Share

Bab 99

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-04-18 10:26:20

Langit di atas Kota Madya Utama pagi itu diselimuti mendung tipis. Di dalam balai kota yang megah dengan tiang-tiang batu berukir lambang Surya Manggala, Raka berdiri tegak di hadapan para pejabat. Di atas meja panjang terbentang lembar-lembar peta yang ia bawa sendiri dari Desa Kali Bening.

Dengan suara tenang, ia memulai, “Saya datang bukan hanya sebagai wakil dari Kali Bening, tapi sebagai utusan dari masa depan. Ini peta wilayah yang kami rancang… pemekaran dari dusun menjadi desa, dan penggabungan dua desa menjadi cikal bakal kota kecil.”

Para pejabat duduk dengan tangan terlipat. Beberapa tampak tertarik, namun sebagian lain mulai tersenyum simpul. Salah satu pejabat tua dengan suara lantang menimpali,

“Jadi… kau ingin menjadikan daerah sawah dan ladang kerbau itu menjadi kota? Wah, sungguh berani anak muda ini!”

Terdengar tawa kecil bersahutan.

“Jangan-jangan kau juga berniat bangun istana emas di tengah kolam lumpur?” sambung yang lain dengan nada mengejek.

Raka tetap tenang.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 100

    Suara genderang kayu dipukul tiga kali di pendopo Desa Kali Bening, menandakan rapat tetua dimulai. Para sesepuh dari Desa Kali Bening dan Desa Anggur duduk melingkar, jubah panjang dan ikat kepala mereka tampak berwibawa. Raka berdiri di tengah, menggenggam selembar lontar berisi rencana pembentukan desa baru yang telah disusunnya selama berbulan-bulan.“Para tetua sekalian,” kata Raka sambil membungkuk hormat, “saya mengajukan wacana resmi pemisahan Kampung Puri dari Kali Bening. Wilayah ini tumbuh pesat, jumlah penduduknya terus bertambah, dan letaknya strategis di jalur pelabuhan. Saya rasa sudah waktunya dipersiapkan menjadi desa mandiri.”Kakek Bango dari barat Kali Bening mengelus jenggotnya. “Anak muda, langkahmu besar, tapi tidak terburu-buru. Itu bagus. Namun, apakah rakyat siap?”Raka menunduk hormat. “Belum. Maka dari itu, saya mohon ini jadi rencana jangka panjang. Lima atau tujuh tahun ke depan. Saya tak ingin terburu-buru, hanya ingin bersiap sejak sekarang.”Cakra, kep

    Last Updated : 2025-04-18
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 101

    Desa Kali Bening dengan cahaya keemasan yang menembus celah-celah dedaunan. Di tengah kampung Puri, rumah besar milik Raka tampak lebih Tamai dari biasanya. Lantunan doa terdengar dari pendopo, diiringi aroma kemenyan dan wangi bunga kenanga.Raka berdiri di hadapan para tetua desa dengan wajah berseri-seri. Ia mengenakan pakaian adat berwarna cokelat tanah, dengan selempang tenun kuno melilit dadanya. Di sampingnya, dua istrinya, aini dan andini, duduk anggun.“Aku tak tahu harus berkata apa,” ucap Raka dengan suara parau karena haru. “Tapi hari ini, aku benar-benar diberkahi. Dua istriku mengandung bersamaan. Dua kehidupan akan segera hadir. Apakah ini bukan tanda restu para leluhur?”Orang-orang yang berkumpul bersorak kecil, diiringi tepuk tangan.“Kita adakan sukuran malam nanti!” seru Pak Tanu, tetua tertua di desa. “Kita sembelih kambing gemuk milik Karyo, yang sudah tiga bulan hanya makan daun pisang dan air kelapa!”“Wah, kambing yang itu? Dengar-dengar bisa mengobati sakit p

    Last Updated : 2025-04-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 102

    Desa Kali Bening kini tak lagi dikenal sebagai desa yang hanya dilewati kafilah dagang dari utara ke selatan. Sekarang, orang datang khusus untuk berkunjung, berdagang, bahkan untuk menetap.Di setiap sudut, terlihat geliat kemakmuran. Pabrik tepung ikan di pinggir dermaga mengepul tiap pagi, pabrik lilin di sisi barat mengirim hasilnya ke pasar besar, dan peternakan di dataran tinggi menghasilkan susu, daging, dan bahan kulit yang dibeli banyak pedagang dari luar.Di bawah pohon asam tua dekat pasar, dua warga sedang berbincang sambil menata anyaman bambu.“Kau dengar kabar dari rumah Pak Tarjo?” tanya salah satu, bernama Bado.“Apa itu?” jawab kawan duduknya, Leman.“Anaknya yang dulunya hanya buruh angkut, sekarang jadi kepala bagian di pabrik lilin. Gajinya cukup buat beli kebun kecil di lereng bukit.”Leman mengangguk pelan. “Dulu kita hanya bermimpi bisa begini. Sekarang, hidup di Kali Bening rasanya seperti tinggal di kota kecil.”Namun, tidak semua yang mendengar kabar baik me

