Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke rumah Ibu mertua bahkan untuk sekadar menginap.
Beruntung, tak lama aku hamil hingga memiliki alasan kalau Mas Alman mengajakku untuk pergi ke sana.Namun, saat itu ada acara lagi di rumah Mbak Laksmi, anak pertamanya ulang tahun dan diadakan acara yang besar, sampai keluarga diwajibkan ikut rewang.Aku yang tengah mengandung enam bulan terpaksa ikut hadir. Lalu apa yang terjadi?Semuanya berjalan dengan baik, bahkan sikap Ibu juga ketiga kakak Mas Alman amat manis.Sampai di mana, Mas Alman diperintah Ibu untuk membeli es krim dan berupa macam kue ke tempat yang lumayan jauh, sikap Ibu dan ketiga anak perempuannya mulai berubah."Kalau ada si Aidah, cuekin aja ya, Bu-Ibu." Aku mengusap dada mendengar Mbak Laksmi berkata seperti itu pada tetangga yang ikut membantu masak.Benar saja, saat Mas Alman pergi, tak ada satu pun orang yang mengajakku bicara. Malah di antara mereka ada yang sibuk menyindir soal perbedaan kasta, membuatku semakin tak berdaya.Kecuali satu, Bu Hindun namanya. Dari semenjak aku ikut rewang, dia lah yang selalu bersikap baik padaku. Bahkan saat Ibu-ibu di dapur makan bersama tanpa mengajakku, beliau dengan sembunyi-sembunhi memberikanku sepotong kue bolu dan nasi beserta sayap ayam goreng, lalu menyuruhku untuk makan di kamar sendirian.Sambil menangis, aku melahapnya sendiri di kamar. Tak bisa kutolak karena memang perut sudah sangat lapar.Setelah itu, tak lama muncul seorang perempuan semampai, dengan dandanan khas orang kota.Indri. Begitu mereka memanggilnya."Ya ampun, nggak usah repot-repot, Nak." Ibu mertuaku menerima bingkisan dari perempuan bernama Indri itu."Nggak apa-apa, Bu. Takut nanti sore Indri nggak bisa datang, makanya ngasih kadonya sekarang.""Ih, dari dulu perhatianmu sama keluarga kami emang nggak pernah pudar. Eh, Aidah! Malah berdiri di situ, ambilin air, sama makanan ringan di stoples. Taruh di meja!" perintah Ibu membuatku tersadar, lalu dengan cepat menurut.Susah payah aku terduduk untuk menyuguhi tamu Ibu karena perut yang sudah besar ini."Sayang, Alman lagi ke luar. Di suruh beli segala macam. Jadi nggak ketemu deh, kalian."Aktivitas tanganku melambat saat mendengar penuturan Ibu. Ada hubungan apa memangnya suamiku dengan perempuan bernama Indri itu?"Oh iya, nggak apa kok. Mas Alman ke sini juga, Bu? Dikirain Mbak Aidahnya saja." Dia tahu namaku? Tapi, aku baru tahu dia sekarang."Iya, ke sini. Ndri, katanya kamu mau ngelanjutin S2, ya?" tanya Ibu."Hehe, InsyaAllah, Bu. Doanya.""Ya ampun ... hebat! Pasti didoain, kok. Pasti! Haduh, coba aja kalau dulu jadi sama Alman, cocok banget!"Ya Allah, jadi ini perempuan yang hendak dijodohkan dengan suamiku? Ternyata, Ibu memang masih mengharapkan dia jadi menantu. Sampai tega berkata seperti itu di depanku.Sedangkan Indri sendiri, nampak enggan menjawab, entah karena tak enak padaku atau punya alasan lain."Kok masih di sini? Bantuin masak aja di dapur, Dah. Sekalian panggil Laksmi, bilangin ada Indri, bawa hadiah buat Uci."Aku menelan ludah, lalu menjawab iya dan pergi meninggalkan keduanya.Ternyata, sedalam apa pun aku berusaha untuk berbaur, sekuat apa pun usahaku untuk mengambil hati keluarga Mas Alman, takkan pernah bisa karena nyatanya hanya seorang Indri yang diinginkan Ibu dan para kakaknya untuk menjadi pendamping si bungsu.