Setelah memasak untuk makan malam. Ayara bersiap-siap untuk menanti kepulangan suaminya dari kantor. Hinaan sang mertua terhadap penampilannya, mendorong Ayara untuk sedikit tampil beda malam ini. Setelah menggunakan baju tidur, ia mulai memoles tipis wajahnya agar sedikit berwarna. Mungkin itulah yang Janu nantikan darinya ‘kan?
Ayara berniat untuk duduk bersantai sebentar tanpa pekerjaan apa pun. Namun, putranya yang tadinya masih lelap, kini terbangun dan langsung menangis mencari keberadaan ayahnya. Ayara mengambil Aciel putranya yang kerap disapa El memutari kamar. Berharap anak berusia dua tahun itu akan tenang. “Sebentar lagi ayah pulang, kok,” ujar Ayara mengusap air mata di wajah putranya. El masih merengek pada Ayara. Anak itu mengatakan ingin digendong ayahnya. Wajar saja El bersikap begitu, beberapa waktu terakhir Ayara memang sudah hampir tak pernah melihat suaminya itu bermain dengan anaknya. Misalkan pun ada, baru beberapa detik digendongnya, malah langsung dikasih kembali pada Ayara dengan alasan El tidak mau dengannya. Ayara memberikan mainan agar anak laki-laki ini berhenti menangis. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil. “Nda … mawu ayah,” pintanya dengan suara cadel khas balita. “Iya, Bunda tau. Tapi, sebentar lagi ayah baru pulang.” Ayara mencoba memberi pengertian pada putranya. “El sabar sebentar ya, Nak.” Anak itu mengangguk kecil. “Em, sekarang kita tunggu ayah di depan, ya.” El yang sedari tadi menangis kini tersenyum karena mereka akan menunggu kepulangan ayah. Anak itu bersorak girang dan langsung mengajak bundanya ke depan. Di sinilah sekarang Ayara dan El berada, di ruang tamu. Tak lama mereka duduk di sana, terlihat Lili baru masuk ke dalam rumah. Ayara tidak menyapa atau berkomentar. Lagi pula, ini bukan sekali dua kali adik iparnya begitu. Ia yakin remaja itu tidak akan mendengar apa yang ia katakan. Sekitar sepuluh menit berlalu, suara deru mobil menembus telinga. Itu Janu yang baru saja tiba dengan mobil yang dibeli secara kredit dua bulan lalu. “Malam, Mas,” sapa Ayara menyambut Janu dan langsung menyalami tangan pria itu. “Mas udah makan malam?” Janu mengangguk cepat. Melihat wajah Ayara yang berubah, Janu langsung berkata, “Jangan mikir aneh, ada acara di kantor makanya semua karyawan dapat makan malam,” kilah Janu memutar bola matanya malas. Ayara tersenyum senang mendengar itu. Jika di kantor tidak masalah, toh di sana juga ramai-ramai ‘kan? Yang jadi masalah jika suaminya itu makan malam secara individu dengan wanita lain. “Terus, Mas mau langsung mandi?” tanya Ayara, dibalas anggukan Janu. Mereka pun pergi dari sana, tak lupa Ayara menutup dan mengunci pintu utama. Di dalam kamar Ayara bermain sebentar dengan El sembari menunggu Janu yang sedang membersihkan diri. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka pelan. Terlihatlah Janu dengan balutan kaos dan celana selutut. Wajah pria itu tampak lebih segar daripada tadi. “Ayah!” El berjalan tertatih menuju Janu yang hendak menaiki kasur. Anak itu membuka tangannya berharap sang ayah menggendongnya. “Mas, kok, kamu langsung tidur? Kamu gak liat El mau digendong kamu?” kesal Ayara melihat anaknya diperlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri. “El dari tadi nanyain kamu. Dia rindu main dan digendong kamu, tapi kamu malah kecewain dia.” Ayara tak bisa berkata-kata dengan sikap suaminya. Janu sama sekali tidak memperdulikan apa yang Ayara katakan. Ia langsung bangkit dari kursi menggendong putranya yang sudah memasang wajah sedih. “Setega itu Mas sama anak kecil? Mas tau gak, kalau