Share

Tak Diberi Baju Seragam

Penulis: Azu Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

ISTRIKU TAK PERNAH MEMBANTU MEMASAK DI ACARA HAJATAN KELUARGAKU (2)

"Kalau kamu pulang, bagaimana kata Ibu dan Mbak-mbakku, Aidah? Apa yang akan mereka pikirkan nanti?" ucapku sambil menatapnya yang sibuk mengemasi baju ke dalam koper kecil.

"Aidah!" Terpaksa aku meninggikan suara, sampai Rizki yang tengah anteng memainkan robot kecil di atas ranjang mendongak melihat ayahnya sendiri.

Aidah sendiri berhenti memasukkan barang ke dalam koper, tangannya mengusap air mata yang trus mengalir.

Kuhela napas dalam, merasa bersalah sebenarnya sudah beberapa kali membentak Aidah.

"Aidah, Mas mohon. Jangan begini, ya? Mas malu sama Ibu dan kakak-kakak Mas kalau kamu begini."

"Kenapa kamu hanya memikirkan perasaan Ibu dan kakak-kakakmu, Mas?" tanyanya lirih, membuat dadaku mundur secara refleks.

"Dari awal aku sudah bilang, aku akan ke sini saat hari H. Bukan beberapa hari sebelumnya. Tapi Mas nggak mau dengerin aku dan memaksa kami untuk hadir sebelum acaranya digelar," lanjutnya sambil terisak.

"Iya tapi kenapa, Aidah? Kenapa begitu? Apa karena kamu nggak mau bantu keluarga Mas memasak?" tanyaku benar-benar bingung.

"Apa Mas akan percaya kalau aku kasih tahu alasannya?" Dia menatapku sekarang, tersirat kesedihan di kedua netranya yang masih basah.

"Kenapa? Kenapa Aidah? Apa kamu tak nyaman? Ibu 'kan sangat baik sama kita Aidah, begitu pun ketiga Mbakku. Apa yang salah?"

Aidah malah menutup wajahnya, tubuhnya bergetar. Dia kembali menangis, tapi kali ini lebih hebat walau suaranya tak terdengar.

"Mas tak akan percaya," ujarnya lagi sambil menjauhkan kedua tangannya dari wajah.

Aku menghela napas lagi, kuraih kedua bahunya, kutatap dalam wajah manisnya.

"Maafin Mas, kalau ada perkataan Mas yang buat kamu sakit. Maafin keluarga Mas juga kalau ada salah sama kamu." Dia terdiam, walau isakannya masih terdengar, halus.

"Tapi kamu jangan begini, ya? Jangan pulang. Sudah telanjur ke sini 'kan? Nggak enak sama yang lain. Ya udah, kalau emang nggak mau masak nggak apa. Jagain Rizki aja, tapi sesekali ke dapur, berbaur gitu, nggak usah bantuin juga nggak apa. Biar orang nggak berpikiran buruk sama kamu. Ya?"

Tangis Aidah mereda. Tak lama dia pun mengangguk.

"Maaf, ya?" kataku sekali lagi sambil membawanya ke dalam pelukan.

***

Aku tersenyum saat melihat Aidah dari kejauhan, nampak dia tengah berada di dekat pintu dapur, duduk sambil memangku Rizki.

"Man, kayaknya istrimu orangnya pemalu, ya?" celetuk Bang Lukman tiba-tiba. Aku langsung menoleh.

"Iya, Bang." Aku menyahuti lagi sambil kembali menguliti kambing yang baru dipotong.

Ya, ada tambahan daging untuk sate di acara besok. Mau tidak mau aku yang sudah mandi harus kembali bau hewan berkaki empat itu.

"Pantesan sering diam. Mbak Ida juga bilang katanya istrimu nggak pernah bantuin masak di dapur." Aku termenung, benar kah Mbak Ida sampai membicarakan persoalan itu ke suaminya? Apa harus?

"Iya, Bang. Maaf. Soalnya Aidah sibuk jagain Rizki. Anak kita tipikal nggak mau jauh sama Ibunya." Bang Lukman hanya mengangguk-angguk saja. Tapi entah kenapa perasaanku jadi tak enak.

Kembali mata ini menatap ke seberang sana. Nampak Aidah masih duduk di ambang pintu dapur bersama Rizki, dan sekarang aku baru sadar, kalau beberapa ibu yang ikut memasak tengah memunggungi istri juga anakku.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

***

"Sayang, kok belum siap-siap? Belum mandi?" Saat masuk kamar, Aidah masih mengenakan pakaian tidur. Bahkan dia nampak sedang memakan roti yang sudah habis setengah.

"Nanti saja, Mas. Mandinya terakhir."

"Mumpung Rizki masih tidur lho. Itu, kamu makan roti? Belum makan juga?" tanyaku lagi.

"Ini lagi makan, Mas."

"Maksud Mas ya makan nasi."

Aidah menggeleng. Aku sendiri baru sadar, belum melihat istri dan anakku makan dari kemarin.

Sementara aku sendiri sudah beberapa kali makan, tadi pagi sekali nimbrung bareng kakak ipar lelaki setelah selesai menusuk daging kambing. Kemarin juga sama, selalu makan bareng para lelaki, bukan di dapur Ibu.

"Kamu dan Rizki kemarin makan, nggak? Mas sampai lupa, saking sibuknya."

Aidah terdiam, bahkan aktivitas tangannya nampak melambat.

"Makan, Mas." Aku menghela napas, lalu tersenyum lega.

"Maaf ya, Mas sibuk banget. Jadi nggak perhatiin kamu sama Rizki. Sekarang, mumpung Rizki tidur, kamu makan dulu, terus mandi. Nanti 'kan bakalan banyak pekerjaan, butuh tenaga ekstra. Tubuh harus terisi nutrisi dulu."

Aidah menggeleng lagi, kemudian menghabiskan rotinya dengan cepat.

"Ini sudah kenyang, Mas. Lagian masih pagi."

"Udah, ayo makan. Mas antar, Mas juga mau makan," kataku beralasan. Aidah menatapku, lalu berdiri walau nampak ragu.

Akhirnya kuantar Aidah ke dapur, di sana ibu-ibu yang khusus menjaga makanan terlihat sibuk dengan segala pekerjaannya. Sementara Ibu dan semua kakakku sedang bersiap untuk kelangsungan acara.

"Eh, mau makan ya, Mbak Aidah? Mas Alman?" tanya Bu Hindun, selaku ketua memasak di rumah Ibu.

"Iya nih, Bu. Mau." Aku menjawab, karena Aidah lebih memilih diam saja.

"Ayo, ayo! Ini, mau makan sama apa? Mbak Aidah dari kemarin belum makan. Ayo, Mbak. Pilih sendiri saja, ya?" Aku langsung menoleh pada Aidah, menatapnya lama, tapi dia malah beranjak dari sisiku dan memilih meraih piring lalu mendekati beberapa olahan.

Kenapa Bu Hindun bilang Aidah belum makan dari kemarin? Apa tadi Aidah berbohong padaku?

"Eh, di sini, toh. Mbak cariin. Itu, baju buat kalian, Man. Seragaman. Kamu udah mandi, 'kan?" Mbak Ida yang memakai kebaya dengan riasan tebal di wajahnya menghampiri kami ke dapur.

"Iya, Mbak. Disimpan saja di kamar, maaf. Nanti aku pakai."

"Iya, iya! Eh, itu Aidah lagi apa? Oh makan ...." kata Mbak Ida lagi.

"Makan yang banyak, ya. Yang banyak ... habis juga nggak apa-apa. Hehe. Man, dipakai bajunya, ya! Mbak simpan di kamar," ujarnya sambil berlalu.

Aku tak menyahut, hanya menatap istriku yang nampak bingung dengan apa yang harus dilakukannya kini.

***

Selesai mandi Aidah dan Rizki langsung masuk kamar. Sengaja aku belum memakai baju seragaman biar kita bisa ganti pakaian barengan.

"Lho, kok belum ganti baju, Mas?"

"Nungguin kamu. Pengen ngaca bareng, lihat di cermin kita serasi apa enggak kalau pakai kemeja sama kebaya." Aidah malah terkekeh.

Aku langsung membuka tas kain yang disimpan Mbak Ida.

"Lho, kok cuma ada kemeja?" tanyaku bingung saat melihat isi tas hanya ada satu pakaian.

Aidah ikut melihat.

"Mungkin cuma buat kamu, Mas." Aidah berujar.

"Nggak mungkin, Aidah. Tadi Mbak Ida bilangnya untuk kalian. Berarti buat kita. Mereka sama anak-anaknya juga samaan, kok."

"Udah lah, Mas. Mungkin emang samaannya cuma buat laki-laki. Aku ganti baju dulu sama Rizki, ya."

"Jangan dulu, Mas mau tanyain ke Mbak Ida. Kali aja ketinggalan atau gimana." Aidah melarang, tapi aku penasaran.

Saat membuka pintu kamar, kebetulan Mbak Ida tengah berdiri dan mengobrol bersama Ibu juga kakak-kakakku yang lain.

"Eh, Mbak. Kebetulan. Ini, maaf, kok bajunya cuma ada kemeja, ya?"

Mereka saling tatap saat mendengar pertanyaanku.

"Lho, masa sih, Man? Tapi semua keluarga udah disediain baju seragaman, kok. Mbak udah pesan ke penjahitnya, dan itu tas bagian kamu." Mbak Ida menjelaskan.

"Nggak ada, Mbak. Cuma punya aku. Punya Aidah sama Rizki nggak ada."

"Duh, kalau nggak ada pakai yang ada saja ya, Man. Waktunya udah mepet ini, bentar lagi pengantin pria datang."

Aku menghela napas, entah kenapa mendadak bingung, serba salah.

"Iya, Mas. Aidah sama Rizki pakai baju yang dibawa dari rumah aja," kata Aidah dari belakang. Membuatku menoleh dengan perasaan kasihan.

Apa ini alasan yang membuat Aidah tak pernah mau membantu memasak di acara hajatan keluargaku?

Bab terkait

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Tragedi Prasmanan

    Akhirnya, aku sendiri memilih memakai baju yang dibawa Aidah. Kasihan juga istriku kalau dia pakai baju beda sendiri kalau aku harus ikut seragaman bareng keluarga."Kamu udah nyiapin ini sebelum pergi ke sini?" tanyaku saat Aidah mengancingkan kemeja batikku yang terakhir. Dia mengangguk."Kamu 'kan tahu kalau Mbak Ida jahitin seragam buat kita. Kenapa kamu bawa baju seragaman juga?" tanyaku lagi, merasa kalau Aidah sudah mengetahui cerita yang akan terjadi."Jaga-jaga, Mas. Untung 'kan aku bawa baju ganti lain? Hehe." Aku menghela napas, pasti Aidah sedih dengan kejadian ini. Tapi mau bagaimana lagi? Biarlah tak seragaman dengan ibu juga ketiga kakakku, yang penting masih bisa samaan dengan keluarga kecilku.Setelah selesai berganti baju, aku, Aidah juga Rizki keluar kamar. Semua orang di luar nampak sudah berias, para wanita terlihat pangling karena riasan di wajah."Mbak Ida, udah selesai, nih. Silakan kalau Aidah mau didandanin," kataku. Tak sabar rasanya melihat wajah istriku di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Pulang?

    "Ya ampunnn!" Sontak Mbak Ida turun dari pelaminan. Bahkan, biduan di panggung menghentikan nyanyiannya karena kejadian ini.Semua mata mengarah kepadaku, tepatnya ke prasmanan yang keadaannya hancur sebagian. Hanya karena kain alas meja terbawa oleh anakku, Rizki."Aduh, kok bisa begini. Ya Allah...." Mbak Ida masih berkoar. Beberapa penjaga makanan nampak sibuk membereskan. Tapi tidak dengan Aidah, istriku melenyapkan keberadaannya sekarang."Bapak, gimana ini? Aduuuh!" ujarnya pada Bang Lukman, sementara aku hanya bisa diam, merasa begitu bersalah."Beresin! Beresin! Udah, Bu. Tenang. Makanan di dalam 'kan masih banyak.""Tapi, Pak. Itu satenya banyak banget, lho. Sayang. Yassalaam ...." Mbak Ida menepuk jidatnya sendiri."Anak kamu lho, Man. Gara-gara Rizki! Kok nggak dijagain sih? Lagian Ibunya ke mana?" lanjut Mbak Ida membuat rasa bersalahku semakin menjadi."Maaf, Mbak. Tadi aku lagi ngobrol sama Indri. Lagian Rizki udah dititipin sama Ibu, soalnya Aidah 'kan bantu-bantu pagar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Pengakuan Aidah

