Bab 2.
Gegas aku memunguti pakaian yang masih berserakan di lantai. Melihatku yang sedang memakai baju Erika menghampiri.“Mas. Mau ke mana? Kenapa memakai baju lagi?” tanyanya heran.“Maafkan Mas, Sayang. Mas dapat kabar kalau ada wanita yang jadi korban kecelakaan, di dalam tasnya ada dompet Arum. Mas takut itu benar dia,” terangku.Semoga saja Erika bisa mengerti situasiku sekarang.“Tapi, Mas! Kamu ‘kan baru sampai di sini, kita bahkan baru saja memulai? Apalagi aku masih kangen denganmu, Mas,” ucap Erika dengan suara manjanya. Dia mulai menggodaku kembali dengan memeluk dan meraba-raba tubuhku yang belum memakai baju.Jika saja ini bukan menyangkut keselamatan Arum, mungkin saja aku sudah tak tahan mengurungnya semalaman di dalam kamar. Menghabiskan malam-malam panas kami seperti sebelumnya. Namun, aku tak bisa menundanya lagi. Bagaimanapun, kabar tentang kecelakaan di mana perkiraan Arum lah yang menjadi korbannya, itu membuatku tak bisa lagi abai.Aku takut Arum meninggalkanku. Dia wanita yang sangat kucintai bahkan masih menjadi yang paling spesial sampai saat ini. Meski bukan hanya dia, hati ini harus kubagi dengan Erika sekarang. Akan tetapi, tak ada sedikit pun terbayangkan kami akan berpisah.Dapat kulihat Erika marah karena kepergianku, tetapi tak dihiraukan. Biarlah, nanti aku akan kembali ke Bandung.Aku melajukan mobil ini dengan kecepatan tinggi, berharap cepat-cepat sampai di Jakarta. Rasa kantuk tiba-tiba menguar begitu saja saat mendengar kabar terakhir Arum, bahkan selama perjalanan jiwaku seakan entah di mana. Terus menebak-nebak, apa benar Arum lah yang menjadi korbannya. Namun, hati ini masih berharap itu semua salah. Jujur saja aku tak percaya semua ini terjadi padanya.Setelah berjam-jam mengendarai mobil dan tiba di Jakarta. Langsung kuhubungi Bi Surmi, lalu menanyakan Rumah Sakit mana jenazah yang konon di prediksi Arum itu berada.“Di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Den,” ujarnya menjelaskan. Menurut asisten rumah tanggaku itu Mang Mansur sudah ada di sana untuk memastikan itu Arum atau bukan.Tanpa menghiraukan keselamatan, kukendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Saat ini hatiku benar-benar tak karuan, semua bercampur jadi satu. Dalam benakku, bayang-bayang kebersamaan dengan Arum terus berputar. Manjanya dia, perhatian, serta senyumnya yang menawan.“Woy. Kalau mau mati jangan ajak-ajak orang. Dasar orang g*la.”Berkali-kali pula kudengar orang yang memaki sambil membunyikan klakson dengan amarah, sebab hampir saja mobil ini bertabrakan dengan kendaraan orang lain. Aku tak peduli yang penting sekarang cepat sampai di Rumah Sakit, sebelum kupastikan sendiri jenazah itu istriku atau bukan. Diri ini masih berharap Arum masih hidup.Setelah sampai kutelepon Mang Mansur dan menanyakan di mana keberadaannya. Kemudian bertemu dengan polisi yang sedang mengobrol dengan sopir. Melihat kedatanganku mereka yang ada di sana terlihat lega. Apalagi Mang Mansyur kentara sekali sama paniknya denganku.“Alhamdulillah, Den. Akhirnya Den Arga datang juga,” ucap Mang Mansur dengan napas beratnya.“Gimana, Mang? Apa benar korbannya itu Arum?” tanyaku masih mencari informasi. Entahlah apa aku kuat menerima semuanya. Jika, benar yang di dalam itu istriku. Diriku mungkin tak sanggup melihatnya.