Bab 4.
“Halo, Ga. Halo ....” Panggilan ibu Mertuaku membuyarkan segala lamunan.“Ah iya, Bu. Baik aku akan ke Bandung sekarang.”Setelah berpamitan, panggilan telepon terputus. Aku masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan. Kalau ke Bandung sekarang, bagaimana cara mencari keberadaan Arum? Mungkin saja dia akan kembali ke rumah saat aku sedang di luar kota.Kuhubungi temanku yang bekerja sebagai detektif. Meminta kami bertemu sekarang juga, sebelum aku pergi ke Bandung. Aku akan menyuruh Ibnu mencari keberadaan Arum istriku.“Halo, Nu. Ini gue Arga. Lo masih kerja jadi detektif, ‘kan?” tanyaku dengan tak sabar.“Iya, masih. Memangnya apa yang mau Lo selidiki, Ga? Lo lagi ada masalah?” tebak temanku itu tepat.“Gue mau Lo cari Arum,” jelasku. Membuatnya terdengar terkejut.“Apa! Maksud Lo Arum istri Lo? Memangnya ke mana dia?” Ibnu sepertinya tak percaya dengan apa yang dia dengar.“Jangan bercanda, Ga.” Masih tetap terdengar ragu. Membuatku menghela napas berat.“Iya bener, Nu. Arum istri gue. Dia pergi entah ke mana. Gue khawatir sama keadaannya. Apalagi dia yatim piatu. Gue enggak tahu harus nyari dia ke mana lagi. Di panti asuhan juga Arum enggak ada.” Benar, sesulit ini mencari Istriku yang hilang.“Oke ... oke. Gue akan bantu Lo mencarinya. Apalagi dia pernah membantu menyelesaikan masalah rumah tangga Gue dulu. Dia berjasa banget buat Gue dan May. Kalau bukan bantuannya, mungkin kami sekarang sudah bercerai,” ucap Ibnu.Arum dulu memang pernah menjadi penyelamat rumah tangga Ibnu dan May Istrinya. Saat temanku itu datang ke rumah dan cerita tentang kondisi rumah tangganya yang hampir hancur karena May selalu salah paham dan cemburu pada Ibnu.Waktu itu katanya ada teman lama yang memakai jasa Ibnu untuk menyelidiki suaminya. Yang membuat istri May ini berburuk sangka karena memang orang itu Mantan kekasih Ibnu. Sehingga May berpikir kalau temanku itu berselingkuh, pengakuan hanya sebagai klien yang Ibnu katakan, istrinya kira hanya akal-akalan temanku itu saja.Namun, dengan bantuan Arum yang membujuk istri temanku itu dengan bicara dari hati ke hati, membuat May sedikit percaya dengan memberikan syarat kepada Ibnu untuk membatalkan kerja sama dengan mantannya, serta meminta lebih mengerti dengan kondisi sang istri yang sedang hamil tua. Sekarang, rumah tangga Ibnu kembali harmonis. Apalagi mereka sudah dikaruniai keturunan. Membuat kebahagiaan itu menjadi sempurna berkali-kali lipat.“Ya sudah, Nu. Aku ada urusan dulu. Nanti kita bicara lagi.”Setelah bicara panjang lebar mengenai hilangnya Arum, percakapan kami berakhir. Karena temanku sedang di luar kota untuk saat ini, kami tidak jadi bertemu. Aku dan Ibnu hanya saling memberikan informasi lewat ponsel.Kumatikan telepon dan memanggil Mang Mansur untuk menghadap, lalu memintanya mengantarkanku ke Bandung.Terpaksa kali ini kuajak beliau sebab diriku tak mungkin berkendara jauh sendiri. Tubuhku sudah lelah dan kurang beristirahat. Mungkin, aku harus bersiap-siap pernikahan keduaku dengan Erika akan diketahui sopirku itu. Tak apalah. Dia tak mungkin juga berkata macam-macam kepada orang-orang termasuk Arum.“Maaf, Den. Bukannya Neng Arum sedang menghilang, tapi kenapa malah ke Bandung? Memangnya pekerjaan Den Arga enggak bisa ditunda?” tanyanya heran.