"Ya ampunnn!" Sontak Mbak Ida turun dari pelaminan. Bahkan, biduan di panggung menghentikan nyanyiannya karena kejadian ini.
Semua mata mengarah kepadaku, tepatnya ke prasmanan yang keadaannya hancur sebagian. Hanya karena kain alas meja terbawa oleh anakku, Rizki."Aduh, kok bisa begini. Ya Allah...." Mbak Ida masih berkoar. Beberapa penjaga makanan nampak sibuk membereskan. Tapi tidak dengan Aidah, istriku melenyapkan keberadaannya sekarang."Bapak, gimana ini? Aduuuh!" ujarnya pada Bang Lukman, sementara aku hanya bisa diam, merasa begitu bersalah."Beresin! Beresin! Udah, Bu. Tenang. Makanan di dalam 'kan masih banyak.""Tapi, Pak. Itu satenya banyak banget, lho. Sayang. Yassalaam ...." Mbak Ida menepuk jidatnya sendiri."Anak kamu lho, Man. Gara-gara Rizki! Kok nggak dijagain sih? Lagian Ibunya ke mana?" lanjut Mbak Ida membuat rasa bersalahku semakin menjadi."Maaf, Mbak. Tadi aku lagi ngobrol sama Indri. Lagian Rizki udah dititipin sama Ibu, soalnya Aidah 'kan bantu-bantu pagar ayu. Ibu ke mana, sih? Kok bisa begini, duh!" Aku sendiri ikut pening."Sudah, sudah! Jangan bikin tambah malu," kata Bang Lukman setengah berbisik."Bapak-bapak, Ibu-ibu dan semua tamu terhormat. Maaf atas kejadian yang tidak mengenakkan ini. Silakan kembali menikmatk acara, ya! Mbak penyanyi, yuk dilanjut! Mumpung belum Zuhur!" ucap Bang Lukman terdengar bijak. Lalu dia ikut membantu membereskan alat-alat juga makanan yang berceceran.Aku pun tak tinggal diam. Sementara Mbak Ida, di sela acara yang kembali berlanjut, dia masih mengomel tak terima.***Sampai sore dan acara resepsi selesai, aku belum kunjung bertemu dengan anak istri. Malah yang kutemui adalah Indri, sebelum pulang wanita itu memberikan nomor ponsel untuk disimpan. Katanya takut sewaktu-waktu ada perlu aku atau pun dia bisa mudah menghubungi.Indri, putri Bapak Warso. Juragan tanah yang terkenal di kampung ini. Sempat akan dijodohkan denganku, bahkan dia sangat dekat dengan ibu dan ketiga kakak perempuanku. Sampai kini malah.Indri keturunan orang berada tentunya, dia bahkan kuliah dengan mudah tanpa harus memikirkan mahalnya biaya sepertiku. Indri orang yang mahir bersosialisasi, suka berbicara, mudah berbaur.Dibanding istriku, sifatnya memang lebih humble. Kalau Aidah, dia lebih ke kalem dan pendiam. Pemalu juga. Tapi itu lah yang membuatku jatuh cinta padanya, ketenangannya, kesabarannya, pokoknya dia bisa bikin hatiku adem.Ditambah, Aidah punya ciri khas wajah yang begitu manis. Indri juga sebenarnya cantik, bahkan tubuhnya lebih semampai dibanding Aidah yang lebih mungil.Namun ya itu, Aidah memiliki sesuatu yang nggak dimiliki wanita lain. Sampai akhirnya aku lebih memilih dia untuk dijadikan istri ketimbang Indri.Kembali ke jalan cerita acara hajatan keluarga.Setelah resepsi selesai dan para tamu mulai bubar, aku mencari Aidah juga Rizki. Dari mulai kamar sampai dapur, tak kutemukan keberadaan mereka. Tapi tas dan pakaian keduanya masih ada di kamar.Sampai di mana kudengar suara tangisan di belakang rumah Ibu, tepatnya dekat kandang ayam.Aku menghela napas lega saat menemukan Aidah dan Rizki di sana. Segera kuhampiri keduanya."Kalian ngapain di sini. Rizki, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanyaku benar-benar khawatir. Tapi anak yang belum genap dua tahun itu menangis saja tanpa mau menjawab pertanyaanku."Aidah, ayo kita masuk ke rumah. Sudah mau Magrib." Aidah tetap diam saja sambil terus mengelus punggung Rizki yang berada di pelukannya.Sebisa mungkin kubujuk dia, walau susah, akhirnya Aidah menurut. Mau masuk ke dalam rumah Ibu walau dia masih enggan bersuara.***"Alman, Aidah. Sini!" panggil Mbak Ida di ambang pintu saat kami berada di kamar.Tanpa banyak tanya kami langsung menurut, mengekori kakak sulungku tanpa membawa Rizki karena dia sudah terlelap.Kami dibawa ke ruang keluarga rupanya. Di sana sudah ada Ibu, Bang Lukman, Mbak Laksmi, Mbak Nuri. Entah kenapa aku mendadak tak enak hati."Duduk," pinta Bang Lukman.Kami menurut lagi."Langsung aja, ya. Ini, kita mau bicarain kejadian tadi. Kok bisa sih Rizki hancurin acara?" kata Mbak Ida, membuat perasaanku semakin tak karuan."Maaf, Mbak. Tadi 'kan aku sudah jelasin. Lagi pula, Ibu ke mana tadi? Bukannya jagain Rizki pas aku ngobrol sama Indri?" tanyaku heran."Ibu tadi ke kamar mandi dulu, Man. Si Rizki dititipin sama Mbak Ratih karena Aidah nggak ada di meja prasmanan," jelas Ibu."Aidah tadi bantuin Bu Tini di dapur, Bu. Soalnya banyak makanan habis di meja," timpal Aidah membuatku menoleh.Jelas, yang salah di sini bukan Ibu mau pun Aidah, apa lagi Rizki. Tapi aku, kenapa malah mau-maunya nyamperin Indri dan ngobrol lama dengannya."Maaf Mbak Ida, Bang Lukman. Aku akan bertanggung jawab atas kerugian yang kalian alami karena kejadian tadi." Aku berujar."Bukan masalah rugi atau enggaknya, Man."Alisku terasa bertautan."Lalu apa, Mbak? Soal Rizki? Dia 'kan masih anak-anak.""Iya, makanya. Harus dijaga bener-bener. Lagian Aidah nggak usah bantuin aja tadi, fokus saja sama anak. Toh dari kemarin juga nggak pernah ikut nimbrung, kenapa tadi langsung sok-sokan mau berpartisipasi?" ucap Mbak Ida membuatku terkejut."Dibantuin salah, nggak dibantuin juga salah. Lalu saya harus bagaimana, Mbak?" Aku lebih terkejut lagi saat Aidah menyahut. Baru kali ini dia berani berkata seperti itu pada anggota keluargaku.Mbak Ida dan yang lain pun sepertinya sama denganku. Kaget dengan jawaban Aidah."Bukan berarti--" Kalimat Mbak Ida terputus saat anaknya, si pengantin ; Zainab, masuk sambil berucap dengan nyaring."Iiih, kebetulan! Aku mau bagi hadiah ini buat Eyang sama para bibi dan paman tersayaaang!""Ibuuu ...." Tiba-tiba Rizki terbangun, otomatis Aidah langsung pamit. Sedangkan aku, hanya bisa duduk diam lalu menunduk sambil memijit pelipis pelan.Sepertinya, setelah ini akan ada yang perang dingin.***Setelah selesai berbagi hadiah, Zainab kembali ke rumahnya sendiri.Masih sambil duduk aku terpaku melihat hadiah yang diberikan keponakanku itu. Ya, aku kebagian, tapi tidak dengan istri dan anakku. Padahal, yang lain kebagian semua.Kenapa? Ada apa sebenarnya?Kuputuskan untuk beranjak menuju kamar, tak mempedulikan ajakan iparku, Bang Sopyan, suami Mbak Laksmi yang mengajakku untuk melihat hiburan malam. Wayang kulit."Aidah, sudah tidur?" tanyaku di sela kegelapan ruangan kamar depan ini."Rizki?" panggilku. Tak ada sahutan. Aku memicingkan mata, lalu dengan segera menekan stop kontak.Lampu langsung menerangi ruangan, tapi aku terkejut saat melihat isi kamar kosong, bahkan tak kutemukan tas dan barang-barang istri juga anakku."Aidah? Rizki?" Aku memanggil-manggil mereka, lalu ke luar kamar. Mencari ke sudut-sudut ruangan, walau masih tak kutemukan.Tak ada yang bertanya kenapa aku memanggil Aidah dan Rizki, karena semua orang sudah sibuk dengan pembukaan wayang kulit di depan sana."Mbak, lihat Aidah sama Rizki?" tanyaku pada Mbak Ratih saat kaki ini mulai melangkah ke luar rumah."Nggak, Mas Alman. Mungkin lagi di depan nonton wayang." Aku terdiam, mungkin saja benar apa kata Mbak Ratih. Tapi, kenapa barang-barang mereka tak ada di kamar?"Mas Alman, cari siapa?" Aku langsung menoleh, rupanya Pak Ujang, tetangga kami yang kukenal dengan baik."Istri sama anak, Pak. Tapi kayaknya ada di depan, nonton.""Oh, Mbak Aidah sama Den Rizki?" tanyanya lagi, aku mengangguk."Tadi sih saya lihat memang ke depan, Mas. Tapi bawa koper, jalan ke dekat pangkalan ojek. Mau saya tanya keburu pergi.""Pangkalan ojek?" Pak Ujang mengangguk.Apa mungkin, Aidah pulang? Ya Tuhan....“Lagi telepon siapa, Man?” “Eh, Ibu,” ujarku kaget dengan kehadiran Ibu yang tak kusadari.“Acaranya sudah selesai, Bu?” tanyaku sambil menjauhkan ponsel dari telinga. Nomor Aidah masih tak aktif.“Iya. Kok kamu sama keluargamu nggak kelihatan nonton acaranya, Man?” Aku menghela napas, bingung harus menjawab pertanyaan Ibu dengan kalimat bagaimana.“Man?”“I-iya, Bu?”“Ditanya kok malah bengong. Kenapa? Istri sama anakmu mana?” Ya Tuhan, aku benar-benar bingung. Akan merasa semakin tak enak kalau memberitahu Ibu kalau Aidah membawa Rizki pulang, bahkan tanpa sepengetahuanku.“Ibu, dicariin. Di sini, toh.” Tiba-tiba Mbak Ida datang, semakin membuat suasana hatiku tak karuan. Tapi semoga saja dia tak menanyakan keberadaan Aidah.“Kenapa, Da? Ibu mau istirahat. Pegal ini badan.”“Tapi ada yang cariin, Bu. Ustaz Mustofa, sama istrinya.”“Walah, di mana? Suruh masuk saja ke rumah Ibu, ya? Oh ya, Man. Tolong dong, bilang ke Aidah siapin air sama makanan yang baru buat Ustaz Mustofa. Ibu ma
Aidah PoV~Namaku Nuraidah, orang-orang sekitar sering memanggilku Aidah.Aku terlahir dari keluarga biasa saja, bahkan bisa dibilang tidak mampu setelah kepergian bapak.Aku hanya tinggal bersama ibu dan satu adik lelakiku, Ilham. Saat ini dia masih duduk di bangku SLTA. Beruntung, Allah masih sayang kami, di tengah kesusahan yang melanda, selalu saja ada rezeki pemberian-Nya.Ilham tak boleh sepertiku, yang hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SLTP saja. Maka dari itu, aku mencoba bekerja keras untuk membantu meringankan beban Ibu, dengan cara bekerja apa pun selagi itu halal.Sampai di mana aku diterima kerja di sebuah warung makan dekat pabrik mesin. Karena kalau hanya mengandalkan bansos pemerintah saja tidak cukup.Alhamdulillah, gajiku dari sana setidaknya bisa meringankan biaya sekolah Ilham.Namun, tak lama aku berhenti bekerja karena dipinang seorang pria. Dia lah Mas Alman, suamiku sekarang. Entah kenapa aku bisa menjatuhkan hati padanya, padahal selama ini banyak lelaki
Semenjak kejadian itu, aku jadi malas ke rumah Ibu mertua bahkan untuk sekadar menginap.Beruntung, tak lama aku hamil hingga memiliki alasan kalau Mas Alman mengajakku untuk pergi ke sana.Namun, saat itu ada acara lagi di rumah Mbak Laksmi, anak pertamanya ulang tahun dan diadakan acara yang besar, sampai keluarga diwajibkan ikut rewang.Aku yang tengah mengandung enam bulan terpaksa ikut hadir. Lalu apa yang terjadi?Semuanya berjalan dengan baik, bahkan sikap Ibu juga ketiga kakak Mas Alman amat manis.Sampai di mana, Mas Alman diperintah Ibu untuk membeli es krim dan berupa macam kue ke tempat yang lumayan jauh, sikap Ibu dan ketiga anak perempuannya mulai berubah."Kalau ada si Aidah, cuekin aja ya, Bu-Ibu." Aku mengusap dada mendengar Mbak Laksmi berkata seperti itu pada tetangga yang ikut membantu masak.Benar saja, saat Mas Alman pergi, tak ada satu pun orang yang mengajakku bicara. Malah di antara mereka ada yang sibuk menyindir soal perbedaan kasta, membuatku semakin tak be
“Terima kasih banyak, Bang Faiz. Maaf jadi ngerepotin,” kataku sambil memangku Rizki. Hujan semakin deras saat kami sampai di rumah.“Aidah, kamu menangis?” tanyanya tanpa menjawab kalimatku barusan.Aku menggeleng dan sebisa mungkin mengulas senyum, walau hati ini masih terasa berdenyut perih. Masih tergambar wajah bahagia Mas Alman, Indri beserta keluarganya tadi.“Maaf kalau saya banyak tanya,” katanya. Aku menggeleng lagi.“Bang Faiz sebaiknya berteduh dulu di sini. Hujan semakin deras, Bang,” saranku.“Jaket Bang Faiz juga basah ini.”“Nggak apa, Aidah. Yang penting Rizki nggak kehujanan,” ucapnya. Aku tersenyum, Bang Faiz memang tipikal lelaki perhatian, tapi sayang dari dulu aku tak pernah bisa menaruh hati pada lelaki baik ini.“Tunggu hujan reda saja dulu ya, Bang. Nanti saya bikinin teh, atau mau kopi? Tapi saya belum masak. Nanti dibikinin mi instan saja,” ucapku sambil membuka kunci pintu, sementara Bang Faiz masih setia duduk di atas motornya.“Nggak usah repot-repot, Aid
Satu minggu Mas Alman tak pulang ke rumah, aku tak tahu dia di mana, namun hati kecil menebak jika Mas Alman pasti tengah berada di rumah Ibu dan mengadukan semua kejadian yang kami alami pada beliau.Jelas, aku tak bisa menghubunginya karena ponsel Mas Alman sendiri masih berada di dalam tas yang kupakai saat hendak menghadiri acara pernikahan anak Pak Yanto. Entah kenapa saat itu Mas Alman memberikan benda tersebut padaku seusai menelepon Ibu. Apa kah karena dia tak mau diganggu olehku karena ingin bebas bercengkerama dengan Indri juga keluarganya?Mendadak, tanganku terasa gatal ingin membuka tas lalu mengecek ponsel Mas Alman. Padahal sebelumnya aku tak berselera mengotak-atik benda itu.Akhirnya aku pun memberanikan diri membuka ponsel Mas Alman, karena selama kami menjalankan kehidupan berumah tangga, aku sama sekali tak pernah berani mengganggu privasi suami sendiri. Termasuk mengecek ponselnya.Tanganku gemetar saat menghubungkan chargeran pada benda pipih tersebut. Ponsel Mas
Termenung aku melihat cermin. Benar kah di hadapanku itu seorang Aidah? Ilmu apa yang dimiliki Mbak Uti sampai bisa menyulapku secantik ini? Bahkan, saat menikah dengan Mas Alman pun, aku tak terlihat pangling seperti sekarang.“Sebentar! High heelsnya belum, Aidah!” “Oh, harus pakai itu juga, Mbak?”“Iya, dong. Biar si Alman makin nyesel.” Mbak Uti terkekeh, aku hanya bisa mengembuskan napas. Benar kah yang tengah kulakukan ini?“Tapi aku nggak biasa pakai hak tinggi, Mbak,” kataku jujur.“Pakai naluri saja, jangan lari jalannya. Pasti bisa, kok!” ucap Mbak Uti sambil meletakkan high heels berwarna senada dengan bajuku itu di depan kedua kaki.“Terima kasih banyak, Mbak ....” kataku lirih. Mbak Uti tersenyum, tatapannya menyiratkan sesuatu, pandangan matanya seolah mengatakan kalimat kalau aku harus yakin dan kuat.Semoga, aku bisa berpijak dengan tenang di depan semua keluarga Mas Alman.*** Perih, itu yang kurasakan saat melihat dekorasi rumah milik mempelai wanita. Ingin rasanya
[Kita harus ketemu, aku mau bicara] pesanku pada Mas Alman.Setelah beberapa jam, dia baru membalas dan bersedia bertemu denganku di sebuah rumah makan, dia juga meminta agar aku menbawa Rizki dengan alasan rindu ingin bertemu.Aku mengiyakan, walau kenyataannya bohong. Aku tak mau membawa Rizki, takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Bisa jadi Mas Alman merebut dan membawa anak kecil itu nanti.Setelah menitipkan pada Ibu dan Ilham, aku berangkat bakda ashar menuju rumah makan yang ada di pertengahan desa Sukamurni juga Jati Asih.Sejak rumah dijual oleh Mas Alman, aku dan Rizki memang kembali ke rumah Ibu. Malu juga sedih bercampur jadi satu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya wanita tanpa pamrih itu yang mau menerima kami."Mana Rizki?" tanya Mas Alman, rupanya dia yang lebih dulu sampai."Rizki tidur, kasihan kalau harus dibangunin.""Kamu bohong, ya? Kamu nggak ngajak Rizki dan nggak kasih tahu dia kalau mau ketemu aku, 'kan?" tanyanya sambil menatap dalam."Peduli apa kamu sama an
Alman PoVBeberapa hari sebelum bercerai."Lho, Man? Kok pulang lagi?" Kuhempaskan tubuh ke sofa, menjeda jawaban Ibu sementara."Man? Kok malah merem? Ibu lagi nanya lho, ini." Kuhela napas dalam, lalu membuka mata perlahan."Nanti aja Bu, bicarainnya kalau pekerjaaj rumah udah selesai," jawabku. Memang keadaan rumah Ibu masih berantakkan bekas acara hajatan Mbak Ida."Nggak apa, Man. Tinggal beresin dapur sama ruang belakang, ada Mbak Ratih ini."Aku menghela napas lagi, lalu menjauhkan punggung dari sofa."Aidah, Bu.""Kenapa Aidah? Dia ngapain kamu, Man? Dia selingkuhin kamu? Dia nyakitin kamu?" sambar Ibu.Aku menggeleng."Bukan, Bu. Bukan.""Terus kenapa?" tanya Ibu lagi seperti tak sabar."Maaf, Bu. Alman mau tanya sesuatu sama Ibu." Kening Ibu nampak mengerut mendengar pertanyaanku."Iya, Man. Boleh. Mau tanya apa?""Apa benar, Ibu, Mbak Ida, Mbak Laksmi dan Mbak Nuri sering ngucilin Aidah saat Alman nggak ada?""Ngucilin? Maksudnya ngucilin gimana, Man? Ibu nggak ngerti." Jaw
"Alman?" Mata Bu Nani nampak berbinar kedatangan anak bungsunya itu.Alman tak menjawab, dengan kuyu dia langsung terduduk di sofa ruang televisi. Diambilnya botol besar air mineral yang berembun, menandakan jika minuman itu sangat dingin."Alman, untung kamu ke sini. Kebetulan Ibu lagi ada perlu sama kamu," ucap Bu Nani. Kedatangan Alman membuatnya lupa pada acara infotainment di televisi yang tengah dia tonton."Ibu lagi butuh uang, Man. Sekitar satu juta, buat bayar hutang Mbakmu ke tetangga, sama buat kebutuhan Ibu juga," lanjutnya tanpa bertanya keadaan si bungsu. Padahal, terlihat jelas sekali jika Alman sedang tidak baik-baik saja."Laksmi, Mbakmu nggak bisa bantu Ibu, Man. Dua hari lalu dia baru dicerai si Sopyan.""Hah? Cerai?" Ini pertama kalinya Alman bersuara karena benar-benar terkejut."Iya, Man. Si Sopyan ternyata selingkuh, punya istri lagi dia, bahkan udah punya anak seumuran Rizki sama selingkuhannya. Tanpa sepengetahuan Laksmi, rumahnya dijual dan uangnya dibawa per
"Memangnya harus, ya?" tanya Arkan, ragu hendak memberikan roti buatan Aidah yang akan dijadikan menu baru di outlet mereka."Kalau Mas nggak ngizinin, nggak apa-apa." Aidah menjawab lembut."Ya sudah lah, dari pada mubazir. Mereka 'kan tetangga kita juga." Arkan mengunggingkan senyum.Kedua makhluk itu lantas kembali berjalan setelah membagikan roti buatan Aidah, mereka hendak menuju ke rumah Alman juga Indri. Gara-gara kejadian semalam, Arkan jadi izin tak masuk sekolah. Lelaki itu ingin menghabiskan waktu bersama sang pujaan, walau lisannya tak mengutarakan demikian."Assalamu'alaikum." Arkan mengetuk pintu, sementara Aidah terdiam di sampingnya sembari membawa bingkisan roti.Tak menunggu lama, si empunya rumah terdengar menjawab salam kemudian membuka pintu bercat putih itu dengan segera."P-Pak Arkan? Aidah?" Indri nampak terkesima."Ganggu ya, In?" tanya Arkan terdengar bersahabat. Karena memang mereka pernah satu sekolah dulu, jadi Arkan merasa tak sungkan pada wanita itu."O
"Aidah, aku mohon. Aku ingin kembali denganmu." Dengan wajah memelas Alman meminta, Aidah terdiam sejenak. Hatinya begitu iba melihat Alman hidup dengan derita.Sejatinya Alman tak bersalah, karena memang semua kehancuran itu berawal dari hasutan keluarganya."Kalau boleh jujur, aku juga masih cinta sama kamu, Mas." Aidah berkata lirih, kini giliran Alman yang terpaku."Aku tak pernah mau menikah dua kali dalam seumur hidup. Aku juga kasihan pada Rizki, kalau kita bercerai berai seperti ini.""Jadi, kamu mau rujuk denganku, Aidah?" tanya Alman cepat seraya meraih kedua tangan Aidah, dan wanita itu tak menolak."Iya, Mas. Asal kamu janji, takkan menyakitiku lagi.""Janji, Aidah. Janji! Tapi, bagaimana dengan suamimu, Arkan?""Aku tak mencintainya, Mas. Dia tak memperlakukanku dengan laik selama ini. Dia tak pernah memberikanku nafkah batin, aku lebih tersiksa karena harus berpura-pura bahagia padahal sebenarnya tidak.""Ya Tuhan, Aidahku. Tapi tidak apa, yang penting, sekarang semuanya
“Indri, kamu lihat jam tangan Mas yang satu lagi, nggak?” tanya Alman saat hendak memakai benda tersebut. Lelaki itu memang memiliki dua buah jam tangan, yang satu biasa dipakai sehari-hari karena tergolong murah, dan satunya lagi jarang dia pakai karena harganya memang mahal.“Jam tangan yang di laci?” Indri balik bertanya seraya memainkan ponsel.“Iya.”“Lho, ‘kan aku jual, Mas.” Alman langsung menoleh dengan mata membulat mendengar jawaban Indri.“Kamu jual?” ulangnya sambil mendekat. Indri mengangguk dengan ringan.“Kenapa kamu jual, Indri? Ya ampun ....”“Lho, lho. Kemarin ‘kan aku sudah izin, mau jual jam tanganmu itu buat belanja baju sama Ibu. Biar Ibu seneng dan nggak terlalu sedih mikirin kakak sulungmu itu.”“Kapan, Indri? Kapan kamu meminta izin? Kapan juga aku mengizinkannya?” “Ya sebelum aku belanja sama Ibu, lah. Makanya, Mas. Jangan banyak ngelamun, jadi orang ngomong itu kamu nggak dengerin, otak kamu nggak fokus.”Alman tak menjawab, dia hanya bisa menghela napas ya
Perkataan Bu Nani dan Indri terus menghantui pikiran Aidah. Bagaimana kalau Arkan terus tak menyentuhnya? Bagaimana kalau dia tak memiliki keturunan lagi karena Arkan belum bisa menerimanya sebagai istri? Aidah merasa depresi sendiri, hingga menjadikannya selalu murung akhir-akhir ini.“Aidah, aku mau mandi,” kata Arkan setelah bakda Isya. Berkutat dengan pekerjaan seharian membuat tubuhnya terasa lengket dan tak nyaman.“Ya.” Aidah menyahut singkat, dia sibuk bersama ponselnya sambil duduk di atas ranjang. Sendirian. Karena Rizki tengah bersama Bu Heni di kamar sebelah.“Handuknya?” tanya Arkan merasa heran. Biasanya, Aidah selalu menyiapkan keperluan suaminya itu sebelum sang lelaki mandi. Dari mulai handuk sampai baju. Tapi sekarang, Aidah diam saja dan bertingkah sedingin batu.Aidah tak menyahut, dia meninggalkan ponsel sementara untuk mengambil handuk baru di lemari. Kemudian tanpa kata dia menyodorkan begitu saja pada Arkan.Bukannya langsung masuk kamar mandi, Arkan malah tert
Tak hanya Aidah, Arkan juga mendengarnya dan langsung bangkit dari pembaringan."Kamu tunggu di sini, ya?" titah Arkan lembut, lalu menyelimuti Rizki yang tidur di tengah mereka.Lelaki jangkung itu langsung mengambil kacamata di atas nakas, kemudian menghidupkan lampu. Ida yang merasa sial hanya bisa memejamkan mata sambil berharap agar si empunya rumah tak memergokinya.Sedangkan Aidah, di atas ranjang dia terduduk sambil membelai rambut Rizki, anak itu masih terlelap, tapi Aidah tak lagi biss memejamkan mata.Sebelum keluar kamar, Arkan memicingkan mata, sadar ada yang janggal dengan kolong ranjangnya.Rupanya, kaki Ida yang tak beralas itu sedikit terlihat hingga membuat Arkan mendekat. Sedangkan Ida tak sadar si pemilik kamar berjalan ke arah persembunyiannya karena dia sibuk memejamkan mata dan berdoa."Kamu?" Darah Ida terasa membeku saat mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Dengan perlahan dan penuh rasa takut dia membuka mata."Ke luar sekarang!" perintahnya."Kenapa,
"Mbak Ida? Ada apa?" tanya Aidah heran setelah keluar dari kedai. Dari belakanv Arkan nampak mengekor, lelaki itu juga sama herannya kenapa si empunya kedai di seberang berteriak memanggil nama sang istri."Nggak usah sok polos! Ngaku kamu, Aidah! Kamu 'kan yang bikin customerku keracunan?" Aidah semakin tak mengerti dengan perkataan mantan kakak iparnya itu. Dia sampai mengerutkan kening saking bingungnya."Tunggu, Mbak. Keracunan? Di outlet Mbak ada yang keracunan?" tanya Aidah."Halah ... nggak usak sok lugu kamu, Aidah! Aku tahu, kamu nyuruh penjual ayam buat ngeracunin dagingnya, atau kamu suruh si penjualnya buat ngasih ayam tiren ke aku. Ngaku, Aidah!" desak Ida terus menerus."Astaghfirullah, Mbak Ida ini ngomong apa, toh? Jangan fitnah orang sembarangan, Mbak! Lagian saya nggak tahu, di mana Mbak pesan ayam buat menu jualan Mbak.""Nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Jelas aku pesan ayam ke tempat yang sama dengan tempat pesananmu!" kata Ida sewot. Semua orang bahkan kini s
Alman berjalan tergopoh-gopoh setelah menuruni motornya, bahkan sang istri, Indri, tak dia pedulikan saat memanggilnya untuk menunggu.“Alman ....” Ida menangis histeris saat adik bungsunya itu datang. Rasa kesal Alman selama ini berubah menjadi iba tatkala melihat keadaan kakak sulungnya itu.“Yang sabar, Mbak.” Alman mengelus punggung Ida yang lebar saat wanita itu memeluknya.“Mbak sudah nggak punya apa-apa lagi, Man. Semua habis. Rumah, warung, kendaraan, nggak ada yang tersisa, Man ....” jelasnya sambil sesegukan.“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting Mbak dan Bang Lukman masih selamat,” kata Alman mencoba menenangi sang kakak.“Iya, Ida. Sudah. Yang penting kita masih diselamatkan oleh-Nya.” Lukman menambahi.Semua orang di sana nampak bersedih dengan musibah yang terjadi pada Ida. Apa lagi Bu Nani, dia juga tak berhenti menangis saat tahu si jago merah membakar habis seluruh harta benda si sulung.“Tetap saja, musibah ini benar-benar membuat Mbak bingung, Man. Bingung harus tingga
Bangun tidur, Aidah memegangi bibirnya. Ditatapnya Arkan yang masih tertidur di sofa. Tak biasanya lelaki itu masih memejamkan mata, padahal azan Subuh sudah berkumandang sejak sepuluh menit lalu.Mengingat hal yang terjadi semalam, Aidah tersenyum sendirian. Arkan berhasil membuatnya jatuh lebih dalam pada cinta, Arkan berhasil membuatnya bahagia. Walau sikapnya masih ambigu dan membuat ragu.“Mas, sudah Subuh.” Dua kali Aidah membangunkannya, Arkan mulai mengerjapkan mata. Kemudian bangkit dan duduk sebentar.“Kamu sudah salat?” tanyanya. Aidah menggeleng.“Mas nggak ke Masjid?” tanya Aidah sekarang.“Sudah terlambat,” sahutnya sambil melirik jam.“Kita salat berjamaah saja.” Aidah terdiam sejenak, namun dengan cepat menyadarkan diri sendiri karena teringat waktu salat yang sebentar lagi akan berakhir.“Iya, Mas. Kalau begitu, saya ke kamar mandi duluan, ya?” ucap Aidah, Arkan mengangguk singkat.Aidah pun balik badan, melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berada di ruangan ters