“Esta, ini aku, Jagad."
Aku meremas ujung baju. Jelas ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya. Paling tidak sampai aku benar-benar move on dari mantan suamiku itu. Sialnya, memang takdir baik tidak pernah berpihak padaku. “Esta.” Aku menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan guna menghilangkan rasa gugup. Ternyata, bertemu mantan lebih mendebarkan dari pada saat malam pertama menjadi pengantin. Setelah memejamkan mata sebentar, aku membalikkan badan menghadap padanya. Menyunggingkan senyum canggung, lalu menyapa, “Hai.” Sebisa mungkin aku memamerkan senyum natural agar tidak terlihat sedang tegang. Jangan sampai Jagad kege-eran karena tahu aku masih menyimpan rasa padanya. Setelah hampir tiga tahun berusaha, nyatanya aku masih merasakan debar yang sama. “Apa kabar?” tanyanya seolah tanpa beban. Rupanya hanya aku yang masih menyimpan rasa yang sama. “Baik.” Ku jawab dengan penuh percaya diri. Kami saling bertatapan, tapi mungkin hanya aku yang memutar kenangan saat kami bersama. Awal menikah terasa begitu indah, setelah enam bulan berlalu dan kami sama-sama sibuk, semuanya berubah. Dia tak lagi menghargaiku. 'Kamu terlalu manja, Ta. Ngurus begini aja nggak bisa. Aku capek!' Aku masih ingat bagaimana saat dia marah karena aku tidak bisa memasang gas dan akhirnya aku menunggu dia pulang. Padahal, saat itu aku sudah berusaha tapi gas selalu berdesis. Bayangan gas meledak saat tak ada seorangpun di rumah jelas membuatku takut. Tapi reaksinya sungguh mengecewakan. Karena sakit hati, aku langsung pergi ke rumah Mbak Mentari. Besoknya, Jagad menjemputku dan entah apa yang dia katakan sampai Mbak Mentari memarahiku. "Ta, bisa ngobrol sebentar?" Dan di sinilah kami pada akhirnya. Sebuah kafe yang tak jauh dari kantor. Duduk saling berhadapan setelah lebih dari dua tahun lamanya tak bersua. Jagad yang selalu bersikap tenang, sedangkan aku yang terlihat paling menderita. Bukan hanya saat itu, tapi juga sekarang. "Ada apa?" tanyaku pura-pura tak peduli. Bukannya aku memang pembohong ulung? Bahkan ketika perpisahan kami dulu, aku yang terlihat paling jahat sampai mertuaku memusuhiku dulu. Image Jagad yang baik di mata kedua orang tuanya dan orang lain, jelas membuatku menjadi tersangka utama penyebab perceraian. ‘Kurang-kurangi ngeluh, Esta.’ Dan masih banyak serangkaian kata-kata lainnya yang membuatku sakit hati sampai sekarang. Entah kenapa malah kini aku mau diajak duduk bersama dengan laki-laki yang sudah membuatku menjadi wanita paling buruk di mata orang lain. “Kamu banyak berubah, Ta.” Ujung bibirku berkedut. Basa-basi macam apa ini? “Hidup itu berjalan dan nggak mungkin aku jadi Esta yang dulu. Kenapa kamu di sini?” tanyaku tanpa ingin lebih lama dengannya. Bertatapan seperti ini dengannya saja sudah membuat jantungku jumpalitan. “Aku kerja di sini.” “Hah? Sejak kapan?” Jelas aku terkejut, pasalnya pagi tadi saat ice breaking belum ada Jagad. Aku memicingkan mata, lelaki berhidung mancung itu hanya menatapku diam. Seketika aku teringat dengan ucapan Nadia saat aku kembali ke kantor setelah makan siang tadi. ‘Kamu sih, kelayapan melulu, jadi nggak tau ’kan, kalau ada GM baru.' Mataku membulat tak percaya. “Kamu GM yang baru?” Jagad mengangguk pelan. Menyebalkan sekali, dia bahkan seperti orang yang tidak punya dosa. “Kok bisa?" Lagi-lagi Jagad hanya mengedikkan bahunya. Sial, itu artinya aku satu kantor dengan mantan. Selama ini aku