Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku

Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku

last updateLast Updated : 2022-09-23
By:  Azu RaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.8
35 ratings. 35 reviews
30Chapters
43.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Istriku tak pernah hadir di dapur jika keluargaku sedang mengadakan acara hajatan, sekadar membantu pun dia selalu absen. Entah apa alasannya, padahal dia sendiri hobi masak jika berada di rumah sendiri.

View More

Chapter 1

Tak Hadir di Dapur

"Lho, Aidah mana, Bu?" tanyaku bingung, melihat istriku tak ada di dapur bersama para wanita yang memasak, termasuk ibu juga ketiga kakak perempuanku.

"Di kamar aja tuh!" Mbak Ida menyahut, aku hanya menghela napas sambil menyimpan sayuran yang baru saja kubeli.

Kebiasaan memang, kalau keluargaku sedang ada acara atau hajatan, Aidah pasti tak pernah mau membantu urusan dapur. Entah kenapa. Padahal, di rumah dia sangat hobi masak.

"Alman samperin dulu ya, Bu."

"Nggak usah, Man. Mungkin istrimu capek." Ibu menjawab sambil mengupas kentang, tak tega aku melihatnya. Sedari tadi beliau belum berhenti bekerja.

Tanpa basa-basi lagi aku ke luar dapur dan menuju kamar depan, tempat kami beristirahat jika berkunjung ke rumah ini.

Benar saja, rupanya Aidah ada di sana.

"Aidah, lagi apa? Kok nggak bantu-bantu?"

Aidah yang tengah tidur menyamping menoleh.

"Lagi nyusuin Rizki, Mas." Tadinya, aku ingin marah. Tapi mendengar alasannya seperti itu, niatku untuk menasihatinya urung seketika.

"Ya sudah, kalau nyusuin Rizkinya selesai, bantuin Ibu sama yang lainnya ya di dapur. Nggak enak kalau kamu di sini cuma numpang tiduran aja," ujarku. Aidah tak menyahut, dia lebih memilih kembali dengan aktivitasnya.

Akhirnya aku pun kembali ke luar kamar, hendak membantu kaum adam yang tengah berjibaku memotong daging kambing di belakang rumah.

Semoga saja, Aidah mau membantu para wanita di dapur. Aku malu jika harus ditegur ketiga kakakku lagi karena istriku yang tak pernah mau membantu pekerjaan untuk acara besar keluargaku.

***

Sebuah mobil pick up dengan muatan nampak beberapa kali pulang pergi. Setelah sibuk dengan daging kambing, aku kembali berkutat membantu tukang dekorasi yang hendak menghias rumah Mbak Ida.

Si empunya acara memang dia, kakak ketigaku. Anak bungsunya, Zainab akan dinikahkan hari esok. Sepertinya acara akan berlangsung meriah dan cukup mewah.

Saking banyaknya makanan yang akan diolah, rumah Ibu sampai menjadi tempat untuk memasak, dikarenakan rumah Mbak Ida memiliki dapur agak sempit, dibanding dapur Ibu yang luas, hingga bisa dimasuki lebih dari sepuluh orang. Apa lagi, masih ada tungku juga, jadi nggak akan rebutan kompor.

"Man, dipanggil Ibu, tuh!" Kakak ipar tertuaku berujar, aku langsung buru-buru menuju rumah Ibu yang berada di samping rumah si pemilik acara.

"Bu, ada apa?" tanyaku sesampai di dapur.

"Ini, Man. Maaf. Tolong buatin tusukan sate, ya?" pinta Ibu, aku langsung menurut.

Sebelum duduk dan membuat tusukan sate, mata ini lebih dulu mencari sosok seseorang di antara ibu-ibu yang berada di dapur.

Rupanya, Aidah masih belum membantu juga. Aku jadi geleng-geleng sendiri. Dengan perasaan dongkol akhirnya aku mulai membelah sebilah bambu untuk kujadikan tusuk sate.

***

"Alman, sini!" Mbak Ida memanggil saat aku sedang membantu beberapa orang memasang sound sistem.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Istrimu ke mana? Kok dari tadi nggak kelihatan?"

"Aidah nggak ke dapur juga, Mbak?" Malah aku bertanya balik sekarang.