“Entahlah, Den. Seluruh mukanya rusak hanya badannya saja yang utuh tapi tetap banyak luka-luka di sekujur tubuhnya. Jadi, Mamang enggak bisa memastikannya. Makanya, Mamang menunggu Aden saja untuk melihatnya kembali. Apalagi baju yang dipakai bukan baju Neng Arum pas Mamang antar dia tadi siang.”Setelah itu polisi menjelaskan kronologis kejadian sampai kecelakaan maut itu terjadi. Menurut warga sekitar ada seorang wanita yang terjatuh dari dalam kereta yang sedang melaju. Entah apa yang terjadi sampai terjadi hal demikian, sebab memang kondisinya kereta itu sedang melaju dengan kencang.Aku tertegun dengan apa yang polisi katakan. Kalau benar itu Arum, sedang apa dia di dalam kereta api? Mau ke mana istriku sebenarnya?Tak ingin menerka-nerka aku masuk ke kamar mayat tempat jenazah itu di simpan. Ingin memastikan itu benar-benar istriku atau bukan? Namun, hati kecilku berkata kalau Arum masih hidup.Kubuka kain yang menutupi seluruh badan jenazah wanita itu. Hatiku terenyuh melihat kondisinya yang sudah tak layak lagi. Muka wanita itu benar-benar sudah tak bisa dikenali. Badannya pun sudah penuh dengan luka di sekujurnya. Aku sungguh tak bisa memastikan ini Arum atau bukan?Tapi tunggu! Yang kuingat istriku itu memiliki tanda lahir di pahanya, sebagai suaminya hanya aku yang tahu tentang hal itu.Kucari tanda lahir itu. Aku yakin masih terlihat meski dengan kondisi luka-luka seperti ini. Namun, berulang kali kucek ternyata tanda itu tak ada.“Gimana, Den?” tanya Mang Mansur. Dia pun sama penasarannya denganku. Mungkin juga merasa sangat cemas, sebab yang kutahu Bi Surmi dan Mang Mansur memang sangat menyayangi Arum layaknya kepada anak kandungnya sendiri.Istriku yang sudah yatim piatu selalu menganggap pegawaiku itu orang tuanya. Dia selalu bisa menghormati orang yang lebih tua darinya. Itulah yang membuatku tak menyesal menikahi dia meski tanpa restu Mama. Arum wanita yang cantik paras maupun hatinya.“Bukan, Mang. Arum memiliki tanda lahir di paha sebelah kanannya. Tapi ini tak ada.” Aku dan Mang Mansur bernapas lega, setelah memastikan itu bukan lah tubuh Arum. Aku diajak polisi untuk melihat identitas yang ada di dompet istriku. Bagaimana wanita ini memiliki dompetnya? Kenapa sampai sekarang dia tak pulang? Ke mana sebenarnya Arum pergi?Itulah yang terus kupertanyakan di dalam pikiran ini , bahkan sepanjang perjalanan kucoba memecahkan segalanya. Namun, tak ada jawaban satu pun yang bisa kutebak.Setelah sampai ke rumah, aku cepat-cepat naik ke lantai atas menuju kamar kami. Diriku bahkan tak bisa tidur semalaman karena terus memikirkan keberadaan Arum yang tak kunjung pulang kembali ke rumah. Kucoba menghubunginya lagi, tetapi nomornya tetap tak aktif.“Sayang, kamu di mana?” erangku sambil mengacak rambut.Aku terus mencoba mengingat-ingat siapa kiranya yang bisa kuhubungi untuk mencari keberadaan Arum saat ini. Namun, tak ada yang kuingat. Istriku itu memang wanita yang sangat pendiam, dia tak memiliki banyak teman saat kuliah dan bekerja dulu serta di panti asuhan dulu tempat dia tinggal.Tunggu! Apa Arum ada di sana? Apa dia pulang ke panti itu?