Kupandangi wajah tampan yang sudah lelap dalam tidurnya. Rasa damai memenuhi hati ini hanya saat mata Arsya Narendra—suamiku—sedang memejam. Dia terlihat seperti malaikat yang sudah menggenapi hidupku yang sempat hampa.
Lelaki berhidung bangir dengan kulit sawo matang itu telah menghalalkanku di depan Ayah tepat tiga bulan yang lalu. Rasanya masih belum percaya jika hubungan kami yang begitu mesra berubah sedingin bongkahan es.“Kamu ngapain di sini?”Aku terperanjat. Mas Arsya tiba-tiba membuka mata, padahal baru sekitar setengah jam dia tertidur. Gegas kubawa tubuh ini turun dari tempat tidur tanpa menjawab pertanyaannya. Aku diam, menunduk dalam posisi berdiri di samping tempat tidur. Tubuh ini gemetar dengan ujung jari saling meremas.“Kamarmu di sebelah! Lupa?” tukasnya sedikit membentak.“Ma–maaf, Mas. Ta–tadi ada tikus masuk kamarnya Mas Arsya,” jawabku gugup.Mas Arsya menggeleng kasar, lalu menoleh ke arah pintu saat aku memandangnya. Sepertinya, itu isyarat agar aku keluar.“Permisi, Mas,” pamitku sebelum melangkah ke luar kamar.“Tunggu!” seru Mas Arsya. “Ambilkan saya minum dulu!” lanjutnya.Aku pun berlalu dengan hati yang terasa kembali tersayat. Ingin rasanya mengaku kalah dan pergi jauh, tetapi seolah-olah ada yang berbisik agar aku bertahan. Entah dorongan dari mana dan untuk apa? Aku hanya ingin bahagia.Segelas air putih kuangsurkan pada Mas Arsya yang sedang duduk bersandar di atas tempat tidur. Kemudian, aku segera pergi dari kamarnya. Gugup ini selalu menguasai jika bertemu muka dengan Mas Arsya karena kedua matanya yang menatapku benci. Air mata pun mulai mengalir membasahi pipi.Semua berawal dari liburan bersama bulan lalu. Aku, Mas Arsya, dan Arumi—putri Mas Arsya dari istri pertamanya yang sudah meninggal—berencana untuk menghabiskan akhir pekan di rumah orang tuaku. Memang setelah menikah, kami belum sempat mengunjunginya sekali pun.Ya, takdirku memang menjadi istri kedua dari Mas Arsya, tetapi bukan itu masalah sebenarnya. Keteledoranku saat menjaga Arumi yang masih berusia tiga tahun membuat gadis kecil itu tutup usia.Saat itu, kami sedang menghentikan perjalanan untuk makan siang. Sementara Arumi merengek untuk dibelikan es krim. Aku pun pamit pada Mas Arsya untuk mengajak putrinya ke minimarket yang letaknya tepat di seberang restoran. Dan musibah itu terjadi. Arumi berlari cukup kencang hingga tanganku yang tadinya menggandeng tangannya terlepas. Gadis kecil itu tertabrak sepeda motor meskipun aku sudah mendapatkan tangannya lagi. Sebenarnya, aku juga terluka, tetapi Arumi tidak selamat.*** Aku mendesah berat. Meskipun Mas Arsya masih memberikan nafkah lahir, tetapi aku seolah-olah bukan lagi seorang istri. Semua pekerjaan rumah sudah diambil alih oleh asisten rumah tangga, padahal sebelumnya, untuk urusan memasak diserahkan kepadaku. Dulu, dia sangat suka dengan apa pun yang aku masak, tapi sekarang, hanya sekadar menyebut namaku saja, dia enggan. Memang kesalahan yang kuperbuat tidak akan bisa dimaafkan. “Yang sabar, Mbak. Mas Arsya pasti akan luluh lagi. Dia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Setelah kehilangan mamanya Non Arumi, dia juga harus kehilangan putrinya.”Perkataan Bik Narti justru membuat hati ini makin merasa bersalah. Aku memang bukan istri dan ibu yang baik. Aku, Amanda Nurita sudah membunuh putri dari suamiku sendiri.Aku memejam sambil menarik napas panjang untuk mengurai sesak di dada yang terasa kian mengimpit. Bersamaan butiran kristal hangat yang keluar dari sudut mata, beban hati ini pun ikut meluruh meskipun hanya sedikit.“Mbak Amanda jadi ke makam? Kalau jadi, saya ikut,” pinta Bi Narti, membuyarkan lamunanku.“Jadi, Bi … jam delapan kita berangkat,” jawabku, lalu meninggalkannya ke kamar.Hari ini, tepat empat puluh hari Arumi pergi. Namun, Mas Arsya tidak mau diadakan pengajian di rumah. Bahkan, dia selalu pergi lebih pagi dan pulang larut malam setiap harinya, di hari libur sekalipun. Untuk menghindariku pastinya.'Aku mencintaimu, Mas. Namun, aku kesulitan untuk bertahan dalam pernikahan yang penuh kebencian.'Tepat jam delapan pagi, aku dan Bi Narti berangkat menuju makam Arumi. Mendoakannya adalah yang utama. Dan setelah ini, mungkin aku akan melepaskan Mas Arsya dari beban. Dia tidak perlu lagi melihat wajahku, bahkan bayanganku di rumahnya.Di depan pusara anak yang sudah sangat kusayangi, lutut ini melemas. Aku ingat betul kejadian di mana darah bersimbah di sekitar kepala Arumi sebelum aku ikut tak sadarkan diri. Aku tergugu dan tentunya masih saja menyalahkan diri sendiri yang teledor."Maafkan bunda, Nak. Bunda tidak bisa menjadi pengganti mamamu." Aku berucap lirih sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Air mata ini tidak boleh jatuh lagi meskipun tidak mampu ditahan.Saat doa sedang kupanjatkan, suara keras membuatku kaget. Aku yang dalam posisi jongkok, langsung terjungkal ke belakang. Tentu aku terkejut bukan main"Siapa yang mengizinkanmu kemari?! Kamu sudah membunuh anakku dan kamu masih beraninya kemari! Pergi! Jangan pernah memperlihatkan wajahmu lagi di depan makam Arumi!" Mas Arsya memekik dengan mata berkilat amarah.Aku bangkit dibantu Bi Narti. Asisten rumah tangga itu tampak ketakutan melihat majikannya yang dipenuhi emosi. Tangan perempuan berusia sekitar lima puluh tahunan itu gemetar saat memegang lenganku."Ayo, kita pulang, Mbak. Kita nggak bisa apa-apa kalau Mas Arsya sudah marah. Bibi takut kalau Mbak Amanda jadi korban pelampiasannya lagi," bujuk Bi Narti dengan suara pelan.Ya, memang sejak kepergian Arumi, Mas Arsya mulai bersikap dingin kepadaku. Beberapa kali bentakan dan cacian pernah kuterima hanya karena masuk ke kamar putrinya. Meskipun tidak pernah ada kekerasan fisik, Mas Arsya tampak menyesal setelahnya. Biarpun tidak ada kata maaf keluar dari mulutnya, aku tahu dari sorot matanya. Dia pasti langsung pergi dari rumah dan kembali di pagi hari, kemudian pergi lagi setelah membersihkan diri.***Aku mulai memasukkan pakaian ke dalam koper dan bersiap untuk pergi selagi Mas Arsy tidak di rumah dan Bi Narti sudah tidur. Gelapnya malam ini hampir sama dengan gelapnya nasibku. Meskipun hati ini berat meninggalkan Mas Arsya, tapi aku juga tidak mungkin tetap tinggal di tempat yang sudah menginginkan kepergianku.Brak!Aku menoleh seketika saat suara keras terdengar diikuti pintu kamar yang terbuka."Bagus," ucap Mas Arsya sambil bertepuk tangan. Ada seringai menakutkan di wajahnya saat menatapku."Ma–Mas." Aku perlahan berdiri dan beringsut mundur. Napas ini pun mulai pengap karena ketakutan yang tiba-tiba menyergap."Aku tidak akan membiarkanmu pergi dan bahagia sendiri setelah merenggut Arumi dariku." Mas Arsya mulai mendekat."Ma–maaf, Mas. Aku—" Tubuh ini terasa gemetar dan ucapanku pun terhenti saat jarak dengan laki-laki