Share

Bab 8. Bertemu

“Mama kenapa pincang gini?” Pria itu mengulangi pertanyaannya, menghampiri Ratih yang dipegang oleh Ayara.

‘Laki-laki itu?’ Ayara terkejut melihat pria itu di depannya dan memanggil Ratih dengan sebutan Mama. Itu artinya Bu Ratih dan dia adalah ibu dan anak.

Ratih tersenyum tipis pada putranya. “Nggak papa, kok. Tadi Mama gak sengaja keserempet motor,” jelasnya seketika membuat sang putra membelakak. “Gak usah melotot gitu, Ar.” Ratih terkekeh kecil melihat wajah putranya yang mengkhawatirkannya.

“Gak melotot gimana. Mama sakit begini aku gak boleh khawatir.” Arsen memeriksa kaki mamanya yang dibalut dengan kain berwarna coklat. “Sekarang kita ke rumah sakit.”

“Gak usah, tadi Nak Ayara sudah bantu Mama.” Ratih menoleh pada Ayara yang berdiri sedikit menjauh dari sebelumnya. “Aya, sini, Nak. Kenapa di situ. Ibu mau kenalin kamu ke anak Ibu karena kamu sudah bantu Ibu.” Ratih memanggil Ayara.

Ayara yang paham situasi, tadinya beringsut mundur saat pria bernama Arsen itu mengambil alih tubuh Ratih. Ayara bahkan tak berani menatap pria itu, lantaran masih malu karena kejadian tadi malam. Sebisa mungkin Ayara menundukkan kepalanya. Namun, sekarang Ratih malah memanggilnya agar mendekat.

“Em … tidak usah, Bu.” Ayara menolak halus, tanpa menoleh pada Arsen yang berdiri di samping Ratih. “Saya langsung pulang saja. Saya pamit, Bu Ratih.” Ayara menunduk, setelahnya berbalik badan.

Namun, dengan sangat cepat Ratih menahan Ayara agar perempuan itu tidak langsung pergi. “Eh … jangan pergi langsung atuh. Kamu masuk dulu, ya.”

Ayara ragu untuk menjawab. Ia enggan menyetujui permintaan Ratih dan ia juga tak ingin membuat Ratih tersinggung karena penolakannya. Sebenarnya Ayara tak masalah untuk mampir, tetapi yang menawari itu adalah ibu dari pria tadi malam.

Di saat Ayara bimbang dengan keputusannya. Di sisi lain ada Arsen yang terus memperhatikan interaksinya mamanya dengan perempuan berhijab itu.

Arsen ingat siapa dia, yang tak lain adalah wanita tadi malam yang membuat kebisingan di restoran. Setelah diusir dari sana, Arsen tak tahu lagi ke mana perginya dia dan sekarang malah bertemu kembali di rumahnya.

“Kamu mau kan?” Suara Ratih untuk memastikan persetujuan Ayara mengalihkan fokus Arsen yang sedari tadi menatap ke arah Ayara. “Arsen, bawakan tas Nak Ayara sebentar. Kasian dia dari tadi pegang tas, gendong anak, mana bantu Mama lagi,” pintanya pada Arsen.

Ayara menoleh pada Arsen. Tatapan keduanya beradu. Namun, Ayara buru-buru mengalihkan. “Nggak apa-apa, kok, Bu. Saya bawa sendiri aja.” Ayara tentu saja tidak ingin Arsen membawa tasnya.

“Udah, gapapa. Biar anak Ibu saja,” final Ratih tersenyum pada Ayara. Lalu ia menyerahkan tas baju itu pada Arsen dan diterima oleh Arsen. Sementara Ratih langsung menggamit tangan Ayara dan keduanya berjalan masuk ke rumah.

Dengan berat Ayara melangkah. Tentu saja hatinya tidak nyaman, bagaimana bisa seseorang dari keluarga kaya membawa tasnya. Ayara sempat menoleh ke belakang di mana Arsen berjalan sambil menenteng tasnya. Begitu tatapan mata bertemu, Ayara kembali berbalik arah.

“Kamu istirahat dulu.” Ratih duduk di sofa dan langsung menarik Ayara dengan lembut agar ikut duduk dengannya. “Nah, El juga kamu dudukan dulu, kamu pasti capek gendong El terus kan?”

Ayara tersenyum kikuk. Karena yang Ratih tebak lagi-lagi benar. Jujur saja, ia sangat lelah. Bayangkan dari malam hingga pagi hari ia terus menggendong Aciel dan membawa tas.

Ratih paham dengan kecanggungan Ayara, ia tidak lagi melanjutkan ucapannya. “Yasudah, kamu di sini dulu. Ibu mau ganti baju sebentar, ya.”

Ayara mengangguk kecil, lalu Ratih pergi dari hadapannya. Tak lama setelahnya, datang Arsen dengan menenteng tasnya. Buru-buru Ayara bangun dan mengambil tasnya. “Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud menyuruh Bapak buat bawa tas saya.” Ayara langsung meminta maaf. Ia merasa bersalah padanya.

Arsen berdeham kecil sebagai jawaban. Pria itu menatap Ayara yang langsung pergi dari hadapannya setelah mengambil tas. Arsen memperhatikan interaksi ibu dan anak laki-laki itu. Sesekali anak itu menunjuk ke arahnya, membuat Arsen tersenyum tipis.

“Ar, kenapa berdiri aja? Ajak El main, kek. Biar Ayara bisa istirahat bentar,” tegur Ratih saya melihat anaknya yang hanya diam di tempat, seperti tidak ada inisiatif untuk menggendong anak segemas El.

Ayara menggeleng cepat. “Tidak usah, Bu. El di sini aja, sama saya.” Ayara semakin dibuat tak nyaman dengan Ratih yang gemar menyuruh Arsen. Pasalnya ia sendiri masih malu akan kejadian tadi malam. Ia yakin juga, pasti pria itu sangat anti dengan orang-orang sepetinya.

Namun, siapa sangka Arsen menghampirinya dan berhenti di depan Aciel.

“Kamu mau saya gendong?” Arsen memberi gestur menggendong pada Aciel.

Anak itu mengedipkan matanya beberapa kali saat melihat Arsen. Lalu Aciel menoleh pada bundanya. “Nda.”

“Iya, Nak?” Ayara membalas dengan sangatlah lembut. “Itu ditanya, El mau gak?”

Arsen kembali terpaku pada interaksi keduanya. Namun, atensinya langsung teralihkan saat suara mamanya berceletuk.

“Jangan dipandang terus, Ar. Kalau mau gendong, ya dibawa aja. Gak usah liatin bundanya,” goda Ratih dengan tersenyum jenaka. Setelah mengatakan itu Ratih langsung pergi ke arah dapur.

Di sana tinggal Arsen yang garuk-garuk kepala karena ucapan ambigu mamanya. Tak ingin semakin melebar ke mana-mana, Arsen pun berkata, “Ucapan Mama saya jangan dimasukkan hati. Mama memang suka begitu kalau bicara.”

Ayara mengangguk paham, tanpa menoleh pada Arsen. Ia juga sadar diri, terlebih lagi ia yakin jika selera pria yang sudah membawa anaknya sangat tinggi.

Sudah setengah hari berlalu, Ayara berada di sana dan dijamu dengan sangat baik oleh Ratih. Wanita itu benar-benar berterima kasih pada Ayara. Mungkin tanpa Ayara ia tidak pulang sampai sekarang karena kakinya yang sakit. Namun, Ayara datang bagaikan penolong untuk Ratih.

“Terima kasih, Nak Ayara. Semoga kita akan bertemu lagi, ya.” Ratih memeluk Ayara untuk terakhir kali sebelum perempuan cantik berhijab itu pergi.

Ayara terkekeh kecil. “Sama-sama Ibu. Terima kasih juga atas jamuannya. Masakan Ibu sangat enak.” Ayara kembali memuji masakan Ratih yang dinikmati saat sarapan tadi. “Semoga kita bertemu lagi, Bu.”

Ratih mengangguk semangat. “Kamu tinggal di mana, Nak?” Ratih ingin tahu, siapa sangka ia akan mengunjungi Ayara lagi.

Ayara sempat terdiam sejenak. “Saya akan ke panti asuhan Kasih Bunda, Bu.”

Ratih tersenyum membalas Ayara. “Hati-hatilah, Nak.”

Ayara mengangguk kecil, lalu beranjak dari depan sana. Langkah Ayara yang baru berpindah beberapa jarak, tiba-tiba dipaksa berhenti ketika suara bariton menyentuh telinga.

“Biar saya antar.” Arsen muncul dan langsung menawarkan bantuan. “Sebagai balasan karena kamu sudah membantu Mama saya,” lanjut Arsen lagi.

Alhasil, Ayara pergi ke panti dengan diantarkan Arsen. Sepanjang perjalanan menuju panti keadaan mobil tidak ada percakapan antara kedua orang dewasa itu. Hanya saja suara kecil Aciel yang terus mendominasi suasana.

“Ayara.” Ayara sontak menoleh saat Arsen memanggilnya.

“Ada apa, Pak?” Ayara mendadak takut, ia gugup saat suara Arsen yang begitu datar memanggil namanya.

“Karena kamu sudah baik dan mau membantu Mama. Kamu saya terima.”

Ayara mengernyit heran, ucapan pria itu yang tak lugas membuatnya bingung. “ Terima apa, ya, Pak?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status