akhir-akhir ini Mas itu udah berubah. Setidaknya kelonin El sambil tidur, Mas—. “Halah kamu ini berisik banget sih?!” Janu menatap marah Ayara yang mematung di tengah kamar. “Ngoceh terus dari tadi pagi. Heran aku!” Ayara bungkam, hatinya seperti tersayat ketika suara suaminya semakin meninggi padanya. Ayara menghampiri Janu yang sudah berbaring di kasur, disentuhnya pundak laki-laki itu. Namun, ia langsung ditepis kasar. “Apa lagi, hah?!” Dada Janu naik turun lantaran menahan kesal. “Aku tuh capek dari pagi kerja baru pulang malam. Kamu ngerti gak sih?” Janu menatap kesal ke arah Ayara, lalu matanya beralih pada El yang ada di gendongan sang istri. “Kamu juga! Kecil-kecil rewel terus!” “Kenapa kamu begini, Mas? Kamu bukan Mas Janu yang aku kenal. Kenapa kamu berubah gini? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku, ya?” “Ayara!” “Ayara!” Teriakan itu berasal dari arah kamarnya. Ayara menyahut pelan, tentu saja tak dapat didengar oleh Nirmala. Dalam hitungan detik, wanita berjambul itu mendatangi Ayara yang sedang di meja makan menemani putranya sarapan. “Heh, kamu ini! Dipanggilin kok gak nyaut! Gak ada sopan santunnya sama orang tua!” Nirmala berkacak pinggang di depan Ayara dan cucunya. “Maaf, Bu. Aku lagi nemenin El makan. Tadi udah aku sahut, kok. Tapi, Ibu gak denger,” kilah Ayara dengan halus. Nirmala tidak minat mendengar ocehan basi menantunya itu. Memang dasarnya tidak beradab. Nirmala membenarkan letak rambutnya yang sedikit tergeser, lalu menyodorkan tangannya ke depan Ayara. Ayara spontan menukik alisnya. “Kenapa tangannya gitu, Bu?” “Ya, minta uanglah! Kan, anakku baru kasih uang kemaren.” Nirmala dengan meminta dengan sewot. Melihat Ayara masih tak bergeming, membuatnya geram. “Cepatlah, Ayara! Saya mau ada arisan sama ibu-ibu komplek!” “Tapi, Bu. Itu uang belanja sampai tiga minggu ke depan.” Ayara memelas dengan suara yang halus. “Kan, uang Ibu udah dilebihkan sama Mas Janu dari jatah bulanan aku,” lanjutnya tanpa berbohong. Memang benar, selama setahun terakhir ini, sedikit dari jatah nafkah untuk Ayara malah diberikan kepada Nirmala. Namun, wanita itu belum juga puas dan sekarang malah minta uang belanja makan mingguan. “Bilang aja pelit,” cibir Nirmala, “Cepat ambil uangnya!” Kali ini Nirmala menghentakkan meja makan. Ayara terlonjak, bahkan sampai-sampai El yang sedang menikmati labu rebusnya ikut terkejut karena ulah sang nenek. Ayara tampak enggan beranjak. Ia mempertahankan ego-nya kali ini demi kebutuhan bersama. Seandainya uang itu diberikan separuh untuk kebutuhan ibu yang mendadak hari ini. Lantas dua minggu ke depan mereka harus makan apa? “Beri aku uangnya sekarang atau saya bilang sama Janu kalau kamu dorong saya sampai jatuh?” ancam Nirmala dengan gigi bergemeletuk."Maaf, Bu. Tapi, uang yang Mas Janu kasih gak bakal cukup!” Ayara masih bersikeras untuk tidak memberikan uang kepada mertuanya.Nirmala mendelik sinis, wanita itu langsung pergi dari hadapan Ayara dengan makian-makian tak jelas. Ayara sendiri tak terlalu ambil pusing, ia kembali membantu putranya meyelesaikan sarapan.Waktu berlanjut, hingga malam menyambut, Ayara sudah rapi dengan gamis instan terbaiknya. Mungkin Nirmala bertanya karena malam ini Ayara lebih tampil beda. Perempuan berhidung mancung itu telah berdandan cantik dengan harapan agar kembali mendapatkan perhatian dari sang suami."Kamu dandan seperti itu ingin pergi ke mana?Ayara tersenyum tipis membalas ucapan sang mertua. Perempuan berhijab itu sedang menunggu kedatangan Janu, ia berencana makan malam bersama suami tercinta. “Ditanyain malah cengar-cengir. Dasar menantu aneh,” cibir Nirmala mendelik sinis. “Bukannya nemenin anak tidur, malah duduk gak jelas di sini!” lanjut Nirmala dengan sarkas.“El udah lelap, kok,
“Cepat cuci bajunya!”“Aku lagi gak enak badan, Bu. Kepala aku pusing terus dari semalam.” Ayara memegang kepalanya yang berdenyut. Perempuan dengan hijab abu-abu muda itu benar-benar sedang menahan sakit, tidak sedang berbohong. Terlihat jelas wajahnya yang sedikit pucat. Bayangkan saja, setiap hari ia tak henti melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak seorang diri, tanpa bantuan orang lain. Mungkin tubuhnya sekarang sudah di titik sangat kelelahan. Alhasil, ia butuh waktu rehat sejenak.“Halah, alasan saja kamu ini!” sentak Nirmala, “Kamu memang ditakdirkan untuk jadi babu. Udah sana gak usah banyak protes, cuci baju sama cuci piring, cepat!” Nirmala kembali berteriak.Teriakan tersebut sampai membuat El yang sedang bermain di depan televisi, langsung berjalan kecil mencari ibunya. Di balik tembok pembatas ruang makan, anak kecil itu melihat sendiri bagaimana ibunya diperlakukan oleh neneknya. El tidak bisa melarang, ia bicara saja belum terlalu lancar.“Besok aja, ya, Bu. Aku m
“Nikah?” Ayara masuk ke kamar dengan tatapan bingung. Ia tak sengaja mendengar ucapan akhir ibu mertuanya. “Nikahin siapa maksudnya, Bu?” Janu dan Nirmala saling beradu pandang. Keduanya bagaikan baru saja tertangkap basah karena melakukan kesalahan. Namun, sebisa mungkin Janu merilekskan raut wajahnya, agar Ayara tidak memasang kecurigaan padanya. Janu bangkit dari kasur, menghampiri Ayara yang mematung di ambang pintu. Ia merangkul perempuan berhijab itu, lalu dibawanya ke sofa yang terletak tak jauh dari ranjang. Melihat perlakuan lembut suaminya, yang hampir tak ia rasakan lagi, tentu saja membuat Ayara heran. Kenapa tiba-tiba berubah selembut ini? Ayara menoleh ke arah mertuanya juga, yang tidak membuka suara. Biasanya wanita berjambul tinggi itu akan selalu mencibir jika ada Ayara di depannya. Namun, sekarang tidak. “Ada apa, sih, Mas?” Ayara menggeleng kebingungan dengan situasi. Bukankah biasanya jika tiba-tiba berubah seperti ini, ada sesuatu yang diinginkan ‘kan? “Mas m
“Nak, kita harus ke mana, ya?” Ayara menatap sendu wajah Aciel, semakin erat ia memeluk tubuh mungil putranya. “Nda, mau temana?” tanya El ikut bingung dengan ibunya yang pergi malam-malam begini. “Ayah, Nda?” lanjutnya. Ayara paham pertanyaan Aciel. Anak itu menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada bersama mereka saat ini. Ditambah lagi tatapan polos anak itu, membuat dada Ayara semakin sakit. Apa yang harus ia katakan? Miris sekali, anak sekecil ini harus menghadapi kenyataan jika orang tuanya berpisah. Sebisa mungkin Ayara memasang wajah tersenyum pada El. “Kita mau jalan-jalan sebentar.” Ayara berdiam sejenak, memikirkan jawaban setelahnya. “Ayah … tidak ada. Hanya ada Bunda dan El saja, ya? El mau kan?” Anak berusia dua tahun itu mengangguk paham. El lalu memeluk leher sang bunda mencari posisi nyaman agar tubuhnya tidak merasa kedinginan. Ayara menyadari itu, langsung mendekap erat putranya. Diusir saat malam tiba, sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Hiruk pikuk
“Sa-saya ma—” “Maaf, Pak Arsen. Tapi Mbak ini buat keributan di sini. Dia sibuk minta pekerjaan, padahal sudah saya jelaskan baik-baik kalau di sini tidak ada lowongan. Tapi, Mbak ini maksa saya terus.” Rentetan penjelasan diutarakan oleh pelayan itu. Ia tidak mau salah di mata bos-nya hanya karena Ayara. Pria yang dipanggil Arsen itu mengangguk paham atas penjelasannya. Lantas ia mengalihkan atensi pada sosok perempuan berkerudung coklat susu yang sedang menggendong seorang anak laki-laki. Arsen menatap datar Ayara yang diam tak berkutik begitu pelayan tersebut menyela ucapannya. “Benar begitu?” Ayara mengangguk semangat. Berharap pria di depannya akan memberinya pekerjaan. “Bisa saya bekerja di sini, Pak?” Arsen tidak habis pikir dengan perempuan berhijab itu. Datang malam-malam dengan menggendong anak. Pertanyaan dalam diri Arsen, apakah dia tega membawa seorang anak di malam hari? Seketika Arsen menggeleng kecil. “Sepertinya yang dikatakan pegawai saya sudah cukup jelas.” Ars
“Mama kenapa pincang gini?” Pria itu mengulangi pertanyaannya, menghampiri Ratih yang dipegang oleh Ayara.‘Laki-laki itu?’ Ayara terkejut melihat pria itu di depannya dan memanggil Ratih dengan sebutan Mama. Itu artinya Bu Ratih dan dia adalah ibu dan anak.Ratih tersenyum tipis pada putranya. “Nggak papa, kok. Tadi Mama gak sengaja keserempet motor,” jelasnya seketika membuat sang putra membelakak. “Gak usah melotot gitu, Ar.” Ratih terkekeh kecil melihat wajah putranya yang mengkhawatirkannya.“Gak melotot gimana. Mama sakit begini aku gak boleh khawatir.” Arsen memeriksa kaki mamanya yang dibalut dengan kain berwarna coklat. “Sekarang kita ke rumah sakit.”“Gak usah, tadi Nak Ayara sudah bantu Mama.” Ratih menoleh pada Ayara yang berdiri sedikit menjauh dari sebelumnya. “Aya, sini, Nak. Kenapa di situ. Ibu mau kenalin kamu ke anak Ibu karena kamu sudah bantu Ibu.” Ratih memanggil Ayara.Ayara yang paham situasi, tadinya beringsut mundur saat pria bernama Arsen itu mengambil alih t
“Kamu diterima kerja di restoran.” Kalimat itulah yang terus terngiang di benak Ayara. Sungguh kejadian sederhana itu, benar-benar mendatangkan berkah dan keuntungan untuknya. Siapa sangka hanya karena membantu seorang wanita yang ternyata pemilik restoran. Sehingga sekarang Ayara bisa berkerja di sana. Itulah siklus kehidupan. Di saat ada hati yang tulus dalam membantu, maka Tuhan juga akan mempersiapkan bantuan dan hal indah lain untuknya. Maka dari itu, jangan sekali-kali lelah dalam berbuat baik dan tetap menolong sesama sesuai kemampuan kita. Pagi-pagi sekali Ayara sudah bangun dan mempersiapkan Aciel. Rutinitas ini sudah Ayara lakukan sejak satu minggu lalu, saat ia mulai bekerja di restoran Arsen. Usai dengan semua kesibukan pagi, barulah Ayara mempersiapkan dirinya. “Bunda berangkat kerja, ya, Sayang.” Ayara mencium pipi Aciel sebelum berangkat. “Jangan rewel, ya. Patuh sama nenek,” lanjutnya dan dibalas anggukan oleh anak itu. “Ote, Nda,” sahutnya sambil tertawa.
Kalung ini milik siapa? “Apa mungkin punya pelayan di sini?” Damar menatap lama kalung di tangannya. Bulan sabit dengan bintang kecil di tengahnya, membuat kalung tersebut tampak menawan. Aneh nya Damar merasa tak asing dengan rantai emas ini. “Apa pelayan Pak Arsen ada yang punya kalung ini?” tanya Damar ingin tahu. Ia menyerahkan kalung itu pada Arsen. “Saya juga tidak tau pasti, Pak.” Arsen tak langsung membenarkan tebakan Pak Damar. Takutnya bukan punya pelayan, bisa saja punya pelanggan sebelum mereka menempati ruangan VIP tersebut. “Biar nanti saya tanyakan dulu pada karyawan saya, Pak.” Damar menggeleng tak setuju. “Tidak tidak biar saya saja. Saya ingin tahu siapa pemilik kalung ini.” Damar memutuskan untuk ikut, ia ingin mencari tahu secara langsung siapa pemilik kalung bulan sabit ini. Arsen tak lagi membantah. Ia membiarkan rekan kerjanya itu untuk ikut saat mencari pemilik kalung tersebut. “Baiklah, Pak. Silakan menikmati hidangannya.” Arsen mempersilakan ta