***Bukan hanya satu atau dua kali aku merasa dikucilkan, tak dianggap ada. Sampai di mana aku memilih tidur saja tatkala Mas Alman memaksaku untuk ikut rewang di acara hajatan pernikahan anak Mbak Ida. Zainab.Mas Alman terus memaksaku untuk ikut bergabung. Tapi aku terus menolak, tak peduli dengan pikiran jeleknya padaku.Sering sekali aku hendak mengadu dan membicarakan masalah ini pada Mas Alman, tapi, dia malah berbicara mendahuluiku dengan memuji-muji keluarganya.Keluarga yang menurutnya sempurna dan bak malaikat, karena selalu membantu kesusahannya kala dulu pada zaman kuliah. Mas Alman merasa berhutang budi pada ketiga kakaknya, apa lagi Mbak Ida.Namun, tanpa mereka tahu, keluarga yang menurutnya seperti malaikat itu memperlakukanku seperti makhluk tak kasat mata. Tak dianggap, diabaikan begitu saja.Sampai di mana, aku berani mengutarakan semuanya setelah hajatan Mbak Ida selesai. Tapi Mas Alman tak percaya, dan aku sudah bisa menebaknya dari awal.Mas Alman tak terima, dia bilang aku tak boleh menjelekkan keluarganya. Padahal memang itu faktanya. Sampai dia sendiri tak pulang semalaman hanya karena tak percaya dengan omongan istri sendiri.Hingga suatu hari, saat sore pintu rumah mungil ini diketuk seseorang.Aku tertegun saat membukanya, kukira dia takkan kembali."Sudah makan?" tanyanya seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya."Belum." Aku menjawab singkat, rasanya masih kesal pada Mas Alman, mengingat dia tak percaya dengan kejujuranku."Ini, aku bawa nasi padang. Nggak usah masak." Aku terdiam. Nasi padang? Tumben sekali dia membawa makanan saat pulang ke rumah."Rizki tidur, ya?""Iya." Lagi-lagi aku menjawab singkat.Kemudian aku langsung menuju dapur, menuangkan dua bungkus nasi padang pada piring besar, dan membawanya menuju ruang televisi.Kami makan bersama lagi, tapi tanpa keributan seperti waktu lalu."Mas tidur di rumah Ibu?" tanyaku penasaran saat piring kami sudah sama-sama habis."Iya." Aku mengangguk-angguk sambil menebak, apa Mas Alman membicarakan perihal kejujuranku pada Ibu dan ketiga Mbaknya?"Ini, ada undangan dari Pak Yanto. Pemilik Yayasan, dulu aku sekolah di Yayasannya. Anak bungsunya menikah." Aku terdiam, jangan bilang Mas Alman akan mengajakku kembali ke kampung Sukamurni.Aku belum siap ketemu Ibu, juga Mbak-mbaknya."Kamu mau datang?" tanyaku."Tentu. Siapin baju, Mas, ya? Kamu pakai kebaya yang dibeli kemarin ya? Biar samaan.""Lho, aku ikut juga?""Ya iya, wong diundangnya sama anak istri." Refleks aku menggigit bibir bawah, ragu."Kita nggak nginep di rumah Ibu, kok. Habis ke sana langsung pulang." Aku terdiam, ada apa dengan Mas Alman? Apa dia memang percaya padaku sekarang? Hingga dia tahu kalau aku malas mampir ke rumah Ibu."Baik kalau begitu," jawabku. Dia hanya tersenyum.