menyembunyikan status janda dari teman-teman kantorku. Yang mereka tahu, aku masih gadis yang sedang jomblo dan menolak banyak ajakan menikah dari laki-laki. Aku rasa sudah cukup menikah hanya sekali, bercerai juga sekali. Lebih baik hidup sendiri karena akan merasa lebih tenang. Buat apa mempunyai pasangan tapi malah membuat tersiksa batin. Sekarang, aku lebih nyaman dengan status janda, toh tidak ada yang tahu. Sepenuhnya hidupku, adalah milikku. “Nggak ada yang tau statusku di kantor ini, Mereka pikir aku masih gadis. Jadi, kamu bisa 'kan, diajak kerja sama buat menutupi yang terjadi sama kita dulu?" Aku kembali bersuara ketika Jagad memilih diam. Lelaki di depanku mengambil cangkir kopinya, menyesap pelan, lalu kembali meletakkan cangkir putih di atas meja. “Kenapa aku harus melakukannya?” Seringai licik yang muncul di bibirnya membuatku benar-benar frustasi. Jagad, kamu benar-benar menjengkelkan. * * Aku baru saja masuk ke dalam rumah peninggalan kedua orang tuaku. Lantai dingin dan kesunyian yang pertama kali menyambut ketika pintu utama terbuka. Tak lama, dari dalam terdengar suara anak kecil berlari ke arah ku. Sejak kapan bocah kecil ini di sini? Namanya Raya. “Ate.” Aku meringis pelan lalu mengusap pelan kepala gadis mungil berusia satu tahun lebih itu. Lebihnya aku tidak tahu karena tidak mengurusnya. Dia anak Mbak Mentari dan suaminya. “Kamu baru pulang, Ta?” Kebiasaan orang wakanda, sudah tahu baru masuk rumah, pake tanya segala! Aku mengangguk, lalu meletakkan tas di kursi. “Aku pikir nggak ada orang. Sejak kapan Mbak Tari di sini?” tanyaku sembari berjalan menuju lemari pendingin. Mengambil air mineral untuk mendinginkan kepalaku yang hampir pecah. “Raya kangen sama kamu.” Aku melirik gadis kecil yang matanya mengingatkan aku pada seseorang. Buru-buru aku memalingkan wajah tak merespon ucapan Mbak Mentari. Melirik makanan di atas meja, sudah pasti Mbak Tari yang membawakannya. “Makan dulu, Ta.” Aku menggeleng. “Aku udah makan, Mbak.” Sama Jagad. Sayangnya aku hanya bisa meneruskan kata-kata itu di dalam hati. Mbak Mentari tidak boleh tahu kalau aku bertemu dengan lelaki itu. Dulu, Mbak Mentari begitu membela Jagad ketika kami bertengkar, tapi sekarang hanya kebencian yang tersisa di hatinya. Sama sepertiku. “Ta, Mbak Tari sama Mas Elang mau ke luar kota.” Aku mengangkat kepala, tanganku yang hendak memasukkan kue bawang ke mulut terhenti begitu saja. “Terus?” “Mbak mau nitip Raya di sini.” “Nggak bisa!” balasku cepat. Aku bekerja, dan tidak mungkin membawa bocah kecil itu ke kantor meski diperbolehkan. Apalagi sekarang ada Jagad yang juga bekerja di sana. Aku tidak mau lelaki itu berpikir macam-macam soal keberadaan Raya. “Ta, tolong Mbak. Kali ini aja.” “Aku kerja, Mbak.” “Raya nggak nakal, kok. Dia anteng, Esta. Kamu cukup kasih dia buku dan cemilan.” Aku menghela napas berat. Raya memang anteng dan tidak rewel seperti kebanyakan anak lainnya. Tapi masalahnya bukan itu. Andai saja Jagad tidak satu kantor denganku, sudah pasti aku akan mempertimbangkan membawa Raya. “Nggak bisa, Mbak.” Aku menatap Mbak Mentari dengan tatapan memohon. Aku melirik gadis mungil yang tengah menatapku. Ah, sial. Tatapan itu selalu membuatku enggan melihat pada Raya berlama-lama. “Esta, tapi 'kan, dia ….” “Dia anak Mbak Tari!” Aku bisa melihat raut terkejut dari Raya yang mendengar suara kerasku. Aku memalingkan wajah, menyesal karena membuat dia takut. “Apa karena ada Jagad?” Aku membeliakkan mata terkejut dengan pertanyaan Mbak Mentari. “Mbak Tari tau?”"Titip ya, Sha.”Aku melepaskan genggaman tangan Raya lalu meyerahkan pada Aesha. Kebetulan dia salah satu pengurus di daycare yang merangkap paud. Tas kecil berisi makanan dan susu kotak juga buku-buku bergambar milik Raya kuserahkan pula pada Aesha.