    “Lagi telepon siapa, Man?” “Eh, Ibu,” ujarku kaget dengan kehadiran Ibu yang tak kusadari.“Acaranya sudah selesai, Bu?” tanyaku sambil menjauhkan ponsel dari telinga. Nomor Aidah masih tak aktif.“Iya. Kok kamu sama keluargamu nggak kelihatan nonton acaranya, Man?” Aku menghela napas, bingung harus menjawab pertanyaan Ibu dengan kalimat bagaimana.“Man?”“I-iya, Bu?”“Ditanya kok malah bengong. Kenapa? Istri sama anakmu mana?” Ya Tuhan, aku benar-benar bingung. Akan merasa semakin tak enak kalau memberitahu Ibu kalau Aidah membawa Rizki pulang, bahkan tanpa sepengetahuanku.“Ibu, dicariin. Di sini, toh.” Tiba-tiba Mbak Ida datang, semakin membuat suasana hatiku tak karuan. Tapi semoga saja dia tak menanyakan keberadaan Aidah.“Kenapa, Da? Ibu mau istirahat. Pegal ini badan.”“Tapi ada yang cariin, Bu. Ustaz Mustofa, sama istrinya.”“Walah, di mana? Suruh masuk saja ke rumah Ibu, ya? Oh ya, Man. Tolong dong, bilang ke Aidah siapin air sama makanan yang baru buat Ustaz Mustofa. Ibu ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Awal Mula

    Aidah PoV~Namaku Nuraidah, orang-orang sekitar sering memanggilku Aidah.Aku terlahir dari keluarga biasa saja, bahkan bisa dibilang tidak mampu setelah kepergian bapak.Aku hanya tinggal bersama ibu dan satu adik lelakiku, Ilham. Saat ini dia masih duduk di bangku SLTA. Beruntung, Allah masih sayang kami, di tengah kesusahan yang melanda, selalu saja ada rezeki pemberian-Nya.Ilham tak boleh sepertiku, yang hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SLTP saja. Maka dari itu, aku mencoba bekerja keras untuk membantu meringankan beban Ibu, dengan cara bekerja apa pun selagi itu halal.Sampai di mana aku diterima kerja di sebuah warung makan dekat pabrik mesin. Karena kalau hanya mengandalkan bansos pemerintah saja tidak cukup.Alhamdulillah, gajiku dari sana setidaknya bisa meringankan biaya sekolah Ilham.Namun, tak lama aku berhenti bekerja karena dipinang seorang pria. Dia lah Mas Alman, suamiku sekarang. Entah kenapa aku bisa menjatuhkan hati padanya, padahal selama ini banyak lelaki

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Dilupakan

    Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke rumah Ibu mertua bahkan untuk sekadar menginap.Beruntung, tak lama aku hamil hingga memiliki alasan kalau Mas Alman mengajakku untuk pergi ke sana.Namun, saat itu ada acara lagi di rumah Mbak Laksmi, anak pertamanya ulang tahun dan diadakan acara yang besar, sampai keluarga diwajibkan ikut rewang.Aku yang tengah mengandung enam bulan terpaksa ikut hadir. Lalu apa yang terjadi?Semuanya berjalan dengan baik, bahkan sikap Ibu juga ketiga kakak Mas Alman amat manis.Sampai di mana, Mas Alman diperintah Ibu untuk membeli es krim dan berupa macam kue ke tempat yang lumayan jauh, sikap Ibu dan ketiga anak perempuannya mulai berubah."Kalau ada si Aidah, cuekin aja ya, Bu-Ibu." Aku mengusap dada mendengar Mbak Laksmi berkata seperti itu pada tetangga yang ikut membantu masak.Benar saja, saat Mas Alman pergi, tak ada satu pun orang yang mengajakku bicara. Malah di antara mereka ada yang sibuk menyindir soal perbedaan kasta, membuatku semakin tak be