***Kesedihan yang kualami kemarin seolah sirna begitu saja. Apa lagi Mas Alman menunjukkan sikap seperti percaya padaku.Hari ini, setelah selesai bersiap kami bertiga langsung menuju ke undangan pernikahan anak bungsu Pak Yanto. Mas Alman nampak ceria, Rizki juga sama. Sambil duduk di tengah, dia banyak berceloteh ria.Kami memang ke sana naik motor. Setelah setengah jam lebih di perjalanan, kami pun sampai.Rupanya, rumah Pak Yanto ini harus melewati rumah Ibu dulu, tapi Mas Alman benar-benar tak mampir dulu ke sana."Sebentar," kata Mas Alman, teleponnya berbunyi saat kami baru saja sampai di depan rumah si empunya acara. Dekorasi pernikahan mereka nampak begitu mewah sekali."Ya? Oh, iya. Alman ke sana sekarang. Iya, iya." Aku mengerutkan kening mendengar pembicaraan Mas Alman."Siapa, Mas?" tanyaku. Tapi dia terdiam agak lama."Ibu, minta dijemput. Katanya mau ke sini juga." Sekarang, giliranku yang terdiam."Nggak apa-apa 'kan?"Aku menghela napas, mencoba mengulas senyum."Ya sudah."Mas Alman ikut tersenyum."Makasih ya, kalau gitu tunggu sebentar, ya. Nanti kita masuk bareng-bareng. Rizki, tunggu sama Ibu sebentar, ya. Ayah mau jemput Eyang dulu," ucap Mas Alman sambil mengelus kepala buah hati kami.Mas Alman pun kembali menaiki motornya, meninggalkan kami di tempat parkir dengan janji pergi sebentar saja.***Dua jam lebih berlalu, Mas Alman belum kunjung kembali. Aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman ada di dalam tasku.Kuberanikan untuk menelepon Ibu, tapi tak diangkat. Kukirim pesan pada Mbak Ida, tapi tak kunjung dibaca.Rizki pun mulai rewel karena merasa kepanasan. Aku memutuskan untuk berteduh ke warung yang ada di depan sana agar bisa memberikan susu pada Rizki yang sudah kuperah.Satu jam kami menunggu di warung, Mas Alman belum kunjung kembali juga. Padahal acara resepsi sepertinya sudah dimulai dari dua jam yang lalu. Banyak tamu lalu lalang, ada yang pulang juga datang.Mendadak langit mendung, semilir angin yang menyapa membuat kulit terasa merinding. Sepertinya hujan akan datang, dan benar. Setelah beberapa menit berlalu, gerimis mulai membasahi bumi, seolah memberkahi acara yang tengah diadakan.Hatiku sedih, sambil memeluk Rizki aku bingung sendiri. Mas Alman ke mana? Dia di mana? Aku tak mungkin masuk menghadiri acara tanpa dia. Aku tak mengenal si pemilik hajatan.Tak kusangka hujan semakin deras, aku dan Rizki yang meneduh di depan warung bahkan kecipratan airnya. Ya Allah, ke mana suamiku?"Aidah?" Suara seseorang membuatku meluruskan pandangan."Bang Faiz?" sahutku. Lelaki yang mengendarai motor besar itu turun dan langsung menghampiri.Aku yang agak risi dan takut mengubah posisi duduk, membawa Rizki sedikit mundur."Lagi apa? Hujan ini, kok duduk di sini?" tanyanya sambil berdiri di depan kami, menghalau air hujan dengan tubuhnya."Lagi nungguin Mas Alman, Bang.""Alman?" tanyanya. Aku mengangguk."Loh, Alman bukannya sudah pulang ke rumah Bu Nani? Tadi sebelum ke sini, saya lihat Alman lagi duduk-duduk di teras sama Bu Nani juga Mbak Ida."Aku melongo, setengah percaya dengan ucapan Bang Faiz."Lagi duduk-duduk? Tadi Mas Alman bilangnya mau jemput Ibu, katanya mau ke undangan bareng-bareng. Tapi udah tiga jam lebih belum balik juga," jelasku."Ya Allah, tiga jam lebih? Kalian nunggu di sini tiga jam lebih?" tanyanya lagi, aku mengangguk."Kalau gitu pulang saja ke rumah Bu Nani bareng saya, ya? Dari pada hujannya keburu besar." Aku tak bisa menjawab, ragu dengan