“Memangnya Mbak Tari ke mana, Ta?” tanya Aesha sembari mengambil tas yang kusodorkan padanya.“Ke luar kota,” jawabku singkat. Aku tak mau membahas perdebatan kami semalam, juga tentang Mbak Mentari yang tahu kalau aku dan Jagad satu kantor. Mbal Tari yang tidak mau mengaku, akhirnya membuat mood-ku sedikit hancur. Sepertinya Aesha juga melihat wajahku yang muram, dia tak banyak bertanya meski aku tahu pikirannya dipenuhi dengan rasa penasaran. Aku bahkan tak mengucapkan salam perpisahan atau sekedar kata-kata mutiara untuk Raya. Yang kutahu, Aesha menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku.Tanganku menarik tuas gas motor, meninggalkan bangunan dua lantai dengan cat warna warni khas anak-anak. Aku juga tidak membuang waktu untu
‘Kamu kb ’kan, Ta? Jangan hamil dulu. Kasihan nanti Jagad.'‘Iya, Ma. Nanti Esta bilang sama Jagad.’‘Ini buat kamu juga. Kalian masih pada kuliah, nanti kerepotan sendiri. Memangnya siapa yang mau ngurus anak kalian kalau pada sibuk? Mama udah tua, pengennya fokus ibadah.’‘Kami bisa pakai babysitter, Ma.’‘Siapa yang mau bayar, Esta? Jagad aja kerjanya masih begitu. Lagian kalian kalau dikasih tau ngeyel. Padahal Mama udah bilang sabar sampai kalian lulus kuliah, kalau begini kamu dan Jagad yang ribet.’Aku masih ingat percakapanku dengan mertuaku beberapa tahun silam. Keberadaan Jagad di daycare sepertinya menepis semua anggapan teman kantorku yang mengatakan kalau Jagad belum menikah. Rasanya tidak mungkin lelaki itu datang ke sini tanpa tujuan yang jelas.Yang pasti menjemput anak dari istri barunya, atau keponakannya?Aku menggeleng-gelengkan kepala berusaha menepis nama Jagad dari pikiranku. Sejak kami bertemu lagi, otakku jadi korslet, hatiku tak tenang dan jantungku jedug-jed
'Kalau udah nikah jangan baperan, Ta. Udah nikah itu pikirannya harus lebih dewasa.Lagian kalian menikah atas keinginan sendiri. Jangan berantem dikit minta cerai.''Tapi Esta capek, Ma. Jagad nggak mau bantuin Esta di rumah.''Dia 'kan kuliah, Ta. Kerja juga. Maklumin aja, dia pulang juga pengen istirahat.'Malam lainnya. 'Kamu ngadu apa sama Mama, Ta?''Apaan?''Mama bilang aku nggak pernah bantuin kamu. Mama bilang aku nggak pernah ajak ngobrol kamu di rumah. Jangan kayak anak kecil yang dikit-dikit ngadu sama Mama, Ta. Kita udah rumah tangga, emang nggak bisa kamu ngomong langsung sama aku aja?''Kamu lupa berapa kali aku ajak kamu bicara tapi kamu bilang capek? Pulang-pulang kamu langsung tidur. Masakan aku bahkan nggak pernah kamu sentuh, terus aku mesti ngomong sama siapa? Tembok?''Nggak gitu, Ta.'Aku tersadar dari lamunan. Semalaman tak bisa tidur memikirkan kejadian akhir-akhir ini. Kemarin, aku pikir Jagad sudah pergi dari daycare. Ternyata lelaki itu kembali lagi dengan
‘Kita cerai aja.’‘Maksud kamu apa, Ta? Jangan karena masalah sepele kayak gini kamu jadi baper terus minta cerai. Dulu kamu yang pengen aku nikahin, malah jadi begini. Jangan kayak anak kecil, deh!'‘Tapi kamu berubah. Semuanya nggak seperti yang aku bayangin Jagad. Aku pikir nikah sama kamu bakal bikin kita makin deket, bikin hubungan kita makin intim. Nyatanya kita malah kayak orang ngekos yang hidup sendiri dalam satu atap. Kamu sadar nggak, kalau selama kita nikah hubungan kita nggak kayak dulu?'‘Aku kuliah, juga kerja, Ta. Aku udah capek banget kalau udah sampe rumah. Kamu ngertiin aku dikit bisa nggak?’‘Kalau aku terus yang kamu suruh ngertiin, kapan kamu ngertiin aku juga Jagad?’“Esta?”Aku mengedip beberapa kali setelah panggilan Jagad membawaku kembali dari lamunan. Alih-alih curiga dengan keberadaan Raya denganku saat itu, malah dia bertanya soal Aesha.“Apa?”“Kamu nggak denger pertanyaanku tadi?”“Pertanyaan apa?” Tentu saja aku hanya berpura-pura. Sangat jelas terdeng
“Mbak, kayaknya aku mau resign aja.”Mbak Tari menatapku terkejut. Dua hari yang lalu Mbak Tari dan suaminya pulang dari luar kota dan baru hari ini datang ke rumah untuk menjemput Raya. Itu juga aku yang memintanya karena tak mau berlama-lama dengan gadis kecil itu.Aku juga tak enak hati karena hampir setiap hari menitip Raya di tempat Aesha. Bukan apa, tapi karena aku masih merasa enggan bertemu dengan Aesha sebelum semuanya jelas. Aku tak salah dengar kalau Jagad bertanya tentang sahabatku itu, tapi bagaimana bisa Aesha mengatakan tak kenal dengan mantan suamiku?“Kenapa sih, Ta? Ada masalah?” tanya Mbak Tari seolah tak suka dengan keputusan yang akan kubuat.Aku mengangguk pelan. “Karena Jagad atasanku.”Mbak Tari tak terlihat terkejut, sejak sebelum dia pergi ke luar kota, aku sudah curiga kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh kakakku. Padahal, yang kutahu sejak kami bercerai, hubungan Mbak Tari dan Jagad tidak terlalu baik.“Mbak nggak kaget?”Mbak Tari menggeleng pelan. “N
‘Alasan kalian bercerai apa?’‘Kita udah nggak saling cocok lagi, Ma.’ Aku menjawab dengan kepala menunduk. Jagad lepas tangan karena merasa perceraian ini adalah atas keinginanku.‘Nggak cocok? Tapi kalian menikah udah hampir tiga tahun. Kalian mau main-main dengan pernikahan? Lupa sama nasehat Mama sama Papa dulu? Kalian yang minta nikah cepat, dan lihat sekarang? Segampang itu kamu bilang udah nggak cocok lagi, Ta? Kalian menikah atas dasar apa? Karena penasaran aja, iya?’Aku dan Jagad sama-sama menunduk. Sejujurnya hatiku sakit sekali karena Jagad tidak mau buka suara sama sekali untuk bicara dengan mamanya. Padahal, ini masalah kami berdua dan seharusnya dia juga turut andil untuk mengatakan pada Mama. Nyatanya, hanya aku yang berusaha menjelaskan sampai Mama mendiamkanku.‘Jagad? Kamu nggak mau menjelaskan apa pun sama Mama? Kenapa dari tadi kamu diam aja?’Jagad menghela napas berat, lalu menatap Mama. Masih jelas dalam ingatanku
'Nikah sama aku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu dan dia.'‘Jangan gila kamu, Mas!’‘Aku serius, Esta.’“Ta! Kok, malah ngelamun?”Aku mengerjapkan mata begitu mendapat teguran dari Mas Buana. Kutatap lelaki seumuran kakak sulungku yang penampilannya membuatku sedikit pangling. Bulu halus di sekitar rahang dan rambut gondrong, juga kulit yang sedikit menggelap. Mungkin karena terlalu banyak bermain dengan Mas Buana.“Mana calon istri kamu, Mas? Bukannya pulang mau ngenalin seseorang?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian dari lelaki yang dibawa Mas Buana pulang.“Siapa yang bilang mau bawa calon istri? Ngaco kamu, tuh," elak Mas Buana lalu masuk ke dalam rumah melewatiku begitu saja. Kulirik teman Mas Buana yang masih memanggul tas ransel hitam, wajahnya terlihat lelah karena perjalanan panjang. Kuembuskan napas panjang lalu menyuruhnya masuk.“Kamu mau berdiri di sana terus, Mas?”Seolah tersa
flashback.‘Makanya kamu doain suami kamu biar rezekinya lancar, Ta. Jangan bisanya minta-minta terus.’Aku yang sedang melipat baju sontak menoleh pada Jagad. ‘Minta-minta terus? Bukannya salah satu biar rezeki suami lancar bisa nyenengin istrinya? Kok, bisa kamu bilang gitu sama aku, Gad? Emangnya kalo nggak minta kamu, aku minta ke siapa? Suami orang?'‘Ya, emang. Tadi nggak gitu juga, Ta.'‘Terus, selama ini kamu udah nyenengin aku belum, Gad?’Jagad langsung menoleh cepat padaku. Tatapan mata tajam yang tersirat luka terpatri di bola matanya. ‘Jadi selama ini kamu nggak bahagia sama aku, Ta? Emangnya kehadiran aku di sini nggak bikin kamu seneng ya, Ta? Aku pulang dengan selamat dan kita bisa kumpul bareng begini di rumah nggak bikin kamu seneng, Ta?’‘Bukan gitu, Gad, yang aku maksud. Kamu pulang juga selalu langsung tidur, pagi berangkat lagi. Kayak gitu terus. Setiap weekend tidur sampai siang. Waktu buat aku kapan? Kamu
Aku baru saja sampai rumah ketika kulihat Mas Buana berdiri di depan pintu. Wajahnya tampak tegang, dan aku langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Hatiku berdebar, perasaanku tidak enak.Sudah pasti dia mau membahas tentang pesan yang dia kirim tadi padaku. Dari sorot matanya, aku bisa menebak ini bukan kunjungan yang menyenangkan.“Matanya biasa aja, Mas. Marah gara-gara aku nggak bales pesan?” Aku mencoba setenang mungkin, meski jantungku berdebar kencang.Mas Buana tidak langsung menjawab. Dia melipat tangannya di dada, matanya menatap tajam ke arahku. "Kamu ada urusan apalagi sama Jagad?" tanyanya dingin penuh tuduhan."Jagad itu atasan aku di kantor. Aku nggak ada hubungan lagi sama dia selain urusan kerja," jawabku sembari melepas sepatu pantofel lalu meletakkan di rak sepatu. "Atasan? Apa itu alasan yang cukup untuk kamu kembali dekat sama dia?" Mas Buana bertanya dengan nada semakin tajam. "Aku tahu gimana Jagad. Aku tahu apa yang sudah dia lakuin ke kamu dulu. Kamu lupa
Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak masuk kerja. Kutarik napas dalam-dalam saat mengetik pesan izin kepada Jagad, memberi alasan bahwa aku masih syok akibat kecelakaan kemarin. Itu tidak sepenuhnya bohong—rasanya pikiranku belum benar-benar stabil. Namun, sebenarnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang membuatku memilih untuk tidak bekerja hari ini. Jagad [Iya, Ta. Maaf, harusnya aku bisa menahannya. Semoga kamu segera pulih.] Jika bukan karena izin, kupastikan tidak akan mengirim pesan pada Jagad. Aku tidak mau berlarut-larut memikirkan mantan suamiku itu. Aku sedang memikirkan Liana. Setelah membaca pesan-pesannya tadi malam, aku tahu aku harus datang menemuinya. Aku tidak bisa membiarkan dia menghadapi semua ini sendirian, apalagi sekarang setelah suaminya benar-benar minta cerai. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri di depan rumah Liana. Rumahnya yang biasanya selalu terlihat rapi
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, hanya berharap dia datang secepat mungkin. Aku tidak tahan lagi berada di sini, apalagi bersama Jagad. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa aman, dan untuk saat ini, hanya Mas Auriga yang terlintas di pikiranku.Mobil Jagad rusak parah. Bagian depannya penyok, dan sekarang mogok di tengah jalan tol. Jagad menghela napas panjang, lalu segera menghubungi kantor pusat untuk memberitahu bahwa kami tidak bisa datang, sambil menjelaskan apa yang terjadi. Setelah itu, dia menelepon bengkel, berusaha mencari solusi untuk masalah mobilnya."Astaghfirullah." Aku bergumam sendiri sembari memegang dada yang masih berdebar kencang. Aku tidak bisa lagi duduk di dalam mobil. Rasanya terlalu sempit, terlalu sesak. Jadi, aku keluar, menuju ke bahu jalan. Dengan lutut lemas, aku jongkok di sana, membiarkan tubuhku bergetar karena ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang. Udara siang ini terasa dingin, menusuk, tapi
“Kamu udah siap buat ikut tranning hari ini 'kan, Ta?”Aku mengangguk pasrah. Keputusan sudah dubuat, begitu juga dengan karyawan yang akan ikut ke kantor pusat untuk melakukan trainning. Ada enakm orang, termasuk aku dan juga … Jagad. Tentu sja, lelaki itu yang akan terjun langsung mengawasi kami.“Udah.”Askana melirik jam tangannya. “Bukannya berangkat jam sepuluh ya, Ta? Kok kamu masih santai di sini, sih?” tanya Asakana heran.“Esta mah, emang nggak niat. Padahal jalan sama Pak Jagad. Kapan lagi nebeng bosa ganteng yang suamiable itu,” ucap Mala menggoda.Suamiable? Rasanya aku ingin tertawa terbahak sambil kayang. Kalau saja Jagad seperti itu, kami mungkin tak akan bercerai. Dulu, pikiranku sama seperti Mala, Jagad adalah sosok laki-laki yang sangat suamiable. Baik, perhatian, tapi itu dulu, sebelum kami memutuskan untuk menikah.Iya, semua ekspektasiku tentang menikah dengan Jagad ketinggian. Kupikir akan seperti
“Jadi benar dugaan aku selama ini?”Aku melirik Mas Auriga, lelaki itu juga tampak tak paham dengan ucapan Jagad. Dia berdiri di depan gerbang menatap kami dengan tajam. “Dugaan apa yang kamu maksud, Jagad?” tanyaku penasaran.Lelaki itu malah melirik pada Raya yang berdiri takut-takut seolah paham tengah terjadi sesuatu. Raya berada di sisi Mas Auriga, memeluk kaki laki-laki itu erat. Lihatlah, bahkan baru beberapa hari lalu mereka bertemu, tapi Raya sudah cukup dekat dengannya.Jagad memerhatikan setiap gerak-gerik kami, memicingkan matanya seolah sedang mengulitiku dan Mas Auriga. Aku tak paham kenapa bisa sampai repot sekali mengikutiku seperti ini. Bukannya dia mau menikah dengan Aesha? BIsa-bisanya dia ingin tahu dengan kehidupanku seperti ini.“Malam itu, aku liat kamu sama dia di halte," ucap Jagad pelan dengan mata masih menghunus padaku.Keningku berkerut. “Malam itu?”Kepalanya mengangguk pelan. “Malam di mana kita bertengkar dan kamu pergi dari rumah. Aku nyusulin kamu ka
‘Ada surat buat kamu, Ta.’Aku menatap nanar amplop coklat yang bertuliskan pengadilan agama. Mas Buana sempat ingin menemui Jagad, tapi aku melarangnya karena sudah tahu pertemuan mereka nanti akan seperti apa. Setelah bertanda tangan, aku memutuskan untuk tidak datang selama sidang.Aku hanya ingin memudahkan proses perceraian kami. Selain itu, kondisiku tak cukup baik karena mengalami morning sickess yang cukup parah dan kandunganku cukup lemah. Hingga suatu saat, aku dan Mbak Tari berada di salah satu rumah sakit untuk memeriksakan kandungan.Saat itu yang mengantar Mas Auriga karena Mas Buana dan Mas Galih sedang ada urusan di luar. Kami bertemu dengan Jagad dan Mamanya.‘Esta?’Aku menoleh, begitu juga dengan Mas Auriga yang sedang duduk di sebelahku. Mama Jagad menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan, sedangkan Jagad tampak tanpa ekspresi di sebelahnya.‘Kamu pucet, Ta? Sakit?’ tanya Mama mertuaku perhatian.
[Gad, ada yang mau aku bicarakan.]Dua puluh empat jam aku menunggu balasan pesan dari Jagad, tapi lelaki itu tak kunjung membalasnya. Besoknya, ketika aku bangun tidur, sebuah pesan dari Jagad membuat duniaku runtuh.[Aku akan mengabulkan permintaan kamu, Ta. Ayo kita bercerai kalau itu bisa bikin kamu bahagia. Itu 'kan, yang kamu mau?]Tanganku bergetar, ponsel dalam genggaman tangan meluncur jatuh ke ranjang. Gejolak di dalam perut tak bisa kutahan hingga akhirnya kukeluarkan isi perut di samping tempat tidur. Tak hanya itu, dadaku sesak sekali menahan rasa sakit yang kesekian kalinya dibuat oleh Jagad.Padahal, aku ingin menunjukkan hasil tes pack padanya, mengabarkan kalau kami akan segera diberi momongan. Tanganku bergerak meremas perut yang masih rata. Bisakah aku membesarkan bayi ini tanpa adanya Jagad?Aku menangis, sampai Mbak Mentari mendatangiku dan memelukku. ‘Jagad mau ceraikan aku, Mbak.’Bisa kurasakan t
flashback.‘Makanya kamu doain suami kamu biar rezekinya lancar, Ta. Jangan bisanya minta-minta terus.’Aku yang sedang melipat baju sontak menoleh pada Jagad. ‘Minta-minta terus? Bukannya salah satu biar rezeki suami lancar bisa nyenengin istrinya? Kok, bisa kamu bilang gitu sama aku, Gad? Emangnya kalo nggak minta kamu, aku minta ke siapa? Suami orang?'‘Ya, emang. Tadi nggak gitu juga, Ta.'‘Terus, selama ini kamu udah nyenengin aku belum, Gad?’Jagad langsung menoleh cepat padaku. Tatapan mata tajam yang tersirat luka terpatri di bola matanya. ‘Jadi selama ini kamu nggak bahagia sama aku, Ta? Emangnya kehadiran aku di sini nggak bikin kamu seneng ya, Ta? Aku pulang dengan selamat dan kita bisa kumpul bareng begini di rumah nggak bikin kamu seneng, Ta?’‘Bukan gitu, Gad, yang aku maksud. Kamu pulang juga selalu langsung tidur, pagi berangkat lagi. Kayak gitu terus. Setiap weekend tidur sampai siang. Waktu buat aku kapan? Kamu
'Nikah sama aku. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kamu dan dia.'‘Jangan gila kamu, Mas!’‘Aku serius, Esta.’“Ta! Kok, malah ngelamun?”Aku mengerjapkan mata begitu mendapat teguran dari Mas Buana. Kutatap lelaki seumuran kakak sulungku yang penampilannya membuatku sedikit pangling. Bulu halus di sekitar rahang dan rambut gondrong, juga kulit yang sedikit menggelap. Mungkin karena terlalu banyak bermain dengan Mas Buana.“Mana calon istri kamu, Mas? Bukannya pulang mau ngenalin seseorang?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatian dari lelaki yang dibawa Mas Buana pulang.“Siapa yang bilang mau bawa calon istri? Ngaco kamu, tuh," elak Mas Buana lalu masuk ke dalam rumah melewatiku begitu saja. Kulirik teman Mas Buana yang masih memanggul tas ransel hitam, wajahnya terlihat lelah karena perjalanan panjang. Kuembuskan napas panjang lalu menyuruhnya masuk.“Kamu mau berdiri di sana terus, Mas?”Seolah tersa