“Sekarang Mamang antarkan aku dulu. Nanti juga akan tahu masalahnya,” tegasku. Saat ini aku malas menjelaskan apa pun. Badan dan jiwaku sedang lelah memikirkan keberadaan Arum dan keadaan Erika istri mudaku.Di dalam mobil aku terus memandangi foto Arum di layar ponsel. Potret yang menampilkan sosok wanita sedang memegang tanganku sambil menoleh dan tersenyum ke belakang. Terlihat sangat manis sekali.Foto di mana dulu kami berbulan madu di puncak. Awalnya telah kupersiapkan honeymoon ke Paris. Namun, istriku itu menolak. Dia bilang sayang uangnya, jangan dihamburkan. Apalagi saat itu Mama menyuruh Papa menghentikan jatah bulananku. Sehingga, segala fasilitas mewah yang biasa kupakai dicabut begitu saja.Beliau tak ingin Arum hidup dari uang yang mereka diberikan. Padahal aku pun berhak, sebab selain profesiku sebagai dokter, pun sambil sesekali mengelola usaha Papa. Meski tak seperti kebanyakan pekerja kantoran lain.Karena permintaan Mama itu keuanganku sempat tak stabil. Makanya, saat kami berbulan madu, Arum menyuruhku untuk berhemat dan memilih pergi ke puncak yang katanya lebih sejuk.“Mas tak usah khawatir. Lebih baik, kita berhemat. Jangan menghamburkan uang. Kalau Mas mau, kita lebih baik pergi ke tempat yang dekat-dekat saja. Bagaimana kalau kita ke puncak? Di sana kan enak. Udaranya sejuk,” papar Arum saat itu terngiang-ngiang.“Wah boleh juga tuh, ide bagus. Kebetulan, di sana kan udaranya sejuk banget. Dingin-dingin gitu, memang cocok buat pengantin baru,” godaku menatapnya intens.“Ish. Mas ini apaan sih!” Pada saat itu, wajah istriku bersemu merah. Dia terlihat malu dan membuatku semakin gemas.Ya, kembali aku mengingat kenangan kami dulu. Dia memang wanita yang pengertian. Bahkan tak mengeluh saat kami memulai semuanya dari awal. Untunglah berkat kesabaran, doanya serta dedikasiku sebagai dokter membuatku bisa mendapatkan karir yang bagus. Meski kesabaran istriku itu, kuhadiahkan pengkhianatan untuknya.Ah ... kenapa baru sekarang terbersit rasa penyesalan menikahi Erika. Aku salah telah menuruti nafsuku. Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, tak mungkin pula kutinggalkan istri mudaku itu. Bagaimanapun dia sudah sah menjadi tanggung jawabku. Kami saling mencintai. Aku pun merasa tak lengkap bila hidup tanpanya. Selama beberapa bulan ini, Erika lah yang sudah membuatku hidupku bergairah kembali. Dia berbeda dari Arum istriku, lebih memuaskan segalanya.**Setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di Bandung. Kuminta Mang Mansur membawaku ke Rumah Sakit Santosa. Dari ekspresi wajahnya beliau terlihat heran. Namun, tetap tak menanyakan apa pun.“Mang, tunggu di sini, ya. Kalau Mamang lapar bisa cari makan di sekitar sini. Aku ke dalam dulu. Ada seseorang yang membutuhkan keberadaanku sekarang,” titahku memintanya menunggu.“Baik, Den. Nanti kalau saya tidak di mobil, hubungi saja nomor Mamang,” jawabnya.Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan Mang Mansur di mobil. Gegas masuk ke Rumah Sakit serta mencari ruang perawatan di mana Erika berada. Sebelumnya mertuaku sudah memberikan alamat Rumah Sakit serta informasi di kamar berapa istriku di rawat. Setelah sampai di depan kamar, kuketuk pintu serta masuk dengan langkah tergesa.Terlihat Erika terbaring lemah di atas ranjang, pun mertua duduk di sofa ruangan ini juga. Istri mudaku itu memang di rawat di ruangan VIP yang memiliki fasilitas lengkap dibanding kamar yang lain. Sehingga membuat nyaman orang yang menunggunya.“Akhirnya datang juga, Nak Arga,” sahut Mama mertua yang langsung berdiri menyambut kedatanganku. Aku mencium tangannya dengan takzim lalu beralih kepada Bapak Erika yang sedari tadi hanya menatapku sekilas.