yang dikuasai emosi itu sangat dekat.Tangan kanan Mas Arsya terangkat dan itu makin membuatku tidak bisa berkutik. Aku memilih menunduk dan memejam, menunggu apa yang akan terjadi setelahnya."Jangan pernah berpikir untuk pergi atau selamanya tidak ada maaf dan ridaku untukmu."Ucapan Mas Arsya membuat mata yang memejam ini langsung terbuka. Dia sudah ada di ambang pintu kamarku. Dia menghadap ke luar sehingga terlihat punggung yang sangat kurindukan itu. Kepala ini pun mendongak, memuaskan diri untuk menikmati pemandangan yang sangat jarang bisa kutemui. Dia suamiku, tapi seperti orang asing. Setelah beberapa saat dia mematung, langkahnya berderap menjauh. Pintu kamar yang masih terbuka itu membuatku ingin sekali menyusul Mas Arsya dan memeluknya. Namun, hal itu tidaklah mungkin bisa terlaksana. Tadi, aku sempat berpikir jika Mas Arsya akan memberikan tamp*ran atau mungkin pukulan. Namun, prasangka itu tidaklah benar. Aku melihat tangan kanannya membawa kunci motorku yang tadinya menggantung di dinding, tepat di belakangku. Ya, aku mengenali gantungan kuncinya karena motor itu satu-satunya harta milik sendiri yang kubeli sebelum me
Aku pergi ke klinik terdekat diantar Bi Narti. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kami harus menggunakan taksi untuk ke sana karena kondisiku yang masih lemas. Kuminta perempuan itu menunggu di luar sementara dokter memeriksa. Sesuai prediksi, asam lambungku naik dibarengi dengan anemia yang keduanya memang sering berkencan dengan tubuh ini jika terlalu lelah atau stres. "Kamu ada masalah apa, Nda?" tanya Dokter Fahira. Dia tetangga dekat rumah, sekaligus temanku satu-satunya setelah menikah dengan Mas Arsya. Memang baru sekitar empat bulan kami saling mengenal, tapi kami sering berbincang saat aku mengajak jalan-jalan Arumi di sekitar kompleks setiap sore sambil menunggu Mas Arsya pulang. Meskipun tidak setiap hari, tapi itu membuat kami dekat. "Nggak ada, Ra. Aku—""Kalau nggak ada apa-apa, cek sekarang. Aku juga mau lihat hasilnya," desak dokter berjilbab putih itu. "Nanti aku cek di rumah saja. Kasihan Bi Narti nungguin. Berikan re
Dua garis merah terlihat sangat jelas bersanding pada alat berwarna putih yang kubawa. Air mata pun luruh tak terbendung lagi. Haruskah bibir ini melengkungkan senyum atau justru menarik garis turun dengan hasil ini. Namun, nyatanya justru luka sayat hati ini makin lebar dan begitu perih. Apalagi jika mengingat akan ada madu yang menyiram luka itu. Aku seperti daun yang mengering dan sudah tidak ada gunanya. Lantas, tertiup angin dan tidak tahu akan berakhir di mana. Jika mengingat Ayah dan Ibu, aku makin rapuh. Mereka berharap besar kepada Mas Arsya untuk kebahagiaanku, tapi nyatanya janji Mas Arsya dulu tidak bisa ditepati karena keteledoranku. Gugenggam erat benda kecil di tangan. Apakah Mas Arsya akan luluh saat tahu ada keturunannya di rahimku? Ataukah dia tidak akan peduli dan tetap melanjutkan rencana pernikahan dengan Jihan? Dua kemungkinan itu membuatku ragu untuk bercerita. "Mbak Manda!" seruan Bi Narti diikuti ketukan pintu membuatku tersenta
Aku buru-buru berlari ke toilet dan terpaksa harus melewati meja tempat Mas Arsya dan Dokter Fahira. Semoga saja mereka tidak mengenali karena aku sudah menggerai rambut dan menutupkan ke sisi wajah yang bisa saja mereka lihat. Sampai di toilet, aku benar-benar mengeluarkan isi perut meskipun hanya air. Aku memang belum makan sejak pagi dan kini tersisa rasa pahit di lidah. "Kamu masih mau mengelak, Nda?"Aku sontak menoleh. Dokter Fahira sudah berdiri di samping cermin dengan kedua tangan bersedekap. Aku bergegas membasuh muka setelah berkumur. "Kamu di sini juga, Ra? Kok, aku nggak lihat tadi?" Aku tersenyum meskipun terpaksa. "Aku duluan, ya. Lagi makan sama temen," pamitku sembari melangkah menuju pintu. Namun, dokter itu menahan lenganku. "Kamu hamil, Nda. Jujur sekarang, atau aku panggil Arsya ke sini?" ancamnya dan membuatku sedikit takut. "Bu Dokter yang cantik dan baik hati, aku hamil atau enggak, itu bukan urusanmu
Kelvin berlari menghampiri saat aku masih di halaman rumah. Bocah laki-laki itu langsung memeluk kakiku dan menangis. Aku pun berjongkok untuk menyamakan tinggi dengannya, lalu mencium kedua pipinya. Aku merasa nyaman saat berdekatan dengan Kelvin. Mungkin karena kerinduan terhadap Arumi dan itu bisa sedikit terobati saat bersama Kelvin. Kugendong anak tampan itu, membawanya menuju mobil Pak Adam yang suara mesinnya masih terdengar. "Sudah siap?" tanya Pak Adam saat aku dan Kelvin sudah duduk di sisi kiri kemudi. "Siap, Om!" seru Kelvin semangat. Saat mobil mulai melaju perlahan, Mas Arsya tiba-tiba mengadang di depan mobil. Apa -apaan dia? Itu sangat bahaya kalau saja Pak Adam tidak sigap menginjak rem. Pak Adam pun keluar dan dua laki-laki dewasa itu bicara cukup serius. Bisa kulihat dari sorot mata keduanya. Namun, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Pak Adam kembali dan langsung melajukan mo
Kejadian semalam membuatku sedikit lega karena bisa meluapkan emosi yang bercokol di hati selama dua bulan terakhir. Aku juga melakukan gerakan tutup mulut sejak semalam. Aku benar-benar tidak membuka mulut kecuali saat berwudu. Lemas memang tidak bisa dielakkan karena aku sama sekali tidak makan ataupun minum sejak kemarin. Vitamin dan obat dari dokter juga belum berkurang. Berbaring di tempat tidur menjadi hal paling kubutuhkan saat ini meskipun beberapa kali harus ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat dan saat akan menyucikan diri. Beriak angin yang menggoyangkan tirai terdengar begitu merdu. Kolase indah dari sinar mentari pagi kian menambah rasa tenang yang kuinginkan. Dua kotak jendela terbuka itu memberikan aroma pagi yang menyejukkan. Ya, hampir sama seperti hidupku. Jika angin dan sinar matahari tidak berkolaborasi, maka hanya akan menghasilkan bencana. Tidak akan ada hujan, tidak akan ada sejuk, juga tidak akan ada pelangi. Saat aku sendirian seperti i
"Yah, Bu, itu sepertinya temen kerja saya datang. Saya pamit dulu sebentar. Titip Manda, ya." Mas Arsya masuk ke kamar, lalu dia keluar membawa kunci mobil. Sebelum meninggalkan rumah, dia sempat menciun tangan Ayah dan Ibu, serta mencium keningku. Sangat jelas dia berbohong kali ini kepada Ayah dan Ibu. Aku tahu siapa orang yang mengucap salam tadi. Dia Jihan dan Mas Arsya pergi dengan perempuan itu tanpa peduli perasaanku. Baiklah, dia sukses menjadikanku mainan. Setelah Mas Arsya pergi, aku justru leluasa bermanja dengan Ibu. Ayah yang melihat pun hanya geleng kepala. Beliau tahu bagaimana aku jika sudah bertemu dengan Ibu. Kami seperti tidak bisa terpisahkan. "Kalau sudah ketemu kamu, Ayah disisihkan," gerutu Ayah. Beliau kemudian menyalakan televisi dan pas sekali acara favoritnya, sepak bola. "Hayo, Ayah jagoin mana?" tanyaku menggoda. "Indonesia, dong!" jawabnya antusias. "Oke, yang menang, dapet ciuman dari Ibu!" se
Saat Mas Arsya sudah tidur, aku memulai rencana, yaitu mengecek ponselnya. Ya, bisa dibilang lancang, tapi sebelum kami bersitegang, Mas Arsya tidak pernah bermain kucing-kucingan. Bahkan, terkadang dia yang menyuruhku untuk membalaskan pesan di ponselnya. Sama sekali tidak ada yang dia tutupi. Aku mendekat pada sofa tempat Mas Arsya tidur, lalu mengambil ponselnya yang ada di samping bantalnya. Syukurlah, kata sandi ponselnya masih sama seperti dulu, tanggal ulang tahun Arumi. Setelah kunci layar terbuka, tujuan pertamaku adalah aplikasi Whatsapp. Semoga bisa kutemukan sesuatu dari chat di dalamnya. Pesan dari Jihan ada di deretan paling atas. Tanpa pikir panjang, kubuka pesan perempuan itu. Pada pesan terakhir, terpampang kalimat manja dari Jihan yang berisi ucapan selamat malam diikuti emoticon cium begitu banyak. Hati yang awalnya kukuatkan, rupanya sangat rapuh. Napas ini tiba-tiba sesak dan air mata pun menetes tanpa kuperintah. Dengan gemetar, aku men-scroll laman pesan Mas
PoV ArsyaAku tidak pernah menyalahkan Manda dengan sikapnya yang kadang kala seperti anak kecil. Itulah dia apa adanya. Sekali, dua kali, tiga kali dikecewakan, dia masih bisa bersabar. Semua terbongkar sudah kenapa dia begitu marah saat aku menunda kepulangan dari Kalimantan selama beberapa hari lagi. Semua orang merahasiakan sesuatu dan baru sekarang aku mengetahui kejadian sebenarnya. Afkar sempat demam tinggi dan mengalami kejang sehingga dirawat selama satu hari di rumah sakit. Kemungkinan karena anak itu tidak bisa jauh dariku terlalu lama. Padahal, saat itu baru dua hari aku pergi. Ya, kekecewaan Manda bukan karena egois, tapi dia marah karena itu berhubungan dengan Afkar. Mama menceritakan betapa Manda kebingungan karena harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit sampai sepuluh kali dalam sehari. Syifa yang rewel karena belum pernah jauh dari sang bunda dan Afkar yang terus mencariku. Sementara Syifa tidak mungkin dibawa ke rumah sakit. "Kenapa nggak ngabarin aku, Ma? Aku
PoV ArsyaBayu terperangah saat aku membuka tudung kepala dan kacamata hitam. Dia beringsut mundur dan tampak gugup. Namun, dia juga tidak lari. Mungkin, dia kaget dengan keberadaanku."Ba–bapak kenapa bisa di sini?" tanyanya terbata-bata. "Siapa dia, Pak Bayu? Apa perlu saya—""Diam! Dia adalah Pak Arsya, pemilik Jaya Properties!" seru Bayu kepada laki-laki bertubuh besar yang ada di belakangku. Semua orang yang ada dan melihat kejadian ini, terdengar berkasak-kusuk. Kebanyakan mereka menghujatku karena mengira sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembelian tanah korban kebakaran. Aku lalu menghubungi Damar. Dia bilang, sudah selesai membeli semua barang dan memastikan sampainya barang-barang itu di pengungsian. Sekarang, dia sedang menuju ke tempatku berada. Aku kini justru dikepung warga yang tidak terima dengan harga pembelian tanah mereka. Sementara Bayu berhasil lolos dengan tipu dayanya. Kebanyakan menyalahkanku dan meminta pembatalan pembelian."Saya memang pemilik p
PoV ArsyaKalau orang bilang, pasti aku dan Damar itu seperti surat dengan perangko yang menempel terus ke mana pun. Di Kalimantan ini, Damar pun ikut denganku dan kali ini, tanpa Edo yang bisanya menjadi pelengkap tiga sekawan. Edo sedang ada pertemuan dengan klien lain di Jakarta. Dia juga orang sibuk. Sampai di Kalimantan, aku dan Damar langsung menuju hotel terlebih dahulu karena pertemuan dengan Pak Hamdan sudah dijadwalkan selepas makan siang. Sementara saat ini, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Satu kamar aja, nggak apa-apa, kan, Mar? Tapi, aku ambil tempat tidurnya yang dua," kataku setelah memesan kamar. "Saya, sih, nggak apa-apa, Pak. Cuma, apa Bapak nyaman satu kamar sama sopir?" jawab Damar dengan kalimat tanya juga. Mendengar itu, aku justru tertawa. "Kamu masih makan nasi, kan?" "Iya, Pak. Memangnya kenapa? Tadi, saya juga sudah sarapan." Damar berbicara seperti tidak paham dengan ucapanku. "Ya sudah, berarti aku aman. Soalnya, teman satu kamarku bukan
PoV ArsyaDamar berhasil membawa Kasih, istri dari korban di apartemen yang membuat namaku buruk di mata publik. Acara konferensi pers ini juga dihadiri beberapa wakil dari pihak kontraktor, termasuk Pak Alif Nurdiansyah selaku pemilik perusahaan kosntruksi itu. Memang proyek apartemen itu sudah berlangsung lebih dari dua tahun, sejak sebelum aku mengenal Pak Zaidan. Kasih tidak bisa lagi memberikan tuduhan di depan banyaknya kamera yang merekam kami. Dia juga akhirnya mau menerima jalan damai yang aku dan Pak Alif tempuh dengan memberikan jaminan penghidupan yang layak untuk calon anaknya yang masih dalam kandungan hingga lulus jenjang perguruan tinggi. Aku juga memberinya pekerjaan sebagai staff marketing dengan jam kerja bebas karena memperhitungkan kondisinya yang tengah mengandung. Aku memberinya posisi itu karena dia rupanya lulusan SMK dan mempunyai ijazah D3 Managemen Pemasaran. Keterbatasan ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan jenjang S1 dan dia kesulitan mendapat peke
PoV ArsyaSatu masalah selesai, datang lagi masalah baru. Lelah sudah pasti, tapi selama Manda selalu di sisi, semuanya terasa lebih mudah. Dia selalu mendukungku dalam segala hal yang masih dalam koridor kebaikan. Aku sangat beruntung memilikinya. dengan ancaman perempuan yang suaminya menjadi korban kecelakaan di apartemen. Namun, aku tidak ingin Manda ikut kepikiran dengan masalah itu. Apalagi, berita di media elektronik dan sosial yang simpang siur. Aku sebenarnya tidak takut dengan berita miring yang beredar. Namun, tuduhan tentang korupsi dana yang membuatku tidak habis pikir. Aku yang menggelontorkan dana untuk pembangunan apartemen itu dan lahan pun milikku, mana mungkin aku membuat buruk nama sendiri? Pengacara perusahaan pun memberiku support untuk tetap tenang. Juga semua karyawan yang percaya sepenuhnya denganku. Akan tetapi, banyak juga yang membuat namaku makin dituding buruk. Mereka yang merasa tersaingi dengan pesatnya peningkatan perusahaanku tentunya. Aku memijat-
PoV ArsyaBerita tentangku dengan Galuh rupanya tersebar di media sosial. Apalagi, foto saat awalnya aku duduk di sebelah Galuh, sempat tersebar. Memang sebelumnya aku tidak terlalu peduli duduk bersebelahan dengan perempuan itu, tapi karena mulai ada tanda-tanda tidak beres, aku pun bertukar tempat dengan Damar. Siapalah aku yang sampai menjadi incaran pemburu berita? Apa istimewanya juga meliput tentangku? Bahkan, menyebarkan berita hoax yang bisa saja membuat kehidupanku menjadi kacau. Untungnya, Manda bisa berpikir positif dan tidak langsung menuduhku macam-macam. Saat anak-anak sudah tidur lagi, Manda memperlihatkan berita tentangku di akun Instagram miliknya. Cukup viral juga. Namun, yang membuat geram itu caption yang dituliskan "Pemilik Jaya Properties Berlibur ke Belitung dengan Putri Bungsu Pemilik Lahan yang sedang Digarap menjadi Resort di Pelabuhan Ratu." Jelas salah total apa yang diberitakan. Aku ke sana hanya untuk bisnis dan pemilih lahan resort itu bukan lagi ayah
