Share

Bab 6. Ditolak Kerja

“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya.

“Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya.

Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah.

Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?”

Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya.

Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk jalanan yang remang-remang menemani tiap langkah Ayara. Pepohonan di sekitar jalan tampak bergerak seirama, karena angin yang berhembus sedikit kencang. Untungnya belum terlalu larut, masih banyak pengendara yang berlalu lalang, sehingga Ayara tak begitu takut.

Ayara terus berjalan tanpa tujuan. Ingin menaiki taksi atau kendaraan lainnya juga ia tidak punya uang pegangan, karena sebelum ia pergi dari rumah tadi, Nirmala sempat menahannya dan merampas sisa uang yang Janu berikan beberapa hari lalu. Alhasil, Ayara pergi benar-benar dalam keadaan tangan kosong.

Tampaknya langit ikut merasakan kesedihan yang menimpa Ayara. Kini hujan mulai turun. Ayara berlari kecil mencari tempat yang setidaknya bisa dijadikan tempat berteduh. Mobil yang lewat di sisinya sampai badannya terkena cipratan air. Miris memang, tetapi Ayara tidak peduli saat ini tubuhnya kotor, yang ia pedulikan sekarang adalah kondisi anaknya. Putranya tidak boleh sakit.

Hujan semakin deras, beruntungnya Ayara sudah berhasil berteduh di depan sebuah ruko yang tertutup. Ayara mengambil asal kain dalam tas untuk menyelimuti putranya.

“Maaf, ya, kamu harus hujan-hujanan gini karena Bunda.” Ayara merasa bersalah pada anaknya. Ia mencium lembut kening El dan mengusap pelan agar tidur anak itu tidak terganggu. “Jangan bangun dulu, ya. Bunda nyari masjid dulu biar tidur kamu enak.”

Ayara memperhatikan sekitar, tidak terlihat bangun masjid atau sejenisnya di sekitar sana. Namun, tepat beberapa langkah dari posisinya saat ini, Ayara melihat sebuah restoran yang ramai pengunjung. Perempuan berhijab itu memicingkan mata, Ayara merasa tak asing dengan restoran itu, tetapi ia tidak tahu kapan ia pernah melihatnya.

Ah, lupakan. Ayara tidak peduli tentang itu. Kini ia kembali menerobos hujan dan tibalah keduanya tepat di depan bangunan mewah dengan dinding kaca yang menghiasi setiap sudut luarnya. Kesan pertama yang Ayara tangkap adalah restoran ini adalah tempat duduk orang kaya yang menghabiskan waktu bersama orang tercintanya.

“Huhf … semoga aku bisa.” Ayara mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk ke dalam sana.

Begitu masuk Ayara langsung dibuat takjub dengan desain elegan restoran tersebut. Tidak ada pasang mata yang menatapnya, mungkin karena mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Harum semerbak menusuk penciuman. Suara alunan musik mengalun indah, Ayara celingukan mencari seseorang yang bisa dijadikan tempat bertanya.

“Mbak.” Ayara mencekal tangan seorang perempuan yang hendak melewatinya. Ia yakin itu adalah pegawai di sini.

Perempuan itu mengernyit bingung dengan Ayara yang tiba-tiba menahannya. “Ada apa, ya, Mbak? Apa pesanannya belum tiba?” tanyanya sopan.

“Bukan.” Ayara menggeleng cepat. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah. “Apa saya bisa kerja di sini juga, Mbak?” tanya Ayara ragu, tetapi penuh harap.

“Maaf, tidak bisa ya, Mbak.” Pegawai perempuan itu menangkup tangannya di depan dada. Berharap Ayara paham dengan jawabannya.

Ayara mendesah kecewa saat pegawai itu pergi dari hadapannya. Apakah dirinya tidak layak berkerja di sini? Itulah pikiran Ayara. Ayara hendak pergi, tetapi ketika matanya menatap wajah Aciel yang terlelap dalam gendongan, membuat hati Ayara berkata untuk tetap berusaha merayu perempuan tadi agar membiarkan dirinya bekerja di tempat ini.

Ayara mengikuti kata hatinya, lantas ia mengikuti langkah pegawai tadi yang berjalan ke arah belakang, yang ia yakini itu tempat para pelayan. Sebelum terlambat, Ayara dengan cepat menahan pergelangan pelayan itu kembali.

“Loh, Mbak? Kenapa sayang lagi? Bukannya sudah saya bilang di sini tidak ada lowongan pekerjaan, Mbak!” Perempuan itu membalas dengan nada tak bersahabat. Pasalnya ia juga geram dengan Ayara yang terus bersikeras meminta pekerjaan padanya.

Ayara mengentaskan rasa gengsi dan wajah tak tahu malu. Ayara menggenggam tangan pelayan itu dan kembali memohon. “Tolong, Mbak, bantu saya … terima saya kerja di sini, ya. Saya butuh uang, biar anak saya tidur nyaman,” tambah Ayara sembari melirik ke arah putranya.

Dikarenakan suara Ayara yang cukup bising, membuat beberapa mata menoleh ke arah mereka. Hal itu membuat perempuan pelayan itu semakin kesal. Apa lagi ketika Ayara menjual cerita sedihnya. Ingin sekali ia mendorongnya, tetapi ia tahan karena sekarang sedang waktu kerja dan harus profesional.

“Sekali lagi saya minta maaf, Mbak. Tidak bisa bekerja di sini, ya, Mbak.” Dengan senyum terpaksa ia kembali membalas permintaan menjengkelkan Ayara. "Masalah Mbak gak punya tempat tinggal, itu bukan urusan saya!"

Ayara tersentak saat mendengar itu. memang benar bukan urusan orang lain. akan tetapi, tidak salahnya orang lain membantu dirinya 'kan?

"Berikan kesempatan untuk saya, ya. Saya bisa kerja apa saja. Cuci piring juga bisa, Mbak. Saya bisa apa saja." Ayara berusaha menjelaskan keahliannya, meskipun di bidang cuci-mencuci.

'Ngenyel banget sih, ini buk-ibuk!' gerutu perempuan itu dalam hati. Ia sudah kehabisan kata-kata agar Ayara paham dengan jawabannya.

Ia menghela napas panjang, lalu kembali menatap Ayara. Kali ini tatapannya lebih intimidasi. "Sekali lagi maaf, ya, Mbak. Lebih baik Mbak pergi atau tidak diusir sama satpam?"

"Tapi, Mbak, say—"

“Ada apa ini?”

Kedua perempuan itu sontak menoleh pada asal suara. Bahkan, kalimat Ayara tak selesai ketika suara bariton menyapa pendengaran dan menyela pembicaraan mereka.

“Maaf, Pak.” Pelayan itu menunduk singkat padanya. Ia pun bingung harus menjelaskan dari mana.

“Apa yang terjadi?” Orang tersebut menoleh ke arah perempuan berhijab yang tak lain adalah Ayara. “Siapa kamu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status