“Ya, aku harus memastikannya ke sana. Mudah-mudahan saja Arum ada,” gumamku mencoba menenangkan hati yang sejak tadi gundah.Aku harus memastikannya besok. Kebetulan cutiku di rumah sakit masih ada dua hari lagi. Akan kuhabiskan waktuku untuk mencari keberadaan istriku. Syukur-syukur kalau memang dia ada di Panti Asuhan itu. Hatiku yang semalaman merasa gelisah tak menentu merasa lebih tenang setelah mengingat kemungkinan keberadaan Arum.Menjelang waktu subuh aku mandi air hangat dan mandi besar, sebab memang belum melakukannya sejak semalam. Kebetulan setelah sampai di Bandung dan bertemu dengan Erika pukul tujuh malam, kami tak menunggu lama untuk bermesraan. Apalagi sambutan ketika baru datang membuat diri ini tak sabar untuk membawanya ke peraduan kami. Penampilan istri mudaku itu sungguh membuatku sebagai lelaki merasa tergoda. Entah mengapa aku suka sekali melihatnya memakai lingerie, dengan tubuhnya yang sintal membuatku selalu saja tak bisa mengendalikan diri.Karena kabar mengejutkan semalam, aku sampai tak sempat untuk membersihkan diri di rumah Erika. Bahkan tubuhku yang lelah tak kuhiraukan. Padahal, selama sehari semalam aku belum juga beristirahat. Apalagi bolak-balik Jakarta-Bandung dengan mengendarai mobil sendiri. Tanpa sopir yang menemani.Setelah mandi aku salat subuh seperti biasa. Ada rasa sepi yang menguar ketika mengingat Arum istriku tak ada di rumah ini. Biasanya kami akan salat berjamaah. Aku yang suka memandang wajahnya yang bersinar karena air wudu selalu menggodanya dengan sikap jailku yaitu mencium keningnya sebelum kami salat, alhasil kami sama-sama harus berwudu kembali.Bahkan dengan wajah cemberut dia kadang menggerutu ketika hendak bersuci kembali. Bukan rasa sebal melihatnya seperti itu, malah membuatku merasa terhibur. Jarang-jarang Arum bersikap seperti itu. Dia bukanlah istri yang selalu cerewet dan mengeluh dalam hal apa pun. Mungkin inilah yang membuatku merasa rumah tangga kami terasa ada yang kurang. Tak ada tantangan, tak seperti bersama dengan Erika. Mungkin itulah yang membuatku nekat untuk berselingkuh dari Arum.“Mas benar-benar rindu kamu, Rum. Kamu di mana?” ujarku dengan lirih.Pukul tujuh pagi aku berangkat mencari istriku di Panti Asuhan Kasih Bunda, tempat tinggalnya dulu. Kutanyakan kepada pemilik tempat itu, apa Arum ada di sana? Namun, kekecewaan yang kudapat. Istriku tak ada. Akan tetapi, perkataan Ibu Rina pemilik yayasan membuatku merasa heran.“Arum pernah bertanya tentang perceraian, Nak Arga,” jelasnya.Apa maksud perkataan Ibu Rina? Kenapa istriku menanyakan hal seperti itu?“Ibu tidak tahu ada masalah apa dengan rumah tangga kalian. Beberapa hari ini Arum selalu datang ke Panti kalau siang hari. Mungkin saja saat Nak Arga sedang bekerja. Dia mengaku tak izin dulu, membuat Ibu selalu menegurnya. Ibu tahu itu bukanlah sifatnya, bahkan sebelumnya Arum tak pernah ke sini tanpa mengabari Nak Arga dulu. Dia pernah bilang izin suami adalah Ridha Allah. Namun, terus terang ibu sempat khawatir melihat tingkahnya yang tak biasa. Gurat wajahnya menyiratkan akan kesedihan, berkali-kali dia selalu melamun bahkan saat kami sedang mengobrol.” Benarkah yang dikatakan Bu Rina? Sebenarnya masalah apa yang sedang dihadapi Arum istriku? Setahuku kami tak ada masalah apa pun. Bahkan jika bersamaku ia tak pernah menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Tetap menjadi Arum yang seperti biasanya. Apa aku saja yang kurang peka padanya? Teringat beberapa hari sebelum aku ke Bandung, dia selalu memberikan perhatian seperti biasa. Tak ada hal yang mencurigakan darinya, bahkan aku i