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Menyerah

    “Terima kasih banyak, Bang Faiz. Maaf jadi ngerepotin,” kataku sambil memangku Rizki. Hujan semakin deras saat kami sampai di rumah.“Aidah, kamu menangis?” tanyanya tanpa menjawab kalimatku barusan.Aku menggeleng dan sebisa mungkin mengulas senyum, walau hati ini masih terasa berdenyut perih. Masih tergambar wajah bahagia Mas Alman, Indri beserta keluarganya tadi.“Maaf kalau saya banyak tanya,” katanya. Aku menggeleng lagi.“Bang Faiz sebaiknya berteduh dulu di sini. Hujan semakin deras, Bang,” saranku.“Jaket Bang Faiz juga basah ini.”“Nggak apa, Aidah. Yang penting Rizki nggak kehujanan,” ucapnya. Aku tersenyum, Bang Faiz memang tipikal lelaki perhatian, tapi sayang dari dulu aku tak pernah bisa menaruh hati pada lelaki baik ini.“Tunggu hujan reda saja dulu ya, Bang. Nanti saya bikinin teh, atau mau kopi? Tapi saya belum masak. Nanti dibikinin mi instan saja,” ucapku sambil membuka kunci pintu, sementara Bang Faiz masih setia duduk di atas motornya.“Nggak usah repot-repot, Aid

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Undangan Setelah Bercerai

    Satu minggu Mas Alman tak pulang ke rumah, aku tak tahu dia di mana, namun hati kecil menebak jika Mas Alman pasti tengah berada di rumah Ibu dan mengadukan semua kejadian yang kami alami pada beliau.Jelas, aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman sendiri masih berada di dalam tas yang kupakai saat hendak menghadiri acara pernikahan anak Pak Yanto. Entah kenapa saat itu Mas Alman memberikan benda tersebut padaku seusai menelepon Ibu. Apa kah karena dia tak mau diganggu olehku karena ingin bebas bercengkerama dengan Indri juga keluarganya?Mendadak, tanganku terasa gatal ingin membuka tas lalu mengecek ponsel Mas Alman. Padahal sebelumnya aku tak berselera mengotak-atik benda itu.Akhirnya aku pun memberanikan diri membuka ponsel Mas Alman, karena selama kami menjalankan kehidupan berumah tangga, aku sama sekali tak pernah berani mengganggu privasi suami sendiri. Termasuk mengecek ponselnya.Tanganku gemetar saat menghubungkan chargeran pada benda pipih tersebut. Ponsel Mas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Genderang Perang!

    Termenung aku melihat cermin. Benar kah di hadapanku itu seorang Aidah? Ilmu apa yang dimiliki Mbak Uti sampai bisa menyulapku secantik ini? Bahkan, saat menikah dengan Mas Alman pun, aku tak terlihat pangling seperti sekarang.“Sebentar! High heelsnya belum, Aidah!” “Oh, harus pakai itu juga, Mbak?”“Iya, dong. Biar si Alman makin nyesel.” Mbak Uti terkekeh, aku hanya bisa mengembuskan napas. Benar kah yang tengah kulakukan ini?“Tapi aku nggak biasa pakai hak tinggi, Mbak,” kataku jujur.“Pakai naluri saja, jangan lari jalannya. Pasti bisa, kok!” ucap Mbak Uti sambil meletakkan high heels berwarna senada dengan bajuku itu di depan kedua kaki.“Terima kasih banyak, Mbak ....” kataku lirih. Mbak Uti tersenyum, tatapannya menyiratkan sesuatu, pandangan matanya seolah mengatakan kalimat kalau aku harus yakin dan kuat.Semoga, aku bisa berpijak dengan tenang di depan semua keluarga Mas Alman.*** Perih, itu yang kurasakan saat melihat dekorasi rumah milik mempelai wanita. Ingin rasanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Penyesalan Terdalam

    "Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Pengkhianatan

    "Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Aidah Bahagia, Alman Menderita

    "Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Ada yang Tumbuh, Ada yang Hilang

    “Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Kenapa Berubah?

    Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Balasan Sebuah Kejahatan

    Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Pencuri Itu....

    "Mbak Ida? Ada apa?" tanya Aidah heran setelah keluar dari kedai. Dari belakanv Arkan nampak mengekor, lelaki itu juga sama herannya kenapa si empunya kedai di seberang berteriak memanggil nama sang istri."Nggak usah sok polos! Ngaku kamu, Aidah! Kamu 'kan yang bikin customerku keracunan?" Aidah semakin tak mengerti dengan perkataan mantan kakak iparnya itu. Dia sampai mengerutkan kening saking bingungnya."Tunggu, Mbak. Keracunan? Di outlet Mbak ada yang keracunan?" tanya Aidah."Halah ... nggak usak sok lugu kamu, Aidah! Aku tahu, kamu nyuruh penjual ayam buat ngeracunin dagingnya, atau kamu suruh si penjualnya buat ngasih ayam tiren ke aku. Ngaku, Aidah!" desak Ida terus menerus."Astaghfirullah, Mbak Ida ini ngomong apa, toh? Jangan fitnah orang sembarangan, Mbak! Lagian saya nggak tahu, di mana Mbak pesan ayam buat menu jualan Mbak.""Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Jelas aku pesan ayam ke tempat yang sama dengan tempat pesananmu!" kata Ida sewot. Semua orang bahkan kini s

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Tuduhan Ida

    Alman berjalan tergopoh-gopoh setelah menuruni motornya, bahkan sang istri, Indri, tak dia pedulikan saat memanggilnya untuk menunggu.“Alman ....” Ida menangis histeris saat adik bungsunya itu datang. Rasa kesal Alman selama ini berubah menjadi iba tatkala melihat keadaan kakak sulungnya itu.“Yang sabar, Mbak.” Alman mengelus punggung Ida yang lebar saat wanita itu memeluknya.“Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi, Man. Semua habis. Rumah, warung, kendaraan, nggak ada yang tersisa, Man ....” jelasnya sambil sesegukan.“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting Mbak dan Bang Lukman masih selamat,” kata Alman mencoba menenangi sang kakak.“Iya, Ida. Sudah. Yang penting kita masih diselamatkan oleh-Nya.” Lukman menambahi.Semua orang di sana nampak bersedih dengan musibah yang terjadi pada Ida. Apa lagi Bu Nani, dia juga tak berhenti menangis saat tahu si jago merah membakar habis seluruh harta benda si sulung.“Tetap saja, musibah ini benar-benar membuat Mbak bingung, Man. Bingung harus tingga

  • Istriku Tak Pernah Membantu Memasak di Hajatan Keluargaku    Bahagia VS Menyusahkan

    Bangun tidur, Aidah memegangi bibirnya. Ditatapnya Arkan yang masih tertidur di sofa. Tak biasanya lelaki itu masih memejamkan mata, padahal azan Subuh sudah berkumandang sejak sepuluh menit lalu.Mengingat hal yang terjadi semalam, Aidah tersenyum sendirian. Arkan berhasil membuatnya jatuh lebih dalam pada cinta, Arkan berhasil membuatnya bahagia. Walau sikapnya masih ambigu dan membuat ragu.“Mas, sudah Subuh.” Dua kali Aidah membangunkannya, Arkan mulai mengerjapkan mata. Kemudian bangkit dan duduk sebentar.“Kamu sudah salat?” tanyanya. Aidah menggeleng.“Mas nggak ke Masjid?” tanya Aidah sekarang.“Sudah terlambat,” sahutnya sambil melirik jam.“Kita salat berjamaah saja.” Aidah terdiam sejenak, namun dengan cepat menyadarkan diri sendiri karena teringat waktu salat yang sebentar lagi akan berakhir.“Iya, Mas. Kalau begitu, saya ke kamar mandi duluan, ya?” ucap Aidah, Arkan mengangguk singkat.Aidah pun balik badan, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di ruangan ters

DMCA.com Protection Status