“Erika kenapa, Bu? Apa yang terjadi padanya?” tanyaku.“Erika pendarahan, Ga!” jelas Ibu mertua.Aku penasaran bagaimana mungkin Erika sampai pendarahan padahal semalam saat kutinggalkan dia masih sehat seperti biasa.“Bagaimana mungkin kamu tak ada bersamanya. Padahal bukannya tiga hari ini harusnya jatah temumu dengan anakku?” cecar Bapak Erika.“Maaf, Pak. Aku enggak tahu akan terjadi sesuatu dengan Erika. Apalagi sekarang ada hal penting yang membuatku terpaksa menunda jatahku bersamanya, Pak. Arum istri pertamaku hilang.”Mereka berdua terkejut. Namun, bapak Erika menatapku tajam sambil berkata, “ Itu masalahmu. Bukankah dari awal kau sudah bilang kalau bisa adil. Katanya putriku itu segalanya untukmu. Apalagi Erika bilang istri tuamu itu membosankan makanya kau menikah lagi,” sinisnya.Mataku terbelalak mendengar semuanya. Bagaimana mungkin Erika mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu. Sampai-sampai dia mengatakan sesuatu yang tak pantas tentang Arum kepada orang tuanya. Kuakui itu memang alasanku menikahi Erika, tetapi tak sepenuhnya. Yang pasti aku tak bisa menampik pesona Erika yang terlihat lebih menantang untukku.Aku tak menanggapi ucapan orang tua Erika. Biarlah mereka bicara apa pun sesukanya. Kutinggalkan ayah dan ibu mertua yang masih memberikan ceramah, lalu berlalu mencari keberadaan dokter dan menanyakan kondisi Erika.“Istri anda mengalami keguguran, Pak. Dia terlalu banyak meminum obat penenang sehingga membuat kandungannya tak bisa bertahan,” paparnya membuatku seketika melotot tak percaya.“Apa? Istri saya keguguran ...?”Aku tak bisa menyembunyikan rasa syokku. Bagaimana mungkin Erika keguguran? Kabar ini membuatku terkulai lemah di kursi ruangan dokter tempatku berada dengan tatapan kosong.Kabar apa ini? Setelah sekian lama aku menunggu hadirnya buah hati. Lalu, apa ini? Ketika baru saja kudapatkan Tuhan langsung mengambilnya seketika.Lalu untuk apa Erika meminum obat penenang? Kenapa aku baru tahu kalau dia mengonsumsi obat semacam itu?Dengan langkah gontai aku kembali ke kamar rawat Erika. Namun, saat hendak membuka pintu kudengar samar-samar suara percakapan istri mudaku dengan orang tuanya.“Syukurlah, Bu. Anakku enggak lahir ke dunia. Kalau tidak semuanya akan kacau,” ucap salah seorang yang kukenali itu suara istriku.“Sttt, jangan berisik. Bisa saja suamimu itu datang dan mendengar semuanya,” sahut wanita lain dan itu suara ibu mertua.Apa maksud obrolan mereka? Memangnya apa yang disembunyikan Erika dan orang tuanya dariku?Haruskah kutanyakan pada mereka yang sebenarnya sekarang?Bab 5. Kubuka pintu dengan cepat. Terlihat orang di dalam ruangan itu terkejut ketika melihatku, membuat diri ini semakin curiga pada mereka. Gelagat orang-orang di dalam ruangan ini sangat mencurigakan.“Mas Arga ...!” Erika melotot ke arahku. Dia mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.“Apa maksud obrolan kalian barusan? Hal apa yang kamu sembunyikan selama ini?” cecarku kepada Erika.“Nak Arga salah paham. Kami tidak menyembunyikan apa pun. Tadi Erika hanya bilang kalau dia sedih sekali sudah keguguran,” orang tua Erika mencoba menjelaskan. Namun, aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan.“Jelas-jelas tadi kudengar Erika bersyukur kalau dia sudah kehilangan bayi yang sedang di kandungnya. Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan!” tekanku. Kulirik Mama Erika yang terlihat gugup, bahkan keringat dingin mengucur di dahinya.Kupandangi kembali Erika, dia tersenyum kaku.“Mas sini aku mau bicara. Ma, sebaiknya Mama dan Bapak keluar dulu. Aku mau bica
Di dalam kepalaku terus berputar-putar seribu pertanyaan. Namun, aku bersyukur Arum baik-baik saja. Meskipun aku masih tak tahu keberadaannya sekarang di mana. Apa sebenarnya yang membuat dia pergi meninggalkanku?Tega sekali kamu, Sayang. Apa salahku? Bukankah selama ini aku sudah berusaha menjadi suami yang baik untukmu?Adakah yang membuatmu menyerah dalam pernikahan kita?Aku tersentak ketika suara Ibnu terdengar berteriak memanggil. “Ga ...!”“Ga ...! Woy ... Lo lagi apa? Lo ngelamun!” tanya Ibnu di telepon. Aku memang tak bereaksi apa pun setelah temanku itu mengatakan informasi tentang Arum. Diri ini terlalu sibuk dengan pikiran sendiri sampai-sampai lupa kalau masih dalam panggilan yang sama dengan Ibnu.“Sorry, Nu. Terus May lihat Arum ke mana? Maksudnya apa dia membuntuti atau menyapa istri gue, misalnya.” “Katanya dia mau susul tapi keburu pergi. Lagi pula mereka di tempat yang berseberangan. Apalagi jalanan lagi ramai banget mobil yang lalu lalang. Saat istri gue mau ny
Aku menggeleng, “ Tidak, Pak. Aku hanya kelelahan. Barusan hanya bermimpi buruk,” ucapku memberi alasan. Tidak mungkin juga kalau aku jujur, jika sedang membayangkan reaksi Arum kalau tahu suaminya ini sudah mendua hati.Malam hari lalu lintas kota Bandung tak begitu ramai. Sehingga, aku bisa menikmati pemandangan malam dari kaca jendela di sebelahku.Hawa kota Bandung sejuk, tak seperti kota Jakarta. Aku seketika mengingat keinginan Arum. Dia bercita-cita memiliki rumah di kota ini, lebih tepatnya di daerah Ciwidey. Katanya, dia bermimpi tinggal di kota yang udaranya masih segar dan Bandung menjadi salah satu pilihannya.Aku memang berniat membuatkan istriku itu villa. Bisa kami gunakan sewaktu-waktu jika sedang berlibur. Mungkin pula jika sudah jadi nanti. Dengan mudah kuajak Erika juga setiap jatah bersama kami. Namun, yang terjadi sekarang, aku bahkan tak tahu di mana dan bagaimana kondisi istriku sebenarnya.Tak lama mobil sampai di sebuah restoran. Dari luar tempat ini terliha
“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?” Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?Aku duduk di kursi seberang Herlan setelah dipersilahkan. “Arum ada di rumah, kok. Dia enggak ikut ke sini,” ucapku berpura-pura. Aku semakin penasaran apa yang baru saja Herlan katakan tentang istriku. Diri ini benar-benar ingin tahu kapan Arum ke Bandung dan dengan keperluan apa?“Memangnya ketemu sama istriku 0 kapan? Kira-kira masih ingat enggak tanggalnya?” tanyaku. Semoga saja temanku itu tak curiga dan merasa janggal dengan pertanyaanku. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau kedatanganku ke Bandung selama ini tanpa Arum dengan niat ingin menemui istri mudaku, bukan seminar yang sering aku jadikan al
“Maaf lama, Mas tadi ketemu Herlan. Dia teman SMA dan kuliah, Mas. Kami sudah lama enggak ketemu. Jadi, malah lupa waktu saat mengobrol.” Aku mencoba menjelaskan. Semoga saja Erika mengerti.“Bener? Bukan karena hal lain, kan?”Aku menggeleng menyangkal ucapan istriku ini. Karena sudah meminum obatnya Erika bilang mengantuk. Jadi, dia ingin istirahat sebentar.Aku mengiyakan, lagi pula ini sudah malam. Badanku pun sama lelahnya, baik badanku atau pikiran sama-sama butuh istirahat. Sejak kemarin aku kurang tidur. Apalagi terus terang aku tak pernah tidur nyenyak setelah Arum menghilang. Dalam mimpi pun istriku itu selalu terbayang-bayang terus menerus.Kurebahkan badanku di kasur bersama Erika. Kemudian, dia memintaku tidur sambil memeluknya. Sungguh manja sikap Erika ini jika sedang bersamaku.Sampai, karena kelelahan tak sadar diri ini terlelap sambil mendekap istriku.💕💕💕💕💕Kulihat tubuh Arum dari kejauhan, dia berjalan tanpa menoleh ke belakangku. Apa istriku itu melihat keber
Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.Apa yang kulihat? Pesan yang kukirim beberapa waktu yang lalu kepada Arum sudah centang biru. Namun, aku benar-benar kecewa saat istriku itu tak menghubungi atau pun sekedar membalasnya.Tiba-tiba saja, hati ini terasa begitu sakit saat tahu Arum telah menyimpan amarahnya untukku. Lantas, setelah ini, mungkinkah dia akan meninggalkanku?Aku tak rela. Sungguh! Bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Aku lekas bangun, lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kupandangi wajah sendiri di depan cermin wastafel, sambil merutuki sikap bodohku selama ini.Apa yang telah kulakukan? Arum sudah pergi sekarang. Seharusnya sebagai suami, diriku patutnya jujur dari awal tentang hubunganku dengan Erika.Namun, apa dia akan setuju?Arum begitu membenci perselingkuhan apalagi sampai dimadu, dia takkan sudi. Traumanya itu membuatku m
POV Arum“Sayang, Mas berangkat dulu, ya. Kalau perlu sesuatu minta antar saja ke Mang Mansur. Nanti kalau sudah sampai Mas hubungi lagi, ya,” ucap Mas Arga di ambang pintu. Aku mengantarnya ke teras, saat suamiku itu pamit untuk menghadiri acara seminar di Bandung.“Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya, Mas. Jangan ngebut, pelan-pelan saja asal selamat.” Aku mengingatkan Mas Arga.Entah kenapa hati ini merasa tidak tenang ketika suamiku itu akan pergi. Aku rasanya takut kehilangan dia. Entahlah, kenapa aku sampai bisa berpikiran begitu?Berat sekali hati ini untuk mengizinkan dia pergi. Akan tetapi, semoga ini hanya perasaanku saja. “Tentu, Sayang. Tunggu Mas pulang, ya. Enggak lama, kok, hanya dua hari Mas di sana,” jelasnya sambil mengecup kening dan bibirku sekilas. Dia masuk ke dalam mobil lalu menghidupkannya. Sebelum pergi Mas Arga membuka kaca jendela di sebelahnya. Aku memberikan senyum terbaik sambil melambaikan tangan ketika mobil Mas Arga melaju dengan pelan, semakin lama se
POV Arum 2Aku terharu dengan yang diucapkan Bi Surmi. Kupeluk beliau dan menyalurkan kasih sayang yang tulus kurasakan. Kami saling berpelukan sampai tercium bau gosong dari tungku pembakaran.“Ya Allah, Neng. Ayam bakarnya gosong. Untung Cuma sedikit terus Bibi masih ada stok buat dibakar lagi. Biar yang ini Mang Mansur saja yang makan.”Aku terkekeh melihat kejadian barusan.“Enggak usah, Bi. Jangan kasih Mang Mansur yang gosong kek gini. Bikin baru aja lagi buat kita bertiga. Yang ini biar kasih ke kucing liar saja, supaya mereka enggak pada kelaparan,” jelasku. Bi Surmi mengangguk mengiyakan ucapanku.“Oh iya, Bi. Nanti siang kita bikin kue nastar kesukaan Mas Arga, ya. Sekalian juga buat dikirim ke Panti, pasti banyak anak-anak yang seneng.”“Iya, Neng. Nanti bibi siapkan bahan-bahannya. Sekarang Neng Arum makan dulu. Tapi, tunggu ayam bakarnya matang sebentar lagi.”Saat aku sedang duduk di meja makan menunggu Bi Surmi beres memasak, suara notifikasi di ponsel terdengar. Ternya
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal