Share

Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris
Istri yang Diceraikan ternyata Pewaris
Penulis: sisakata

1. Perkara Mie Instan

“Ayara! Di mana kamu!”

Pekikan itu mengisi seluruh sudut rumah. Ayara yang masih membersihkan dapur, langsung berlari kecil menuju meja makan.

Di ambang pintu, Ayara melihat Nirmala—ibu mertuanya— yang sedang berkacak pinggang seraya menatap kesal pada meja makan. Hatinya mendadak tak enak, apa lagi yang salah di matanya? Dengan ragu Ayara melangkah menemui mertuanya yang sudah marah-marah di pagi hari.

“Ada apa, Bu? Pagi-pagi Ibu udah teriak.” Ayara menatap mertuanya tak mengerti.

“Ada apa, ada apa! Coba kamu lihat, apa yang kamu masak?!” Nirmala menunjuk ke atas meja makan. Ayara menoleh ke sana. “Kamu lihat itu? Kamu nyuruh kami sarapan dengan mie instan? Jadi istri kenapa gak punya pikiran, hah!?” Nirmala menyumpah-serapahi Ayara, tanpa memikirkan perasaan perempuan itu.

“Maaf, Bu. Aku cuma bisa masak ini.” Ayara meremas ujung bajunya. Hanya ini yang bisa ia lakukan setiap kali kena amuk mertuanya.

Mendengar balasan Ayara yang begitu halus, membuat Nirmala kembali berdecih sinis. “Halah bilang aja uang yang anakku kasih kau simpan buat belanja online kan?” Nirmala mendorong pelan badan Ayara, hingga perempuan itu menabrak kursi kayu.

“Nggak, Bu.” Ayara sontak menggeleng atas tuduhan mertuanya. Ia sama sekali tidak pernah menyimpan uang belanja hanya untuk belanja online. Paling tidak ia gunakan uangnya untuk kebutuhan makan sekeluarga.

“Emang dasarnya kamu itu gak guna! Kerjanya duduk di rumah habisin uang anakku saja! Nyesel dulu aku beri restu Janu menikahi gadis panti miskin kayak kamu!”

Dada terasa sesak, hatinya bagai tercubit setiap kali sang mertua mengungkit masa itu. Ayara memang hanya seorang gadis panti yang lalu dipersunting jadi istri anaknya. Di mana saat ia datang ke rumah ini diperkenalkan sebagai kekasih anaknya, lalu meraih restu dengan sedikit sulit.

Akan tetapi, Ayara tidak terima jika Nirmala mengatakan bahwa dirinya tidak ada guna. Buktinya selama tiga tahun menikah, perempuan berusia dua puluh enam tahun ini sama sekali tidak pernah goyang kaki di rumah. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah. Namun, sang mertua tidak pernah melihat itu.

Ayara menghela napas pelan. Ia mencoba menarik kedua ujung bibirnya. “Untuk pagi ini, kita sarapan dengan ini dulu, ya, Bu.” Ayara bertutur lembut pada Nirmala.

Nirmala yang sedang kesal, semakin naik tensi mendengar suara halus menantunya itu. “Gak mau saya! Kamu makan sendiri sampai kenyang ini!” Nirmala mendorong piring yang sudah di tata oleh Ayara di meja.

Dadanya bergemuruh, lagi-lagi mertuanya ini berlaku kasar terhadapnya. Akan tetapi, ia tidak ingin menangis di depan keluarga suaminya. Terlebih lagi di saat yang bersamaan suara halus adik iparnya terdengar.

“Pagi semuanya!” Gadis itu menyapa dengan sumringah.

“Pagi, Li,” balas Ayara melempar senyum kepada remaja SMA itu. Namun, Ayara malah mendapat delikan sinis.

“Loh, kok cuma mie instan menu sarapannya, Mbak?” Lili membanting kesal centong yang ada di dalam mangkuk. “Ibu, ini gimana ceritanya makan mie pagi-pagi?” Lili beralih mengadu pada ibunya dengan memelas.

Nirmala menghela napas panjang. “Tanya saja sama kakak ipar kamu itu,” katanya melirik sinis ke arah Ayara.

Lili pun merasa kesal dengan Ayara. Lama-lama ia juga gondok bicara dengan kakak iparnya itu. “Apa!? Alasan apa lagi yang mau Mbak bilang?” Lili berdecih, “Heran gue punya ipar lambat kayak lo!”

Lihatlah, tidak hanya sang ibu, kini anak pun ikut menghina dan mencibir Ayara.

“Mas Janu belum kasih uang belanja buat minggu ini, Bu. Makanya aku masak apa yang ada.” Ayara mencoba membela diri sebelum Nirmala kembali menyahuti perkataan putrinya.

“Gak mungkin,” sangkal Nirmala sembari mengibaskan tangannya di udara. “Anakku selalu kasih uang belanja buat kamu, ya! Sampai-sampai uang bulanan untukku berkurang selama kamu ada di rumah ini!”

Nirmala berteriak dan menatap marah ke arah Ayara. Baginya Ayara ini hanyalah penghambat keuangannya, karena selama putranya menikah dengan Ayara, uang bulanan untuknya berkurang.