ajakan Bang Faiz. Takutnya membuat salah paham juga.Tapi melihat cuaca dan keadaan Rizki, takut dia kedinginan di sini, akhirnya aku terpaksa menurut.Sebelum naik motor Bang Faiz melepas jaketnya, menyarankanku untuk membungkus pakaian tersebut pada tubuh Rizki.Aku tak enak sebenarnya, tapi lagi-lagi dia meyakinkan dengan berkata tidak apa-apa.Kami pun akhirnya meninggalkan tempat ini, Bang Faiz membawaku dan Rizki ke rumah Ibu, walau malas bertemuu mereka, tapi bagaimana lagi?Tak sampai lima belas menit, motor Bang Faiz sampai ke jalan raya yang berada di depan rumah Ibu.Saat Bang Faiz akan membelokkan motornya menuju jalan yang menghubungkan ke rumah Ibu, aku menyuruhnya untuk berhenti.Dari kejauhan aku melihat Mas Alman memang tengah bercengkerama bersama Ibu dan Mbak Ida, bahkan yang membuat hatiku sakit, ada seorang makhluk kebanggaan keluarga mereka ikut tertawa bersama, sambil menikmati teh yang berjejer di atas nampan.Indri, perempuan itu ada di sana."Kenapa berhenti, Ai?" tanya Bang Faiz."Antar saya pulang, Bang Faiz.""Loh, ini 'kan pulang.""Pulang ke rumah saya, ke Jati Asih." Bang Faiz terdiam, tapi tak lama dia membawaku menjauh dari orang-orang yang tengah menikmati bahagia.Mas Alman, kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu benar-benar melupakan kami, anak dan istrimu yang tengah menunggu?“Terima kasih banyak, Bang Faiz. Maaf jadi ngerepotin,” kataku sambil memangku Rizki. Hujan semakin deras saat kami sampai di rumah.“Aidah, kamu menangis?” tanyanya tanpa menjawab kalimatku barusan.Aku menggeleng dan sebisa mungkin mengulas senyum, walau hati ini masih terasa berdenyut perih. Masih tergambar wajah bahagia Mas Alman, Indri beserta keluarganya tadi.“Maaf kalau saya banyak tanya,” katanya. Aku menggeleng lagi.“Bang Faiz sebaiknya berteduh dulu di sini. Hujan semakin deras, Bang,” saranku.“Jaket Bang Faiz juga basah ini.”“Nggak apa, Aidah. Yang penting Rizki nggak kehujanan,” ucapnya. Aku tersenyum, Bang Faiz memang tipikal lelaki perhatian, tapi sayang dari dulu aku tak pernah bisa menaruh hati pada lelaki baik ini.“Tunggu hujan reda saja dulu ya, Bang. Nanti saya bikinin teh, atau mau kopi? Tapi saya belum masak. Nanti dibikinin mi instan saja,” ucapku sambil membuka kunci pintu, sementara Bang Faiz masih setia duduk di atas motornya.“Nggak usah repot-repot, Aid
Satu minggu Mas Alman tak pulang ke rumah, aku tak tahu dia di mana, namun hati kecil menebak jika Mas Alman pasti tengah berada di rumah Ibu dan mengadukan semua kejadian yang kami alami pada beliau.Jelas, aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman sendiri masih berada di dalam tas yang kupakai saat hendak menghadiri acara pernikahan anak Pak Yanto. Entah kenapa saat itu Mas Alman memberikan benda tersebut padaku seusai menelepon Ibu. Apa kah karena dia tak mau diganggu olehku karena ingin bebas bercengkerama dengan Indri juga keluarganya?Mendadak, tanganku terasa gatal ingin membuka tas lalu mengecek ponsel Mas Alman. Padahal sebelumnya aku tak berselera mengotak-atik benda itu.Akhirnya aku pun memberanikan diri membuka ponsel Mas Alman, karena selama kami menjalankan kehidupan berumah tangga, aku sama sekali tak pernah berani mengganggu privasi suami sendiri. Termasuk mengecek ponselnya.Tanganku gemetar saat menghubungkan chargeran pada benda pipih tersebut. Ponsel Mas
Termenung aku melihat cermin. Benar kah di hadapanku itu seorang Aidah? Ilmu apa yang dimiliki Mbak Uti sampai bisa menyulapku secantik ini? Bahkan, saat menikah dengan Mas Alman pun, aku tak terlihat pangling seperti sekarang.“Sebentar! High heelsnya belum, Aidah!” “Oh, harus pakai itu juga, Mbak?”“Iya, dong. Biar si Alman makin nyesel.” Mbak Uti terkekeh, aku hanya bisa mengembuskan napas. Benar kah yang tengah kulakukan ini?“Tapi aku nggak biasa pakai hak tinggi, Mbak,” kataku jujur.“Pakai naluri saja, jangan lari jalannya. Pasti bisa, kok!” ucap Mbak Uti sambil meletakkan high heels berwarna senada dengan bajuku itu di depan kedua kaki.“Terima kasih banyak, Mbak ....” kataku lirih. Mbak Uti tersenyum, tatapannya menyiratkan sesuatu, pandangan matanya seolah mengatakan kalimat kalau aku harus yakin dan kuat.Semoga, aku bisa berpijak dengan tenang di depan semua keluarga Mas Alman.*** Perih, itu yang kurasakan saat melihat dekorasi rumah milik mempelai wanita. Ingin rasanya
[Kita harus ketemu, aku mau bicara] pesanku pada Mas Alman.Setelah beberapa jam, dia baru membalas dan bersedia bertemu denganku di sebuah rumah makan, dia juga meminta agar aku menbawa Rizki dengan alasan rindu ingin bertemu.Aku mengiyakan, walau kenyataannya bohong. Aku tak mau membawa Rizki, takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi Mas Alman merebut dan membawa anak kecil itu nanti.Setelah menitipkan pada Ibu dan Ilham, aku berangkat bakda ashar menuju rumah makan yang ada di pertengahan desa Sukamurni juga Jati Asih.Sejak rumah dijual oleh Mas Alman, aku dan Rizki memang kembali ke rumah Ibu. Malu juga sedih bercampur jadi satu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya wanita tanpa pamrih itu yang mau menerima kami."Mana Rizki?" tanya Mas Alman, rupanya dia yang lebih dulu sampai."Rizki tidur, kasihan kalau harus dibangunin.""Kamu bohong, ya? Kamu nggak ngajak Rizki dan nggak kasih tahu dia kalau mau ketemu aku, 'kan?" tanyanya sambil menatap dalam."Peduli apa kamu sama an
Alman PoVBeberapa hari sebelum bercerai."Lho, Man? Kok pulang lagi?" Kuhempaskan tubuh ke sofa, menjeda jawaban Ibu sementara."Man? Kok malah merem? Ibu lagi nanya lho, ini." Kuhela napas dalam, lalu membuka mata perlahan."Nanti aja Bu, bicarainnya kalau pekerjaaj rumah udah selesai," jawabku. Memang keadaan rumah Ibu masih berantakkan bekas acara hajatan Mbak Ida."Nggak apa, Man. Tinggal beresin dapur sama ruang belakang, ada Mbak Ratih ini."Aku menghela napas lagi, lalu menjauhkan punggung dari sofa."Aidah, Bu.""Kenapa Aidah? Dia ngapain kamu, Man? Dia selingkuhin kamu? Dia nyakitin kamu?" sambar Ibu.Aku menggeleng."Bukan, Bu. Bukan.""Terus kenapa?" tanya Ibu lagi seperti tak sabar."Maaf, Bu. Alman mau tanya sesuatu sama Ibu." Kening Ibu nampak mengerut mendengar pertanyaanku."Iya, Man. Boleh. Mau tanya apa?""Apa benar, Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi dan Mbak Nuri sering ngucilin Aidah saat Alman nggak ada?""Ngucilin? Maksudnya ngucilin gimana, Man? Ibu nggak ngerti." Jaw
"Mas, lipstiknya mana?" Aku tepuk jidat. Kenapa pula bisa lupa membelikan pesanannya."Maaf, Sayang. Mas lupa, beneran. Besok saja ya Mas beliinnya," ujarku jujur. Indri malah mengerucutkan bibirnya."Mas gimana, sih? Makanya kalau istri pesan sesuatu itu dengerin, masukin ke hati yang terdalam biar nggak lupa! Mas keseringan, deh. Minggu lalu, aku mau martabak telur eh malah pulangnya bawa martabak manis. 'Kan nggak lucu, Mas." Panjang lebar Indri menceramahiku.Kalau hari itu memang keliru, tapi untuk sekarang, aku benar-benar lupa dengan perasaan Indri. Entah lah, pikiranku melayang ke mana-mana, semenjak pagi tadi melihat mantan istri dibonceng Pak Guru Arkan, aku tak bisa fokus mengerjakan atau mengingat sesuatu.Masa iddah Aidah memang sudah berakhir satu bulan yang lalu. Apa tak terlalu cepat dia menikah dengan lelaki lain? Semudah itu kah dia melupakanku?Lalu kenapa harus dengan Pak Guru Arkan? Kenapa bukan dengan Faiz, lelaki yang selama ini terang-terangan dekat dengannya.
"Hebat ya mantanmu itu, jadi selebgram dia sekarang." Sudah malam, Indri masih berceloteh soal Aidah."Belum tidur kamu?" tanyaku yang baru selesai mengelap wajah dengan handuk."Belum, lagi ngepoin mantan istri kamu," katanya terdengar enteng."Buat apa ngepoin dia?" tanyaku seraya melangkah ke dekat ranjang, kemudian duduk di dekat Indri yang tengah berbaring."Lucu aja, kok dia tega sih, menaikkan pamornya dengan cara hadir ke nikahan kita, Mas." Aku terdiam, Indri pasti masih belum terima karena banyak orang menghujatnya dan menyebut dia pelakor."Mas sendiri bingung, kenapa Aidah bisa datang ke pernikahan kita. Padahal Mas nggak ngundang dia," kataku jujur."Apa kamu yang mengundangnya?" tanyaku, Indri langsung menoleh."Buat apa? Aku nggak ngundang dia kok, Mas.""Lalu siapa? Nggak mungkin Aidah bisa masuk ke acara nikahan waktu itu, secara peraturannya orang tanpa undangan tidak bisa masuk."Indri termenung, kami sama-sama terdiam sekarang, memikirkan siapa yang mengundang Aida
"Gimana, kalian nggak dipermalukan di acara syukuran si Aidah, 'kan?" tanya Ibu. Saat ini kami tengah makan bersama. Mbak Ida, Mbak Laksmi, Mbak Nuri, para suami dan anaknya juga ikut serta."Enggak kok, Bu," sahutku sambil menarik wadah berisi capcay."Tapi lucu, Bu. Katanya Pak Guru Arkan mau anak kembar dari Aidah. Emangnya bikin anak kembar semudah itu? Satu aja kadang susah," timpal Indri sambil terkekeh."Hahaha, anak kembar? Punya satu aja mantan istri si Alman itu kerepotan, sampai nggak bisa ikut rewang kalau lagi mau ngadain hajatan. Apa lagi kalau punya anak kembar, yang ada nanti Bu Heni ngedumel gara-gara mantunya pemalas." Sekarang Mbak Ida yang bersuara.Aku tak mau ikutan membahas Aidah, takut selera makan jadi hilang."Iya, ya. Aidah nggak pernah bantuin masak kalau kita lagi punya acara, selalu ndekem di kamar, alasannya nyusuin Rizki. Masa iya tiap detik nyusuin anak, nggak keselek tuh sama susu?" sahut Mbak Laksmi, dengan entengnya dia berkata sambil menuang soto y
"Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per
"Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O
"Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya
“Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya
Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert
Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,
"Mbak Ida? Ada apa?" tanya Aidah heran setelah keluar dari kedai. Dari belakanv Arkan nampak mengekor, lelaki itu juga sama herannya kenapa si empunya kedai di seberang berteriak memanggil nama sang istri."Nggak usah sok polos! Ngaku kamu, Aidah! Kamu 'kan yang bikin customerku keracunan?" Aidah semakin tak mengerti dengan perkataan mantan kakak iparnya itu. Dia sampai mengerutkan kening saking bingungnya."Tunggu, Mbak. Keracunan? Di outlet Mbak ada yang keracunan?" tanya Aidah."Halah ... nggak usak sok lugu kamu, Aidah! Aku tahu, kamu nyuruh penjual ayam buat ngeracunin dagingnya, atau kamu suruh si penjualnya buat ngasih ayam tiren ke aku. Ngaku, Aidah!" desak Ida terus menerus."Astaghfirullah, Mbak Ida ini ngomong apa, toh? Jangan fitnah orang sembarangan, Mbak! Lagian saya nggak tahu, di mana Mbak pesan ayam buat menu jualan Mbak.""Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Jelas aku pesan ayam ke tempat yang sama dengan tempat pesananmu!" kata Ida sewot. Semua orang bahkan kini s
Alman berjalan tergopoh-gopoh setelah menuruni motornya, bahkan sang istri, Indri, tak dia pedulikan saat memanggilnya untuk menunggu.“Alman ....” Ida menangis histeris saat adik bungsunya itu datang. Rasa kesal Alman selama ini berubah menjadi iba tatkala melihat keadaan kakak sulungnya itu.“Yang sabar, Mbak.” Alman mengelus punggung Ida yang lebar saat wanita itu memeluknya.“Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi, Man. Semua habis. Rumah, warung, kendaraan, nggak ada yang tersisa, Man ....” jelasnya sambil sesegukan.“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting Mbak dan Bang Lukman masih selamat,” kata Alman mencoba menenangi sang kakak.“Iya, Ida. Sudah. Yang penting kita masih diselamatkan oleh-Nya.” Lukman menambahi.Semua orang di sana nampak bersedih dengan musibah yang terjadi pada Ida. Apa lagi Bu Nani, dia juga tak berhenti menangis saat tahu si jago merah membakar habis seluruh harta benda si sulung.“Tetap saja, musibah ini benar-benar membuat Mbak bingung, Man. Bingung harus tingga
Bangun tidur, Aidah memegangi bibirnya. Ditatapnya Arkan yang masih tertidur di sofa. Tak biasanya lelaki itu masih memejamkan mata, padahal azan Subuh sudah berkumandang sejak sepuluh menit lalu.Mengingat hal yang terjadi semalam, Aidah tersenyum sendirian. Arkan berhasil membuatnya jatuh lebih dalam pada cinta, Arkan berhasil membuatnya bahagia. Walau sikapnya masih ambigu dan membuat ragu.“Mas, sudah Subuh.” Dua kali Aidah membangunkannya, Arkan mulai mengerjapkan mata. Kemudian bangkit dan duduk sebentar.“Kamu sudah salat?” tanyanya. Aidah menggeleng.“Mas nggak ke Masjid?” tanya Aidah sekarang.“Sudah terlambat,” sahutnya sambil melirik jam.“Kita salat berjamaah saja.” Aidah terdiam sejenak, namun dengan cepat menyadarkan diri sendiri karena teringat waktu salat yang sebentar lagi akan berakhir.“Iya, Mas. Kalau begitu, saya ke kamar mandi duluan, ya?” ucap Aidah, Arkan mengangguk singkat.Aidah pun balik badan, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di ruangan ters