Aku pergi ke klinik terdekat diantar Bi Narti. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kami harus menggunakan taksi untuk ke sana karena kondisiku yang masih lemas. Kuminta perempuan itu menunggu di luar sementara dokter memeriksa.
Sesuai prediksi, asam lambungku naik dibarengi dengan anemia yang keduanya memang sering berkencan dengan tubuh ini jika terlalu lelah atau stres."Kamu ada masalah apa, Nda?" tanya Dokter Fahira. Dia tetangga dekat rumah, sekaligus temanku satu-satunya setelah menikah dengan Mas Arsya. Memang baru sekitar empat bulan kami saling mengenal, tapi kami sering berbincang saat aku mengajak jalan-jalan Arumi di sekitar kompleks setiap sore sambil menunggu Mas Arsya pulang. Meskipun tidak setiap hari, tapi itu membuat kami dekat."Nggak ada, Ra. Aku—""Kalau nggak ada apa-apa, cek sekarang. Aku juga mau lihat hasilnya," desak dokter berjilbab putih itu."Nanti aku cek di rumah saja. Kasihan Bi Narti nungguin. Berikan resep sesuai diagnosismu saja," bantahku cepat."Baiklah kalau itu yang kamu mau, tapi tolong kabari aku apa pun hasilnya." Dokter Fahira menatapku tajam.Aku hanya mengangguk, lalu pamit setelah dia memberikan resep obat. Namun, Dokter Fahira berusaha menahan dan mengulangi perkataannya tadi.***Bi Narti langsung menghampiri saat aku keluar dari ruangan dokter. Kami lalu berpindah ke apotek yang berada di sebelah klinik untuk menebus obat.Bi Narti sangat perhatian kepadaku seperti Ibu sendiri. Dia merawatku dengan sangat baik. Bubur hangat selalu dia sediakan tanpa kuminta. Bahkan, minum obat pun, dia yang terus mengingatkan.Sempat aku berpikir jika Mas Arsya akan sedikit luluh saat aku sakit. Namun, lagi-lagi itu menjadi harapan kosong. Laki-laki itu justru pergi entah ke mana bersama adik iparnya. Entah mereka masih berdua sampai malam selarut ini atau tidak.Untuk memani sepi, aku sering sekali membuka aplikasi W******p untuk sekadar melihat foto profil Mas Arsya. Jari-jari ini sebenarnya gatal untuk mengetik sesuatu dan mengirim pesan untuk ayah Arumi itu, tapi keberanianku tidak ada. Cukup membaca lagi pesan-pesan kami terdahulu yang tidak pernah kuhapus, itu sudah membuat rasa rindu sedikit terpupus.Baru saja, terlihat nomor Mas Arsya sedang online. Pukul sebelas malam, dia belum tidur. Satu hal yang membuatku tidak percaya, tulisan online di bawah nama Mas Arsya, berubah menjadi 'mengetik'. Apa dia juga sedang membuka laman pesan W******p-ku?Ada debar bahagia yang tiba-tiba menelusup pada hati ini. Mas Arsya mengingatku dan sedang menulis pesan untukku. Namun, cukup lama menunggu, tidak ada satu pun pesan masuk darinya. Bahkan, nomornya sudah offline.Hah, aku terlalu berharap.***Aku mendengar suara derit pintu diikuti sinar menerobos masuk kamar yang gelap ini. Kebiasaanku memang mematikan lampu sebelum tidur. Samar, tapi kulihat sosok laki-laki melangkah pelan masuk kamar ini. Buru-buru aku menutup mata kembali saat yakin jika sosok itu adalah Mas Arsya. Entah jam berapa ini, tapi dari situasi, sepertinya masih belum pagi.Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku diikuti suara pelan. "Masih demam."Hanya itu, lalu kurasakan selimut yang tadinya hanya menutup pinggang sampai kaki, bergeser menutup hingga leher.Sekarang aku tahu, Mas Arsya juga tersiksa dengan keadaan ini. Hanya saja, rasa kehilangannya terhadap Arumi menutup cinta untukku.Setelah laki-laki itu keluar dari kamar ini, aku langsung membuka mata. Sungguh, kesabaran pasti akan mendapatkan imbalan sesuai takarannya dan pada waktu yang tepat. Aku hanya perlu berusaha mempertahankan dan memupuk kesabaran agar berbuah manis nantinya.Jam baru menunjukkan pukul tiga, aku pun beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudu. Berkencan dengan Allah akan menjadi obat paling mustajab pastinya. Dan setelah itu, hati ini menjadi lebih tenang. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, aku siap menghadapi. Apalagi, melihat perhatian kecil dari Mas Arsya tadi, membuat harapan besar untuk hubungan pernikahan kami.Kembali aku berkutat di dapur selepas salat Subuh. Aku akan memasak makanan kesukaan Mas Arsya untuk sarapan nanti. Dia pasti sangat rindu dengan masakan yang sering kubuat setelah kami menikah.Bi Narti yang membantu memasak pun kebingungan karena senyumku terus mengembang. Bahkan, kondisi tubuh yang semalam masih begitu lemas, kini terasa begitu bugar."Mbak Manda jangan capek-capek dulu. Baru juga baikan," tegur perempuan paruh baya itu."Aku sudah sehat, Bi," sanggahku tetap dengan senyum.Setelah semua siap di meja makan, aku kembali ke kamar untuk mandi dan sedikit berdandan. Penampilanku sebelumnya pasti membuat Mas Arsya jengah, dan kali ini aku ingin membuatnya terpesona.Tepat saat aku keluar dari kamar, Mas Arsya juga keluar dari kamarnya. Dia tampak sudah rapi dan sangat tampan. Sembari mengulas senyum, aku menghampirinya. Semoga penampilan ini tidak mengecewakan."Sarapan sudah siap, Mas. Ayo—""Siapa yang menyuruhmu memasak?" ucapnya sambil memalingkan wajah dariku."Itu ... aku—""Aku akan melamar Jihan secepatnya. Jadi, tidak perlu lagi kamu memasak di rumah ini." Mas Arsya memutus ucapanku sekaligus memutus harapan yang belum lama kubangkitkan."A–apa maksud, Mas Arsya? Itu nggak bener, 'kan?" tanyaku gemetar. Ribuan batu besar seperti runtuh dan jatuh tepat di kepala ini."Buat apa aku berbohong. Memang seharusnya aku menuruti permintaan Haura untuk turun ranjang dan Arumi pasti masih bersamaku sekarang."Panas, sangat panas hati ini mendengar pengakuan Mas Arsya. Lalu, apa maksud perhatiannya semalam? Apakah itu hanya sandiwara?"Lalu, untuk apa Mas Arsya menahanku di sini? Harusnya Mas biarkan aku pergi, bukan?" Dengan sesegukan aku berusaha bicara."Kamu harus tetap di sini untuk mengurus segala keperluan pernikahanku dengan Jihan. Setelah itu, silakan pergi.""Kalau Mas Arsya hanya ingin menyiksaku, jangan seperti ini caranya." Tubuh ini kembali melemas dan menyandar di dinding.Mungkinkah kemarin Mas Arsya dan adik iparnya itu sedang merencanakan pernikahan? Begitu polosnya aku sampai tidak menyadari hal itu. Namun, mungkin pernikahan mereka bisa menjadi jalan kebebasanku. Untuk Ibu dan Ayah, aku akan memikirkannya cara untuk memberitahu mereka nanti.***Saat orang yang menjadi harapan kebahagiaan sudah berbalik arah, mungkin saat itu aku harus menyerah. Namun, satu hal membuatku sulit membuat keputusan. Aku masih saja memikirkan ucapan Dokter Fahira. Apakah mungkin?Kubuka laci nakas dan mengambil satu benda pemberian dokter cantik itu. Ragu-ragu kubuka bungkusnya dan berusaha meyakinkan diri. Namun, aku masih saja dilema dengan apa yang harus dilakukan setelah tahu hasilnya.Tok-tok-tok!"Mbak Manda, ada tamu!" Suara Bi Narti memanggil setelah pintu kamar ini diketuk.Secepat kilat aku memasukkan benda di tangan ke laci nakas. Kemudian, segera menuju pintu."Siapa, Bi?" tanyaku setelah membuka pintu."Bu Dokter, Mbak. Tetangga kompleks sini," jawabnya, lalu pamit ke dapur untuk membuat minum.Aku melangkah perlahan menuju ruang tamu. Dokter Fahira berdiri sambil melihat ke arah foto yang terpajang di dinding. Kuhela napas panjang sebelum mendekatinya."Wah, ada tamu spesial!" seruku setenang mungkin."Kamu sudah sehat, Nda? Gimana? Sudah cek? Aku tungguin dari kemaren, tapi kamu nggak ngabarin juga," cerocos dokter itu sampai aku belum sempat menjawab."Apa, sih, Ra? Duduk juga belum, main tembak aja," jawabku sambil menyalaminya. Kemudian, kami duduk bersebelahan.Dokter Fahira mulai bercerita. Dia mengatakan jika melihat Mas Arsya ada di butik milik kakaknya bersama seorang perempuan. Bahkan, Dokter Fahira menanyakan apa yang dibeli Mas Arsya kepada sang kakak. Suamiku rupanya sedang membeli baju pengantin.Kutarik napas dalam untuk menahan air yang hampir keluar dari mata. Sepertinya, semua yang dikatakan Mas Arsya memang benar. Dia sungguh-sungguh akan menikahi Jihan, adik iparnya."Nda, apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian? Cepat cek supaya nggak terlambat. Aku yakin kalau—""Negatif, Ra. Sebelum menikah, aku memang sering telat haid. Itu wajar buatku." Kusela ucapan Dokter Fahira.Dia menggeleng kasar. "Aku dokter, Nda. Kamu jangan bohong. Kamu belum cek, 'kan?""Sudah, kok. Negatif," sanggahku lagi.Dokter Fahira tidak percaya begitu saja. Dia mendesak melihat hasilnya sendiri hingga aku pun kesulitan menjawab.Aku benar-benar tidak ingin mengetahui hasilnya setelah Mas Arsya dengan jelas