Mbak Ida menggeleng. "Enggak, Man. Nggak ada. Istri kamu tuh kenapa, sih? Maaf-maaf nih ya, Man. Kamu harusnya nasihatin dia, supaya mau bantu-bantu di dapur, ya cuci piring dua buah juga tak apa. Dari pada ndekem terus di kamar, malu sama orang-orang." Aku terdiam sejenak, benar-benar tak mengerti kenapa Aidah selalu bersikap seperti ini.

"Iya, Mbak. Nanti aku nasihatin."

"Iya. Jangan dimanja, ah! Apa nggak malu dia sama mertua?" ucap Mbak Ida lagi. Aku hanya mengulang jawaban yang sama.

Setelah diperingati Mbak Ida, aku langsung menuju rumah Ibu lagi, menghampiri Aidah kembali. Tapi, istri dan anakku tak ada di kamar.

Kucari dia ke dapur, juga tak ada. Di sekeliling rumah aku tidak menemukan sosok Aidah. Sampai di mana mata ini melihatnya tengah terududuk di dekat pelaminan yang baru saja selesai.

Dengan kesal aku langsung menghampirinya.

"Lagi apa sih, kamu? Kok malah duduk-duduk di sini?" tanyaku sedikit emosi, Aidah yang sedang tersenyum kini nampak terkejut dengan kedatanganku.

"Itu, Mas. Lagi ngawasin Rizki, katanya mau main di sini. Takut jatuh atau apa."

"Ya ampun, Aidah. Kenapa kamu nggak titipin Rizki sama aku saja? Harusnya kamu itu di dapur, bantuin Ibu, bantuin Mbak-mbakku. Aneh Mas sama kamu, Dah. Kenapa setiap ada acara hajatan di keluarga Mas, kamu nggak pernah mau bantuin masak. Kenapa?" tanyaku dengan nada tinggi, tak ada yang mendengar kecuali dia karena semua orang sibuk dengan sound sistem juga pekerjaannya masing-masing.

"Mas malu, Dah! Apa kata Ibu dan orang-orang kalau kamu seperti ini terus? Ayo, bantuin mereka masak!" Aidah hanya terdiam, tapi tak lama matanya nampak basah. Bahkan, sekarang dia menghampiri Rizki dan menariknya untuk menjauh dari tempat anak itu bermain.

"Loh? Mau ke mana?" tanyaku saat Aidah berlalu sambil memangku Rizki.

"Aidah? Hey?"

"Aku mau pulang, Mas ...." katanya lirih, air matanya semakin deras membanjiri pipi. Membuatku kian tak mengerti.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

10
94%(33)
9
0%(0)
8
3%(1)
7
0%(0)
6
3%(1)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
9.8 / 10.0
35 ratings · 35 reviews
Write a review
user avatar
Cep Solihin
good bingit dech
2024-10-07 02:40:45
1
user avatar
Nur Fahimah Awang Ahmad
Penulisan yang bagus
2024-09-25 01:07:13
1
user avatar
Rich Mama
kok nyesek ya.... :(
2024-09-05 15:52:39
1
user avatar
Fadhil Munnawar
kapan update lagi
2024-09-04 19:36:38
1
user avatar
Jusnah Tohar
cerita baru say
2024-09-03 09:00:36
1
default avatar
Bintang Titaley
good read! good reminder for either husband or wife to realize why you are married in the first place
2024-09-03 05:11:28
0
default avatar
nienaa mohd
Mantap ...
2024-08-29 01:54:04
0
user avatar
Nurmiati Nurdin
lanjutan ceritanya mana nih kak
2024-03-31 13:52:22
0
user avatar
Sarah Alina
Bagus banget ceritanya ...️ Beri kesedaran juga. Semoga ada sifat Aidahnya dlm diri.
2024-03-22 15:56:20
0
user avatar
sumiardi e
alur cerita bagus
2024-03-21 17:22:44
0
default avatar
Roy Marthin Sianturi
Mantap bgt ceritantanya
2024-03-21 10:58:42
0
user avatar
Anggi Selviani
bagus ceritanya,ada pelajaran nya juga dari kisah ini ...
2024-03-20 20:41:31
0
user avatar
Fandy Sigalingging
mantap alur ceritanya bagus
2024-03-20 17:48:54
0
user avatar
Rizky Marvia
kerenssssssss
2024-03-20 04:33:35
0
user avatar
Zulfia Akromiyah
bagus ceritanya ..
2024-03-18 15:10:05
1
  • 1
  • 2
  • 3
30 Chapters
Tak Hadir di Dapur
"Lho, Aidah mana, Bu?" tanyaku bingung, melihat istriku tak ada di dapur bersama para wanita yang memasak, termasuk ibu juga ketiga kakak perempuanku."Di kamar aja tuh!" Mbak Ida menyahut, aku hanya menghela napas sambil menyimpan sayuran yang baru saja kubeli.Kebiasaan memang, kalau keluargaku sedang ada acara atau hajatan, Aidah pasti tak pernah mau membantu urusan dapur. Entah kenapa. Padahal, di rumah dia sangat hobi masak."Alman samperin dulu ya, Bu.""Nggak usah, Man. Mungkin istrimu capek." Ibu menjawab sambil mengupas kentang, tak tega aku melihatnya. Sedari tadi beliau belum berhenti bekerja.Tanpa basa-basi lagi aku ke luar dapur dan menuju kamar depan, tempat kami beristirahat jika berkunjung ke rumah ini.Benar saja, rupanya Aidah ada di sana."Aidah, lagi apa? Kok nggak bantu-bantu?"Aidah yang tengah tidur menyamping menoleh."Lagi nyusuin Rizki, Mas." Tadinya, aku ingin marah. Tapi mendengar alasannya seperti itu, niatku untuk menasihatinya urung seketika."Ya sudah,
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Tak Diberi Baju Seragam
ISTRIKU TAK PERNAH MEMBANTU MEMASAK DI ACARA HAJATAN KELUARGAKU (2)"Kalau kamu pulang, bagaimana kata Ibu dan Mbak-mbakku, Aidah? Apa yang akan mereka pikirkan nanti?" ucapku sambil menatapnya yang sibuk mengemasi baju ke dalam koper kecil."Aidah!" Terpaksa aku meninggikan suara, sampai Rizki yang tengah anteng memainkan robot kecil di atas ranjang mendongak melihat ayahnya sendiri.Aidah sendiri berhenti memasukkan barang ke dalam koper, tangannya mengusap air mata yang trus mengalir.Kuhela napas dalam, merasa bersalah sebenarnya sudah beberapa kali membentak Aidah."Aidah, Mas mohon. Jangan begini, ya? Mas malu sama Ibu dan kakak-kakak Mas kalau kamu begini.""Kenapa kamu hanya memikirkan perasaan Ibu dan kakak-kakakmu, Mas?" tanyanya lirih, membuat dadaku mundur secara refleks."Dari awal aku sudah bilang, aku akan ke sini saat hari H. Bukan beberapa hari sebelumnya. Tapi Mas nggak mau dengerin aku dan memaksa kami untuk hadir sebelum acaranya digelar," lanjutnya sambil terisak.
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Tragedi Prasmanan