“Tapi aku jujur, Bu. Mas Janu belum ada kasih uang belanja.” Ayara masih meyakinkan ibu mertuanya. Pastinya ia tidak mau difitnah oleh ibu suaminya. “Kalau Ibu gak percaya, kita bisa tanya langsung ke mas Ja—”

“Ada apa ribut-ribut?” Janu yang baru datang langsung menyela ucapan Ayara.

Nirmala langsung mendekati putranya, memperlihatkan apa yang telah Ayara perbuat di pagi ini.

“Kamu lihat, Janu. Istri kamu gak becus, dia marahi ibu juga tadi,” adunya dengan memasang wajah memelas di depan snag putra.

Ayara mendengar itu sontak menggeleng.

“Nggak gitu, Mas. Aku cuma bilang sama Ibu, kalau kamu belum kasih uang belanja, makanya aku cuma masak mie aja. Tapi Ibu malah anggap aku marahi ibu.” Ayara tak terima difitnah, jelas-jelas ia tidak memarahi mertuanya itu, malah di sini dirinyalah yang kena sembur setiap hari.

Janu menoleh ke arah Ayara yang baru saja selesai berbicara. Kemudian ia mengalihkan pandangannya kepada Nirmala. “Lain kali kamu jangan gitu sama Ibu. Dia Ibu aku, kamu gak berhak memarahinya. Kamu turuti saja mau Ibu gimana.” Janu membalas tanpa sedikit pun membela Ayara yang notaben istrinya.

Ayara tersenyum getir. Bahkan suaminya pun tidak punya simpati atasnya. Ayara tak ada pilihan lain, selain mengangguk kecil atas penuturan Janu. “Baik, Mas.”

Masing-masing mereka mengambil tempat di meja makan. Terlihat Janu berdeham kecil, lalu menegak segelas air putih yang Ayara tuang hingga tandas. Pria itu menyambar tas kerjanya, lalu bangkit dari kursi. Tidak terlihat tanda-tanda jika pria itu ingin sarapan.

“Uang belanja udah Mas taruh di kasur. Kamu hemat-hematin uangnya, jangan boros!” Janu berbicara ketus dan diangguki oleh Ayara.

Hal itu kembali membuat Nirmala membuka suara. “Lihat, tidak salah apa yang Ibu bilang. Istrimu ini memang boros, ngatur uang belanja aja gak bisa!” cibirnya. “Sekarang lihat, bahkan suamimu aja nggak mau sarapan di rumah. Dasar memang istri gak guna kamu, bikin suami betah saja tidak bisa!” hardik Nirmala kesekian kalinya dan sekarang mata Nirmala mengerling jijik pada penampilan menantunya.

Ayara tidak menyangkalnya, yang mertuanya katakan pasti akan benar di telinga suaminya. Namun, ia tidak memperpanjang lagi, kini ia kembali fokus pada suaminya.

“Mas, ingin aku buatkan bekal apa?” tawar Ayara semangat, sebelum sang suami berangkat.

Ayara langsung mengambil kotak bekal di dapur belakang, tetapi aksi Ayara yang cekatan tiba-tiba terhenti saat Janu berceletuk.

“Tidak perlu, kamu mau buat aku malu dengan bekal mie instan-mu itu?” Janu menatap jijik ke arah istrinya. Kemudian, ia beralih pada Nirmala menyalami sang ibu. “Aku pergi dulu!”

Janu melenggang pergi, tanpa berpamitan pada Ayara. Pria itu hanya menyalami ibunya, lalu mencium adiknya. Ayara hanya bisa menatap punggung lebar suaminya yang semakin menjauh. Bahkan untuk berpamitan saja suaminya tidak mau lagi. Terkadang ia berpikir apakah sekarang dirinya seburuk ini?

“Lihat, suamimu saja sudah tak minat. Kamu tuh, masaknya gak enak! Gak bisa ngerawat diri, kucel lagi!” Nirmala mengamati penampilan Ayara pagi ini yang cukup lusuh baginya. “Huh, pokoknya nyesel punya mantu kayak kamu!” Nirmala membanting sendok, lalu pergi dari sana.

Ayara tak lagi membalas cacian atau hardikan ibu mertuanya. Mendapat perlakuan seperti itu Ayara hanya bisa diam. Ia sadar bahwa dirinya hidup sebatang kara, baginya Nirmala sudah seperti ibu kandung. Maka, sulit baginya untuk membalas hinaan perempuan itu.

Ayara tidak habis pikir dengan suaminya. Seharusnya dia menjadi tempat untuk Ayara berlindung dan mengadu jika ada percekcokan. Akan tetapi, secara terang-terangan suaminya itu membela penuh ibunya.

Ayara pun memilih beranjak ke kamar. Perempuan itu tersenyum melihat uang belanja yang diletakkan di atas kasur. Namun, senyuman Ayara langsung pudar ketika ia usai menghitung nominalnya.

"Ya, ampun, Mas ... Kenapa makin ke sini makin kurang?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
sisakata
keren bangetttt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status