Aina kemudian meyakinkan Raka untuk terus membantu warga disini. Pada pagi hari nya setelah kehebohan yang membagongkan itu. Didepan rumah reot Raka sudah banyak orang menanti.
Raka yang sudah bangun sangat pagi sekali dengan seketika terkejut dan menanyai mereka dengan cepat. “Apa gerangan kisanak ke rumahku.” Ujar Raka “Tuan Raka kami mau mencari pekerjaan di desa ini kami tidak memiliki pekerjaan selain hanya sebagai pengemis yang selalu di maki-maki dan bahkan di tindas oleh kepala desa.” “Kanda warga disini hampir rata-rata tidak ada pekerjaan.” Lirih Aini “Kalau begitu banyak hal yang harus kita selsaikan, bisik Raka kepada Aini.” Iya kanda benar. “Kisanak beri aku waktu lima hari.” Lima hari baik Tuan Raka kami akan menunggu beberapa orang kemudian bergegas pergi. “Kanda bagaimana mau memberikan pekerjaan kepada mereka.” Sedangkan kita baru berjualan beberapa hari ini. “Tenang aku akan memikirkannya nanti.” Sekarang kita fokus memancing ikan di bantu Roni dan Riko dan juga paman beserta bibi nanti membantu dipasar. Kalian bertiga mengurusinya dalam proses penjualan. Dengan begitu aku akan mencari kios besar untuk membuka rumah makan. “Rumah makan. Bagaimana ini bisa Kanda.” Itu memerlukan biaya banyak dan perlu pekerja yang ramai juga.” Lirih Andini semakin merenung “Tenang aku akan mencari rumah makan yang mau bekerja sama dengan kita.” Kuperhatikan dipasar itu banyak rumah makan namun tidak ada satu pun dari rumah makan itu membuat hidangan dari ikan gurami ini.” Padahal ikan ini sangat lezat. “Kanda di pasar Petir tidak ada yang paham membuat hidangan seperti ini.” Hanya mereka Taunya di rebus didalam bambu. Itu pun biasanya untuk umpan bebek dan ayam. Raka mencerna ucapan istrinya dan menangkap sebuah ladang bisnis baru. Ya bebek panggang itu akan menjadi sebuah usaha yang sangat menggiurkan. **** Dua hari berlalu Raka masih melobi semua rumah makan yang ada dipasar namun hanya satu yang bersedia itu pun rumah makan tua sekar kedaton. “Kisanak apakah aku bisa bekerja sama dengan rumah makan ini.” “Tuan rumah makan ini sudah tua dan tidak banyak pengunjungnya.” Lagipula pengunjung disini mayoritas orang-orang lanjut usia. Tuan mau menjalankan bisnis apa di rumah makan tua ini. Apakah sudah memiliki usaha sendiri sehingga mau mengembangkan rumah makan.” Cecar Sarto pemilik rumah makan tua. “Emmm Perkenalkan saya Raka dari desa Petir.” “Kalau begitu panggil saja saya kakek sarto.” “Iya kek bagaimana perkembangan usaha kakek hingga hampir tutup begini.” Ceritanya Panjang nak..semua ini ulah lurah di desa ini yang selalu meminta pajak lebih kepada rumah makan yang tidak mendukungnya.” Baik kek begini kalau kakek mau saya buka usaha disini dengan modal ikan dan bebek nanti untuk harga saya yang akan menentukan.” Oh bagus itu sepertinya ini kedengaran asing ikan dan unggas bisa di jadikan makanan manusia.” Kakek Sarto sangat bijaksana dalam hal ini. Begini saja nak Raka kakek modali kamu dan istrimu, kamu sudah menikah kan.” Iya kek sudah. Bagus!” Kakek modali kalian berbisnis dengan seratus ribu perak untuk membiayai usaha mu dan pekerja mu nanti.” Dan untuk kerjasamanya cukup kakek 30 persen kamu 70 persen. Kakek itu terlalu menguntungkan saya.” Oh tidak nak raka lagipun kakek sudah tinggal sendiri anak dan istri kakek sudah pergi ke surga. Kakek dengan wajah sedih dan wajah yang penuh kerutan meratapi peristiwa kelam di kabupaten langka. Bahwa anak dan istrinya tewas karena masalah uang dengan pegawai pajak. Baik kek aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menghidupkan