Akhirnya, aku sendiri memilih memakai baju yang dibawa Aidah. Kasihan juga istriku kalau dia pakai baju beda sendiri kalau aku harus ikut seragaman bareng keluarga."Kamu udah nyiapin ini sebelum pergi ke sini?" tanyaku saat Aidah mengancingkan kemeja batikku yang terakhir. Dia mengangguk."Kamu 'kan tahu kalau Mbak Ida jahitin seragam buat kita. Kenapa kamu bawa baju seragaman juga?" tanyaku lagi, merasa kalau Aidah sudah mengetahui cerita yang akan terjadi."Jaga-jaga, Mas. Untung 'kan aku bawa baju ganti lain? Hehe." Aku menghela napas, pasti Aidah sedih dengan kejadian ini. Tapi mau bagaimana lagi? Biarlah tak seragaman dengan ibu juga ketiga kakakku, yang penting masih bisa samaan dengan keluarga kecilku.Setelah selesai berganti baju, aku, Aidah juga Rizki keluar kamar. Semua orang di luar nampak sudah berias, para wanita terlihat pangling karena riasan di wajah."Mbak Ida, udah selesai, nih. Silakan kalau Aidah mau didandanin," kataku. Tak sabar rasanya melihat wajah istriku di
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Pulang?
"Ya ampunnn!" Sontak Mbak Ida turun dari pelaminan. Bahkan, biduan di panggung menghentikan nyanyiannya karena kejadian ini.Semua mata mengarah kepadaku, tepatnya ke prasmanan yang keadaannya hancur sebagian. Hanya karena kain alas meja terbawa oleh anakku, Rizki."Aduh, kok bisa begini. Ya Allah...." Mbak Ida masih berkoar. Beberapa penjaga makanan nampak sibuk membereskan. Tapi tidak dengan Aidah, istriku melenyapkan keberadaannya sekarang."Bapak, gimana ini? Aduuuh!" ujarnya pada Bang Lukman, sementara aku hanya bisa diam, merasa begitu bersalah."Beresin! Beresin! Udah, Bu. Tenang. Makanan di dalam 'kan masih banyak.""Tapi, Pak. Itu satenya banyak banget, lho. Sayang. Yassalaam ...." Mbak Ida menepuk jidatnya sendiri."Anak kamu lho, Man. Gara-gara Rizki! Kok nggak dijagain sih? Lagian Ibunya ke mana?" lanjut Mbak Ida membuat rasa bersalahku semakin menjadi."Maaf, Mbak. Tadi aku lagi ngobrol sama Indri. Lagian Rizki udah dititipin sama Ibu, soalnya Aidah 'kan bantu-bantu pagar
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Pengakuan Aidah
“Lagi telepon siapa, Man?” “Eh, Ibu,” ujarku kaget dengan kehadiran Ibu yang tak kusadari.“Acaranya sudah selesai, Bu?” tanyaku sambil menjauhkan ponsel dari telinga. Nomor Aidah masih tak aktif.“Iya. Kok kamu sama keluargamu nggak kelihatan nonton acaranya, Man?” Aku menghela napas, bingung harus menjawab pertanyaan Ibu dengan kalimat bagaimana.“Man?”“I-iya, Bu?”“Ditanya kok malah bengong. Kenapa? Istri sama anakmu mana?” Ya Tuhan, aku benar-benar bingung. Akan merasa semakin tak enak kalau memberitahu Ibu kalau Aidah membawa Rizki pulang, bahkan tanpa sepengetahuanku.“Ibu, dicariin. Di sini, toh.” Tiba-tiba Mbak Ida datang, semakin membuat suasana hatiku tak karuan. Tapi semoga saja dia tak menanyakan keberadaan Aidah.“Kenapa, Da? Ibu mau istirahat. Pegal ini badan.”“Tapi ada yang cariin, Bu. Ustaz Mustofa, sama istrinya.”“Walah, di mana? Suruh masuk saja ke rumah Ibu, ya? Oh ya, Man. Tolong dong, bilang ke Aidah siapin air sama makanan yang baru buat Ustaz Mustofa. Ibu ma
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Awal Mula
Aidah PoV~Namaku Nuraidah, orang-orang sekitar sering memanggilku Aidah.Aku terlahir dari keluarga biasa saja, bahkan bisa dibilang tidak mampu setelah kepergian bapak.Aku hanya tinggal bersama ibu dan satu adik lelakiku, Ilham. Saat ini dia masih duduk di bangku SLTA. Beruntung, Allah masih sayang kami, di tengah kesusahan yang melanda, selalu saja ada rezeki pemberian-Nya.Ilham tak boleh sepertiku, yang hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SLTP saja. Maka dari itu, aku mencoba bekerja keras untuk membantu meringankan beban Ibu, dengan cara bekerja apa pun selagi itu halal.Sampai di mana aku diterima kerja di sebuah warung makan dekat pabrik mesin. Karena kalau hanya mengandalkan bansos pemerintah saja tidak cukup.Alhamdulillah, gajiku dari sana setidaknya bisa meringankan biaya sekolah Ilham.Namun, tak lama aku berhenti bekerja karena dipinang seorang pria. Dia lah Mas Alman, suamiku sekarang. Entah kenapa aku bisa menjatuhkan hati padanya, padahal selama ini banyak lelaki
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Dilupakan
Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke rumah Ibu mertua bahkan untuk sekadar menginap.Beruntung, tak lama aku hamil hingga memiliki alasan kalau Mas Alman mengajakku untuk pergi ke sana.Namun, saat itu ada acara lagi di rumah Mbak Laksmi, anak pertamanya ulang tahun dan diadakan acara yang besar, sampai keluarga diwajibkan ikut rewang.Aku yang tengah mengandung enam bulan terpaksa ikut hadir. Lalu apa yang terjadi?Semuanya berjalan dengan baik, bahkan sikap Ibu juga ketiga kakak Mas Alman amat manis.Sampai di mana, Mas Alman diperintah Ibu untuk membeli es krim dan berupa macam kue ke tempat yang lumayan jauh, sikap Ibu dan ketiga anak perempuannya mulai berubah."Kalau ada si Aidah, cuekin aja ya, Bu-Ibu." Aku mengusap dada mendengar Mbak Laksmi berkata seperti itu pada tetangga yang ikut membantu masak.Benar saja, saat Mas Alman pergi, tak ada satu pun orang yang mengajakku bicara. Malah di antara mereka ada yang sibuk menyindir soal perbedaan kasta, membuatku semakin tak be
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Menyerah
“Terima kasih banyak, Bang Faiz. Maaf jadi ngerepotin,” kataku sambil memangku Rizki. Hujan semakin deras saat kami sampai di rumah.“Aidah, kamu menangis?” tanyanya tanpa menjawab kalimatku barusan.Aku menggeleng dan sebisa mungkin mengulas senyum, walau hati ini masih terasa berdenyut perih. Masih tergambar wajah bahagia Mas Alman, Indri beserta keluarganya tadi.“Maaf kalau saya banyak tanya,” katanya. Aku menggeleng lagi.“Bang Faiz sebaiknya berteduh dulu di sini. Hujan semakin deras, Bang,” saranku.“Jaket Bang Faiz juga basah ini.”“Nggak apa, Aidah. Yang penting Rizki nggak kehujanan,” ucapnya. Aku tersenyum, Bang Faiz memang tipikal lelaki perhatian, tapi sayang dari dulu aku tak pernah bisa menaruh hati pada lelaki baik ini.“Tunggu hujan reda saja dulu ya, Bang. Nanti saya bikinin teh, atau mau kopi? Tapi saya belum masak. Nanti dibikinin mi instan saja,” ucapku sambil membuka kunci pintu, sementara Bang Faiz masih setia duduk di atas motornya.“Nggak usah repot-repot, Aid
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Undangan Setelah Bercerai
Satu minggu Mas Alman tak pulang ke rumah, aku tak tahu dia di mana, namun hati kecil menebak jika Mas Alman pasti tengah berada di rumah Ibu dan mengadukan semua kejadian yang kami alami pada beliau.Jelas, aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman sendiri masih berada di dalam tas yang kupakai saat hendak menghadiri acara pernikahan anak Pak Yanto. Entah kenapa saat itu Mas Alman memberikan benda tersebut padaku seusai menelepon Ibu. Apa kah karena dia tak mau diganggu olehku karena ingin bebas bercengkerama dengan Indri juga keluarganya?Mendadak, tanganku terasa gatal ingin membuka tas lalu mengecek ponsel Mas Alman. Padahal sebelumnya aku tak berselera mengotak-atik benda itu.Akhirnya aku pun memberanikan diri membuka ponsel Mas Alman, karena selama kami menjalankan kehidupan berumah tangga, aku sama sekali tak pernah berani mengganggu privasi suami sendiri. Termasuk mengecek ponselnya.Tanganku gemetar saat menghubungkan chargeran pada benda pipih tersebut. Ponsel Mas
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Genderang Perang!
Termenung aku melihat cermin. Benar kah di hadapanku itu seorang Aidah? Ilmu apa yang dimiliki Mbak Uti sampai bisa menyulapku secantik ini? Bahkan, saat menikah dengan Mas Alman pun, aku tak terlihat pangling seperti sekarang.“Sebentar! High heelsnya belum, Aidah!” “Oh, harus pakai itu juga, Mbak?”“Iya, dong. Biar si Alman makin nyesel.” Mbak Uti terkekeh, aku hanya bisa mengembuskan napas. Benar kah yang tengah kulakukan ini?“Tapi aku nggak biasa pakai hak tinggi, Mbak,” kataku jujur.“Pakai naluri saja, jangan lari jalannya. Pasti bisa, kok!” ucap Mbak Uti sambil meletakkan high heels berwarna senada dengan bajuku itu di depan kedua kaki.“Terima kasih banyak, Mbak ....” kataku lirih. Mbak Uti tersenyum, tatapannya menyiratkan sesuatu, pandangan matanya seolah mengatakan kalimat kalau aku harus yakin dan kuat.Semoga, aku bisa berpijak dengan tenang di depan semua keluarga Mas Alman.*** Perih, itu yang kurasakan saat melihat dekorasi rumah milik mempelai wanita. Ingin rasanya
last updateLast Updated : 2022-07-05
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status