Bab 4.“Halo, Ga. Halo ....” Panggilan ibu Mertuaku membuyarkan segala lamunan.“Ah iya, Bu. Baik aku akan ke Bandung sekarang.”Setelah berpamitan, panggilan telepon terputus. Aku masih bimbang dengan apa yang harus kulakukan. Kalau ke Bandung sekarang, bagaimana cara mencari keberadaan Arum? Mungkin saja dia akan kembali ke rumah saat aku sedang di luar kota.Kuhubungi temanku yang bekerja sebagai detektif. Meminta kami bertemu sekarang juga, sebelum aku pergi ke Bandung. Aku akan menyuruh Ibnu mencari keberadaan Arum istriku.“Halo, Nu. Ini gue Arga. Lo masih kerja jadi detektif, ‘kan?” tanyaku dengan tak sabar.“Iya, masih. Memangnya apa yang mau Lo selidiki, Ga? Lo lagi ada masalah?” tebak temanku itu tepat.“Gue mau Lo cari Arum,” jelasku. Membuatnya terdengar terkejut.“Apa! Maksud Lo Arum istri Lo? Memangnya ke mana dia?” Ibnu sepertinya tak percaya dengan apa yang dia dengar.“Jangan bercanda, Ga.” Masih tetap terdengar ragu. Membuatku menghela napas berat.“Iya bener, Nu. Ar
Bab 5. Kubuka pintu dengan cepat. Terlihat orang di dalam ruangan itu terkejut ketika melihatku, membuat diri ini semakin curiga pada mereka. Gelagat orang-orang di dalam ruangan ini sangat mencurigakan.“Mas Arga ...!” Erika melotot ke arahku. Dia mungkin terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.“Apa maksud obrolan kalian barusan? Hal apa yang kamu sembunyikan selama ini?” cecarku kepada Erika.“Nak Arga salah paham. Kami tidak menyembunyikan apa pun. Tadi Erika hanya bilang kalau dia sedih sekali sudah keguguran,” orang tua Erika mencoba menjelaskan. Namun, aku tak bisa percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan.“Jelas-jelas tadi kudengar Erika bersyukur kalau dia sudah kehilangan bayi yang sedang di kandungnya. Apa sebenarnya yang kalian sembunyikan!” tekanku. Kulirik Mama Erika yang terlihat gugup, bahkan keringat dingin mengucur di dahinya.Kupandangi kembali Erika, dia tersenyum kaku.“Mas sini aku mau bicara. Ma, sebaiknya Mama dan Bapak keluar dulu. Aku mau bica
Di dalam kepalaku terus berputar-putar seribu pertanyaan. Namun, aku bersyukur Arum baik-baik saja. Meskipun aku masih tak tahu keberadaannya sekarang di mana. Apa sebenarnya yang membuat dia pergi meninggalkanku?Tega sekali kamu, Sayang. Apa salahku? Bukankah selama ini aku sudah berusaha menjadi suami yang baik untukmu?Adakah yang membuatmu menyerah dalam pernikahan kita?Aku tersentak ketika suara Ibnu terdengar berteriak memanggil. “Ga ...!”“Ga ...! Woy ... Lo lagi apa? Lo ngelamun!” tanya Ibnu di telepon. Aku memang tak bereaksi apa pun setelah temanku itu mengatakan informasi tentang Arum. Diri ini terlalu sibuk dengan pikiran sendiri sampai-sampai lupa kalau masih dalam panggilan yang sama dengan Ibnu.“Sorry, Nu. Terus May lihat Arum ke mana? Maksudnya apa dia membuntuti atau menyapa istri gue, misalnya.” “Katanya dia mau susul tapi keburu pergi. Lagi pula mereka di tempat yang berseberangan. Apalagi jalanan lagi ramai banget mobil yang lalu lalang. Saat istri gue mau ny