Kembali usaha ini. Rumah makan Sekar Kedaton akan Kembali Berjaya. Kemudian Raka bergegas pulang sambil membawa sekantong uang perak untuk memberikan upah pertama kepada belasan pengemis di desa petir yang tidak memiliki pekerjaan. Ketika sampai digerbang desa Raka bertemu dengan Roni. ‘Roni kemarilah ujar Raka.” “Ada apa kak Raka? “Kumpulkan orang kemarin dan aku akan mempekerjakan mereka.” Baik kak segera.” Didalam desa mulai banyak gossip yang bertebaran dan mulai memandang silemah berhalusinasi untuk memberikan pekerjaan kepada para pengemis. “Lihat lah Raka si payah itu, semenjak ia sadar dari mati surinya mulai memiliki sikap yang aneh.”Benar kemarin aku melihatnya berjualan ikan di pasar dan sekejap saja habis.”“Iya benar warga yang lain menimpali dambil menatap Raka sinis, bahkan dia membeli banyak rempah dan sebagainya.”Benar-benar manusia yang aneh untuk apa rempah-rempah itu.”Hahahahaha terdengar tawa dari beberapa warga.” Mungkin dia akan berjualan jamu di pasar.”Raka mendengar gunjingan dari warga desa petir tetap santai dan terus berjalan acuh dengan tatapan yang menindas hingga membuat warga seketika membubarkan diri dari tongkrongan di pinggir jalan.“Bagus tau diri kalian jika tidak batu bata ini akan melayang satu persatu kepada kalian.” Gumam Raka puas.Iya raka membawa beberapa batu bata dengan di panggul menggunakan bambu yang di imbangi dengan dua keranjang di kanan dan kirinya. Sebagai bahan perbaikan rumah mereka.“Kanda kamu membawa batu bata merah banyak sekali. Darimana uang nya kanda.” Aina panik“Tenang istriku yang cantik.” Ini semua keberuntungan kita jadi tadi di pasar kamu tau rumah mak
Iya paman benar, ujar Raka yang Kembali keceplosan. Bahwa warga di negeri Surya Manggala tidak mengenal Tuhan melainkan para dewa.“Besok pagi-pagi sekali kita ke rumah makan Sekar kedaton dan menyiapkan semua keperluan kita.” Semua sudah mendapatkan tugas masing-masing dan besok kalian langsung saja ke hulu Sungai.“Sisanya pergi ke sawah untuk menggembala bebek kalian. Untuk mengantar bebek dan ikan nanti serahkan saja kepada Roni dan Riko.” Oke kak Raka.Sebelum mereka selsai melakukan pertemuan dari depan terlihat tiga orang berlari menghampiri rumah Raka ya. Dia adalah teman Raka semasa masih menjadi buruh di desa sebelah dan dia selalu membantu Raka Ketika di tindas oleh mandor.“Raka kamu masih ingat aku kan.” Ujar NaraIya aku juga.” Tomi dan Zio kompak“Iya aku ingat kalian.” Oh dewa syukurlah…sepertinya kebaikan masih berpihak kepada kita. Ujar Zio“Raka bisakah kami membantu usaha mu, ya sebagai tukang cuci piring atau penjaga keamanan itu pun boleh.” Ujar TomiIya untuk up
“Kek aku tidak berhak menerima semua ini. Aku bukan keluarga sedarah dari pihak kakek. Apakah tidak ada keluarga lain dari pihak istri dan lain sebagainya.”Keluarga Nugroho dan Sanio sudah lama musnah karena terlibat dalam perang hingga menyisakkan kakek seorang diri.”“Jadi sudah saatnya rumah makan sekar kedaton memiliki pemilik baru.”Buat stempel ini di surat pernyataan ini agar pengadilan Kerajaan memiliki kekuatan untuk melindungi kalian.”Raka dengan berat hati menuangkan cap jempolnya di selembar kain yang sudah tertulis bahwa kepemilikan rumah dan sekar kedaton diberikan secara sah kepada Raka Wironegoro sebagai pembeli Tunggal.Perjanjian Raka dan Kakek Sarto sudah selsai dan hal yang tidak diinginkan Raka pun terjadi. Ia menyaksikan orang yang sangat berjasa pada dirinya dan pengemis desa petir telah Kembali moksa.Kejadian ini membuat beberapa rumah makan ikut berduka dan Sebagian besar senang karena merka tidak lagi melihat kakek tua penyakitan yang bisa merugikan dagang
Hal ini membuat Anom kesal karena perhatian warga sudah teralihkan kepada Raka bukan kepada anaknya Iza.“Yah bagaimana bisa Raka mendapatkan begitu banyak kekayaan secara singkat ini.”Ayah dengar dari warga di pasar kemarin bahwa Raka berhasil melakukan Kerjasama dengan rumah makan sekar kedaton.”“Bukannya pemilik si kakek bangka itu sudah mati yah.”“Benar!”Tapi ayah tidak tau hal apa yang terjadi sehingga Raka bisa mendapatkan ini semua.“Ini sebuah ide bagus yah.” Kita buat laporan kepengadilan bahwa Raka membunuh pemilik sekar kedaton dan menguasai hartanya.“Benar idemu bagus sekali.” Semenjak dulu Ayah tidak pernah setuju dengan pernikahan paman mu dan bibimu karena mereka ngeyel dan bersikeras menikah.” Hingga Ayah tidak merestui hubungan mereka. Pada akhirnya mereka memiliki anak malang si Raka ini.”Benar-benar merugi mereka ini. Besok kita akan kepengadilan melaporkan kejadian ini.****Di rumah kakek Sarto mereka berempat mengemasi rumah sehingga kelihatan bagus dan ter
Setelah Raka melunasi semua hutangnya kepada lurah desa petir. Banyak warga yang mulai kagum di desa petir termasuk kegembiraan bagi warga dusun kali bening yang kini semakin meningkat perekonomiannya. “Anak ini tidak bisa di remehkan begitu saja”. Dengan sekejap dia dapat melunasi hutang yang banyak ini.” Ujar lurah Wiroguno “Benar yah! Aku jadi khawatir bahwa ketenaranku bisa disaingi oleh bocah miskin ini.” Ujar Aryo Setelah perbicangan mereka berdua meninggalkan pasar kemusuk dengan wajah yang murung seperti telah di rampok kekayaannya. “Mengapa mereka terlihat murung kanda, padahal mereka kan mendapat banyak uang dari kanda.” Timpal Aini “Benar kanda, sampai dia susah membawa uang itu.” Cerocos Andini. Kalian berdua ini masih saja polos Raka sambil terkekeh dan mengelus kepala dua istrinya. Sudah jangan di pikirkan lagi ayo kita urus ini menunjuk barang-barang di rumah makan sekar kedaton. “Baik kanda! “Kanda..Kanda…apakah mereka berdua sudah pulang ku dengar dari tadi ka
Persaingan antara lurah desa petir dan Aryo dimulai saat itu juga karena Raka memiliki usaha yang semakin berkembang dan mulai banyak pelanggan di rumah makannya. Sehingga hal itu membuat akar permasalahan semakin intens.Desa petir memang terkenal dengan orang-orang kaya di dekat perbatasan dengan pasar kemusuk. Namun disisi lain ada dusun kali bening yang ditinggali oleh beberapa penduduk pengemis yang masih setia kepada Raka untuk bekerja membatu memancing Gurami, Nila dan memelihara Bebek.Suatu Ketika Ayah tiri Raka datang ke Dusun Kali Bening, ia menuntut untuk memberikan Sebagian hasil dari usaha Raka di pasar Kemusuk. Ia menuntut separoh hasil dari restoran sekar kedaton.“Rumah ini sedikit demi sedikit mulai bagus dan aku menyesal meberikannya secara Cuma-Cuma.” Gumam Santo“Raka….Raka…tok tok tok ayah tau kamu ada di rumah hari ini. Keluar lah pengecut.”Setelah mengumpat dan memaki anak tirinya Santo terus menggerutu dalam keadaan setengah mabuk.Seketika dia melihat gadis
Raka kemudian melancarkan aksinya yang kedua membuat Aini sedikit kesulitan melayani kekuatan dewa perang Raka dan merintih menikmati tusukan yang terus berguncang.Membuat gunung kembar Aini pontang panting seperti gempa. Sambil bertautan mereka bercumbu dengan penuh nafsu.Iyah teruskanda terus…mereka semakin seperti kuda liar berganti posisi dan ini itu hingga pada akhirnya fantasi mereka terselsaikan untuk kedua kalinya.Raka sambil berbaring yang di tindih Aini dengan gunung kembarnya yang menempel ke dada Raka sedangkan juniornya terus menusuk dengan cepat membuat Aini juga sampai ke puncak eferes.Kemudian keduanya terkulai lemah tak berdaya.Namun sebelum itu semua berakhir Raka teringat bahwa kedua istrinya menunggu mereka di pasar.“Aini ayo kita mandi dulu..sebelum kita kepasar.”Baik Kanda…Mereka berdua menuju bilik pemandian yang sudah selsai direnofasi dan memiliki kolam yang cukup untuk lima orang didalamnya.Air yang dingin membuat libido Raka membuncah lagi. Ketika A
Seorang pelayan menghampiri beberapa pelanggan dan menanyakan mengenai hidangan yang dan layanan yang diberikan rumah makan sekar kedaton dan mereka merasa senang dan menikmatinya.Di luar sana banyak orang yang mulai menaruh iri kepada Raka termasuk Sakar yang menyaksikan semakin banyak orang singgah di rumah makan sekar kedaton dan hampir menyaingin rumah makan mawar.“Benar sekali kata Aryo dia sungguh seperti peramal bahwa rumah makan ini semakin berkembang. Walau perlahan pasti akan menggulingkan hegemoni rumah makan ku.”“Kalau begitu aku akan masuk dan membeli beberapa hidangan yang ada.”Sakar pun masuk dan mengamati rumah makan sekar kedaton dengan takjub dia terus berkeliling membaca syair-syair Raka yang menghipnotis. Dan hingga ia di sapa oleh seorang pekerja Raka.“Kisanak ada yang bisa saya bantu.”“Ohhh…Iya…emmmm saya..pesan Bebek Goreng dan Nila Bakar.” Sakar buru-buru mencari tempat disudut lesehan.Silahkan tuan duduk ini minuman khas kita. Jeruk kecil hangat jaheSa
Suara genderang kayu dipukul tiga kali di pendopo Desa Kali Bening, menandakan rapat tetua dimulai. Para sesepuh dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur duduk melingkar, jubah panjang dan ikat kepala mereka tampak berwibawa. Raka berdiri di tengah, menggenggam selembar lontar berisi rencana pembentukan desa baru yang telah disusunnya selama berbulan-bulan.“Para tetua sekalian,” kata Raka sambil membungkuk hormat, “saya mengajukan wacana resmi pemisahan Kampung Puri dari Kali Bening. Wilayah ini tumbuh pesat, jumlah penduduknya terus bertambah, dan letaknya strategis di jalur pelabuhan. Saya rasa sudah waktunya dipersiapkan menjadi desa mandiri.”Kakek Bango dari barat Kali Bening mengelus jenggotnya. “Anak muda, langkahmu besar, tapi tidak terburu-buru. Itu bagus. Namun, apakah rakyat siap?”Raka menunduk hormat. “Belum. Maka dari itu, saya mohon ini jadi rencana jangka panjang. Lima atau tujuh tahun ke depan. Saya tak ingin terburu-buru, hanya ingin bersiap sejak sekarang.”Cakra, kep
Langit di atas Kota Madya Utama pagi itu diselimuti mendung tipis. Di dalam balai kota yang megah dengan tiang-tiang batu berukir lambang Surya Manggala, Raka berdiri tegak di hadapan para pejabat. Di atas meja panjang terbentang lembar-lembar peta yang ia bawa sendiri dari Desa Kali Bening.Dengan suara tenang, ia memulai, “Saya datang bukan hanya sebagai wakil dari Kali Bening, tapi sebagai utusan dari masa depan. Ini peta wilayah yang kami rancang… pemekaran dari dusun menjadi desa, dan penggabungan dua desa menjadi cikal bakal kota kecil.”Para pejabat duduk dengan tangan terlipat. Beberapa tampak tertarik, namun sebagian lain mulai tersenyum simpul. Salah satu pejabat tua dengan suara lantang menimpali,“Jadi… kau ingin menjadikan daerah sawah dan ladang kerbau itu menjadi kota? Wah, sungguh berani anak muda ini!”Terdengar tawa kecil bersahutan.“Jangan-jangan kau juga berniat bangun istana emas di tengah kolam lumpur?” sambung yang lain dengan nada mengejek.Raka tetap tenang.
udara di balai pusat Desa Kali Bening begitu segar, seolah embusan angin membawa semangat baru. Raka duduk di ruang dalam balai dengan tumpukan naskah di hadapannya. Di tangan kanannya, sebilah pena bulu ayam yang dicelup dalam tinta hitam. Ia sedang menyusun surat penting yang akan ditujukan kepada Bupati Kota Madya Utama."Kalau desa ini makin besar, banyak hal akan terbagi dua. Ronda, pasar, bahkan pengairan," gumam Raka pada dirinya sendiri. "Mungkin ini saatnya memekarkan desa… jadi dua wilayah."Mirna, yang berdiri di dekat jendela sambil menyusun laporan hasil panen, menoleh. “Apa tidak terlalu cepat, Tuan?”Raka tersenyum. “Bukan soal cepat atau lambat. Tapi soal bagaimana kita menata arah. Dua desa bisa lebih fokus dalam mengatur jalannya rakyat.”Beberapa jam kemudian, surat rampung. Segel desa ditempel, dan dua orang pengawal berkuda ditugaskan membawa surat itu ke kadipaten.Beberapa hari berselang, Raka sendiri yang menghadiri panggilan ke Kadipaten. Ruang pertemuan di ka
Angin pagi bertiup sejuk saat utusan dari Desa Anggur datang menunggang kuda cokelat berpelana kain tenun. Ia membawa sepucuk surat bersampul kulit pohon jati, ditujukan langsung kepada Raka.Surat itu singkat namun padat. Isinya, usulan dari Kades Cakra agar kedua desa, Kali Bening dan Anggur, membentuk satu kota baru yang mewakili kemajuan besar yang kini mereka alami. Kota itu akan memiliki balai pusat, pasar agung, dan perwakilan rakyat desa.Raka membacanya sambil duduk di bale-bale bambu rumahnya di Kampung Puri, mengenakan kain tenun kasual dan ikat kepala sederhana. Di depannya, Mirna berdiri, memegangi peta jalur desa.“Cakra memang berani,” gumam Raka. “Tapi usulannya seperti petir siang bolong.”Mirna tertawa kecil. “Petirnya menyala karena langit kita bersih. Tidak banyak desa yang bisa tumbuh secepat ini.”Raka menghela napas. “Kota baru bukan hanya soal bangunan. Tapi juga orang-orangnya, aturannya, makannya dari mana, minumnya dari mana. Apa kita sudah siap?”Hari itu j
Tak ada yang menyangka bahwa jalan tanah lebar yang menghubungkan Desa Kali Bening dan Desa Anggur akan membawa perubahan sebesar ini. Dulu hanya berupa jalur setaTuan berkerikil, kini jalan itu sudah ditata rapi, diperkeras dengan batu-batu lempeng dari sungai, dan di kiri-kanannya ditanami pohon turi serta lampu minyak gantung yang dinyalakan tiap malam.Sejak jalan itu dibuka, desa terasa seperti hidup kembali. Kuda-kuda pedagang berdatangan membawa hasil bumi, kain, rempah, logam, dan barang-barang dari wilayah lain. Gerobak-gerobak kayu berseliweran, dan anak-anak kecil sering berdiri di tepi jalan, bersorak tiap kali rombongan saudagar lewat.Suatu pagi, di sebuah warung sederhana di pinggir jalan, seorang pedagang tua duduk sambil menyeruput wedang jahe. Ia menatap lalu lalang orang dengan senyum tipis.“Tempat ini,” katanya sambil menunjuk ke arah jalan yang berdebu halus, “rasanya lebih ramai dari alun-alun kota pelabuhan di utara.”Di depannya, pemilik warung, seorang ibu mu
Pagi masih berselimut kabut ketika suara benturan kayu terdengar dari Balai Pelatihan Pasukan. Di sana, Raka berdiri dengan baju pelatihan sederhana, memegang tongkat kayu panjang, sementara puluhan pemuda dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur berdiri berbaris, napas mereka mengembun dalam udara pagi.“Aku tak butuh prajurit yang hanya pandai mengangkat senjata,” seru Raka lantang. “Yang kubutuhkan adalah penjaga sejati. Yang tahu kapan harus bertindak, dan kapan harus menahan diri.”Para pemuda mendengarkan dengan mata menyala-nyala. Mereka tahu, ini bukan pelatihan untuk perang besar, tapi untuk menjaga kehidupan yang telah dibangun dengan susah payah. Jembatan kayu besar yang menghubungkan dua desa kini menjadi urat nadi perdagangan, dan rumah makan Sekar Kedaton telah menjadi tempat persinggahan para saudagar dan pelancong dari jauh. Keamanan bukan lagi urusan tetua desa saja—semua harus turut menjaga.Raka tak bekerja sendirian. Ia dibantu Cakra, sahabatnya yang ahli dalam taktik
Di Balai Desa Kali Bening, Mirna, bendahara yang cermat dan disegani, berdiri di hadapan Raka dan para tetua desa. Di tangannya tergenggam sebuah catatan dari gulungan daun lontar.Mirna (dengan suara tegas): “Yang Mulia Raka, panen ikan dan bebek tahun ini melampaui tiga musim sebelumnya. Kita mendapat 1.200 karung ikan dan 700 keranjang telur bebek. Dengan ini, kas desa cukup untuk sepuluh musim ke depan.”“Kemudian sama halnya dengan hasil pajak Pelabuhan dan dermaga juga meningkat menjadi 100.000 keping emas dan 500.000 tael perak.”Raka (tersenyum, angguk pelan):“Bagus. Ini hasil dari kerja tenang dan hati yang tak rakus. Lanjutkan seperti ini, jangan serakah meski hasil melimpah. Simpan untuk yang sulit datang tiba-tiba.”Para tetua mengangguk puas. Di luar balai desa, bau anyir air kolam bercampur harum jerami kering, pertanda panen benar-benar datang dari bumi yang ramah.Keesokan harinya, kereta-kereta kayu ditarik kerbau mulai bergerak keluar desa. Di dalamnya tertata rapi k
Fajar menyingsing dengan warna keemasan di langit timur. Burung-burung berkicau riang, seakan tahu hari ini akan jadi hari istimewa bagi Desa Petir dan Desa Anggur. Di tengah dua desa itu, sebuah jembatan megah membentang di atas Sungai kali bening—dan di sanalah seluruh penduduk berkumpul.Hari ini adalah hari peresmian jembatan dan jalan baru yang menghubungkan dua desa yang dahulu sering menggunakan rakit karena jembatan 1 dan 2 terlalu jauh dari kampung turi untuk menyebranginnya, namun kini menjadi dekat karena kampung turi sudah memiliki jembatan penghubung antara barat dan timur. Di atas jembatan itu, tikar panjang telah dibentang, dipenuhi aneka hidangan: nasi liwet, ayam panggang daun pisang, rebusan umbi, dan minuman kelapa muda yang segar.Di tengah keramaian itu berdiri dua tokoh: Raka dari Kali Bening, dan Cakra, pemimpin dari Desa Petir.Raka (tersenyum pada Cakra): "Dulu di jalan ini hanya tumbuh ilalang dan semak. Kini, lihatlah… jalan ini jadi urat nadi antara kita di
Aryo: "Aku hanya ingin menjadi seperti Ayah… berkuasa, dihormati. Tapi sekarang… kita harus menjual setengah sawah dan semua perak warisan."Wiroguno (pelan): "Kita lupa... bahwa kehormatan tak bisa dibeli, apalagi diraih dengan kerja keras, maka kita harus lakukan hal seperti biasa kita suap para pejabat itu.”Burung gagak hinggap di dahan, bersuara parau seperti ikut mencemooh.Aryo (mengangkat kepala): "Ayah… haruskah kita serahkan karung ini sendiri ke Raka?"Wiroguno: "Tidak. Kita kirim utusan. Aku… aku belum sanggup menatap matanya. Belum."Angin sore mengayun pelan daun-daun Kayu Malam. Suasana begitu sunyi. Hanya rasa sesal yang menyelimuti mereka, seperti bayangan yang tak bisa diusir.Di kejauhan, dari balik jalan kecil yang berkelok, Raka menoleh sekilas. Ia melihat dua sosok di bawah pohon Kayu Malam itu. Namun ia tak berkata apa-apa. Hanya tersenyum tipis.Raka (pelan, pada Aini): "Lihatlah mereka… Dua bayang-bayang yang lupa bahwa hidup bukan sekadar kekuasaan. Tapi kini