    Last Updated : 2025-04-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 103

    Desa Kali Bening diselimuti awan tipis. Angin berembus lembut membawa aroma tanah basah dan bunga melati dari taman puri. Di balai paviliun utama, Raka berdiri di hadapan para tetua dan tokoh masyarakat. Hari ini, ia akan menyerahkan urusan desa untuk sementara.“Mulai hari ini, selama dua bulan ke depan, desa ini akan kuamanahkan pada dua orang yang telah lama membuktikan kesetiaannya,” ucap Raka lantang namun bersahaja.Warga yang hadir menyimak dalam diam. Di samping Raka berdiri Goro, lelaki tinggi berkulit sawo matang, dan Mirna, perempuan cekatan yang sudah sejak muda mengurus lumbung pangan desa.“Goro akan mengatur urusan pembangunan dan keamanan. Mirna akan mengurus kebutuhan rumah tangga desa, pangan, dan rakyat. Bila ada yang datang membawa kabar penting, arahkan ke mereka berdua.”Goro maju setapak. “Kami bukan pengganti, hanya pelaksana. Tapi selama Kakang Raka menuntut ilmu, desa ini takkan kehilangan arah.”Mirna menambahkan, “Kami akan menjaga, bukan hanya ladang dan p

    Last Updated : 2025-04-19
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 104

    Desa Kali Bening disambut semerbak wangi kayu manis dan harum pandan dari dapur Sekar Kedaton. Rumah makan yang dahulu hanyalah bangunan panggung sederhana dengan dinding bambu, kini berdiri megah setelah direnovasi oleh tangan-tangan muda penuh semangat: Roni dan Riko, keponakan Raka.Di dindingnya kini tergantung syair-syair karya Raka yang disetujui sebelum ia berangkat ke Kota Madya Utama:“Lidah rakyat tak selalu bersuara, Tapi rasa mereka selalu bicara.”Di bagian serambi, ada juga yang berbunyi:“Makanlah dengan hati lapang, Sebab rezeki terbaik datang dari rasa yang tenang.”Sore itu, pengunjung datang silih berganti. Ada saudagar dari barat yang mengelus janggutnya saat membaca syair di gerbang kayu. “Tempat ini… tidak hanya memuaskan perut, tapi juga menyentuh batin,” katanya sambil terkekeh.Seorang ibu pedagang rempah dari selatan bertanya pada pelayan, “Siapa yang menulis ini semua?”“Putra desa kami, Tuan Raka,” jawab pelayan itu bangga. “Kini ia tengah menuntut il

    Last Updated : 2025-04-20
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 105

    Telah sebulan berlalu sejak Raka menapakkan kaki di Sekolah Kerajaan Surya Manggala. Dalam waktu yang relatif singkat, namanya mulai menggaung di antara para guru dan pelajar, bukan karena garis keturunan atau kekayaan, tapi karena ide-ide segarnya yang menyentuh akar kehidupan rakyat.Suatu pagi di Balairung Penguji, suara genderang dipukul tiga kali, menandai dimulainya pengumuman hasil evaluasi bulanan.Guru penguji, Tuan Suyatna, berdiri di tengah aula. Ia membuka gulungan perkamen besar, lalu membacakan nama-nama siswa yang naik ke kelas S, kelas unggulan yang hanya diisi oleh lima murid terbaik dari seluruh akademi.“Yang pertama, Putra Kadipaten Majenang: Raden Kalimastra.Yang kedua, Putri Kadipaten Wonoayu: Ayunda Reswari.Ketiga, Putra Kota Gading: Bagas Ratamanggala.Keempat, Putra Kadipaten Cempaka: Rangga Pralaya.Dan terakhir…” — suara Suyatna sengaja diturunkan, membuat ruangan tegang — “…Raka, Kepala Desa Kali Bening.”Ruangan hening sejenak. Lalu terdengar bisik-bisi

    Last Updated : 2025-04-20
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 106

    Mentari baru saja naik di ufuk timur ketika kabar itu datang seperti petir di langit cerah. Andini, salah satu istri Raka yang tengah mengandung, tidak pulang ke kediaman paviliun puri setelah berpamitan hendak pergi ke perbatasan desa untuk mengunjungi suaminya di kota madya utama. Bersama dua pengawal pribadi, ia meninggalkan rumah sejak pagi dua hari lalu. Kini, jejaknya hilang.Di dalam paviliun puri, Aini dan Aina gelisah, duduk berdampingan di serambi, mata mereka tak lepas dari jalan tanah yang biasa dilalui para pelancong dan pengantar barang.“Kau yakin ia hanya pergi menjenguk Kanda Raka?” tanya Aina, menggenggam erat tangan Aini.“Iya… Ia bilang begitu padaku. Hanya sehari saja, katanya. Tapi hingga kini, tak ada kabar…”Tak lama, Riko dan Roni, dua keponakan Raka, datang dengan langkah cepat dan wajah tegang.“Ada apa ini?” seru Aina.“Bibi Andini tak pulang,” jawab Riko. “Kami tak ingin membuat kekacauan, tapi... ini sudah hari kedua.”Roni segera menarik Riko ke samping.

    Last Updated : 2025-04-20
  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 107

    Gua Tekukur, tempat sunyi yang tersembunyi di balik lembah hutan Kelewer, kini menjadi markas gelap penuh muslihat. Di dalam perut gua yang lembap itu, Andini terikat dengan kedua tangannya di atas kepala. Nafasnya berat, wajahnya pucat namun sorot matanya tetap menyala. Di sudut gua, dua pengawal yang menyertainya tergeletak babak belur, tubuh mereka luka-luka akibat pukulan dari pasukan Baurekso."Kau kira Raka akan datang menyelamatkanmu?" ejek Baron, menyeringai sembari menatap Andini.Bagong, berdiri tak jauh, mencibir, "Ia akan datang, tapi membawa 100 tael emas. Kalau tidak, jangan harap bisa melihat istrimu lagi."Baurekso, pemimpin kelompok itu, berdiri di tengah, tubuh tegapnya tampak bagaikan bayangan maut di tengah cahaya obor. Ia bicara pelan tapi jelas, "Pastikan pesan kita sampai ke Kali Bening. Tapi jangan terlalu cepat... biar mereka panik lebih dulu."Sementara itu di Desa Kali Bening, Zeno duduk termenung di pendopo rumah puri. Wajahnya keruh. Ia menyulut sebatang d

    Last Updated : 2025-04-21

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 118

    Pagi itu, mentari baru saja menggeliat dari balik Bukit Langgundi. Di dalam aula utama Madya Utama Surya Manggala, suasana sunyi mencekam seperti medan perang sebelum genderang dipukul. Para siswa duduk tegak, pena bulu di tangan, mata tajam menatap lembaran lontar berisi soal-soal yang rumit dan membingungkan.Raka, duduk di barisan tengah, menarik napas perlahan. Matanya menatap soal dengan jernih, namun hatinya dilanda keraguan.“Jika aku menyelesaikan ini terlalu sempurna… bisa jadi mereka menarikku ke istana. Tapi… jika nilainya terlalu rendah, aku akan dicap tak layak,” batinnya berkecamuk.Ia sengaja mengulur waktu, menyelipkan beberapa jeda dan memperlambat langkah-langkah pemecahan yang biasanya bisa ia selesaikan dalam waktu singkat. Namun meski begitu, tangannya tetap menari luwes, menjawab soal demi soal dengan ketelitian luar biasa.Beberapa hari kemudian, hasil ujian diumumkan. Suasana aula berubah jadi pasar bisik-bisik.“Raka… sembilan puluh tujuh persen!” seru salah s

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 117

    Kabut masih menggantung di perbukitan saat suara kaki kuda menggema di jalan utama Kadipaten. Sudah beberapa pekan berlalu sejak kejadian itu—namun berita penculikan Andini, istri ketiga Raka, masih berbisik di antara lorong-lorong sunyi para pejabat desa. Aneh bin ajaib, kabar itu tidak pernah sampai ke telinga warga Desa Kali Bening.Di ruang sidang Kadipaten, Zeno, Riko, dan Roni duduk di bangku kayu panjang. Wajah mereka tegang, namun teguh. Di hadapan mereka berdiri Penghulu Kadipaten, berjubah hitam dengan sorot mata tajam."Kalian dipanggil karena menjadi saksi atas temuan prajurit kerajaan... Baurekso dan empat orang lainnya ditemukan bersimbah darah di hutan Gunung Tekukur," suara penghulu menggetarkan langit-langit balairung.Zeno menjawab tenang, "Kami tak melihat kejadian langsung, tapi kami tahu siapa yang memerintahkan mereka. Semua jejak mengarah pada Lurah Wiroguno dan si Anom."Suasana berubah dingin. Beberapa pejabat saling menatap dengan kegelisahan samar.Beberapa

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 116

    Mentari pagi belum sepenuhnya tinggi saat seekor kuda cokelat berhenti di depan gerbang Desa Kali Bening. Di punggungnya duduk seorang pria berjubah hijau lumut dengan lambang Adipati Kota Madya Utama di dadanya. Di tangannya tergenggam gulungan surat berstempel lilin merah."Aku mencari Tetua Kades Zeno," ucap si utusan, suaranya mantap, tak tergesa.Warga yang sedang menjemur padi dan membersihkan jalanan langsung menoleh, lalu saling berbisik penasaran. Tak setiap hari utusan adipati datang ke desa kecil seperti mereka.Tak lama, Zeno keluar dari rumah panggungnya. Pria tua itu mengenakan ikat kepala kelabu dan sorot matanya menyimpan wibawa yang bijak."Aku Zeno. Ada urusan apakah dari Kota Madya Utama hingga membuat langit pagi di sini jadi lebih bergema?"Utusan itu menunduk hormat sebelum menyodorkan surat."Surat ini dari Adipati untuk keluarga Raka. Mohon disampaikan kepada yang berhak. Isinya... kabar yang mulia."Zeno mengangguk, memanggil anak kembarnya Riko dan Roni, lalu

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 115

    Hari itu, langit di atas Desa Dalam Raja memancarkan cahaya keemasan. Panji-panji Kerajaan Surya Manggala berkibar di setiap sudut, bunyi gamelan dan tabuhan kendang bersahut-sahutan mengisi udara. Di tengah alun-alun desa, sebuah panggung kayu didirikan, dikelilingi bunga kenanga, kemenyan, dan dupa yang mengepul halus ke langit.Hari itu, bukan hari biasa. Hari itu adalah Upacara untuk Raka.Penduduk dari berbagai dusun datang membawa sesajen dan buah-buahan, menaruhnya di meja panjang, berjejer dengan nasi tumpeng setinggi lutut orang dewasa.Seorang tetua desa—berjubah putih dengan tongkat ukiran ular kembar—berdiri dan mengangkat suaranya, "Mulai hari ini, Raka... bukan lagi hanya seorang pelajar. Tapi ia telah sejajar dengan para bangsawan muda Surya Manggala, meski usianya belum lagi lewat seperempat abad!"Orang-orang bersorak. Anak-anak berlarian, mengangkat miniatur pedang kayu dan meneriakkan nama Raka sambil tertawa.Raka sendiri duduk bersila di atas panggung, mengenakan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 114

    Hening menyelimuti langit Akademi Utama Kerajaan. Riuh para penonton yang tadi menggema di tanah latihan, kini terganti dengan desau angin dan napas para siswa yang masih tersisa. Tubuh-tubuh kelelahan bergelimpangan di pinggir arena. Namun satu sosok masih berdiri tegap di tengah lingkaran batu raksasa itu: Raka.Tubuhnya penuh memar. Biru keunguan menghiasi lengan, pundak, bahkan bagian samping wajahnya. Namun langkahnya tetap kokoh, napasnya masih teratur, dan sorot matanya masih setajam awal pertandingan.Seorang guru mendekatinya dengan ragu, lalu berbisik, "Raka... kau yakin tak perlu pengobatan dari tabib istana?"Raka hanya mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa mengubah nada suaranya,"Syukurlah tubuh ini cepat menyembuh. Sedikit nyeri seperti ini... takkan membuatku tumbang."Di atas podium kehormatan, Maha Patih Maheswara, panglima tertinggi yang mengawasi ujian itu, mematung dalam diam. Raut wajahnya kaku, mata menatap kosong ke arah Raka. Di balik jubah emasnya yang berat,

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 113

    Tubuh Master Resi Kumara terbaring lemah. Tubuhnya dibalut ramuan hangat dan balur akar-akar langka dari Pegunungan Sembilak. Di sisi tempat tidurnya, berdiri seorang lelaki tua berjubah cokelat tanah dengan sabuk hijau zamrud—Tabib Nambi, sang penyembuh istana.“Sepempat Kekuatan Saja Sudah Cukup”Patih Nambi berdiri di sisi ranjang, wajahnya tenang namun suaranya berat saat berbicara kepada salah satu guru besar.“Jika benar seperti yang kalian katakan... bahwa Raka hanya menggunakan sepempat kekuatannya, maka bersyukurlah Master Kumara masih bisa bernapas.”“Separuh saja sudah seperti ini...” gumam Guru Lomas, menunduk.“Kalau separuh tenaganya dilepas,” lanjut Tabib Nambi, “aku tak yakin tubuh manusia bisa bertahan. Ia bisa lumpuh... bahkan mati, dalam sekejap.”Semua yang mendengar berita itu terdiam. Terbayang di kepala mereka: Raka yang santun, diam, ternyata menyimpan kekuatan seolah bukan milik manusia biasa.Keesokan harinya, Raka mendapat pesan khusus. Ia diminta datang ke

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 112

    Hari itu, halaman utama Akademi Surya Manggala ramai luar biasa. Langit bersih, tapi ketegangan seperti menggantung di udara. Para murid berdesakan, tak ingin melewatkan ujian bela diri tingkat tinggi—yang akan mempertemukan Raka dengan Master Resi Kumara dalam pertandingan resmi di depan seluruh guru besar.Resi Kumara berdiri gagah, tongkatnya menyentuh tanah, dan suaranya bergema.“Raka dari kelas S. Ujian ini bukan hanya untukmu, tapi juga untuk kehormatan seluruh angkatan. Jangan kira aku akan menahan diri.”Raka mengangguk hormat. “Aku tidak ingin menang dengan belas kasihan.”Lonceng ujian berdentang. Dalam sekejap, Resi Kumara menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tapi Raka sudah bersiap. Ia tak hanya menangkis—ia memutar tubuh, memanfaatkan momentum lawan, dan selalu menghindar Ketika resi kumara menyerang dengan keahlian resi yang di atas rata-rata penduduk Kerajaan surya manggala, namun tidak bagi raka.Raka terus mengelak hingga membuat resi jengkel dan mengeluarkan jurus

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 111

    Langit Surya Manggala mulai menguning. Angin sore membawa bau tanah dan daun kering dari taman belakang Akademi Kerajaan. Suasana yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi arena sorak-sorai. Di tengah halaman utama, Raka berdiri dengan napas tenang, dikelilingi oleh murid-murid dari kelas A yang penuh amarah.Teknik Rahasia“Raka! Kau terlalu sombong! Kelas S seharusnya tahu diri!” bentak Darwa, pemimpin kelas A, sembari mengayunkan serangan cepat ke arah dada Raka.Raka menghindar tipis, langkahnya ringan seperti angin musim semi. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangkat tangan kanan, menekuk jari-jari dengan formasi aneh yang belum pernah dilihat siapa pun.“Ap—apa itu?” bisik salah satu murid di kerumunan.Dalam sekejap, Darwa terpental ke belakang. Suara desis halus terdengar, seperti angin memecah udara. Raka memutar badannya, tiga lawan lainnya terjatuh sebelum mereka sempat menyentuh jubahnya.Teknik itu... bukan berasal dari Surya Manggala.“Teknik apa itu, Raka?” tanya Ni

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 110

    Kabut pagi masih tipis menyelimuti halaman utama Akademi Surya Manggala. Hari itu, suasana terasa berbeda. Hari ujian kerajaan — momen penting di mana beberapa siswa terbaik dari berbagai kelas diundang untuk mengikuti seleksi lanjutan yang bisa menentukan masa depan mereka. Termasuk satu sesi rahasia: pertukaran sandera antar wilayah kekuasaan untuk misi diplomatik.Namun semua tak berjalan seperti rencana.Di lorong timur akademi, suara langkah kaki panik terdengar.“Cepat! Panggil tabib! Dia pingsan!” seru seorang penjaga.Seorang pelajar dari kelas B — bernama Dawa — tergeletak, darah merembes dari mulutnya. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ujian pun dihentikan seketika.Di sisi lain halaman, suara benturan terdengar keras. Di bawah tangga batu utama, Raka tergeletak sambil meringis menahan sakit. Tangannya menggantung tidak wajar.“Rakaaa!” Temon berteriak, berlari dari arah perpustakaan. “Apa yang terjadi? Siapa yang dorong kau?”Raka menahan rasa nyeri sambil mencoba bangk

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status