Aku menggeleng, “ Tidak, Pak. Aku hanya kelelahan. Barusan hanya bermimpi buruk,” ucapku memberi alasan. Tidak mungkin juga kalau aku jujur, jika sedang membayangkan reaksi Arum kalau tahu suaminya ini sudah mendua hati.Malam hari lalu lintas kota Bandung tak begitu ramai. Sehingga, aku bisa menikmati pemandangan malam dari kaca jendela di sebelahku.Hawa kota Bandung sejuk, tak seperti kota Jakarta. Aku seketika mengingat keinginan Arum. Dia bercita-cita memiliki rumah di kota ini, lebih tepatnya di daerah Ciwidey. Katanya, dia bermimpi tinggal di kota yang udaranya masih segar dan Bandung menjadi salah satu pilihannya.Aku memang berniat membuatkan istriku itu villa. Bisa kami gunakan sewaktu-waktu jika sedang berlibur. Mungkin pula jika sudah jadi nanti. Dengan mudah kuajak Erika juga setiap jatah bersama kami. Namun, yang terjadi sekarang, aku bahkan tak tahu di mana dan bagaimana kondisi istriku sebenarnya.Tak lama mobil sampai di sebuah restoran. Dari luar tempat ini terliha
“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?” Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?Aku duduk di kursi seberang Herlan setelah dipersilahkan. “Arum ada di rumah, kok. Dia enggak ikut ke sini,” ucapku berpura-pura. Aku semakin penasaran apa yang baru saja Herlan katakan tentang istriku. Diri ini benar-benar ingin tahu kapan Arum ke Bandung dan dengan keperluan apa?“Memangnya ketemu sama istriku 0 kapan? Kira-kira masih ingat enggak tanggalnya?” tanyaku. Semoga saja temanku itu tak curiga dan merasa janggal dengan pertanyaanku. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau kedatanganku ke Bandung selama ini tanpa Arum dengan niat ingin menemui istri mudaku, bukan seminar yang sering aku jadikan al
“Maaf lama, Mas tadi ketemu Herlan. Dia teman SMA dan kuliah, Mas. Kami sudah lama enggak ketemu. Jadi, malah lupa waktu saat mengobrol.” Aku mencoba menjelaskan. Semoga saja Erika mengerti.“Bener? Bukan karena hal lain, kan?”Aku menggeleng menyangkal ucapan istriku ini. Karena sudah meminum obatnya Erika bilang mengantuk. Jadi, dia ingin istirahat sebentar.Aku mengiyakan, lagi pula ini sudah malam. Badanku pun sama lelahnya, baik badanku atau pikiran sama-sama butuh istirahat. Sejak kemarin aku kurang tidur. Apalagi terus terang aku tak pernah tidur nyenyak setelah Arum menghilang. Dalam mimpi pun istriku itu selalu terbayang-bayang terus menerus.Kurebahkan badanku di kasur bersama Erika. Kemudian, dia memintaku tidur sambil memeluknya. Sungguh manja sikap Erika ini jika sedang bersamaku.Sampai, karena kelelahan tak sadar diri ini terlelap sambil mendekap istriku.💕💕💕💕💕Kulihat tubuh Arum dari kejauhan, dia berjalan tanpa menoleh ke belakangku. Apa istriku itu melihat keber
Kuambil ponselku tak sadar masuk ke aplikasi berwarna hijau. Membuka kontak yang kuberi nama “My Wife”. Mataku terbelalak tak percaya apa yang kulihat di benda pipih ini.Apa yang kulihat? Pesan yang kukirim beberapa waktu yang lalu kepada Arum sudah centang biru. Namun, aku benar-benar kecewa saat istriku itu tak menghubungi atau pun sekedar membalasnya.Tiba-tiba saja, hati ini terasa begitu sakit saat tahu Arum telah menyimpan amarahnya untukku. Lantas, setelah ini, mungkinkah dia akan meninggalkanku?Aku tak rela. Sungguh! Bagaimana aku bisa hidup tanpanya? Aku lekas bangun, lalu masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kupandangi wajah sendiri di depan cermin wastafel, sambil merutuki sikap bodohku selama ini.Apa yang telah kulakukan? Arum sudah pergi sekarang. Seharusnya sebagai suami, diriku patutnya jujur dari awal tentang hubunganku dengan Erika.Namun, apa dia akan setuju?Arum begitu membenci perselingkuhan apalagi sampai dimadu, dia takkan sudi. Traumanya itu membuatku m
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal