemudian kembali berkata, "Juna pasti beruntung banget ya memiliki kamu, sampai dia begitu menjagamu. Pulang saja diperhatikan." Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul, karena sungguh kenyataan yang sedang kuhadapi tidak seperti penilaiannya. Adnan melirik arloji di tangan kirinya, lalu berpamitan padaku, "Jam istirahat siang sudah habis, aku harus segera kembali ke kantor. Tapi sebelum itu aku akan mengantarmu." "Tidak usah. Aku masih mau jalan-jalan lagi di sini sebentar. Kamu balik aja, gak pa-pa." "Baiklah, jangan terlalu capek. Wajahmu terlihat pucat." "Iya, aku hanya kelaparan tadi. Setelah makanan yang kumakan dicerna, aku pasti kembali cerah." Dia hanya mengangguk kemudian berdiri. Namun, saat kakinya terayun satu langkah aku menghentikannya. "Adnan." "Iya." Dia kembali menole
Reflek aku menoleh dan mendapati Adnan sudah berdiri di sana sambil tersenyum padaku. "Adnan ... Ngapain kamu di sini?" "Habis ketemu klien tadi, terus lihat kamu. Baju bayi?" Keningnya berkerut. Entah bertanya atau menebak, aku tidak tahu isi pikirannya. "Hanya melihat-lihat, kok," kilahku. "Owh. Sendirian?" "Iya. Kan Mas Juna kerja." Dia mengangguk. "Dah makan?" Ah, bahkan aku lupa jika dari pagi aku belum memasukkan sesuatu ke dalam perutku. Astaghfirullah ... Kasihan bayiku. Kenapa aku teledor sekali. "Belum. Temenin aku makan yuk." Aku langsung mengajaknya seraya berjalan menuju tempat makan di mall ini. Adnan mengikuti dari belakang. Setelah menemukan tempat makan yang cocok, aku duduk satu meja dengannya. Melihat menu-menu yang hampir keseluruhannya khas Jawa Tengah membuatku semakin berselera. Bahkan air liurku seakan menerobos keluar saking tidak sabarnya untuk segera menyantap. Aku memesan Nasi Liwet, dan Soto Semarang. Entah nyambung atau tidak tapi rasanya aku