Rindan Arga Afdiyan Prayoga atau biasa dipanggil Arga terkejut ketika mengetahui Arum --sang istri pergi tanpa sepengetahuannya. Tanpa mengatakan alasan yang sebenarnya. Ke mana sebenarnya istrinya itu pergi? Akankah Arga menemukan Arum? Dan alasan apa sehingga seorang istri yang berbakti kepada sang suami seperti Arum bisa memutuskan untuk meninggalkan sang suami?
더 보기Ponselku di atas nakas terus saja berdering. Tertera nama Bi Surmi yang ada di layar benda pipih persegi panjang yang masih menyala tersebut.
‘Sebenarnya ada apa sih Bi Surmi menelepon?’ Aku menggerutu dalam hati. Kesal dengan semua panggilan asisten rumah tanggaku itu. Ia bahkan sudah mengganggu malam panas dengan Erika, istri mudaku.Wanita itu membuatku penasaran, sebenarnya apa yang terjadi? Tak biasanya ia terus menghubungiku tanpa henti, dengan kesal kuangkat juga teleponnya. “Ada apa sih, Bi. Mengganggu waktuku saja,” tekanku.“Den ... Neng A-arum, Den,” ucap Bi Surmi dengan nada terbata-bata. Aku mengernyit heran setelah menangkap kepanikan dari suara Bi Surmi. Tak biasanya asisten rumah tanggaku begitu. Dari suaranya yang bergetar, kutebak pasti Bi Surmi tengah menangis.“Ada apa dengan Arum, Bi?” tekanku tak sabar ingin mendapatkan penjelasan dengan segera. “Neng Arum ... enggak ada di rumah, Den. Ka-kata Mang Mansur dari tadi siang belum pulang,” ujar Bi Surmi menjelaskan hingga membuatku seketika itu terbangun dan melompat dari ranjang.“Iya, Den. Mang Mansur tadi siang mengantar Neng Arum ke rumah Nyonya Besar. Tapi, sampai sekarang belum pulang juga.” Kata-kata Bi Surmi membuat mataku melotot. “Apa! Arum ke rumah Mama? Mau apa dia ke sana?” tanyaku heran. Tak biasanya Arum menemui Mama. Bahkan telah lama hubungan kami sudah tak baik. Beliau tak mengizinkan diriku menikahi Arum yang yatim piatu.Aku sangat mencintainya hingga seorang Arga pun rela menentang Mama serta menikahi Arum tanpa restunya. Hanya Papa yang sudi menghadiri pernikahan kami saat itu.“Bibi juga, enggak tahu, Den,” jawab BI Surmi. Aku mendesah, sebaiknya kutelepon Mama dan tanya apa Arum ada di sana? Barangkali ia berniat menginap.“Ya sudah, Bi. Biar aku yang hubungi Mama nanti. Mungkin saja, Arum disuruh menginap di sana,” jelasku.Setelah itu kuakhiri Panggilan dengan Bi Surmi. Aku mencoba menghubungi nomor ponsel Arum. Namun, kontaknya tak aktif bahkan sudah berulang kali kucoba tetap seperti itu. Dengan terpaksa kucari nomor Mama di kontak dan menelepon beliau.“Halo, Ga. Tumben kamu hubungi Mama malam-malam begini?” tanya Mama di seberang sana.“Apa Arum menginap di sana, Ma?”“Ngapain sih kamu tanya dia ke Mama. Memangnya ke mana istrimu itu?”Suara Mama sontak berubah sinis. Jelas sekali rasa ketidaksukaan dari cara ibu kandungku bereaksi setelah mendengar nama istri pertamaku. “Lho, bukannya tadi Mang Mansur antar Arum ke rumah Mama? Kukira menginap, makanya Bi Surmi bilang ia belum pulang. Apalagi nomor ponselnya tak aktif,” tanyaku heran sekaligus panik. Kalau bukan di rumah Mama lantas ke mana Arum pergi?“Ya enggak, lah. Ngapain dia menginap di sini? Tadi memang istrimu datang ke rumah. Terus Cuma bilang minta maaf sudah buat kamu menentang Mama agar bisa menikahinya. Lalu pulang sendirian dengan taksi yang di pesan.” Ujar Mama menjelaskan hingga membuatku semakin tak enak hati. Di mana Arum sekarang? Kenapa sampai malam begini dia belum juga pulang?“Terus ke mana Arum pergi, Ma?” Aku terkulai lemas, bingung menghubungi siapa lagi. Sedangkan istriku itu tak punya kerabat, teman pun tidak banyak dan aku tak tahu siapa saja kawannya. Selama kami menikah Arum selalu ada di rumah.Kalau pergi ke mana pun selalu aku yang menemani. Makanya, Bi Surmi panik saat tahu istriku itu belum juga pulang ke rumah sampai malam begini. Begitu pun aku, dada ini tiba-tiba sesak karena memikirkan istriku. Bayangan sesuatu yang buruk berkeliaran di pikiran.“Makanya, Mama bilang juga apa. Istrimu itu tak tahu diuntung! Buat orang panik aja. Alah lebay! Palingan juga nyari perhatian kamu doang,” ketus Mama. Aku hanya menghela napas dengan kasar tak menanggapi ucapannya. Yang harus kulakukan sekarang ialah mencari keberadaan Arum.“Ya sudah, Ma. Lain kali Arga telepon lagi, ya. Sekarang aku mau nyari Arum lagi. Assalamualaikum.”Tanpa mendengar balasan dari Mama segera kumatikan panggilan telepon dengan beliau. Aku langsung dikejutkan oleh pelukan Erika saat sedang kebingungan memikirkan keberadaan istri pertamaku itu.“Ada apa, Mas?” tanyanya. “Ke mana memangnya istrimu yang manja itu, Mas? Mengganggu acara kita aja.” Erika mencebik, dia mungkin kesal karena kabar ini membuat percintaan kita terganggu. Apalagi kami baru saja berjumpa kembali setelah seminggu tak bertemu.Erika memang di Bandung sedangkan Arum tinggal di rumahku yang di Jakarta. Sengaja kujauhkan mereka agar istriku itu tak tahu kalau suaminya ini sudah menikah lagi dengan Erika. Aku tak tega melihatnya terluka. Pernikahanku yang kedua ini memang hanya dilakukan secara agama.Dia dulunya suster di rumah sakit kecil, desa tempatku mengabdi selama setengah tahun. Pertemuan yang intens membuat kami saling jatuh cinta. Teringat suatu malam ketika aku mengantarnya pulang ke rumah yang ditempati Erika. Hari di mana aku menyatakan cinta.“Aku juga mencintaimu, Mas. Entah benar atau salah perasaanku ini. Yang pasti, aku tak mau kehilangan kamu. Aku sama sekali tak peduli jika harus menjadi istri kedua,” ungkap Erika menjawab pernyataan cinta dariku. Aku sama sekali tak menyangka, cintaku bersambut.Hubunganku dengan Erika sama-sama sudah sangat dekat. Kita berdua seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara setiap harinya. Setiap kami bersama, aku selalu saja tak kuasa membendung hasrat sebagai lelaki. Bahkan, kami hampir saja kelepasan ketika tengah berdua saja di rumah saat mengantar Erika pulang ke Bandung tempat orang tuanya tinggal. Saat itu di rumahnya tak ada siapa pun, membuat kami gelap mata dan saling berciuman bahkan hampir saja berlanjut ke hal yang lebih intim. Untunglah bayangan Arum yang tersenyum menggagalkan segalanya. “Mas harus pulang, Sayang. Arum pasti sudah menunggu,” ujarku menghentikan ciuman kami ketika tersadar. “Tapi, Mas ....”“Sttt ... jangan sekarang. Mas janji kita akan melakukannya kalau memang kita sudah sah. Ini juga demi kebaikanmu.”“Kapan?”“Mas akan urus semua secepatnya,” tuturku mencoba menenangkan.Meski dapat dilihat ada gurat kekecewaan di wajah Erika, tetapi aku tidak mau kalau kami melakukan itu sebelum resmi menikah.Setiap aku dan Erika berpacaran, rasa bersalah selalu bergelayut dalam hati kepada Arum, istriku. Namun, perasaan ini tak bisa kubendung lagi. Erika wanita yang cantik, menawan, pintar, dan ... seksi tentunya. Laki-laki mana pun pasti bertekuk lutut dengan pesona seorang Erika termasuk aku.Selama ini aku selalu kagum dengan cara bicara dan pemikiran dewasanya. Bahkan dengan tak sengaja kubandingkan dia dan Arum. Bukan Arum tak menarik, hanya saja dia memang wanita yang bergantung sekali padaku. Dia memang lembut, cantik alami, serta senyumnya yang manis selalu memabukkanku. Arum juga tak pernah banyak meminta. Namun, sisi lelakiku menginginkan hal lain. Aku membutuhkan sosok cerdas juga bisa membuatku tertantang, bahkan di atas ranjang. Terbukti bila jatahku bersama Erika setelah kami menikah selalu di habiskan waktu di dalam kamar.Aku memang lelaki egois namun tak ada salahnya, ‘kan? Bila menginginkan dua wanita mendampingi. Toh waktuku bersama Arum lebih banyak sekarang, sebab aku memang bekerja di Rumah Sakit besar di Jakarta. Ke Bandung hanya sesekali dengan alasan ada seminar di luar kota.Ketika mendengar perkataan Erika tentang Arum aku merasa kesal, bisa-bisanya dia mengatakan itu ketika suaminya ini sedang panik.“Jangan bicara begitu, dong. Bagaimanapun Arum tetap istriku. Aku masih mencintainya sama seperti sama seperti aku mencintai kamu,” ucapku dengan suara sehalus mungkin. Kucoba menahan semua rasa kesal ini padanya. Tidak ingin Erika marah dan berujung pertengkaran. Itu semua akan membuat masalah baru nantinya.Dia hanya mencebik, tak suka mendengar perkataanku, namun aku tak peduli, Erika hanya cemburu. Nanti juga akan kembali seperti semula. Biarlah sekarang ini harus fokus kepada Arum, ke mana harus mencari keberadaannya?Saat sedang mengingat-ingat siapa saja yang bisa kuhubungi. Lamunanku buyar ketika Bi Surmi menghubungiku kembali. Apa Arum sudah kembali? Kuangkat panggilan itu.“Den, barusan dua orang polisi yang datang ke rumah. Ada wanita yang kecelakaan kereta api. Di dalam tas yang dipakainya ada dompet milik ... mi-milik Neng Arum, Den.” Ucapan Bi Surmi barusan membuat seluruh tubuhku lemas tak bertulang.Apa yang terjadi di Arum istriku? Benarkah yang polisi katakan, kalau wanita yang menjadi korban kecelakaan itu dia? Bagaimana aku bisa hidup tanpanya?Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글