PoV ArsyaSelepas Subuh, aku sudah berangkat ke Bandara karena Manda justru memaksaku pergi ke Belitung. Dia tidak lagi mempermasalahkan kesibukanku sejak semalam. Setelah kami sama-sama melepas rindu, dia tiba-tiba memberiku izin. Sebenarnya, aku justru takut jika dia seperti itu. Manda seperti menganggap dirinya tidak penting bagiku. Aku bertekad dalam hati akan mengambil libur setelah urusan di Belitung selesai. Lagi pula, nanti sore, aku sudah kembali lagi ke Jakarta. Aku ke sana juga tidak sendiri. Edo dan Damar aku paksa ikut. Sebagai asisten pribadi, Damar sangat dibutuhkan karena dia juga berperan sebagai sekretarisku. Sekitar pukul delapan pagi, aku dan yang lain sampai di bandara Pulau Belitung. Kami pun langsung menuju tempat pertemuan dengan klien yang dijadwalkan pukul sembilan pagi. Masih ada waktu satu jam lagi untuk kami menyiapkan presentasi. Aku juga harus membaca ulang proposal yang dikirimkan oleh pihak klien lewat email kepada Edo. Satu orang yang berada di ant
PoV ArsyaManda makin sibuk mengurus Afkar dan Syifa. Untungnya, kami tinggal bersama Mama dan masih ada Resti sehingga dia tidak terlalu kelelahan. Meskipun begitu, tuan putri kecil kami tidak pernah absen mengajak bergadang sampai usianya sekarang sudah tiga bulan. Dia bahkan sudah bisa diajak bercanda dan mulai belajar tengkurap. Untuk hadiah kunci saat itu, Manda tidak menolak, tapi hadiahnya malah aku yang memakai. Apa lagi, mobil yang dulu kacanya pecah, sudah kujual karena membuat trauma. Kemudian, mobil yang satunya, aku biarkan dibawa oleh Damar. Kasihan saja kalau dia harus bolak-balik pakai motor untuk pulang dan pergi. Jadi, biar dia sekalian yang merawat mobilku dan saat dia datang, aku tinggal berangkat. Tidak perlu memanaskan mesin dulu. "Hari ini jadwal imunisasi Syifa, Mas. Minggu lalu, Mas Arsya udah janji mau anter, loh," ucap Manda saat aku sudah siap akan pergi ke kantor. Aku menatapnya bingung. Aku diam, bingung harus menjawab apa. Aku benar-benar lupa dengan
Hari ini, akikah untuk Syifa dilaksanakan. Rumah Mama dan Papa ditata begitu meriah sehingga penuh dengan tamu yang kebanyakan adalah teman kerja dan keluarga besar. Aku bersyukur karena banyak yang datang dan ikut mendoakan putri kecilku. "Mas, bekas jahitannya nyeri."Mendengar keluhan Manda itu, aku bergegas membawanya ke kamar. Dia pasti kelelahan dan terlalu banyak bergerak saat acara. Syifa pun aku minta kepada Mama untuk dibawa masuk. Apalagi, untuk proses akikah, memang sudah selesai. Tinggal makan bersama saja dengan para tamu. Untungnya, Sofyan juga ada di acara ini dan dia kuminta untuk memeriksa Manda. Katanya, tidak ada apa-apa, hanya kemungkinan karena terlalu banyak bergerak saja. Sofyan lalu menyuruh untuk memberikan obat pereda nyeri saja setelah memastikan Manda makan."Nak Arsya keluar saja. Biar Ibu yang jagain Manda sama Syifa. Para tamu nyariin tadi." Ibu ikut masuk ke kamar ini dan mengambil alih piring berisi makanan yang akan aku berikan untuk Manda. "Iya, S