mengungkapkan rencananya menikah lagi. Apa pun hasilnya, pasti tidak akan mengubah pendirian laki-laki itu."Nda!"Aku tersentak karena tepukan di pundak. Dokter Fahira menatapku tajam."Negatif, Ra. Percayalah," ucapku pelan."Matamu nggak bisa bohong, Nda. Tapi, aku nggak bisa maksa. Aku cuma nggak mau orang sebaik kamu disakiti. Kepergian Arumi itu takdir. Nggak seharusnya Arsya terus menyalahkanmu."Perkataan Dokter Fahira justru membuatku menertawakan diri sendiri. Mungkin jika aku yang berada di posisi Mas Arsya, aku akan melakukan hal sama.Setelah cukup lama aku selalu menyanggah ucapan Dokter Fahira, perempuan itu pun pamit. Namun, kembali pertanyaan beruntun harus kudengar. Bi Narti rupanya menguping pembicaraanku dengan Dokter Fahira."Apa yang dibilang Bu Dokter tadi bener, Mbak?" tanya Bi Narti mendesak."Apa, sih, Bi? Emang Bibi denger apa?" Aku pura-pura tidak tahu. Kemudian, berjalan cepat meninggalkan Bi Narti setelah memberikan dua gelas kosong kepadanya.Remuk sudah perasaan ini. Angin besar seperti baru saja mengamuk hingga asa kian terpuruk. Pertahananku ambruk karena cinta yang mulai lapuk.Apakah aku harus mendengarkan saran Dokter Fahira? Atau meyakini pendirian?Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu. Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku. Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita. "Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersenta
Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat. Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah. "Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur. "Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku. "Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut. "Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu
Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya. Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar. "Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Siap, Om!" seru Kelvin semangat. Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem. Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mo
Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
"Kamu mau bawa aku ke mana?" tanyaku setelah kami memasuki area parkir apartemen. "Kamu ikut saja," jawabnya santai setelah motor berhenti. Aku pun turun dan Adam membenarkan posisi parkir sepeda motorku. Setelah itu, dia menarik tanganku perlahan. Terpaksa aku mengikutinya karena ingin tahu apa yang akan dia bicarakan. Namun, aku mulai ragu saat Adam membawaku masuk lift dan dia menekan angka lima belas. "Nggak, aku nggak bisa ikut." Kutekan lagi tanda buka hingga lift yang hampir tertutup kembali terbuka. Namun, kondisi yang cukup sepi dan tidak ada orang lain di lift, membuat Adam leluasa. Dia dengan cepat menarik tanganku, lalu menahan tubuh ini dengan satu tangan dan satu gangan yang lain digunakan untuk membekap mulutku. Kemudian, dia menggunakan siku untuk menekan tombol lift. Kotak besi ini pun membawa kami ke lantai lima belas.Aku mulai ketakutan. Adam seperti penculik yang sangat lihai. Siapa dia sebenarnya? Bukankan dia berasal dari keluarga kaya? Namun, kenapa dia har
Aku rasanya kembali hidup setelah mendengar cerita Mas Arsya tadi siang. Namun, beberapa hal masih membuatku ragu untuk percaya sepenuhnya. Dia masih belum menceritakan tentang isi pesan Whatsapp dengan Jihan yang begitu mesra. Apa iya pesan seperti itu hanya untuk mengecoh Dokter Fahira? Aneh, bukan? Jika ditilik, mana mungkin orang lain yang jarang bertemu akan mengecek pesan Whatsapp pribadi. Bahkan, aku saja jarang membuka ponselnya. Namun, aku tidak mau banyak bertanya karena pastinya jawabannya akan membela diri. Dengan hubungan yang cukup membaik ini, akan kugunakan untuk mencari tahu sendiri. Aku sekarang sendirian di apartemen yang tidak terlalu besar. Jika aku perkirakan, mungkin luasnya hanya sekitar enam kali enam meter persegi. Hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan, satu kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Bukan masalah besar kecilnya tempat ini, hanya saja, aku merasa seperti tahanan. Entah kenapa, dia juga tidak mengizinkanku kembali ke rumah saja. Satu
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S